"Bagaimana keadaan Nada? Sudah membaik?" tanya Ryan begitu masuk ke ruang guru dan dilihatnya Dirga yang sedang duduk di kursinya sibuk dengan buku-bukunya. Dirga yang mendengar pun sontak menatap Ryan dengan alis yang bertaut. "Kamu tahu kalau Nada baru saja pendarahan?" tanya Dirga. "Ya tahu. Orang kemarin aku gak sengaja liat dia yang baru aja keluar dari bidan, aku anterin aja dia sampe depan komplek rumah kalian. Kamu jangan marah dan berpikir aku tega membiarkan dia jalan sendiri saat masuk komplek padahal dia baru saja pendarahan. Aku sudah menawarkan dia untuk diantar sampai rumah, tapi dia menolak. Katanya gak enak karena aku jadi makin jauh pulangnya. Aku juga udah paksa gak masalah, tapi dia juga maksa gak mau. Jadi ya sudah." Dirga menelan salivanya saat mendengar penjelasan Ryan. Jadi kemarin yang mengantarkan istrinya sampai di depan komplek seperti yang menjadi bahan gosip para tetangganya itu bukanlah Farhan, tetapi Ryan?"Astaghfirullah," ucap Dirga, ia memegang ke
"Mas ... Zayyan?" Mata Nada terbelalak saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya. “Kamu … betulan Mas Zayyan?” "Apa wajah Mas-mu ini berubah sampai kamu bertanya seperti itu?" tanya Pria yang berdiri selangkah di depan Nada itu. Nada yang sejak tadi kesal, memasang raut wajah yang tidak mood karena pertengkaran dengan suaminya itu kini mulai menampakkan senyuman saat melihat pria yang berdiri di hadapannya itu. Ia langsung memeluk dengan melingkarkan tangannya di leher pria itu. "Aaaa ... kangen," ucap Nada. Pria itu tersenyum, kemudian balas melingkarkan tangannya memeluk Nada juga. Dia yang Nada peluk itu bernama lengkap Zayyan Al-Fath. Dia adalah anak pertama dari mendiang sang ayah. Ia dan Zayyan seayah tetapi beda ibu.Sebelum menikahi Dian, ibunya Nada, ayah Nada pernah menikah dan mempunyai seorang putra yaitu Zayyan. Namun, istri pertamanya meninggal saat melahirkan Zayyan. Selang setahun kemudian, dia menikah kembali dengan ibunya Nada. Lalu 3 tahun kemudia
"Astaghfirullah," ucap Zayyan. Tangannya mengepal erat. Bibirnya yang biasanya lembut kini terkatup rapat, menahan emosi yang hampir tak terkendali.Nada yang melihat raut wajah sang kakak mulai berubah itu mulai tegang. Padahal niatnya mengadu hanya agar ia mempunyai dukungan dan kekesalan di hatinya lepas karena berhasil meluapkannya. Tetapi ternyata? Sepertinya sang kakak benar-benar marah. Ah, bukan sepertinya. Tapi memang sudah marah."Kamu tidak perlu khawatir," suara Zayyan akhirnya keluar, rendah namun tegas. "Mas marahin suamimu nanti! Kalau dia masih berani nyakitin kamu lagi dan gak percaya sama kamu, kamu ikut Mas aja. Gak akan Mas pulangin kamu ke dia lagi! Dikasih kesempatan bukannya memperbaiki, dia malah kembali melakukan kesalahan!" Amarah Zayyan semakin memuncak.Nada menelan saliva. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada rasa hangat yang mengalir di dadanya mendengar kakaknya siap membela, namun kekhawatiran perlahan merayap ke dalam pikirannya. Tangan Nada menggeng
Plak!Satu tamparan keras dari Marwah mendarat di pipi Nina, membuat gadis berusia 28 tahun itu terhenyak. Udara seakan membeku, dan suara benturan tangan Marwah dengan kulit Nina bergema dalam kesunyian. Tanpa bisa menahan, air mata Nina jatuh perlahan, mengalir di pipi yang kini memerah.Nina memegangi pipinya yang perih, tangannya gemetar, seakan berusaha menyerap rasa sakit fisik dan emosional yang mendadak menampar hatinya juga. Matanya yang basah menatap ibunya, namun kata-kata tak kunjung keluar dari bibirnya yang bergetar.Di sudut lain ruangan, Dirga duduk di atas lantai dingin, punggungnya bersandar pada tembok di dekat pintu kamar Nada. Pandangannya kosong, menatap lurus tanpa fokus, seolah terpaku pada kekosongan di depannya. Dirga tak menghiraukan amarah ibunya, juga tangisan Nina—seakan berada di dimensi yang berbeda. Padahal, tadi ia berniat pulang untuk meminta maaf pada Nada dan akan memperbaiki semuanya. Tetapi, sesampainya di rumah ia malah mendapat kabar dari teta
Ceklek.Pintu kamar rawat Nada terbuka, dan Ryan melangkah keluar. Tanpa suara, ia mendekati Dirga yang masih terduduk di atas lantai rumah sakit yang dingin, dengan tatapan kosong, seolah seluruh dunia telah berhenti di sekitarnya. Ryan duduk tepat di samping Dirga.“Kamu masuk, ajak dia bicara. Walau gak nanya kamu di mana, tapi aku bisa baca dari matanya kalau dia nyari kamu," ucap Ryan pelan, sambil menepuk bahu Dirga dengan lembut. Sentuhan itu membuat Dirga tersadar sejenak dari kekosongan yang melingkupinya, matanya langsung menatap Ryan dengan cemas. Dirga menundukkan kepalanya sejenak, lalu menggeleng perlahan. "Aku tidak berani, apa yang harus aku katakan pada Nada? Aku bingung… Aku tidak berani menatap wajahnya.” Suaranya terdengar putus asa, penuh kebingungan dan ketakutan. Ryan menatap Dirga dengan penuh pengertian. "Aku tau ini pasti sangat sulit buat kamu. Tapi, aku yakin, Ga, Nada lagi butuh kamu sekarang. Setidaknya temui dia dulu dan kuatkan dia.” Dirga menelan
Nada menatap suaminya dengan tatapan terkejut. "Kamu sudah tahu semuanya?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tak menyangka bahwa kebenaran akhirnya terungkap.Dirga mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Nada. "Iya, Ryan udah kasih tau aku semuanya," jawabnya dengan nada lembut, penuh penyesalan.Dirga menarik napas dalam, menahan beban emosional yang menyesakkan dadanya. "Maafin aku. Harusnya aku lebih percaya sama kamu. Aku terlalu cepat emosi dan menuduh tanpa mencari tahu lebih dulu. Seharusnya aku seperti Ryan, mencari kebenaran. Harusnya..." Dirga menghentikan ucapannya sejenak, merasakan sesak di dadanya semakin kuat. "Nggak semestinya aku menuduh kamu berhubungan dengan Farhan. Aku baru tahu kalau yang mengantarkan kamu pulang dari bidan waktu itu adalah Ryan, bukan Farhan"Tatapan Nada tertuju pada suaminya, tapi dia masih terdiam. Pikirannya berputar, berusaha memahami situasi ini. Kata-kata maaf yang meluncur dari mulut Dirga seakan menjadi pelipur lara, tapi Nada belu
Nina berdiri tegak beberapa meter dari ruangan Nada, perasaannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan ketakutan. Ia tak berani menemui sang adik ipar, tapi bayangan wajah Nada yang terluka terus menghantui pikirannya. Hatinya penuh sesal, namun kakinya terasa berat untuk melangkah.Sebuah suara tiba-tiba menyentak lamunannya. "Ada baiknya kamu pulang," ucap Ryan dari belakang.Nina menoleh, matanya bertemu dengan pria yang jauh lebih tinggi darinya. Ia mendongak menatap Ryan yang berdiri dengan wajah serius dan sikap tegas."Keberadaan Mbak di sini hanya akan membuat suasana semakin tegang," lanjut Ryan, suaranya datar namun penuh makna.Jujur saja ia juga kesal pada Nina, kenapa wanita itu bisa berbuat sejahat itu? Tanpa mendengar penjelasan, dia langsung menuduh. Tetapi, ada sedikit tidak tega di dalam hatinya melihat wajah Nina yang terlihat mengkhawatirkan.Nina menelan ludah, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali mengangkat wajahnya dengan keyakinan. "Aku gak akan pergi
"Sudah aku bilang jangan keras kepala!" ucap Ryan dengan nada sarkastis, membuat Nina kembali menunduk lemah.Setetes air mata mengalir perlahan dari mata Nina, jatuh membasahi pipinya. Ryan berdiri satu langkah di depannya, berkacak pinggang dengan tatapan kesal.Ryan memalingkan wajah, mengembuskan napas berat. Rasa frustrasi memenuhi dadanya. Sejak tadi Nina begitu keras kepala, namun di saat yang sama, ada bagian dari dirinya yang tak tega melihat wanita itu terus-menerus dihujani kemarahan dari orang-orang terdekatnya.Dengan tatapan penuh kekecewaan, Ryan kembali menatap Nina yang masih menundukkan kepala. Dia tahu, air mata pasti telah membanjiri wajah Nina lagi.Dengan gerakan perlahan, ia merangkul tubuh Nina, menariknya hingga kepalanya bersandar di dadanya."Hiks... hiks..." Nina terisak lirih, air matanya semakin deras saat merasakan dekapan Ryan yang erat. Tangannya terangkat sedikit, namun ia terlalu lemah untuk melakukan apa pun selain menangis di dadanya. Ryan hanya di