Wajah Yulia seketika berubah drastis, menandakan kekecewaan yang mendalam setelah mendengar jawaban dari suaminya, Arya. Ia berdiri mematung, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pagi yang biasanya tenang dan teratur kini terasa begitu aneh dan penuh dengan ketegangan. Yulia mencoba mengendalikan emosinya, namun perasaan tidak nyaman itu semakin membesar, membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah tangganya.
Setelah membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai, Zizi segera pergi ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang campur aduk. Di sisi lain, Arya dengan cepat berdiri dan menghampiri Yulia, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu. Dengan lembut, Arya merangkul pinggang Yulia, menariknya lebih dekat. "Sayang, tidak perlu marah kepada Zizi," katanya dengan suara tenang. "Semua ini hanya sebuah ketidaksengajaan. Dia pasti tidak bermaksud menjatuhkan gelas itu." Yulia tetap diam, matanya masih menatap lantai tempat pecahan kaca tadi berserakan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak diungkapkan oleh Arya, tapi ia memilih untuk menahan diri, setidaknya untuk saat ini. Meskipun begitu, perasaan tidak enak itu masih menghantuinya. Arya mendekatkan wajahnya ke pipi Yulia dan memberikan sebuah ciuman lembut, berusaha menenangkan hati istrinya. "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Ayo, kita berangkat ke kantor. Nanti kita terlambat," ujarnya dengan nada penuh perhatian. Yulia menatap Arya sejenak, masih merasakan sedikit kekesalan, namun ia memutuskan untuk mengesampingkan perasaannya. Dengan anggukan kecil, Yulia menghela napas panjang dan mengikuti Arya menuju pintu. Mereka pun bergegas keluar rumah, meninggalkan pagi yang sempat diwarnai ketegangan itu, dan memulai hari mereka dengan rutinitas kerja seperti biasa. Perlahan, dua mobil mewah mulai keluar dari halaman rumah, bergerak ke arah jalan utama. Yulia dan Arya, meskipun berangkat dari tempat yang sama, mengambil rute yang berbeda untuk menuju kantor mereka masing-masing. Suara mesin mobil yang halus memecah keheningan pagi, sementara pikiran keduanya sibuk dengan berbagai hal. Yulia masih memikirkan kejadian di rumah tadi, sementara Arya mencoba fokus pada agenda yang sudah menantinya di kantor. Meskipun mereka berada di jalan yang berbeda, tujuan mereka tetap sama—menjalani hari kerja yang sibuk, sambil menyimpan perasaan masing-masing. Mobil-mobil itu perlahan menghilang di kejauhan, meninggalkan rumah yang kini sepi kembali. Hari ini, Yulia benar-benar kesulitan untuk fokus. Pikiran tentang kejadian di rumah terus mengganggunya, membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaan yang ada di depannya. Ia seringkali terhenti di tengah pekerjaannya, tatapannya kosong, pikirannya melayang kembali ke pagi tadi. Sari, sahabat Yulia di kantor, memperhatikan perubahan sikap Yulia sejak pagi. Biasanya, Yulia adalah orang yang sangat fokus dan penuh energi, tetapi hari ini ia terlihat murung dan sering melamun. Merasa ada yang tidak beres, Sari pun memutuskan untuk menghampiri sahabatnya. Dengan lembut, Sari meletakkan tangannya di bahu Yulia dan berkata, "Yul, kamu kenapa? Sepertinya kamu nggak seperti biasanya. Ada yang mengganggu pikiranmu?" Yulia tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Sari. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, tapi sorot matanya masih tampak suram. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab, "Aku nggak tahu, Sar ... Ada sesuatu yang aneh di rumah tadi pagi. Tapi aku belum bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi." Sari menatap Yulia dengan penuh perhatian, menunggu sahabatnya melanjutkan ceritanya. Sari semakin bingung melihat ekspresi Yulia yang penuh kebingungan dan kegelisahan. Ia merasa ada sesuatu yang benar-benar mengganggu sahabatnya itu. Tanpa ragu, Sari duduk di samping Yulia, menatapnya dengan mata penuh perhatian."Yul, kamu bikin aku khawatir. Coba ceritakan, sebenarnya kejadian apa di rumah tadi pagi yang membuat kamu sampai seperti ini? Mungkin dengan bercerita, kamu bisa merasa lebih baik, dan siapa tahu aku bisa bantu cari solusinya," ujar Sari dengan nada penuh kepedulian.Yulia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan perasaannya. "Tadi pagi ada insiden kecil di rumah, Zizi nggak sengaja menjatuhkan gelas, dan itu memecahkannya. Tapi yang membuat aku nggak tenang bukan soal gelasnya, Sar... Ada sesuatu yang lebih besar dari itu, sesuatu yang aku rasa aneh, tapi aku belum bisa mengungkapkannya dengan jelas," Yulia berhenti sejenak, mencoba mencari kata yang tepat. Sari tampak sedikit bingung ketika mendengar nama Zizi disebut oleh Yulia. Dengan alis yang sedikit mengernyit, ia bertanya, "Zizi? Siapa itu, Yul? Aku kok nggak pernah dengar kamu cerita tentang dia sebelumnya." Yulia menoleh ke arah Sari sejenak, mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah menceritakan hal ini kepada sahabatnya. Sambil menghela napas, ia menjelaskan, "Zizi adalah putri dari Bi Imah, pembantu kami yang sudah lama bekerja di rumah. Kemarin, Zizi baru saja datang ke kota untuk menggantikan ibunya yang sedang sakit." Sari mengangguk pelan, mulai memahami situasinya. "Oh, jadi Zizi ini baru di rumahmu? Itu mungkin kenapa kamu merasa ada yang aneh, ya? Kamu belum terlalu mengenalnya, jadi wajar kalau ada rasa nggak nyaman." Yulia mengangguk, tetapi masih ada keraguan di matanya. "Iya, mungkin juga begitu. Tapi entah kenapa, perasaan ini lebih dari sekadar ketidaknyamanan biasa. Seperti ada sesuatu yang... tersembunyi di balik semua ini, dan aku belum bisa memahaminya." Sari meletakkan tangannya di lengan Yulia, memberikan dukungan. "Aku paham, Yul. Terkadang firasat memang bisa sangat kuat. Tapi jangan terlalu membebani dirimu. Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk melihat bagaimana Zizi sebenarnya. Kalau memang ada yang mengganggu, kamu bisa coba bicara dengan Arya lagi, atau mungkin bahkan dengan Zizi langsung." Yulia mengangguk perlahan, meskipun pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan yang belum terjawab. "Mungkin kamu benar, Sar. Aku akan coba lebih tenang dulu dan melihat bagaimana semuanya berjalan. Tapi aku tetap harus waspada," jawabnya dengan nada yang sedikit lebih tegas. Hari ini, Yulia memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya, berharap bisa beristirahat sejenak dan mungkin mencari tahu lebih lanjut tentang perasaannya yang tidak tenang sejak pagi. Namun, begitu dia tiba di rumah dan membuka pintu, Yulia langsung dikejutkan oleh suara pertengkaran yang datang dari dalam rumah. Suara itu berasal dari Bi Imah dan Zizi, putrinya. Dengan langkah cepat, Yulia menuju ke sumber suara dan mendapati Bi Imah dan Zizi sedang beradu argumen di ruang tengah. Wajah Bi Imah tampak tegang, sementara Zizi terlihat emosi, suaranya sedikit meninggi. “Aku sudah bilang, Bu! Aku nggak mau diperlakukan seperti ini lagi!” seru Zizi dengan nada yang penuh kemarahan. “Apa kamu lupa siapa yang memberimu tempat tinggal dan pekerjaan? Kamu harusnya lebih bersyukur!” balas Bi Imah, suaranya terdengar penuh frustrasi. Yulia merasa bingung dan khawatir melihat pemandangan ini. Ia segera melangkah masuk dan mencoba menghentikan pertengkaran itu. “Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?” tanya Yulia dengan nada tegas, namun tetap menunjukkan kepeduliannya. Bi Imah dan Zizi terdiam sejenak, menyadari kehadiran Yulia. Wajah Bi Imah berubah menjadi lebih bersalah, sementara Zizi terlihat sedikit kaget dan gugup. “Maaf, Bu Yulia, ini hanya masalah kecil antara saya dan Zizi,” kata Bi Imah, mencoba meredakan situasi. Namun, Yulia bisa melihat bahwa ini lebih dari sekadar masalah kecil. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang terjadi antara ibu dan anak ini. Dia menatap keduanya bergantian, menunggu penjelasan lebih lanjut. Zizi terlihat seolah ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian memilih untuk diam, hanya menundukkan kepala sambil menghela napas panjang. Bi Imah kemudian berbicara dengan suara yang lebih tenang, “Maaf, Bu Yulia. Ini urusan keluarga kami. Saya tidak ingin mengganggu ketenangan di rumah ini.” Yulia tetap merasa ada sesuatu yang aneh dan penting di balik pertengkaran ini. Dia memutuskan untuk tidak memaksakan penjelasan lebih lanjut saat ini, tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa dia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Yulia masih membawa perasaan gelisah dan penasaran saat melangkah menuju kamarnya. Setelah menutup pintu dan menghela napas, dia terkejut melihat suaminya, Arya, sudah tertidur di atas ranjang. Namun, kejutan itu bukan hanya karena Arya yang sudah tidur lebih awal dari biasanya, melainkan karena sesuatu yang tidak biasa—Arya tidur tanpa mengenakan kaos, berbeda dari kebiasaan hariannya.Yulia berdiri mematung di ambang pintu kamar, memperhatikan suaminya yang terbaring dengan posisi yang tampak tenang. Namun, ketenangan itu justru membuatnya merasa semakin aneh. Pikiran Yulia segera dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Mengapa Mas Arya sudah tidur? Mengapa dia tidak mengenakan kaos? Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di rumah tadi?Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Yulia mendekati Arya dengan hati-hati. Dia memandang suaminya dengan penuh curiga, mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa menjelaskan situasi ini. Namun, Arya tetap terlelap, tampak tidak menyada
Setelah tiba di rumah dan mengamati suasana yang masih sepi, Yulia merasa semakin yakin dengan keputusannya untuk memasang CCTV. Ia membawa perangkat CCTV yang baru dibelinya dan mulai memikirkan tempat yang tepat untuk memasangnya.Pertama-tama, Yulia memutuskan untuk memeriksa kamar tidur dan ruang kerja Arya. Dia ingin memastikan bahwa pemasangan CCTV dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengganggu privasi mereka, tetapi juga efektif dalam memantau situasi di rumah. Yulia mulai dengan mengatur posisi kamera di kamar tidur. Dia memilih lokasi yang strategis, yang memungkinkan kamera untuk menangkap sudut-sudut penting tanpa terlihat terlalu mencolok. Selanjutnya, dia bergerak ke ruang kerja Arya, memilih tempat yang memungkinkan untuk memantau aktivitas di ruangan tersebut dengan jelas.Saat melakukan pemasangan, Yulia juga memastikan untuk menyembunyikan kabel dan perangkat dengan baik agar tidak mengganggu penampilan ruangan dan tidak menimbulkan kecurigaan. Dia memastikan semua
Yulia mengusap air mata dari wajahnya dan menatap cermin dengan tekad. Ia tahu bahwa membongkar perselingkuhan Arya bukan hanya tentang mendapatkan keadilan, tetapi juga tentang memberdayakan dirinya sendiri. Yulia mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk mengungkapkan kebenaran dengan cara yang terhormat dan efektif, berusaha agar tindakan tersebut tidak hanya membela haknya tetapi juga menjaga martabatnya.Yulia menguatkan diri sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia membisikkan pada dirinya sendiri, "Aku tidak boleh lemah. Aku harus bisa membongkar perselingkuhan Mas Arya dengan cara yang tidak akan mereka duga." Tekadnya semakin menguat, dan ia mulai menyusun rencana dengan penuh hati-hati, memikirkan setiap langkah untuk memastikan hasil yang terbaik dan mengejutkan bagi Arya dan pihak-pihak terkait.Yulia dengan cepat merapikan dirinya, menghapus sisa-sisa air mata, dan menata ulang penampilannya agar terlihat lebih tenang. Setelah merasa cukup siap, ia keluar d
Setelah semua berkumpul di ruang keluarga, Yulia segera mempersiapkan acara dengan menghubungkan ponselnya ke televisi. Ia memastikan semua kabel dan perangkat terhubung dengan benar agar film dapat ditayangkan tanpa kendala. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, Yulia merasa siap untuk memulai malam yang telah direncanakannya.Ketika film mulai menayangkan adegan Arya yang masuk ke dalam kamar bersama Zizi, suasana di ruang keluarga langsung berubah menjadi tegang. Semua mata terlihat terkejut, terutama Arya dan Zizi yang saling memandang dengan ekspresi kebingungan dan ketakutan. Yulia berusaha tersenyum sambil menahan air matanya, berusaha menunjukkan kekuatan dan ketenangan di hadapan situasi yang sangat emosional ini. Ia melihat reaksi mereka dengan penuh perhatian, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.Arya, yang sebelumnya diam mematung, kini berdiri di hadapan Yulia. Dengan tangan yang gemetar, ia memegang tangan Yulia dan
Di dalam kamar tidur mereka, Yulia merasakan tekanan emosional yang semakin meningkat. Pintu kamar tertutup rapat, mengisolasi mereka dari dunia luar. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dan Yulia tidak bisa lagi menahan kemarahan dan rasa sakit yang menggelegak dalam dirinya.Arya berdiri di ujung kamar, tampak gelisah, sementara Yulia duduk di tepi ranjang, wajahnya merah padam dan mata berkilau penuh air mata. Saat dia menatap Arya, kemarahan yang membara semakin terlihat."Kau pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja?" teriak Yulia, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Selama ini aku mempercayaimu, dan inilah yang kau balas? Dengan perselingkuhan murahan ini?"Arya mencoba mendekat, tetapi Yulia langsung berdiri dan mengangkat tangan, seolah mencoba mencegahnya mendekat. "Jangan sentuh aku!" serunya, suara bergetar penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tega? Zizi, asisten rumah tangga kita! Bagaimana bisa kau mempermalukan dirimu sendiri seperti ini?"Arya mengang
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Malam hari, Yulia duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan keputusan berat yang harus diambilnya. Ketika Arya pulang ke rumah, Yulia memintanya untuk berbicara berdua di kamar mereka.Arya memasuki kamar dengan penuh kekhawatiran, merasa bahwa perbincangan ini mungkin akan mengubah segalanya. Yulia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya tampak lelah dan penuh kesedihan.“Mas Arya,” Yulia memulai dengan suara lembut, “aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam. Aku tahu ini bukanlah situasi yang mudah untuk kita berdua.”Arya duduk di samping Yulia, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Yulia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku memutuskan untuk menerima Zizi sebagai istri kedua kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku tahu ini adalah keputusan yang sangat berat dan mungkin tidak adil untukku, tetapi aku merasa ini adalah jalan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.”Arya terkej