Yulia mulai merasa semakin frustasi dan khawatir saat berusaha menghubungi ponsel Arya. Beberapa kali dia menelepon, tetapi tidak ada jawaban. Suara dering telepon di ujung sana seolah-olah menambah kecemasannya.
Akhirnya, setelah beberapa kali percobaan yang gagal, Yulia memutuskan untuk menunggu Arya di dalam kamar mereka. Dia merasa mungkin Arya sedang sibuk atau tidak bisa menjawab teleponnya, dan dia berharap suaminya akan pulang segera untuk memberikan penjelasan. Dia kembali ke kamar mereka, duduk di tepi tempat tidur, dan mencoba menenangkan dirinya sambil menunggu. Yulia merasa jantungnya berdetak cepat dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Dia berharap Arya segera pulang. “Dimana dia, kenapa sampai sekarang belum pulang juga?” ucap Yulia sambil terlihat gelisah. Sambil menunggu, Yulia mencoba mengumpulkan pikiran dan merencanakan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan kebingungannya. Ketika pintu kamar terbuka dan Arya memasuki ruangan, Yulia langsung berdiri dari tempat tidurnya. Raut wajahnya terlihat tegang dan penuh pertanyaan. Arya, yang baru saja pulang dan tampak sedikit lelah, melihat ekspresi cemas di wajah istrinya. "Akhirnya kamu pulang, Mas! Kamu ke mana saja? Kenapa tidak ada kabar? Aku mencoba menelponmu berkali-kali!" tanya Yulia dengan nada cemas, seraya melontarkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Arya terkejut melihat reaksi Yulia yang begitu mendalam. Dia mencoba untuk tetap tenang dan menjelaskan, "Maafkan aku, Sayang. Aku tadi harus menyelesaikan beberapa urusan mendesak di kantor yang memakan waktu lebih lama dari yang aku pikirkan. Ponselku mati dan aku tidak sempat memberitahumu." "Maafkan aku kalau membuat kamu khawatir, Yulia," kata Arya, mencoba memberikan penjelasan yang memadai. Yulia mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih menunjukkan keraguan. Setelah mendengar penjelasan Arya, dia memutuskan untuk menceritakan apa yang baru saja ia alami di kamar pembantu. "Mas, apa kamu tahu kalau anak Bi Imah datang kemari?” tanya Yulia dengan nada serius. “Enggak, memang sejak kapan dia ada di sini,” ucap Arya dengan rasa penasaran sambil melepaskan kemejanya. “Tadi saat aku tanya dia bilang baru datang tadi siang saat kita sudah berangkat ke kantor, tapi ada hal yang membuatmu curiga pada Zizi.” Yulia terlihat terus berpikir keras. “Zizi? Jadi gadis itu bernama Zizi.” Arya mencoba menebak. “Memang apa yang membuatmu curiga padanya?” tanya Arya dengan penasaran. Sambil berusaha mengingat, Yulia menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Yulia mengatakan jika saat itu dirinya sedang berjalan ke paviliun untuk mencari Arya. Namun, tanpa sengaja ia mendengar suara desahan dari kamar pembantu dan saat ia membuka kamar itu Zizi ada di dalam kamar. Arya terlihat terkejut mendengar cerita Yulia. "Desahan? Apa kamu yakin itu berasal dari kamar Zizi?" Yulia mengangguk. "Ya, aku yakin. Aku sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan siapapun selain Zizi. Bahkan Bi Imah pun seprtinya sudah tertidur pulas di kamarnya sendiri.” Arya menatap Yulia dengan serius, mencoba memahami situasi tersebut. "Aku mengerti kenapa kamu khawatir. Tapi aku yakin Zizi tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membuat ibunya dalam masalah.” Yulia masih merasa tidak sepenuhnya yakin, tetapi mendengar penjelasan Arya, dia merasa sedikit lebih tenang. "Aku harap begitu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini begitu saja. Kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi." Arya mengangguk, mengerti kekhawatiran Yulia. "Baiklah, kita akan cari tahu lebih lanjut. Aku akan berbicara dengan Zizi dan Bi Imah besok pagi.” Yulia merasa sedikit lega mengetahui bahwa Arya siap untuk membantu mencari tahu kebenaran. Mereka berdua kemudian berencana untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut dan memastikan bahwa tidak ada hal yang tersembunyi di balik apa yang terjadi. *** Yulia yang sudah rapi dan siap dengan rencananya, segera menuju ke meja makan. Di sana, dia melihat Zizi sedang menyiapkan sarapan untuknya dan Arya. Wanita muda itu terlihat begitu sangat cantik. Namun, ada satu hal yang membuat Yulia terpaku. Yaitu saat ia tanpa sengaja melihat lirikan mata Arya pada Zizi. Yulia berjalan mendekat, sambil tersenyum lembut. “Selamat pagi, semua."Yulia menyapa dengan nada penuh kasih. Zizi berhenti sejenak, menatap Yulia dengan sedikit terkejut. "Selamat pagi, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum. "Bagaimana, Zi. Apa kamu betah tinggal di sini?” tanya Yulia sambil mulai mengambil sepotong roti. “Oh ya, dimana Bi Imah. Kenapa dia belum terlihat.” Yulia mengedarkan pandangannya mencari Bi Imah. Dengan gugup Zizi mulai menjawab. "I-itu, Non. Ibu sedang istirahat di kamarnya, dia bilang sedang nggak enak badan.” Yulia merasa khawatir mendengar jawaban itu. "Sakit, kalau begitu aku akan ke kamarnya sebentar. Aku ingin tahu sakit apa Bi Imah.” Zizi mengangguk, melanjutkan meletakkan beberapa cangkir di atas meja. Sementara itu, Yulia yang merasa cemas segera berdiri dari tempat duduknya. Dengan tergesa-gesa ia sgera berjalan ke arah kamar Bi Imah. Beberapa saat Yulia berada di kamar Bi Imah, Yulia tidak ingin asisten rumah tangganya kenapa-kenapa. Pasalnya hampir 30 tahun ini Bi Imah sudah mengabdi kepada keluarganya. Bahkan saat orang tua Yulia masih hidup. "Selamat pagi, Bi,” sapa Yulia yang sudah berdiri di bibir pintu kamar. “Bagaimana keadaan Bibi? Aku dengar dari Zizi, Bibi sakit?” tanya Yulia sambil berjalan mendekat ke arah Bi Imah. Bi Imah tersenyum sambil berbaring di tempat tidur, "Saya hanya masuk angin biasa saja, Non.” “Alhamdulillah kalau Bibi baik-baik saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Ini ada sedikit uang untuk Bibi.” Yulia menyerahkan sejumlah uang pada asisten rumah tangganya itu, ia berharap uang itu bisa membantu pengobatan Bi Imah saat ini. “Alhamdulillah, terima kasih, Non.” Bi Imah menerima uang itu dengan bahagia. Yulia tersenyum hangat di hadapan Bi Imah. Sebenarnya bagi Yulia ini adalah saat yang tepat untuk bertanya tentang kedatangan Zizi. Namun, melihat kondisi Bi Imah yang cukup lemah membuat Yulia mengurungkan niatnya . “Ya sudah, aku keluar dulu. Bibi istirahat saja sampai pulih, biar pekerjaan Bibi di kerjakan Zizi,” ucap Yulia sambil berdiri dari tempat duduknya. “Terima kasih, Non. Maaf sudah merepotkan,” jawab Bi Imah dengan wajah sungkan. Yulia hanya tersenyum sesaat, hingga akhirnya ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut. Ia berharap dengan memberikan waktu pada Bi Imah untuk beristirahat bisa membuatnya cepat pulih. Jadi dengan begitu Yulia bisa secepatnya menanyakan tentang maksud kedatangan Zizi. “Pyar!” Yulia yang berjalan di paviliun tiba-tiba terkejut mendengar sebuah benda jatuh dari arah ruang makan. Dengan terburu-buru dan rasa penasaran Yulia segera berlari ke arah ruang makan. Terlihat Zizi sedang memunguti pecahan kaca yang ada di dekat Arya, tidak hanya itu gadis tersebut juga sesekali terlihat mengusap mulutnya dan merapikan pakaian yang ia kenakan. “Ada apa ini, Mas?” tanya Yulia dengan rasa penasaran. “E-enggak, ini Zizi tadi nggak sengaja menyenggol gelas yang ada di hadapanku.” Arya menjawab dengan gugup.Wajah Yulia seketika berubah drastis, menandakan kekecewaan yang mendalam setelah mendengar jawaban dari suaminya, Arya. Ia berdiri mematung, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pagi yang biasanya tenang dan teratur kini terasa begitu aneh dan penuh dengan ketegangan. Yulia mencoba mengendalikan emosinya, namun perasaan tidak nyaman itu semakin membesar, membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah tangganya. Setelah membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai, Zizi segera pergi ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang campur aduk. Di sisi lain, Arya dengan cepat berdiri dan menghampiri Yulia, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu. Dengan lembut, Arya merangkul pinggang Yulia, menariknya lebih dekat. "Sayang, tidak perlu marah kepada Zizi," katanya dengan suara tenang. "Semua ini hanya sebuah ketidaksengajaan. Dia pasti tidak bermaksud menjatuhkan gelas itu." Yulia tetap diam, matanya masih menata
Yulia masih membawa perasaan gelisah dan penasaran saat melangkah menuju kamarnya. Setelah menutup pintu dan menghela napas, dia terkejut melihat suaminya, Arya, sudah tertidur di atas ranjang. Namun, kejutan itu bukan hanya karena Arya yang sudah tidur lebih awal dari biasanya, melainkan karena sesuatu yang tidak biasa—Arya tidur tanpa mengenakan kaos, berbeda dari kebiasaan hariannya.Yulia berdiri mematung di ambang pintu kamar, memperhatikan suaminya yang terbaring dengan posisi yang tampak tenang. Namun, ketenangan itu justru membuatnya merasa semakin aneh. Pikiran Yulia segera dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Mengapa Mas Arya sudah tidur? Mengapa dia tidak mengenakan kaos? Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di rumah tadi?Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Yulia mendekati Arya dengan hati-hati. Dia memandang suaminya dengan penuh curiga, mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa menjelaskan situasi ini. Namun, Arya tetap terlelap, tampak tidak menyada
Setelah tiba di rumah dan mengamati suasana yang masih sepi, Yulia merasa semakin yakin dengan keputusannya untuk memasang CCTV. Ia membawa perangkat CCTV yang baru dibelinya dan mulai memikirkan tempat yang tepat untuk memasangnya.Pertama-tama, Yulia memutuskan untuk memeriksa kamar tidur dan ruang kerja Arya. Dia ingin memastikan bahwa pemasangan CCTV dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengganggu privasi mereka, tetapi juga efektif dalam memantau situasi di rumah. Yulia mulai dengan mengatur posisi kamera di kamar tidur. Dia memilih lokasi yang strategis, yang memungkinkan kamera untuk menangkap sudut-sudut penting tanpa terlihat terlalu mencolok. Selanjutnya, dia bergerak ke ruang kerja Arya, memilih tempat yang memungkinkan untuk memantau aktivitas di ruangan tersebut dengan jelas.Saat melakukan pemasangan, Yulia juga memastikan untuk menyembunyikan kabel dan perangkat dengan baik agar tidak mengganggu penampilan ruangan dan tidak menimbulkan kecurigaan. Dia memastikan semua
Yulia mengusap air mata dari wajahnya dan menatap cermin dengan tekad. Ia tahu bahwa membongkar perselingkuhan Arya bukan hanya tentang mendapatkan keadilan, tetapi juga tentang memberdayakan dirinya sendiri. Yulia mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk mengungkapkan kebenaran dengan cara yang terhormat dan efektif, berusaha agar tindakan tersebut tidak hanya membela haknya tetapi juga menjaga martabatnya.Yulia menguatkan diri sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia membisikkan pada dirinya sendiri, "Aku tidak boleh lemah. Aku harus bisa membongkar perselingkuhan Mas Arya dengan cara yang tidak akan mereka duga." Tekadnya semakin menguat, dan ia mulai menyusun rencana dengan penuh hati-hati, memikirkan setiap langkah untuk memastikan hasil yang terbaik dan mengejutkan bagi Arya dan pihak-pihak terkait.Yulia dengan cepat merapikan dirinya, menghapus sisa-sisa air mata, dan menata ulang penampilannya agar terlihat lebih tenang. Setelah merasa cukup siap, ia keluar d
Setelah semua berkumpul di ruang keluarga, Yulia segera mempersiapkan acara dengan menghubungkan ponselnya ke televisi. Ia memastikan semua kabel dan perangkat terhubung dengan benar agar film dapat ditayangkan tanpa kendala. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, Yulia merasa siap untuk memulai malam yang telah direncanakannya.Ketika film mulai menayangkan adegan Arya yang masuk ke dalam kamar bersama Zizi, suasana di ruang keluarga langsung berubah menjadi tegang. Semua mata terlihat terkejut, terutama Arya dan Zizi yang saling memandang dengan ekspresi kebingungan dan ketakutan. Yulia berusaha tersenyum sambil menahan air matanya, berusaha menunjukkan kekuatan dan ketenangan di hadapan situasi yang sangat emosional ini. Ia melihat reaksi mereka dengan penuh perhatian, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.Arya, yang sebelumnya diam mematung, kini berdiri di hadapan Yulia. Dengan tangan yang gemetar, ia memegang tangan Yulia dan
Di dalam kamar tidur mereka, Yulia merasakan tekanan emosional yang semakin meningkat. Pintu kamar tertutup rapat, mengisolasi mereka dari dunia luar. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dan Yulia tidak bisa lagi menahan kemarahan dan rasa sakit yang menggelegak dalam dirinya.Arya berdiri di ujung kamar, tampak gelisah, sementara Yulia duduk di tepi ranjang, wajahnya merah padam dan mata berkilau penuh air mata. Saat dia menatap Arya, kemarahan yang membara semakin terlihat."Kau pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja?" teriak Yulia, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Selama ini aku mempercayaimu, dan inilah yang kau balas? Dengan perselingkuhan murahan ini?"Arya mencoba mendekat, tetapi Yulia langsung berdiri dan mengangkat tangan, seolah mencoba mencegahnya mendekat. "Jangan sentuh aku!" serunya, suara bergetar penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tega? Zizi, asisten rumah tangga kita! Bagaimana bisa kau mempermalukan dirimu sendiri seperti ini?"Arya mengang
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan rasa penasaran. Pagi itu, Yulia muncul di ruang makan dengan penampilan yang rapi dan penuh percaya diri. Ia mengenakan pakaian yang terawat, dan di tangannya, ia membawa koper besar yang tampaknya penuh dengan barang-barangnya.Semua orang yang berada di meja makan—Arya, Zizi, dan Bi Imah—menatap Yulia dengan bingung dan heran. Suasana yang awalnya tenang seketika menjadi riuh ketika Yulia memasuki ruangan."Yulia, mau kemana kamu? Kenapa kamu membawa koper?" tanya Arya dengan nada kebingungan, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba ini.Yulia meletakkan koper di samping meja makan dan berdiri di tengah ruangan dengan keteguhan hati. "Aku sudah memutuskan," ucapnya dengan suara tegas. "Aku akan pergi ke luar kota selama beberapa minggu, karena ada tugas mendadak dari kantor."Zizi melirik Yulia dengan tatapan sinis, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat Yulia pergi. "Eh! Bukankah aku sudah bilang kalau kamu
Novi, yang sejak tadi memperhatikan Yulia duduk termenung, akhirnya memutuskan untuk menghampirinya. Dengan langkah pelan, ia mendekati meja kerja Yulia dan duduk di kursi yang ada di depannya. Keheningan di antara mereka terasa penuh makna, seolah-olah Novi tahu ada sesuatu yang sangat berat yang dipikul sahabatnya itu."Yul, kamu kenapa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya," tanya Novi dengan nada penuh perhatian, berusaha memecah kebekuan di antara mereka.Yulia menatap Novi sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ini semua karena Zizi," jawab Yulia dengan wajah datar dan suara lelah.Novi mengernyitkan dahi. "Zizi? Apa lagi yang dia lakukan?"Yulia menundukkan kepalanya, seolah mencari kata-kata untuk menjelaskan apa yang terjadi. "Dia semakin menguasai segalanya, Novi. Bukan cuma Arya, tapi sekarang dia juga ingin aku berhenti dari pekerjaanku dan menyerahkan seluruh hidupku untuk mengurus rumah. Semua ini semakin tidak masuk akal," kata Yulia dengan nada getir.Novi menatap Yul
Keesokan harinya, suasana di meja makan terasa tegang. Semua orang sudah berkumpul, siap untuk memulai hari. Arya, dengan ekspresi serius di wajahnya, memutuskan untuk menyampaikan keputusannya. "Yulia, ada sesuatu yang perlu aku bicarakan," kata Arya, suaranya tegas namun penuh beban. Ia menatap Yulia, mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya di balik kata-katanya.Yulia, yang sedang menuangkan kopi ke cangkirnya, menoleh ke arah Arya dengan wajah yang mulai tampak cemas. "Ada apa, Mas?""Aku pikir sudah saatnya kamu berhenti bekerja di kantormu," ujar Arya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku ingin kamu mengajukan resign segera."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Kaget dan bingung, ia meletakkan cangkir kopinya dengan lembut di atas meja, lalu menatap Arya dengan mata penuh pertanyaan."Kenapa tiba-tiba aku ha
Malam itu terasa panjang dan menyiksa bagi Yulia. Dia berbaring di tempat tidur kecil di kamar tamu, matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya tidak pernah tenang. Hatinya terasa berat, penuh dengan perasaan cemas, marah, dan terluka. Meski ia berusaha menenangkan diri, kenyataan bahwa Arya, suaminya, kini bersama wanita lain di kamar yang dulu mereka bagi, membuatnya tidak bisa memejamkan mata.Yulia memutar ingatan kembali, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat. Pernikahan yang dulu begitu penuh cinta kini terasa seperti kenangan jauh yang semakin memudar. Hubungan Arya dan Zizi yang kini resmi dalam ikatan pernikahan semakin membuatnya merasa terasing dari kehidupan yang dulu ia bangun dengan penuh perjuangan.Di dalam hati, Yulia bertanya-tanya apakah keputusan untuk mengizinkan Arya menikahi Zizi adalah kesalahan besar. Meskipun dia mengambil keputusan itu untuk menjaga keutuhan rumah tangganya, rasa sakit yang kini dia rasakan terlalu besar untuk dit
Setelah acara pernikahan siri selesai, suasana di rumah kembali tegang. Zizi, yang kini merasa memiliki posisi yang lebih kuat sebagai istri kedua Arya, mulai bersikap lebih berani. Sambil memeluk Arya, dia menatap Yulia dengan senyum penuh kemenangan. “Sekarang aku adalah Nyonya Arya,” ucap Zizi dengan nada arogan. “Aku juga berhak atas rumah ini, kan? Jadi, aku ingin satu kamar untukku sendiri.”Yulia, yang meski terluka, mencoba mempertahankan ketenangannya. Dengan senyum tipis di wajahnya, dia menjawab, “Kamu bisa menempati kamar tamu yang sudah aku siapkan. Semuanya sudah diatur agar nyaman untukmu.”Namun, bukannya berterima kasih, Zizi justru menolak tawaran itu dengan nada dingin. “Aku nggak mau kamar tamu,” katanya tegas. “Aku ingin kamarmu, Mbak Yulia. Aku sedang mengandung anak Arya, dan aku ingin anak ini mendapatkan kenyamanan yang layak. Kamar yang terbaik di rumah ini harus untukku dan anakku.”Mendengar ucapan Zizi, Arya segera menarik napas dalam-dalam. Wajahnya beru
Tanpa basa-basi, Arya menatap Zizi dengan tatapan tegas dan penuh keputusan. “Zizi,” katanya dengan suara yang penuh tekad, “aku akan meninggalkanmu malam ini juga. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini dan aku ingin kau pergi dari rumah ini.”Kata-kata Arya seperti cambuk bagi Zizi, menghancurkan hatinya. Dengan kemarahan yang membara, Zizi menatap Yulia. “Jadi ini semua adalah rencana mu 'kan Yulia? Kamu sengaja menghasut Mas Arya untuk meninggalkanku dan anak ini! Tidak ada jalan lain, kan, selain menyalahkanku?”Arya, yang merasa kemarahan dan frustrasi semakin memuncak, segera membela Yulia. “Zizi, jangan salahkan Yulia untuk semua ini! Keputusan ini adalah keputusan yang aku buat sendiri. Yulia tidak terlibat dalam masalah ini.”Yulia, yang terkejut dengan tuduhan Zizi, berusaha menjelaskan dengan penuh kesabaran. “Zizi, semua ini sebenarnya adalah keinginan Arya. Aku hanya berusaha mencari jalan terbaik untuk semua orang. Aku telah memutuskan untuk menerima kehadiranmu sebaga
Malam hari, Yulia duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan keputusan berat yang harus diambilnya. Ketika Arya pulang ke rumah, Yulia memintanya untuk berbicara berdua di kamar mereka.Arya memasuki kamar dengan penuh kekhawatiran, merasa bahwa perbincangan ini mungkin akan mengubah segalanya. Yulia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya tampak lelah dan penuh kesedihan.“Mas Arya,” Yulia memulai dengan suara lembut, “aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam. Aku tahu ini bukanlah situasi yang mudah untuk kita berdua.”Arya duduk di samping Yulia, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Yulia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku memutuskan untuk menerima Zizi sebagai istri kedua kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku tahu ini adalah keputusan yang sangat berat dan mungkin tidak adil untukku, tetapi aku merasa ini adalah jalan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.”Arya terkej
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h