Yulia masih membawa perasaan gelisah dan penasaran saat melangkah menuju kamarnya. Setelah menutup pintu dan menghela napas, dia terkejut melihat suaminya, Arya, sudah tertidur di atas ranjang. Namun, kejutan itu bukan hanya karena Arya yang sudah tidur lebih awal dari biasanya, melainkan karena sesuatu yang tidak biasa—Arya tidur tanpa mengenakan kaos, berbeda dari kebiasaan hariannya.
Yulia berdiri mematung di ambang pintu kamar, memperhatikan suaminya yang terbaring dengan posisi yang tampak tenang. Namun, ketenangan itu justru membuatnya merasa semakin aneh. Pikiran Yulia segera dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Mengapa Mas Arya sudah tidur? Mengapa dia tidak mengenakan kaos? Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di rumah tadi? Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Yulia mendekati Arya dengan hati-hati. Dia memandang suaminya dengan penuh curiga, mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa menjelaskan situasi ini. Namun, Arya tetap terlelap, tampak tidak menyadari kehadirannya. Yulia menghela napas panjang, perasaannya campur aduk antara kelelahan, kebingungan, dan kecurigaan. Ia tahu, ada banyak hal yang belum terjawab, dan instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, untuk saat ini, dia memutuskan untuk tidak membangunkan Arya. Yulia pun perlahan berjalan menuju sisi lain dari tempat tidur, berusaha menenangkan pikirannya yang masih bergejolak, sambil berharap bahwa esok hari akan memberikan jawaban atas semua pertanyaannya. Arya terbangun dengan tiba-tiba dan matanya membuka lebar ketika melihat Yulia sudah berada di sampingnya di ranjang. Rasa terkejut dan kebingungan tampak jelas di wajahnya. Ia segera duduk, berusaha menghilangkan rasa kantuknya. "Sayang! Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Arya dengan suara gugup, mencoba menenangkan diri. "Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku tidak sadar kamu sudah masuk kamar." Yulia memandang Arya dengan ekspresi campur aduk, antara kekhawatiran dan kebingungan. "Aku baru masuk beberapa menit yang lalu," jawabnya dengan nada pelan. "Aku melihat kamu sudah tidur dan merasa ada sesuatu yang tidak beres." Arya mengerutkan kening, mencoba mengingat kejadian sebelumnya. "Maaf, aku lelah sekali tadi. Sepertinya aku tertidur lebih awal dari biasanya," katanya sambil menggeser posisi tidurnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Sayang?" Yulia merasa sedikit ragu untuk berbicara lebih lanjut, tetapi ia memutuskan untuk mengungkapkan sebagian perasaannya. "Tadi di rumah, aku melihat Bi Imah dan Zizi bertengkar. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, dan itu membuatku khawatir. Aku juga merasa ada yang aneh denganmu, terutama karena kamu tidur tanpa kaos. Ada apa, Mas?" Arya tampak terkejut mendengar penjelasan Yulia. Ia mencoba menjaga ketenangan, meskipun ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aku tidak tahu apa yang terjadi antara Bi Imah dan Zizi. Aku pikir aku hanya terlalu lelah dan tertidur lebih awal. Tentang kaos, aku hanya merasa panas dan memutuskan untuk tidur tanpa kaos," jelas Arya, berusaha memberi penjelasan yang masuk akal. Yulia mengangguk pelan, meskipun masih merasa ada yang mengganjal. "Baiklah, mungkin aku terlalu khawatir. Tapi jika ada sesuatu yang tidak beres, aku harap kamu bisa memberitahuku." Arya mengangguk, memberikan senyuman kecil untuk menenangkan Yulia. "Tentu, Sayang. Aku akan cerita jika ada yang penting. Untuk sekarang, mari kita coba istirahat. Hari ini memang melelahkan." Dengan sedikit rasa lega, Yulia berbaring kembali di samping Arya, berusaha menenangkan pikiran yang masih bergejolak, berharap esok hari akan membawa kejelasan atas segala keraguan dan kekhawatiran yang ada. *** Pagi hari, Yulia dan Arya sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Meskipun beberapa hari terakhir Yulia tampak murung dan gelisah, hari ini ia terlihat lebih tenang. Mungkin karena dia merasa sudah bisa sedikit mengendalikan kecemasannya, atau mungkin karena semalam Arya memberinya rasa aman dengan penjelasannya. Arya memandang Yulia dengan penuh perhatian, merasa lega melihat istrinya sedikit lebih tenang. "Pagi ini kamu terlihat lebih baik, Sayang. Ada sesuatu yang berubah?" Yulia mengangguk pelan sambil menyendok makanan ke piringnya. "Aku hanya mencoba untuk lebih tenang dan tidak terlalu terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu. Mungkin aku terlalu khawatir belakangan ini. Aku akan mencoba untuk fokus pada hal-hal positif dan memberi waktu untuk memahami semuanya dengan lebih baik." Arya tersenyum, merasa senang melihat Yulia kembali lebih stabil. "Baguslah kalau kamu merasa lebih baik. Kita berdua butuh waktu untuk beradaptasi dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin." Sementara mereka menikmati sarapan, suasana di meja makan terasa lebih santai. Yulia dan Arya berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba untuk memulai hari dengan suasana hati yang lebih positif. Meskipun beberapa pertanyaan dan kekhawatiran masih ada di benak Yulia, dia memutuskan untuk memberikan waktu dan melihat bagaimana segala sesuatunya berkembang. Saat sarapan, Yulia memberitahu Arya bahwa dia telah memutuskan untuk mengajukan cuti hari ini. "Mas, aku ingin memberitahumu bahwa aku mengajukan cuti hari ini. Aku merasa perlu untuk sedikit merawat diri dan menghabiskan waktu di luar rumah. Aku berencana untuk berbelanja dan melakukan beberapa treatment di salon langgananku." Arya menatap Yulia dengan senyuman penuh pengertian. "Itu terdengar seperti ide yang bagus, Sayang. Kamu memang butuh waktu untuk diri sendiri dan melepaskan stres. Nikmati waktu di salon dan berbelanja. Aku yakin itu akan membantumu merasa lebih baik." Yulia mengangguk, merasa lega dan berterima kasih atas dukungan Arya. "Terima kasih, Mas. Aku rasa ini akan membantu aku merasa lebih segar dan siap menghadapi hari-hari ke depan dengan lebih baik." Setelah sarapan, Yulia bersiap-siap untuk hari yang telah dia rencanakan. Dengan niat untuk memanfaatkan waktu cutinya dengan sebaik-baiknya, dia meninggalkan rumah dengan harapan bahwa hari ini akan membawa perubahan positif dan memberikan sedikit ketenangan untuk dirinya. Setelah seharian berbelanja dan melakukan perawatan di salon, Yulia merasa cukup puas dengan waktunya sendiri. Saat sedang berjalan-jalan, matanya tertuju pada sebuah toko yang menjual perangkat CCTV. Ia berhenti sejenak, memandang etalase toko dengan penuh perhatian. Pikiran tentang CCTV memunculkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Yulia mulai mempertimbangkan apakah ada manfaat dari memasang kamera pengawas di rumah. Dengan semua kejadian yang terjadi belakangan ini, termasuk ketegangan antara Bi Imah dan Zizi, serta beberapa hal aneh yang ia rasakan di rumah, Yulia merasa bahwa memasang CCTV bisa membantu memantau situasi di rumah secara lebih baik. "Apakah ini ide yang terlalu paranoid?" pikir Yulia dalam hati. "Atau mungkin ini cara untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik dan aman di rumah?" Setelah beberapa saat merenung, Yulia memutuskan untuk masuk ke dalam toko dan melihat lebih dekat berbagai perangkat CCTV yang tersedia. Dia berbicara dengan salah seorang staf toko untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan menilai opsi yang ada. Meskipun ragu, dia merasa bahwa ini bisa menjadi langkah yang bijaksana untuk memberikan rasa aman dan kepastian di rumahnya.Setelah tiba di rumah dan mengamati suasana yang masih sepi, Yulia merasa semakin yakin dengan keputusannya untuk memasang CCTV. Ia membawa perangkat CCTV yang baru dibelinya dan mulai memikirkan tempat yang tepat untuk memasangnya.Pertama-tama, Yulia memutuskan untuk memeriksa kamar tidur dan ruang kerja Arya. Dia ingin memastikan bahwa pemasangan CCTV dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengganggu privasi mereka, tetapi juga efektif dalam memantau situasi di rumah. Yulia mulai dengan mengatur posisi kamera di kamar tidur. Dia memilih lokasi yang strategis, yang memungkinkan kamera untuk menangkap sudut-sudut penting tanpa terlihat terlalu mencolok. Selanjutnya, dia bergerak ke ruang kerja Arya, memilih tempat yang memungkinkan untuk memantau aktivitas di ruangan tersebut dengan jelas.Saat melakukan pemasangan, Yulia juga memastikan untuk menyembunyikan kabel dan perangkat dengan baik agar tidak mengganggu penampilan ruangan dan tidak menimbulkan kecurigaan. Dia memastikan semua
Yulia mengusap air mata dari wajahnya dan menatap cermin dengan tekad. Ia tahu bahwa membongkar perselingkuhan Arya bukan hanya tentang mendapatkan keadilan, tetapi juga tentang memberdayakan dirinya sendiri. Yulia mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk mengungkapkan kebenaran dengan cara yang terhormat dan efektif, berusaha agar tindakan tersebut tidak hanya membela haknya tetapi juga menjaga martabatnya.Yulia menguatkan diri sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia membisikkan pada dirinya sendiri, "Aku tidak boleh lemah. Aku harus bisa membongkar perselingkuhan Mas Arya dengan cara yang tidak akan mereka duga." Tekadnya semakin menguat, dan ia mulai menyusun rencana dengan penuh hati-hati, memikirkan setiap langkah untuk memastikan hasil yang terbaik dan mengejutkan bagi Arya dan pihak-pihak terkait.Yulia dengan cepat merapikan dirinya, menghapus sisa-sisa air mata, dan menata ulang penampilannya agar terlihat lebih tenang. Setelah merasa cukup siap, ia keluar d
Setelah semua berkumpul di ruang keluarga, Yulia segera mempersiapkan acara dengan menghubungkan ponselnya ke televisi. Ia memastikan semua kabel dan perangkat terhubung dengan benar agar film dapat ditayangkan tanpa kendala. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, Yulia merasa siap untuk memulai malam yang telah direncanakannya.Ketika film mulai menayangkan adegan Arya yang masuk ke dalam kamar bersama Zizi, suasana di ruang keluarga langsung berubah menjadi tegang. Semua mata terlihat terkejut, terutama Arya dan Zizi yang saling memandang dengan ekspresi kebingungan dan ketakutan. Yulia berusaha tersenyum sambil menahan air matanya, berusaha menunjukkan kekuatan dan ketenangan di hadapan situasi yang sangat emosional ini. Ia melihat reaksi mereka dengan penuh perhatian, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.Arya, yang sebelumnya diam mematung, kini berdiri di hadapan Yulia. Dengan tangan yang gemetar, ia memegang tangan Yulia dan
Di dalam kamar tidur mereka, Yulia merasakan tekanan emosional yang semakin meningkat. Pintu kamar tertutup rapat, mengisolasi mereka dari dunia luar. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dan Yulia tidak bisa lagi menahan kemarahan dan rasa sakit yang menggelegak dalam dirinya.Arya berdiri di ujung kamar, tampak gelisah, sementara Yulia duduk di tepi ranjang, wajahnya merah padam dan mata berkilau penuh air mata. Saat dia menatap Arya, kemarahan yang membara semakin terlihat."Kau pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja?" teriak Yulia, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Selama ini aku mempercayaimu, dan inilah yang kau balas? Dengan perselingkuhan murahan ini?"Arya mencoba mendekat, tetapi Yulia langsung berdiri dan mengangkat tangan, seolah mencoba mencegahnya mendekat. "Jangan sentuh aku!" serunya, suara bergetar penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tega? Zizi, asisten rumah tangga kita! Bagaimana bisa kau mempermalukan dirimu sendiri seperti ini?"Arya mengang
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Malam hari, Yulia duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan keputusan berat yang harus diambilnya. Ketika Arya pulang ke rumah, Yulia memintanya untuk berbicara berdua di kamar mereka.Arya memasuki kamar dengan penuh kekhawatiran, merasa bahwa perbincangan ini mungkin akan mengubah segalanya. Yulia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya tampak lelah dan penuh kesedihan.“Mas Arya,” Yulia memulai dengan suara lembut, “aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam. Aku tahu ini bukanlah situasi yang mudah untuk kita berdua.”Arya duduk di samping Yulia, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Yulia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku memutuskan untuk menerima Zizi sebagai istri kedua kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku tahu ini adalah keputusan yang sangat berat dan mungkin tidak adil untukku, tetapi aku merasa ini adalah jalan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.”Arya terkej
Tanpa basa-basi, Arya menatap Zizi dengan tatapan tegas dan penuh keputusan. “Zizi,” katanya dengan suara yang penuh tekad, “aku akan meninggalkanmu malam ini juga. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini dan aku ingin kau pergi dari rumah ini.”Kata-kata Arya seperti cambuk bagi Zizi, menghancurkan hatinya. Dengan kemarahan yang membara, Zizi menatap Yulia. “Jadi ini semua adalah rencana mu 'kan Yulia? Kamu sengaja menghasut Mas Arya untuk meninggalkanku dan anak ini! Tidak ada jalan lain, kan, selain menyalahkanku?”Arya, yang merasa kemarahan dan frustrasi semakin memuncak, segera membela Yulia. “Zizi, jangan salahkan Yulia untuk semua ini! Keputusan ini adalah keputusan yang aku buat sendiri. Yulia tidak terlibat dalam masalah ini.”Yulia, yang terkejut dengan tuduhan Zizi, berusaha menjelaskan dengan penuh kesabaran. “Zizi, semua ini sebenarnya adalah keinginan Arya. Aku hanya berusaha mencari jalan terbaik untuk semua orang. Aku telah memutuskan untuk menerima kehadiranmu sebaga
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan rasa penasaran. Pagi itu, Yulia muncul di ruang makan dengan penampilan yang rapi dan penuh percaya diri. Ia mengenakan pakaian yang terawat, dan di tangannya, ia membawa koper besar yang tampaknya penuh dengan barang-barangnya.Semua orang yang berada di meja makan—Arya, Zizi, dan Bi Imah—menatap Yulia dengan bingung dan heran. Suasana yang awalnya tenang seketika menjadi riuh ketika Yulia memasuki ruangan."Yulia, mau kemana kamu? Kenapa kamu membawa koper?" tanya Arya dengan nada kebingungan, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba ini.Yulia meletakkan koper di samping meja makan dan berdiri di tengah ruangan dengan keteguhan hati. "Aku sudah memutuskan," ucapnya dengan suara tegas. "Aku akan pergi ke luar kota selama beberapa minggu, karena ada tugas mendadak dari kantor."Zizi melirik Yulia dengan tatapan sinis, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat Yulia pergi. "Eh! Bukankah aku sudah bilang kalau kamu
Novi, yang sejak tadi memperhatikan Yulia duduk termenung, akhirnya memutuskan untuk menghampirinya. Dengan langkah pelan, ia mendekati meja kerja Yulia dan duduk di kursi yang ada di depannya. Keheningan di antara mereka terasa penuh makna, seolah-olah Novi tahu ada sesuatu yang sangat berat yang dipikul sahabatnya itu."Yul, kamu kenapa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya," tanya Novi dengan nada penuh perhatian, berusaha memecah kebekuan di antara mereka.Yulia menatap Novi sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ini semua karena Zizi," jawab Yulia dengan wajah datar dan suara lelah.Novi mengernyitkan dahi. "Zizi? Apa lagi yang dia lakukan?"Yulia menundukkan kepalanya, seolah mencari kata-kata untuk menjelaskan apa yang terjadi. "Dia semakin menguasai segalanya, Novi. Bukan cuma Arya, tapi sekarang dia juga ingin aku berhenti dari pekerjaanku dan menyerahkan seluruh hidupku untuk mengurus rumah. Semua ini semakin tidak masuk akal," kata Yulia dengan nada getir.Novi menatap Yul
Keesokan harinya, suasana di meja makan terasa tegang. Semua orang sudah berkumpul, siap untuk memulai hari. Arya, dengan ekspresi serius di wajahnya, memutuskan untuk menyampaikan keputusannya. "Yulia, ada sesuatu yang perlu aku bicarakan," kata Arya, suaranya tegas namun penuh beban. Ia menatap Yulia, mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya di balik kata-katanya.Yulia, yang sedang menuangkan kopi ke cangkirnya, menoleh ke arah Arya dengan wajah yang mulai tampak cemas. "Ada apa, Mas?""Aku pikir sudah saatnya kamu berhenti bekerja di kantormu," ujar Arya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku ingin kamu mengajukan resign segera."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Kaget dan bingung, ia meletakkan cangkir kopinya dengan lembut di atas meja, lalu menatap Arya dengan mata penuh pertanyaan."Kenapa tiba-tiba aku ha
Malam itu terasa panjang dan menyiksa bagi Yulia. Dia berbaring di tempat tidur kecil di kamar tamu, matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya tidak pernah tenang. Hatinya terasa berat, penuh dengan perasaan cemas, marah, dan terluka. Meski ia berusaha menenangkan diri, kenyataan bahwa Arya, suaminya, kini bersama wanita lain di kamar yang dulu mereka bagi, membuatnya tidak bisa memejamkan mata.Yulia memutar ingatan kembali, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat. Pernikahan yang dulu begitu penuh cinta kini terasa seperti kenangan jauh yang semakin memudar. Hubungan Arya dan Zizi yang kini resmi dalam ikatan pernikahan semakin membuatnya merasa terasing dari kehidupan yang dulu ia bangun dengan penuh perjuangan.Di dalam hati, Yulia bertanya-tanya apakah keputusan untuk mengizinkan Arya menikahi Zizi adalah kesalahan besar. Meskipun dia mengambil keputusan itu untuk menjaga keutuhan rumah tangganya, rasa sakit yang kini dia rasakan terlalu besar untuk dit
Setelah acara pernikahan siri selesai, suasana di rumah kembali tegang. Zizi, yang kini merasa memiliki posisi yang lebih kuat sebagai istri kedua Arya, mulai bersikap lebih berani. Sambil memeluk Arya, dia menatap Yulia dengan senyum penuh kemenangan. “Sekarang aku adalah Nyonya Arya,” ucap Zizi dengan nada arogan. “Aku juga berhak atas rumah ini, kan? Jadi, aku ingin satu kamar untukku sendiri.”Yulia, yang meski terluka, mencoba mempertahankan ketenangannya. Dengan senyum tipis di wajahnya, dia menjawab, “Kamu bisa menempati kamar tamu yang sudah aku siapkan. Semuanya sudah diatur agar nyaman untukmu.”Namun, bukannya berterima kasih, Zizi justru menolak tawaran itu dengan nada dingin. “Aku nggak mau kamar tamu,” katanya tegas. “Aku ingin kamarmu, Mbak Yulia. Aku sedang mengandung anak Arya, dan aku ingin anak ini mendapatkan kenyamanan yang layak. Kamar yang terbaik di rumah ini harus untukku dan anakku.”Mendengar ucapan Zizi, Arya segera menarik napas dalam-dalam. Wajahnya beru
Tanpa basa-basi, Arya menatap Zizi dengan tatapan tegas dan penuh keputusan. “Zizi,” katanya dengan suara yang penuh tekad, “aku akan meninggalkanmu malam ini juga. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini dan aku ingin kau pergi dari rumah ini.”Kata-kata Arya seperti cambuk bagi Zizi, menghancurkan hatinya. Dengan kemarahan yang membara, Zizi menatap Yulia. “Jadi ini semua adalah rencana mu 'kan Yulia? Kamu sengaja menghasut Mas Arya untuk meninggalkanku dan anak ini! Tidak ada jalan lain, kan, selain menyalahkanku?”Arya, yang merasa kemarahan dan frustrasi semakin memuncak, segera membela Yulia. “Zizi, jangan salahkan Yulia untuk semua ini! Keputusan ini adalah keputusan yang aku buat sendiri. Yulia tidak terlibat dalam masalah ini.”Yulia, yang terkejut dengan tuduhan Zizi, berusaha menjelaskan dengan penuh kesabaran. “Zizi, semua ini sebenarnya adalah keinginan Arya. Aku hanya berusaha mencari jalan terbaik untuk semua orang. Aku telah memutuskan untuk menerima kehadiranmu sebaga
Malam hari, Yulia duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan keputusan berat yang harus diambilnya. Ketika Arya pulang ke rumah, Yulia memintanya untuk berbicara berdua di kamar mereka.Arya memasuki kamar dengan penuh kekhawatiran, merasa bahwa perbincangan ini mungkin akan mengubah segalanya. Yulia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya tampak lelah dan penuh kesedihan.“Mas Arya,” Yulia memulai dengan suara lembut, “aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam. Aku tahu ini bukanlah situasi yang mudah untuk kita berdua.”Arya duduk di samping Yulia, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Yulia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku memutuskan untuk menerima Zizi sebagai istri kedua kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku tahu ini adalah keputusan yang sangat berat dan mungkin tidak adil untukku, tetapi aku merasa ini adalah jalan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.”Arya terkej
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h