Setelah semua berkumpul di ruang keluarga, Yulia segera mempersiapkan acara dengan menghubungkan ponselnya ke televisi. Ia memastikan semua kabel dan perangkat terhubung dengan benar agar film dapat ditayangkan tanpa kendala. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, Yulia merasa siap untuk memulai malam yang telah direncanakannya.
Ketika film mulai menayangkan adegan Arya yang masuk ke dalam kamar bersama Zizi, suasana di ruang keluarga langsung berubah menjadi tegang. Semua mata terlihat terkejut, terutama Arya dan Zizi yang saling memandang dengan ekspresi kebingungan dan ketakutan. Yulia berusaha tersenyum sambil menahan air matanya, berusaha menunjukkan kekuatan dan ketenangan di hadapan situasi yang sangat emosional ini. Ia melihat reaksi mereka dengan penuh perhatian, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.Arya, yang sebelumnya diam mematung, kini berdiri di hadapan Yulia. Dengan tangan yang gemetar, ia memegang tangan Yulia danDi dalam kamar tidur mereka, Yulia merasakan tekanan emosional yang semakin meningkat. Pintu kamar tertutup rapat, mengisolasi mereka dari dunia luar. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dan Yulia tidak bisa lagi menahan kemarahan dan rasa sakit yang menggelegak dalam dirinya.Arya berdiri di ujung kamar, tampak gelisah, sementara Yulia duduk di tepi ranjang, wajahnya merah padam dan mata berkilau penuh air mata. Saat dia menatap Arya, kemarahan yang membara semakin terlihat."Kau pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja?" teriak Yulia, suaranya menggema di ruangan kecil itu. "Selama ini aku mempercayaimu, dan inilah yang kau balas? Dengan perselingkuhan murahan ini?"Arya mencoba mendekat, tetapi Yulia langsung berdiri dan mengangkat tangan, seolah mencoba mencegahnya mendekat. "Jangan sentuh aku!" serunya, suara bergetar penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tega? Zizi, asisten rumah tangga kita! Bagaimana bisa kau mempermalukan dirimu sendiri seperti ini?"Arya mengang
Setelah Yulia meninggalkan rumah dengan penuh kemarahan, ruangan terasa semakin mencekam. Arya berdiri di tempat, jari-jarinya menegang karena kemarahan dan rasa frustrasi. Dia menatap Zizi dengan mata penuh kemarahan, tidak bisa lagi menahan emosinya.“Zizi!” Arya membentak, suaranya keras dan penuh amarah. “Apa kamu sudah puas? Sudah puas melihat semua ini hancur? Apa kamu senang telah membuat rumah tanggaku berantakan?”**Bab 6: Tumpahan Emosi**Setelah kemarahan Arya yang meledak, Zizi, yang merasa tertekan dan tidak ingin disalahkan, menatap Arya dengan tatapan tajam. Rasa sakit dan kemarahan membuatnya tak mampu lagi menahan diri.“Arya!” Zizi berteriak dengan nada penuh emosi. “Ini bukan kesalahanku! Ini semua terjadi karena perasaan cinta yang muncul di antara kita, bukan hanya karena keputusanku!”Arya terkejut mendengar jawaban Zizi. “Perasaan cinta?” tanyanya dengan nada skeptis. “Jadi, kamu pikir semua ini bisa dibenarkan hanya karena kamu merasa jatuh cinta?”“Ini bukan h
Yulia, setelah pulang dari kantor, merasa kebingungan ketika memasuki rumah dan tidak menemukan siapa pun di sana. Dengan langkah cepat, ia mencari keberadaan Arya, Bi Imah, dan Zizi, berusaha mengerti ke mana mereka semua pergi.Beberapa menit kemudian, suara kendaraan terdengar dari luar. Yulia bergegas menuju pintu dan melihat Arya menggandeng Zizi dengan dibantu oleh Bi Imah. Zizi tampak lemah tetapi senyum bahagia menghiasi wajahnya.Ketika mereka memasuki rumah, Yulia tidak bisa menahan rasa penasaran dan segera bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi?”Zizi, dengan senyum penuh kepuasan, menjawab dengan nada penuh percaya diri, “Yulia, aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku saat ini sedang mengandung benih antara diriku dan Mas Arya.”Kata-kata Zizi seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Rasa sakit dan kehancuran segera melanda hatinya. Matanya penuh dengan air mata saat ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.Namun, Zizi tidak berhen
Malam hari, Yulia duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan keputusan berat yang harus diambilnya. Ketika Arya pulang ke rumah, Yulia memintanya untuk berbicara berdua di kamar mereka.Arya memasuki kamar dengan penuh kekhawatiran, merasa bahwa perbincangan ini mungkin akan mengubah segalanya. Yulia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya tampak lelah dan penuh kesedihan.“Mas Arya,” Yulia memulai dengan suara lembut, “aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam. Aku tahu ini bukanlah situasi yang mudah untuk kita berdua.”Arya duduk di samping Yulia, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Yulia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku memutuskan untuk menerima Zizi sebagai istri kedua kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku tahu ini adalah keputusan yang sangat berat dan mungkin tidak adil untukku, tetapi aku merasa ini adalah jalan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.”Arya terkej
Tanpa basa-basi, Arya menatap Zizi dengan tatapan tegas dan penuh keputusan. “Zizi,” katanya dengan suara yang penuh tekad, “aku akan meninggalkanmu malam ini juga. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini dan aku ingin kau pergi dari rumah ini.”Kata-kata Arya seperti cambuk bagi Zizi, menghancurkan hatinya. Dengan kemarahan yang membara, Zizi menatap Yulia. “Jadi ini semua adalah rencana mu 'kan Yulia? Kamu sengaja menghasut Mas Arya untuk meninggalkanku dan anak ini! Tidak ada jalan lain, kan, selain menyalahkanku?”Arya, yang merasa kemarahan dan frustrasi semakin memuncak, segera membela Yulia. “Zizi, jangan salahkan Yulia untuk semua ini! Keputusan ini adalah keputusan yang aku buat sendiri. Yulia tidak terlibat dalam masalah ini.”Yulia, yang terkejut dengan tuduhan Zizi, berusaha menjelaskan dengan penuh kesabaran. “Zizi, semua ini sebenarnya adalah keinginan Arya. Aku hanya berusaha mencari jalan terbaik untuk semua orang. Aku telah memutuskan untuk menerima kehadiranmu sebaga
Setelah acara pernikahan siri selesai, suasana di rumah kembali tegang. Zizi, yang kini merasa memiliki posisi yang lebih kuat sebagai istri kedua Arya, mulai bersikap lebih berani. Sambil memeluk Arya, dia menatap Yulia dengan senyum penuh kemenangan. “Sekarang aku adalah Nyonya Arya,” ucap Zizi dengan nada arogan. “Aku juga berhak atas rumah ini, kan? Jadi, aku ingin satu kamar untukku sendiri.”Yulia, yang meski terluka, mencoba mempertahankan ketenangannya. Dengan senyum tipis di wajahnya, dia menjawab, “Kamu bisa menempati kamar tamu yang sudah aku siapkan. Semuanya sudah diatur agar nyaman untukmu.”Namun, bukannya berterima kasih, Zizi justru menolak tawaran itu dengan nada dingin. “Aku nggak mau kamar tamu,” katanya tegas. “Aku ingin kamarmu, Mbak Yulia. Aku sedang mengandung anak Arya, dan aku ingin anak ini mendapatkan kenyamanan yang layak. Kamar yang terbaik di rumah ini harus untukku dan anakku.”Mendengar ucapan Zizi, Arya segera menarik napas dalam-dalam. Wajahnya beru
Malam itu terasa panjang dan menyiksa bagi Yulia. Dia berbaring di tempat tidur kecil di kamar tamu, matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya tidak pernah tenang. Hatinya terasa berat, penuh dengan perasaan cemas, marah, dan terluka. Meski ia berusaha menenangkan diri, kenyataan bahwa Arya, suaminya, kini bersama wanita lain di kamar yang dulu mereka bagi, membuatnya tidak bisa memejamkan mata.Yulia memutar ingatan kembali, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat. Pernikahan yang dulu begitu penuh cinta kini terasa seperti kenangan jauh yang semakin memudar. Hubungan Arya dan Zizi yang kini resmi dalam ikatan pernikahan semakin membuatnya merasa terasing dari kehidupan yang dulu ia bangun dengan penuh perjuangan.Di dalam hati, Yulia bertanya-tanya apakah keputusan untuk mengizinkan Arya menikahi Zizi adalah kesalahan besar. Meskipun dia mengambil keputusan itu untuk menjaga keutuhan rumah tangganya, rasa sakit yang kini dia rasakan terlalu besar untuk dit
Keesokan harinya, suasana di meja makan terasa tegang. Semua orang sudah berkumpul, siap untuk memulai hari. Arya, dengan ekspresi serius di wajahnya, memutuskan untuk menyampaikan keputusannya. "Yulia, ada sesuatu yang perlu aku bicarakan," kata Arya, suaranya tegas namun penuh beban. Ia menatap Yulia, mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya di balik kata-katanya.Yulia, yang sedang menuangkan kopi ke cangkirnya, menoleh ke arah Arya dengan wajah yang mulai tampak cemas. "Ada apa, Mas?""Aku pikir sudah saatnya kamu berhenti bekerja di kantormu," ujar Arya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku ingin kamu mengajukan resign segera."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Yulia. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Kaget dan bingung, ia meletakkan cangkir kopinya dengan lembut di atas meja, lalu menatap Arya dengan mata penuh pertanyaan."Kenapa tiba-tiba aku ha