Deg! Menggugurkan kandungan? Astaga! Benarkah begitu? Victor menelan ludah dengan kasar, tenggorokannya terasa semakin kering, sementara dadanya terus berdebar saat mendengar cerita si bartender tentang Mary. “Apakah Mary tidak cerita pada keluarganya kalau dia sedang hamil?” Si bartender bertanya dengan tatapan penasaran. Victor menggeleng samar. “Adakah di sini yang tahu kira-kira Mary ke mana?” tanya Victor. “Atau mungkin ada yang tahu nomor ponsel Mary yang baru? Soalnya, yang lama sudah tidak aktif.” Si bartender menggeleng pelan. “Tidak. Kami tidak tahu, Sir. Saat Mary pamit, dia tidak memberitahu kami ke mana dia pergi. Saya juga baru tahu kalau nomornya sudah tidak aktif.” Victor terdiam sejenak, menarik napas dalam. Ia duduk gelisah di kursi, sebelah tangan di atas meja, mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ujung jari-jari besarnya yang kokoh. ‘Kemana dia pergi?’ Victor berbisik dalam hati, bertanya-tanya ke mana si gadis galak itu kabur. ‘Katanya dia hamil, lalu men
*** Tak ada pilihan lain, Victor akhirnya memutuskan untuk menghubungi Jihan. Sebelumnya, Victor berharap bisa mendapatkan informasi tentang Mary dari Jihan tanpa harus bertemu dengannya. Namun, ternyata tidak. Jihan bersikeras ingin bertemu langsung dengan Victor, sehingga pria itu dengan terpaksa menuruti kemauannya demi mendapatkan informasi tentang Mary. Setelah mengunjungi tempat tinggal salah satu teman Mary, Victor memacu kendaraannya menuju Mansion Alexander's untuk bertemu dengan Jihan di sana. Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Victor tiba di kediaman Alexander's yang mewah dan megah. Mobilnya melesat melintasi pintu gerbang yang kokoh setelah dibuka oleh seorang penjaga profesional. Menghentikan mobilnya, Victor menoleh ke samping kanan. Ia mendesah gusar melihat sosok yang sangat dicintainya itu: Jihan. Di cintai? Ah, sepertinya Victor salah. Tanpa dia sadari, cinta yang begitu besar yang ia miliki untuk Jihan kian terkikis. Posisi wanit
Kemudian, Mary segera berdiri dari lantai dengan bantuan Chiara. Sebelum keluar dari kamar mandi, ia berkumur untuk membersihkan mulutnya setelah muntah, meskipun tak ada yang keluar. “Aku bawakan sarapan untukmu. Tadi, Ibu sengaja bangun lebih pagi, katanya sekalian mau buatkan sarapan juga untukmu,” kata Chiara sambil membantu Mary duduk di kursi berbahan kayu yang terlihat tua. Disampingnya terdapat meja persegi dengan ukuran sedang tempat Chiara menaruh Tupperware yang ia bawa tadi. Mary melirik sekilas ke arah meja, tersenyum melihat Tupperware itu sebelum beralih menatap Chiara. “Terima kasih, tolong sampaikan pada Bibi. Aku jadi tidak enak karena terus merepotkan kalian, terutama Bibi,” ujar Mary. Chiara berdecak pelan sambil mengibas tangan ke udara, tak acuh. “Jangan berpikir begitu. Sudahlah. Kami sudah menganggapmu seperti keluarga. Kau tidak perlu sungkan dan merasa tidak enak begitu.” Mary mengangguk dengan senyum samar. “Ya. Apapun itu, aku sangat berterima kasih pad
*** Mary merasakan kebahagiaan yang tak terhingga saat dirinya diterima bekerja di sebuah toko bunga. Ia sangat berterima kasih kepada sahabatnya, Chiara, yang telah membantunya mendapatkan pekerjaan tersebut. Pemilik toko bunga itu pun sangat baik dan ramah terhadap Mary. Setelah dua hari yang lalu diterima, keesokan harinya ia langsung mulai bekerja di toko bunga tersebut. Mary benar-benar menikmati pekerjaan barunya, sebuah kegiatan yang menurutnya sangat menyenangkan. Ya. Setelah menjalani kehidupan yang penuh tekanan di pusat kota London, Mary memutuskan untuk mencari ketenangan di pedesaan terpencil bernama Willowbrook. Flat kecil yang disewanya terletak di sebuah bangunan tua yang memiliki karakter unik, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke ladang hijau yang luas. Ketenangan desa ini sangat kontras dengan kebisingan kehidupan kota yang selama ini menguras energinya. Dia menikmati momen-momen sederhana, seperti menyiapkan secangkir teh herbal sambil duduk di balko
“Seharusnya yang perlu kau ingatkan bukan aku, tetapi keponakanmu. Mary pergi bukan karena aku, tetapi untuk menghindari pria itu! Dan kedatanganku kesini adalah untuk menjemputnya. Menjemput milikku! Dia adalah milikku! Kau dengar? Mary Popiens adalah milikku!” “Jangan ikut campur kalau kau tidak ingin aku mengacaukan kehidupan putrimu, Jihan yang tenang. Apalagi sekarang dia sedang hamil. Tentunya kau tidak ingin gagal menyambut cucumu, bukan?” Ancaman itu sontak membuat Dominic mengatupkan rahangnya. Hanya tatapan tajam yang berbicara, menyampaikan rasa geramnya terhadap Victor. Hingga setelahnya, Dominic tak bicara lagi. Dia menyerah setelah Victor berniat melibatkan putrinya, Jihan, yang baru saja merasakan kebahagiaan. Bukan berarti Dominic tidak peduli dengan perasaan Nathan, namun Victor juga bukanlah lawan yang bisa diremehkan dengan mudah. “Wanita kemarin bagaimana, Vic? Dia belum pulang, kah?” Olso bertanya setelah beberapa saat hening. Victor menjauhkan tangannya
*** “Selamat pagi, Tuan,” sapa Daisy saat ia masuk ke dalam mobil Nathan dan duduk di kursi penumpang samping kemudi. “Pagi, Daisy. Maaf, aku membangunkanmu terlalu pagi,” kata Nathan dengan perasaan tidak enak terhadap wanita itu. Sambil mengikat sabuk pengaman, Daisy melirik sekilas ke arah Nathan. “Tidak apa-apa. Kebetulan semalam saya tidur cepat. Jadi... saya sudah cukup tidur,” ujarnya sambil melempar senyum pada pria itu. Nathan mengangguk samar. “Ayo, kita berangkat sekarang. Katanya desa itu agak jauh, kan?” “Ya, sekitar 4 jam perjalanan,” jawab Nathan. Kemudian, Nathan melajukan mobilnya, bersiap menuju desa tempat tinggal Chiara— Willowbrook, dengan harapan dapat menemukan petunjuk tentang Mary di sana. ** Menjelang jam 10 pagi, Victor menggeliat di dalam mobil. Ia membuka mata dan mengerang pelan ketika merasakan badannya pegal-pegal akibat tidur berjam-jam di dalam mobil dengan posisi yang tidak nyaman. Sejak semalam, Victor menunggu wanita pemilik flat. Hingga
“Kamu tidak mencoba menghubungi orang-orang yang dekat dengan Mary?” tanya Chiara, sambil mengedikkan bahu. “Mungkin saja kamu kenal salah satunya selain aku.” “Aku tidak banyak mengenal mereka,” jawab Nathan dengan nada lesu. Sementara itu, di dalam rumah, Mary tampak cemas. Wanita itu melangkah mondar-mandir, berpikir, ‘Tidak kusangka Nathan bisa sampai ke tempat ini. Semoga dia belum sempat melihat keberadaanku. Ya Tuhan... kenapa aku merasa tidak ada satu tempat pun yang aman? Lantas, ke mana lagi aku akan pergi?’ bisik Mary dalam hati. Beberapa saat kemudian... Setelah selesai berbicara dengan Chiara, Nathan dan Daisy pamit. Mereka pergi tanpa mendapatkan informasi apapun tentang Mary. Di sisi lain, Mary merasa keberadaannya di desa ini sudah tidak aman lagi. Namun, Chiara dan Ibunya berusaha menenangkan Mary. Mereka mengingatkan wanita itu bahwa ada calon anak yang harus ia ingat dan diutamakan keselamatannya. Pergi meninggalkan desa ini hanya karena merasa tidak aman bukan
Selesai membayar barang belanjaannya, Mary bergegas keluar dari toko. Ia memperhatikan awan yang mulai gelap dan mendung. “Sepertinya akan turun hujan,” gumam Mary pelan sambil melangkah cepat menuju flatnya. Di sisi lain, Victor sengaja menghentikan mobilnya dengan jarak agak jauh sambil memperhatikan arah Mary pulang. “Ah, ternyata tempat tinggalnya di sana?” katanya dengan mata tajam memandang lurus pada sosok Mary. Masih diam di dalam mobil, Victor melihat Mary masuk ke dalam sebuah flat. Kemudian, ia membuka sabuk pengaman dan segera turun dari mobil setelah mengambil ponsel dan dompetnya yang tergeletak di atas jok di sampingnya. Dengan perasaan lega, Victor melangkah lebar dan kini ia berdiri di depan pintu flat yang dihuni oleh Mary. Tok! Tok! Tok! Di dalam, Mary baru saja menyimpan plastik susu hamil yang ia beli tadi di toko ke atas meja. Ia berniat untuk memindahkannya ke tempat khusus susu. Namun, ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu, gerakan tangannya terhen
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing