Menapaki lantai ruang tamu sepulang bekerja sore itu, Dimitri disambut banyak orang. Mirna ternyata tidak bohong saat menelepon dan berkata ada ayah dan ibu Maudi di rumah mereka.
"Sore, Om, Tante." Menyalami mereka, Dimitri menyapa sekenanya. Otak mulai mengatur segala hal untuk kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hadir.
Pertemuan keluarga inti begini, biasanya untuk sesuatu yang serius.
"Pantas Maudi betah di sini. Sulungmu ini tampan sekali, Mir," puji ibunya Maudi.
Demi sopan santun dan pencitraan, Dimitri mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Maudi. Gadis itu melempar senyum malu padanya, dibalas anggukkan kaku.
Para orang tua di sana bertukar kabar dan cerita sebentar, Dimitri menanti inti bahasan dengan tak sabar. Dua lengan di atas paha, jemarinya bertaut. Sesekali menjawab pertanyaan Handoko--ayah Maudi-- atau ikut tersenyum saat diberi candaan.
"Saya seben
Melepas embusan napas kasar dari mulut, Dimitri yang duduk di sudut toko memutar bola mata saat melihat nama yang muncul pada layar ponsel yang bergetar. Tampaknya, Maudi adalah orang yang gigih. Panggilan-panggilan sebelumnya diabaikan, gadis itu masih tak mau menyerah.Memang sedang istirahat, lelaki itu memutuskan menggeser tombol hijau di layar."Kamu sibuk, ya?" Suara dari seberang terdengar antusias dan lega."Iya." Dimitri membawa pandangan berkeliling. Mengamati karyawan yang bertugas, juga para pelanggan yang menyempatkan diri melempar senyum ke arahnya."Untuk pertunangan kita, aku jadi pakai EO, ya? Kata Tante, nanti kalau kita yang tangani, takutnya keteter."Si pria memijat pangkal hidung. Baru sehari sejak perbincangan soal pertunangan. Tanggal saja belum ditentukan dan Maudi sudah merepotkan diri soal acara dan segala macamnya."Kita masih harus membicarakan
Satu tangan memegang kemudi, tangan yang bebas Dimitri gunakan untuk meraih jemari Sera. Gagal. Perempuan itu mengelak, semakin merapatkan diri ke pintu mobil. Terus menatapi ke luar jendela, sikap tubuh yang Dimitri bisa baca sebagai ekspresi cemas.Selepas pernyataan cinta di tempat kelewat tidak romantis tadi, sebagai permintaan terakhir, laki-laki itu membawa Sera ke rumah. Bukan kediaman Mirna, melainkan rumahnya sendiri.Sempat menolak dan melontarkan berbagai alasan yang terdengar lucu, Sera berhasil ia buat ikut setelah beberapa pemaksaan dan pengancaman. Sera tetaplah Sera, keras kepala dan suka membantah."Kita mau ngapain ke sini, Pak?" Dengan nada suara persis bagai anak kecil yang akan segera menangis, perempuan itu bertanya saat mobil terparkir di halaman rumah itu.Tidak menyahut, si pria turun. Membuka pintu di samping Sera, meraih lengan kecil itu untuk digenggam. Menuntun langkah masuk, m
Sepuluh. Sera menghitung dalam hati sudah berapa banyak toko pakaian yang ia dan Mirna datangi. Di toko kesepuluh ini, Mirna kembali memintanya mencoba beberapa pasang pakaian.Ini bukan hari libur kerja, tetapi sejak pukul sembilan tadi ia dan Mirna sudah mengelilingi pusat perbelanjaan. Ibunya Dimitri ini meminta izin pada anaknya atas nama Sera, demi bisa berbelanja.Yang berbelanja Mirna, yang dibelanjakan Sera. Semua pakaian dan sepatu yang dibeli sejak tadi semuanya ukuran Sera dan memang untuk perempuan itu.Sebenarnya sudah berusaha menolak. Pun, alasan yang Mirna katakan untuk semua ini--ingin membelikan saja-- tak bisa diterima. Namun, Sera bisa apa saat wanita yang seumuran dengan ibunya itu merajuk dan menampilkan raut sedih.Jadilah mereka di sini, berkeliling, Mirna menghabiskan uang untuk Sera. Maudi baru akan datang 10 menit lagi. Menyusul karena mengaku tidak enak badan sejak pagi.
Mirna itu seorang ibu. Ia berpengalaman soal asam garam dunia dan sudah berhasil membesarkan dua anak. Bukan sombong, tetapi sudah pantas wanita itu mahir membaca situasi dan menebak apa yang terjadi di sekitar, melalui pengamatan.Ikut pulang satu mobil dengan Dimitri dan Sera, wanita itu diam-diam kembali memerhatikan gerak-gerik dua anak manusia itu. Jelas ada yang berbeda antara mereka yang duduk di kursi depan tersebut. Tak biasanya Dimitri bersikap peduli bahkan kelewat cemas pada seseorang, seperti yang dilihat di rumah sakit tadi.Ekspresi memang tenang, tetapi Mirna seolah bisa menangkap kesan lain dari cara putra sulungnya menatap Sera dan terus-menerus menoleh khawatir pada perempuan itu, layaknya kini.Mirna makin bingung. Bisa mengundang masalah bila semua ini diteruskan tanpa kejelasan. Sebenarnya sudah jelas, ia hanya tinggal menunggu Dimitri mengambil sikap.Ia s
Duduk bersisian di sofa ruang tamu rumah Maudi, Mirna dan Dimitri menampakkan dua ekspresi yang bertolak belakang. Satunya menegakkan punggung dengan dagu terangkat dan raut wajah tenang. Sementara si ibu terlihat beberapa kal membasahi bibir dan menautkan kesepuluh jemari. Ketegangan milik Mirna juga terpancar dari wajah kedua orang tua Maudi. Tiba-tiba dikunjungi calon besan dan menantu, sudah pasti ada hal penting. Mereka menanti pembicaraan dibuka, lalu saat Dimitri buka mulut, mengutarakan sebagian maksud, hening sesudahnya terasa mencekam dan menusuk. "Maaf karena tidak mengatakan hal ini dari awal. Saya bersalah karena sudah mempermainkan perasaan Maudi demi menghindari omelan dan paksaan Mama. Saya tidak bersedia menerima perjodohan ini, Om, Tante, Maudi." Wajah keluarga Maudi serempak memucat dengan sorot kecewa di mata. Tegas, Dimitri melanjutkan. "Saya da
"Saya ... saya mau resign, Pak. Saya akan berhenti kerja, hari ini."Di tengah kebingungannya, Dimitri mengurai pelukan. "Kamu dapat pekerjaan baru di mana? Kenapa tiba-tiba?" Pria itu semakin tak paham ketika Sera tak sudi menatap wajahnya."Apa hubungannya uang ini sama kamu resign?"Dimitri berusaha berpikiran jernih. Mungkin, Sera memang sudah mendapat pekerjaan baru. Tidak masalah bila perempuan itu tak bekerja di rumah Mirna lagi. Toh, nanti, setelah mereka menikah, mereka akan tinggal di rumah Dimitri.Tidak menjawab, Sera mengusapi wajah yang basah. "Saya pamit, Pak." Perempuan itu meninggalkan ruang tamu, hendak mengumpulkan barang-barang.Ditinggal begitu saja, jelas Dimitri semakin kebingungan. Ada apa sebenarnya? Mengapa tiba-tiba sekali Sera melakukan ini semua?Tak lama, Mirna mendatangi. Sama seperti dirinya, si ibu juga kebingungan akan pe
Sudah lewat tengah malam, di kamarnya, Sera yang duduk memeluk lutut di salah satu sudut masih betah memperdengarkan isakan, meski bulir air mata tak lagi turun.Habis sudah air mata perempuan itu menangisi semua kesedihan yang ada. Tak ada eskpresi di wajah lelahnya. Mata yang bengkak itu menyiratkan kekosongan juga luka yang mendera.Jelas, kilasan peristiwa beberapa hari lalu menari-nari di pelupuk mata. Lengkap dengan semua makian dan hinaan yang kembali menyayat sanubari.Hari itu sekitar pukul sepuluh pagi, Sera baru tiba di rumah sang ibu, karena diminta Tina untuk segera pulang. Suatu keadaan yang belum apa-apa sudah membuat ia panik.Sera diminta duduk oleh Tina yang wajahnya sudah berderai air mata. Tak ada Theo atau Hares yang bisa ditanyai perihal apa yang sudah terjadi, si ibu sempat hanya menangis selama setengah jam, tak mau menjelaskan apa-apa.Barulah ketika sebuah kotak p
Semua terulang lagi. Dimitri yang sempat uring-uringan karena Sera yang berhenti bekerja, kembali menjadi pemandangan lagi hari ini. Bedanya, kali ini lebih parah.Sepi yang menyesakkan menghuni tiap sudut di rumah besar Mirna. Mengusik setiap penghuninya dengan sesak yang terlukiskan. Bukan hanya kehilangan asisten rumah tangga yang kompeten, tetapi sekaligus calon menantu yang selama ini diidam-idamkan.Patah hatinya Dimitri menjadi patah hari seluruh penghuni rumah. Mirna yang harapnya nyaris jadi kenyataan, Dante yang tersadar pada perasaan bertepuk sebelah tangannya, bahkan Bu Tesa dan Sania yang sempat ikut merasakan kebahagiaan.Semua ikut merasa sedih, tetapi tetap saja luka Dimitri yang paling parah. Jatuh cinta yang pertama, belum dimulai, sudah harus diakhiri. Parahnya, ia tak bisa berjuang, sebab diberi ancaman paling mengerikan.Setiap hari, setelah Sera pergi, pria itu akan menghuni kamar di
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."