Dwiharis Bibrata, 14 tahun. Hidup berdua dengan ayahnya di sebuah ruko berlantai dua. Orang tuanya bercerai sejak Haris masih kelas 3 Sekolah Dasar, mama dan kakaknya pergi meninggalkan Haris dan ayahnya berdua di ruko. Selama bertahun-tahun Haris hidup tanpa sosok seorang ibu, ia belajar untuk mandiri dan kuat. Terlebih rumahnya berdampingan dengan Panti Asuhan, sehingga setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang hidupnya lebih menyedihkan darinya.
Haris mengidap Ombrophobia atau phobia pada hujan. Mungkin karena trauma yang ia alami saat itu. Ayah dan mamanya bertengkar hebat tepat saat hujan dan petir bersahutan. Esok paginya, ia tak lagi menemui mama dan kakaknya di rumah. Ada luka yang ia simpan sendiri dan tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Haris terlihat kuat, terlihat selalu ceria. Namun, saat turun hujan, ia selalu menangis sendirian di dalam kamarnya, berkeringat dingin dan ketakutan. Hujan selalu membuatnya takut kehilangan. Bertahun-tahun Haris mencoba untuk menghadapi traumanya, akan tetapi tidak pernah bisa. Ia menghadapi phobianya seorang diri."Haris, bisa tolong antarkan makanan ini ke Panti?" sebuah suara mengagetkan Haris yang sedang termenung menatap buku bacaannya.Haris menoleh, ayahnya sudah berdiri di pintu kamarnya yang terbuka. Pria yang baru beranjak ABG itu berdiri, mendekat dan meraih kresek yang ayahnya bawa."Sepertinya mau hujan, jangan lupa bawa payung, ya!" perintah Pak Brata, ayah Haris, pelan.Haris terdiam, ia menolehi jendela kamarnya. Benar, di luar mendung dan gelap."Ayah saja deh yang antar, Haris mau belajar.""Ah, cuma sebentar, udah buruan sebelum makanannya dingin!" potong Pak Brata cepat, lalu berlalu dari kamar putranya.Haris diam terpaku, ia memandang kresek hitam di tangannya. Ragu akankah pergi atau duduk lagi di kursinya. Haris memejamkan mata galau. Ia menarik nafasnya dalam, dan menghembuskan pelan. Buru-buru ia meraih jaketnya dan setengah berlari turun dari lantai dua ruko.Di luar sudah mulai berangin, Haris mendongak mengawasi awan hitam yang bergelayut di langit. Ia mempercepat langkahnya. Suasana hatinya memburuk bila melihat mendung, ia benci hujan.Lekas Haris membuka pintu Panti dan melongok ke dalam. Ia mencari Bu Shila atau Bu Rahmi atau siapapun, yang bisa ia titipi makanan ini agar ia bisa segera pulang. Namun, tak ada satu orang pun yang ia jumpai di dalam Panti.Haris melangkah masuk, ia mengawasi setiap ruangan yang sepi. 'Ke mana mereka??' batinnya heran.Lamat-lamat Haris mendengar suara anak-anak kecil di ruang belakang. Sepertinya mereka sedang bernyanyi. Haris mempercepat langkahnya.Benar saja, semua anak-anak berkumpul di Aula. Begitu melihat Haris membuka pintu, semua terdiam dan memandangnya.Bu Shila berdiri, tersenyum dan mendekat."Ada apa Haris??" tanyanya halus.Haris terhenyak, lalu menyodorkan kresek hitam yang ia bawa."Apa ini?? Oh, makanan, terima kasih banyak," ucap Bu Shila halus.Haris mengangguk. "Sama-sama, Bu Shila, saya permisi dulu," pamit Haris sebelum kemudian berlalu.Secepat kilat Haris berbalik, setengah berlari ia keluar dari Panti. Di luar mulai terdengar suara petir, dada Haris berdegup kencang mendengarnya. Ia membuka pintu depan Panti dan berlari. Namun, larinya terhenti saat melihat gadis kecil yang ia kenal berdiri mematung di pinggir jalan.Brisya.Haris menghembuskan nafasnya kesal, kenapa ia harus melihat Brisya di saat ia sendiri harus cepat pulang. Brisya menolehinya. Cukup lama mereka saling bertatapan."Kenapa kamu di sini? Sebentar lagi hujan badai, masuk gih!!" perintah Haris menguatkan hatinya yang mulai ketakutan.Brisya membuang muka, ia menatap jalanan di depannya.Blarrr.Haris memejamkan matanya cepat, matanya mulai panas dan memerah. Petir.Lekas Haris menarik tangan Brisya agar mengikutinya dan membawa teman kecilnya pulang. Percuma menyuruh Brisya masuk ke dalam Panti, dan memanggil Bu Shila hanya akan membuang waktu. Ia takut hujan keburu turun."Loh, Haris? Ini siapa?" tanya Pak Brata heran, melihat gadis kecil berdiri di belakang Haris dan membuntutinya.Haris menolehi Brisya yang mengekor di belakangnya dan mendengus."Tolong telefon Bu Shila, Yah, bilang Brisya ada di sini," sahut Haris lesu, lalu naik ke lantai 2 menuju kamarnya. Brisya masih membuntutinya pelan.Saat Haris membuka pintu kamarnya, hujan mulai turun di luar. Jendela kamarnya berembun. Sesekali kilat dan petir bersahutan.Mata Haris mulai panas lagi, dadanya bergemuruh sedih. Ia benci hujan. Rasanya ia ingin pindah ke negara yang tidak memiliki musim hujan. Pelan, ia beringsut naik ke tempat tidur, ia mulai meringkuk menahan air matanya seperti hari-hari dengan hujan sebelumnya.Brisya kecil masuk ke dalam kamar Haris yang hangat. Ia menolehi semua isi kamar Haris yang gelap. Memicingkan mata mencari sosok yang tadi mengajaknya ke sini. Brisya menemukan Haris meringkuk di tempat tidur, separuh badannya tertutupi oleh selimut. Brisya mendekat, ia terbelalak melihat laki-laki yang ia kenal itu menangis.Brisya penasaran kenapa temannya itu menangis??? Apa Brisya berbuat salah? Mami biasanya akan menangis bila Brisya melakukan kesalahan.Ragu tangan mungil Brisya menyentuh kepala Haris, mengusap rambutnya halus. Haris yang fokus menulikan telinga sontak tersentak, ia mendongak dan menemukan Brisya berdiri di samping tempat tidurnya. Haris lupa belum menutup pintu kamarnya tadi."Maafin, Briy, Kakak," ucap Brisya sedih, sambil tetap mengelus rambut Haris seperti yang selalu maminya lakukan saat Brisya sedih.Haris beranjak duduk, ia kaget mendengar Brisya bersuara. Selama ini Brisya selalu diam membisu. Gadis kecil itu tidak pernah bicara dengan siapapun.Pelan, Haris menarik tangan kecil Brisya. "Bukan salah kamu, Briy, maaf sudah membuat kamu ikut bersedih," cetus Haris mengusap air matanya dan berusaha tersenyum.Brisya mengawasi Haris dan ikut tersenyum.2 jam berlalu, hujan masih belum berhenti di luar. Haris duduk bersandar di sisi tempat tidurnya. Sementara Brisya berdiri mematung di jendela, mengawasi jalanan yang sepi dan mulai banjir.Haris ingat cerita Bu Shila bahwa Brisya ditemukan sendirian di depan Panti saat sedang terjadi badai. Entah apa yang Brisya rasakan, mungkin ia rindu orang tuanya, mungkin juga ia sedih melihat hujan karena ia dibuang saat hujan badai. Haris jadi merasa penderitaannya tidak ada apa-apanya dibanding Brisya kecil. Brisya harus hidup sebatang kara, dibuang dan tidak memiliki orang tua.Pelan Haris beranjak dari duduknya, ia mendekat ke arah jendela. Brisya menolehinya dan tersenyum. Haris sangat sedih melihat senyum itu. Anak enam tahun seusia Brisya harus menanggung semuanya sendiri."Briy, kenapa selama ini kamu gak pernah bicara?" tanya Haris penasaran."Briy pengen pulang, Kakak," sahut Brisya lirih, memandang hujan dari balik jendela.Haris membuang nafasnya sesak, andai ia bisa membantu menemukan di mana orang tua Brisya."Briy, kangen mamanya, ya?" tanya Haris sedih, seolah-olah ia sedang bertanya pada dirinya sendiri.Brisya diam tak menjawab, ia masih mematung.Toktoktok."Haris, Bu Shila mau menjemput anak itu, " panggil Pak Brata di balik pintu."Iya, Ayah, Brisya ada di sini," sahut Haris cepat, menolehi Brisya yang masih diam mematung.Tak lama pintu kamar Haris dibuka, Bu Shila masuk dengan tergopoh-gopoh. Lalu menarik Brisya agar mendekat ke arahnya."Maaf ya, Haris, jadi merepotkanmu, lain kali tidak akan terjadi lagi.""Tidak apa-apa, Bu Shila, saya suka Brisya di sini," potong Haris cepat, Brisya mengawasinya sambil tetap digandeng Bu Shila."Baik, maaf sekali lagi. Pak Brata, saya pamit dulu." Bu Shila membungkuk sopan dan menggandeng Brisya pergi.Haris tersenyum dan melambaikan tangan pada Brisya. Bu Shila terlonjak kaget saat Brisya membalas lambaian tangan itu. Ia penasaran apa yang terjadi dengan gadis kecil yang ia temukan 3 minggu lalu ini. Mengapa ia menjadi lebih akrab dengan Haris, dibanding dengan dia yang setiap malam tidur bersamanya?Di balik jendela, Haris mengawasi Bu Shila dan Brisya yang berjalan tergopoh-gopoh di bawah payung. Andai Brisya kecil adalah adiknya, mungkin ia tidak akan sesedih ini melihat hujan.Sejak kejadian hujan bersama Haris, Brisya kecil tak lagi menutup diri. Ia mulai bicara pada siapapun dan membuka diri pada semua orang yang berada di Panti.Bu Rahmi dan Bu Shila heran dengan perubahan Brisya yang tiba-tiba, namun mereka bersyukur karena pada akhirnya Brisya mau membaur dengan anak- anak yang lain.Haris pun hampir tiap hari datang ke Panti dan bermain dengan anak-anak yang lain. Meski sudah kelas 8 namun Haris masih sedikit kekanakan. Setiap sepulang sekolah saat tidak ada les, Haris selalu menyempatkan bermain di Panti dan menemui Brisya, meski hanya sekedar untuk memberinya permen coklat atau mengajaknya bermain."Kakak, mana Barbie?" tanya Brisya saat Haris sedang asyik bermain puzzle.Haris terbelalak dan menepuk keningnya keki, ia ingat dulu pernah menjanjikan boneka barbie pada Brisya."Maaf, kakak lupa. Besok ya, sepulang Kakak dari sekolah," sahut Haris tak enak hatiBrisya tersenyum dan mengangguk, lalu kembali sibuk dengan mainannya.Esoknya.Haris sengaja
"Briyyyy, sarapan dulu!" teriak Bu Shila dari ruang makan.Brisya menarik tasnya cepat dan berlari keluar kamar."Briy udah telat, Buk. Nanti sarapan di sekolah aja!" teriak Brisya tak kalah kencang sambil berhambur keluar dari Panti.Bu Shila mengawasi Brisya yang sudah pergi dengan takjub, hampir setiap hari telat berangkat ke sekolah dan tidak ada perubahan, bahkan hingga detik-detik terakhir anak itu lulus SMA.Beruntung jarak sekolah dan Panti tak begitu jauh, jadi Brisya hanya perlu berlari kencang dengan kecepatan 100 km/jam untuk sampai di sekolah tepat sebelum bel berbunyi.Dan sudah tiga tahun keahliannya itu teruji, ia tak pernah sekalipun telat tiba di Sekolah. Brisya selalu sampai tepat waktu saat bel berbunyi."Hai, Briy, selamat pagi," sapa suara hangat di belakangnya.Aji sudah berdiri dan tersenyum menatap Brisya, saat gadis itu menolehinya."Hai, Ji. Selamat pagi juga!" balas Brisya riang. Melihat wajah ganteng Aji di pagi hari menjadi moodbooster tersendiri untuknya
"Sudah tidur, Briy??" Sebuah suara lembut mengagetkan Brisya yang sedang serius membaca buku diktatnya.Brisya akhirnya di terima di Universitas Negeri melalui jalur PMDK di jurusan Akuntansi."Belum, Ibuk. Brisya masih belajar," sahut Brisya sambil menutup buku diktatnya dan beranjak menghampiri Bu Shila yang sudah duduk di tempat tidurnya."Ibu capek, ya? Mau Brisya pijat?" tanya Brisya melihat Bu Shila yang terlihat lelah.Bu Shila menggeleng dan menatap salah satu putri Panti yang paling ia sayang."Ibu mau ngasih sesuatu sama kamu," ucap Bu Shila lirih, merogoh saku dasternya dan menyodorkan sebuah kalung berliontin inisial huruf "B"."Ini milikmu, Brisya kecil saat pertama kali tiba di rumah ini memakainya," lanjut Bu Shila lugas, sambil meletakkan kalung itu di telapak tangan Brisya."Apa kamu ingat sesuatu??" tanya Bu Shila penasaran saat Brisya hanya tertegun melihat kalung itu.Brisya mengawasi Bu Shila dan menggeleng. Ia bahkan lupa pernah memakai kalung ini di lehernya."Y
Hari berlalu seperti biasa, tidak ada sehari pun dilalui Brisya tanpa Aji kecuali saat mereka sedang libur kuliah.Sejak kejadian first kiss itu, Aji selalu melakukannya lagi dan lagi dan tak pernah bisa Brisya tolak. Namun di balik sifat Aji yang kasar, ia adalah sosok yang penyayang. Mungkin karena Aji adalah putra tunggal dari keluarga kaya raya maka segala yang ia mau harus ia dapatkan. Ia menjadi egois dan brutal saat keinginannya tak terpenuhi."Aku laper, Briy, kita berhenti makan dulu, yuk!" pinta Aji sambil membelokkan mobilnya ke sebuah restoran.Usai memarkir mobilnya, Aji segera berhambur keluar dan membukakan pintu mobil untuk Brisya."Yukk!" ajaknya halus seraya menggandeng Brisya masuk.Brisya hanya menurut dan mengikuti Aji yang langsung memilih tempat duduk untuk mereka berdua. "Kamu mau makan apa, Briy?" tawar Aji saat waitress membawakan menu."Aku nggak lapar, kamu aja yang makan ya, aku minum aja.""Kan, kamu, kan! Nggak usah diet, kamu sudah sekurus tiang listri
Matahari sudah hampir tinggi. Brisya sedang membereskan sisa piring makan anak-anak Panti yang berantakan, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.Siapa lagi yang menelfonnya kalo bukan Aji. Hanya nomor dia yang ada di ponsel Brisya."Halo?" sapa Brisya cepat."Halo, Briy, hari ini ke mana?"Brisya meletakkan piring yang ia tenteng di meja karena kerepotan membawanya dengan satu tangan. "Hari ini aku bersih bersih Panti. Ada apa, Ji?" tanya Brisya penasaran."Hmm gapapa, sih. Aku pengin ngajak kamu jalan sebenernya, aku mau cari oleh-oleh buat oma. Hari Senin besok aku berangkat.""Yahhh, besok aja gimana?""Besok aku mulai packing, Briy," sahut Aji kecewa. "Aku pengin puas-puasin bareng kamu hari ini, besok aku udah sibuk," lanjutnya tak bersemangat.Brisya mendesah sedih. "Yaudah, 2 jam lagi jemput aku, ya? Aku mau lanjutin bersih-bersih Panti dulu dan nyelesain ini secepatnya.""Asyikkk, okey! Aku jemput kamu jam 10, ya!!"Brisya tersenyum lega mendengar suara itu ceria lagi. "Okey, bye!
"Dia Haris! Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah," lanjut Bu Shila dengan penuh semangat.Jantung Brisya seolah berhenti berdetak, kakak yang tinggal di ruko? Kakak yang dulu pergi dan membuatnya kesepian? Jadi, lelaki yang sedari tadi ia panggil 'Om' itu adalah kakak Haris?!Tanpa rasa canggung, Haris merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Brisya. Namun Brisya tak bergeming. Entah kenapa hatinya jadi sakit, seperti teriris-iris. Alih-alih bahagia karena bisa berjumpa dengan kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini Brisya malah merasa kesal dan marah. Saat Brisya masih diam tak bergerak, Haris akhirnya memilih untuk mendekat dan memeluk gadisnya dengan erat. Brisya sampai menahan bernafas karena kaget. Pelukan ini, ya, pelukan ini yang selama ini ia rindukan. Pelukan yang berbeda dengan milik Aji. Brisya masih tak bergerak, tubuhnya membeku dalam dekapan Haris. Setelah cukup lama berpelukan, Haris lantas mengurai dekapannya dan menangkup wajah mungil Brisya dengan kedua tang
Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal. Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus. Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang. Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya i
Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca