"Dia Haris! Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah," lanjut Bu Shila dengan penuh semangat.
Jantung Brisya seolah berhenti berdetak, kakak yang tinggal di ruko? Kakak yang dulu pergi dan membuatnya kesepian? Jadi, lelaki yang sedari tadi ia panggil 'Om' itu adalah kakak Haris?!Tanpa rasa canggung, Haris merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Brisya. Namun Brisya tak bergeming. Entah kenapa hatinya jadi sakit, seperti teriris-iris. Alih-alih bahagia karena bisa berjumpa dengan kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini Brisya malah merasa kesal dan marah.Saat Brisya masih diam tak bergerak, Haris akhirnya memilih untuk mendekat dan memeluk gadisnya dengan erat. Brisya sampai menahan bernafas karena kaget. Pelukan ini, ya, pelukan ini yang selama ini ia rindukan. Pelukan yang berbeda dengan milik Aji. Brisya masih tak bergerak, tubuhnya membeku dalam dekapan Haris.Setelah cukup lama berpelukan, Haris lantas mengurai dekapannya dan menangkup wajah mungil Brisya dengan kedua tangannya yang besar."Hai, adik kecilku," sapanya lembut, tatapannya tajam dan teduh.Brisya terhipnotis. Mata yang tajam, hidung yang tinggi dan tegas, bibir seksi berwarna merah dan bulu-bulu halus di sepanjang rahang laki-laki ini membuat Brisya terpana takjub. Tanpa sadar ia menelan saliva.Sesaat, Brisya seperti kembali ke masa kecilnya, wajah ini yang biasa ia lihat setiap hari, sejak menginjakkan kaki di Panti. Wajah yang kemudian menghilang dan kembali dalam wujud yang berbeda karena mereka telah dewasa. Selama ini Brisya menganggap Aji adalah laki-laki terganteng yang ia lihat, akan tetapi sekarang dihadapannya berdiri laki-laki lain yang lebih segala-galanya dari Aji."Aku ganteng banget, ya? Sampe kamu terpana begitu," desis Haris tersenyum.Brisya mendengus dan menepis tangan Haris pelan. Ia mundur beberapa langkah untuk menetralkan jantungnya yang berdegup kencang."Oiya, lupa, kamu sudah punya pacar, sih!" lanjut Haris terkekeh hingga membuat Bu Shila juga tertawa.Mendengar sindiran halus itu, Brisya jadi merona malu, lekas ia berlari masuk ke dalam dan mengurung diri di kamar. Tangannya terangkat perlahan menyentuh dadanya yang berdetak hebat. Belum pernah ia merasakan detak seperti ini sebelumnya. Dengan rgu, Brisya mendekat ke cermin dan berkaca, wajahnya memerah."Ganteng banget, sih!" puji Brisya gemas.Aroma parfum Haris masih menempel di tubuh Brisya. Ia pun masih terbayang-bayang oleh hangatnya pelukan tadi. 16 tahun terpisah dan dipertemukan lagi secara tiba-tiba seperti ini membuat Brisya seperti sedang bermimpi. Haris datang! Dia benar-benar menepati janjinya untuk kembali mencari Brisya.******************16 tahun berlalu. Haris akhirnya bisa kembali lagi ke Indonesia. Usai lulus SMP, dia melanjutkan sekolahnya di luar negeri. Tepatnya di Mesir. Bukan tanpa alasan Haris memilih negeri gurun pasir itu, ia sengaja memilih pergi ke sana karena di sana jarang hujan. Haris masih membenci hujan. Terlebih usai kematian ayahnya, ia jadi semakin membenci hujan dan mamanya.Haris menyusuri setiap sudut ruko yang dulu pernah ia tinggali. Beberapa hari yang lalu begitu tiba di Indonesia, dia sudah menghubungi seseorang untuk membersihkan rukonya. Ia sengaja tidak mau tinggal dengan mama dan kakaknya karena Haris masih sakit hati bila mengingat penghianatan mereka pada mendiang ayahnya.Saat sampai di depan pintu kamar ayahnya, Haris berhenti. Ia tak sanggup membuka kamar itu. Bayangan terakhir yang muncul di benaknya adalah saat polisi-polisi itu menghadangnya masuk ke kamar ayahnya. Kamar di mana ayahnya sudah ditemukan meninggal karena over dosis.Haris mendesah sedih, ia beranjak mundur dan naik ke lantai 2 menuju kamarnya sendiri. Beberapa perabotan sudah terlihat lusuh tak terawat, besok ia akan ke toko untuk membeli yang baru dan menggantinya.Begitu masuk ke kamar, aroma khas yang ia rindukan seketika terendus dan menghangatkan tubuhnya. Haris tersenyum lega, ia menghampiri tempat tidurnya dan merebahkan diri. Sekarang tempat tidur ini terlihat lebih sempit untuknya yang semakin jangkung dan gendut. Haris berguling-guling di kasurnya dengan senang. Tidak ada yang lebih ia rindukan selain tiduran di kamar ini dan ... Brisya.Pikiran Haris menerawang sejenak. Seperti apa dia sekarang? Semoga ia masih berada di Panti agar Haris tak kerepotan mencarinya. Adik kecil mungil yang lucu, masihkah ia selucu dulu? Haris tersenyum gemas, ia memejamkan matanya yang mulai mengantuk. Perjalanan dari kota tempat tinggal mamanya lumayan jauh, Haris harus menyetir nonstop selama 4 jam. Ia lelah.Kringgg kringgg.Haris menggeliat merenggangkan tulang-tulangnya, ponselnya berdering sedari tadi. Entah siapa sepagi ini sudah mengganggu tidurnya. Haris meraba lantai untuk mencari ponsel yang semalam ia letakkan sembarangan.Vega is calling ...Dengan lemas Haris meletakkan lagi ponselnya, ia sedang malas diganggu. Kembali Haris memejamkan mata dan menutup telinganya dengan bantal agar tak mendengar bunyi telefon itu lagi.Namun sesaat Haris tersentak, ia harus segera ke Panti. Buru- buru Haris beranjak duduk dan melempar bantal yang menutupi kepalanya. Lekas ia berdiri dan melangkah cepat ke kamar mandi. Mengguyur badannya yang pucat dan berisi dengan air dingin.Di luar, Haris sudah mendapati sebuah mobil SUV terparkir di depan Panti saat ia melangkah santai menuju ke sana. Mesinnya menyala, sepertinya sedang menunggu seseorang.Dengan ragu, Haris melangkah masuk ke halaman dan mendapati Bu Shila berdiri di pintu sambil melambaikan tangan pada seorang gadis yang berjalan tergopoh-gopoh sambil merogoh isi tasnya. Haris berdiri mematung, gadis itu terus berjalan menuju ke arahnya sambil menunduk dan tak menyadari bila ada Haris berdiri di hadapannya.Brukkkk. PrakHaris tersenyum kecil, sudah ia duga bila gadis itu akan menabraknya. Ponsel gadis mungil itu terlempar jauh di depannya. Sebuah ponsel mahal keluaran terbaru. Haris membungkuk mengambil ponsel itu dan mengawasi gadis tadi yang memejamkan mata. Mungkin benturan tadi membuatnya pening."Kamu gapapa?" tanya Haris sambil menyodorkan ponsel tadi.'Apakah dia Brisya?' batin Haris bertanya-tanya sambil memperhatikan gadis di depannya, tapi gadis ini kurus sekali. Brisya kecilnya dulu gendut dan lucu.Gadis itu menunduk dan mengangguk sopan. "Iya gapapa, maaf tadi saya nggak ngeliat Om berdiri di situ."Haris terhenyak, Om??Setua itukah dia??Gadis itu lekas berlalu sambil berlari dan masuk ke dalam mobil SUV tadi.'Siapa dia?' batin Haris penasaran. 'Apa dia donatur? Dilihat dari ponsel dan mobil yang ia naiki sepertinya dia bukan orang biasa'. Haris masih mengawasinya sampai mobil itu berlalu."Ada yang bisa saya bantu??" tanya Bu Shila mengagetkan Haris. Bu Shila sudah berdiri di hadapannya."Bu Shila, masih ingat saya?" tanya Haris cepat.Bu Shila mengawasi Haris dari ujung rambut sampai ujung kaki."Haris??" Bu Shila terbelalak seakan tak percaya.Lekas Haris mengangguk dan berhambur memeluk wanita seusia mamanya itu."Ya tuhan, kamu sebesar ini sekarang?" lanjut Bu Shila masih terheran-heran, mengurai pelukannya dan mengawasi Haris dengan takjub.Berulang kali Haris mengangguk dan tersenyum penuh haru. Ia bersyukur masih ada yang mengingatnya." Yuk, masuk, bu Rahmi pasti seneng liat kamu datang!" tarik Bu Shila cepat, Haris menurut dan mengikuti Bu Shila masuk ke dalam Panti. **************************Haris mengawasi jam tangannya entah untuk yang ke berapa ratus kali. Jam 10 malam, dan Brisya belum juga pulang.Sengaja Haris menunggu Brisya karena ia bahkan belum sempat menyapanya. Gadis yang ia tabrak tadi siang ternyata adalah Brisya. Tadi Bu Shila dan Bu Rahmi bercerita banyak tentang Brisya dan Panti selama Haris pergi. Brisya yang tumbuh menjadi gadis manis dan riang membuat Haris penasaran ingin segera memeluknya. Adik kecilnya yang sudah beranjak dewasa dan mempesona.Lamunan Haris bubar saat sebuah mobil SUV yang sama seperti tadi pagi berhenti tepat di depan Panti. Haris melirik jam tangannya, 22.35 WIB. Apa setiap hari Brisya pulang selarut ini?Lama Haris menunggu Brisya turun, namun tak kunjung muncul. Kaca mobil itu gelap, Haris tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. 5 menit... 10 menit... dan pintu mobil itu terbuka. Brisya turun sambil menyibak rambutnya yang panjang.Dada Haris berdesir hangat. Ia rindu sekali. Meski Brisya sekarang sudah tumbuh tinggi dan cantik, dimata Haris ia tetaplah adik kecilnya yang imut dan menggemaskan.Brisya berjalan mendekat. Mengawasi Haris yang juga sedang mengawasinya."Permisi, Om," ucap Brisya sambil menunduk sopan dan membuka pintu.Haris tertawa dalam hati, Om lagi?? Setua itukah ia dimata Brisya??Brisya masuk ke dalam Panti dengan terburu-buru, Haris mengikuti di belakang. Sesekali Brisya menoleh dan membuang muka cepat saat ia sadar Haris sedang membuntutinya. Haris tersenyum geli melihat adik kecilnya itu nampak ketakutan.Saat melihat Bu Shila, Brisya segera berlari mendekat dan menolehi Haris. Dia berbisik sesuatu, Haris hanya tersenyum sambil tak lepas memandangi adik kecilnya."Dia Haris, Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah."Mata Brisya terbelalak lucu, Haris terkekeh melihatnya. Tapi Brisya tak bergerak, dia diam mematung. Haris merentangkan tangannya untuk memeluk Brisya namun adik kecilnya itu masih diam tak bergerak.Akhirnya Harislah yang mendekat dan memeluk Brisya dengan erat. Kurus sekali badan Brisya, seolah Haris memeluk tulang belulang dalam wujud manusia. Wangi rambutnya beraroma ginger yang hangat, Haris menghirupnya dalam-dalam. Ia rindu...23.45 WIB.Haris masuk ke dalam kamarnya dan berebah. Masih terbayang wajah lucu Brisya yang terkaget-kaget saat melihatnya tadi, Haris tertawa kecil mengingat momen itu. Brisya kecil yang imut dan lucu sudah dewasa., sudah punya pacar juga, Haris tersenyum kecut. Seperti apa pacarnya? Ia tiba-tiba ingin tahu dan mengobrol dengannya. Ia ingin memastikan Brisya bersama laki-laki yang tepat.Kringgggggg.Haris tersentak kaget dan lamunannya buyar seketika, ia lantas merogoh ponsel di saku celananya dengan malas.Vega is calling...Haris membuang nafasnya kesal. Seharian ini sudah lebih dari 10 kali Vega menelefonnya. Pasti mamanya yang sudah cerita kalo Haris pulang ke Indonesia. Buru-buru Haris menonaktifkan ponselnya dan melemparnya ke lantai. Ia lelah.Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal. Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus. Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang. Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya i
Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Raut wajah Haris berubah serius, ia menatap Brisya dan duduk bersila agar lebih santai."Kamu mau aku menjawab apa, Briy?" Haris balik bertanya dengan lembut, akan tetapi Brisya hanya mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Apa tidak ada yang kamu ingat sedikit pun tentang aku?" tanya Haris lagi, Brisya menggeleng ragu."Yang ada diingatanku cuma rumah ini pernah di tinggali seseorang, yang dulu sering memberiku permen, tapi kemudian dia pergi," ucap Brisya lirih, ia melirik Haris yang masih memandangnya sendu."Apalagi yang kamu ingat?""Barbie! Dia memberiku boneka barbie," tukas Brisya cepat.Barbie??Haris terbelalak surprise namun detik berikutnya ia kembali tenang. "Apa yang membuatmu nggak yakin kalo itu aku?"Brisya terdiam, hanya karena ia tidak ingat wajah Haris semasa kecil dulu, bukan berarti laki-laki yang duduk di depannya ini adalah orang jahat. Haris selalu berbuat baik selama bertemu dengannya."Maaf," ucap Brisya lirih sembari memilin ujung T-shirt-nya dengan keki.
Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris
Pagi ini Brisya bangun dengan malas-malasan. Hari ini ia sudah ada janji dengan Haris. Tapi entah kenapa ia jadi enggan untuk berangkat. Pertengkarannya dengan Aji semalam membuatnya cemas. Ia takut berbuat kesalahan lagi."Briy." Suara Bu Shila tiba-tiba datang mengagetkan Brisya yang tengah melamun, wanita paruh baya itu sudah berdiri di pintu sembari mengawasi putri asuhnya."Ya, Bu?" sahut Brisya lirih sambil beranjak duduk dengan malas."Ada Haris di depan, katanya sudah janjian sama kamu?" Bu Shila mengawasi Brisya yang masih berantakan dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.Beberapa detik Brisya menarik napasnya bimbang. "Cepetan mandi, gih, kasian Haris kalo kelamaan nunggu," perintah Bu Shila saat Brisya masih diam mematung.Sekali lagi Brisya menghembuskan napasnya berat dan mulai beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah suruh tunggu bentar, Bu, Brisya mandi dulu."30 menit kemudian, Brisya keluar dari kamar dengan ogah-ogahan, ia memastikan ponselnya sudah masuk ke dala
Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan
Haris mencuci wajahnya yang terasa berat oleh debu dan keringat setelah seharian terkena terik matahari. Ia terpaku mengawasi bayangannya sendiri di cermin. Hampir saja tadi ia lepas kontrol. Beruntung mereka terselamatkan di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi bila saja mereka masih ada di ferris wheel tadi lebih lama, Haris takut ia tak bisa menahan diri. Dengan cepat Haris menarik tisu di samping wastafel dan mengusap wajahnya yang basah. Ia harus segera mengajak Brisya pulang. Begitu sampai di teras foodcourt, Haris tidak lagi mendapati Brisya di tempat duduk mereka tadi. 'Ke mana bocah itu!' desisnya bingung sambil mengawasi sekitarnya dengan gelisah. Ia mengamati setiap perempuan berkaos putih yang ada di sekelilingnya. Tapi ia tak menemukan Brisya. "Sial!!" decak Haris kesal. Harusnya tadi ia tak meninggalkan Brisya sendirian. Brisya bersikukuh ingin melihat kembang api, dia pasti kabur untuk melihatnya. Buru-buru Haris beranjak, semoga Brisya masih belum jauh. Tapi m
02.00 dini hari.Brisya masih belum bisa menutup mata. Seharian ini perasaannya campur aduk mulai dari ketakutan karena Aji, bahagia karena Haris lalu berakhir kecewa padanya.Tadi siang, ia amat sangat bahagia bisa bermain dan menikmati hari Sabtunya di Taman Bermain yang belum pernah sekalipun ia datangi. Ia bahkan sempat berpikir tidak ingin kembali ke Panti dan menginap saja di kota agar esok hari mereka bisa bermain lagi. Namun sejak Brisya tersesat tadi, ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Baru kali itu ia merasa sangat takut kehilangan seseorang, setelah terakhir kali ia kehilangan jati diri dan masa kecilnya. Kini Haris seperti candu baginya, ia terus ingin berada di dekatnya dan ingin selalu tertawa bersamanya.Dan wanita anggun itu, tunangannya, sudah berhasil membuat Brisya cemburu hingga tak bisa tidur malam ini. Wanita itu cantik sekali, tingginya hampir menyamai tinggi Haris. Rambutnya ikal dan panjang, wajahnya full make-up dan bajunya sangat elegan.Apalah Bri
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca