Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal.
Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus.Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang.Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya ide harus magang di mana. Brisya mengguyur tubuh dan rambutnya dengan air dingin. Sedikit mengigil ia cepat-cepat menyelesaikan mandinya.Usai mandi dan berdandan ala kadarnya, Brisya keluar dari kamar dengan lesu. Rasanya ia jadi tak bersemangat tanpa Aji. Dan ini akan berlangsung sampai sebulan ke depan."Selamat pagi!" sapa suara hangat yang tak asing ditelinga Brisya.Tentu saja Brisya tersentak kaget melihat Haris sudah berdiri di depannya dengan senyuman yang sehangat mentari pagi. Tubuh jangkung dan atletisnya menutupi hampir separuh lorong kamar Brisya."Hari ini mau ke mana?" tanya Haris penasaran, sedikit bergeser agar Brisya bisa lewat dan kemudian mengekor di belakang gadis itu."Mau kuliah, lah!" Brisya menyahut dengan suntuk tanpa sekalipun menoleh atau menghentikan langkahnya.Sekelebat aroma parfum Haris semerbak memenuhi indra penciuman Brisya, ia menghirupnya dalam-dalam hingga membuat jantungnya jadi berdetak kencang tak karuan.Haris tentu saja masih mengekor dan dengan sengaja berjalan di belakang Brisya agar bisa menikmati wangi shampo ginger itu lagi. Tinggi Brisya tak lebih dari dadanya. Jadi aroma shampo itu tercium jelas di hidung Haris.Saat sedang tersenyum bahagia, tiba-tiba Brisya berbalik, tepat di saat Haris akan mendekat untuk mencium rambut gadis itu. Reflek tubuh Brisya membentur tubuh Haris lagi dan membuatnya membeku untuk beberapa detik."Iih, Om!! Jauh-jauh deh jangan menempel gini jalannya," sungut Brisya kesal, ia baru saja mencium dada bidang Haris yang hangat, dan lekas Brisya mendorongnya agar menjauh.Melihat wajah Brisya yang mendadak pias, Haris tak bisa menahan tawanya."Bisa nggak, jangan memanggilku dengan sebutan 'Om' lagi, aku belum setua itu," pinta Haris terkekeh, ia geli mendengar Brisya selalu memanggilnya dengan sebutan 'Om'.Namun, Brisya berpaling, ia tak peduli. Penampilan Haris lebih cocok disebut 'Om' ketimbang kakak. Toh usia mereka terpaut jauh."Hei, aku anter ya ke kampus," tawar Haris sembari menarik tangan Brisya cepat sebelum gadis itu beranjak."Gak usah, aku dijemput cowokku.""Owh, oke, sekalian aku mau kenalan deh kalo gitu."Brisya terbelalak. 'Kenalan? Aneh ini orang!', batinnya syok terheran-heran.Bukan Haris namanya jika mudah menyerah, ia tetap mengekor di belakang Brisya sampai mereka tiba di tepi jalan raya.Menyadari bila Haris membuntutinya, Brisya menggigit bibirnya dengan kalut, ia berbohong soal dijemput tadi. Dan sekarang Haris masih betah berdiri di sampingnya."Kamu ngapain sih masih ngikutin aku," sungut Brisya kesal sembari melirik Haris dengan sinis."Loh, kan aku juga pengen tahu cowok adikku itu orang seperti apa.""Adik??" tukas Brisya cepat."Yauda kalo gitu kakak deh, kalo nggak mau dianggep adik.""Udah sana pergi, jauh-jauh deh," usir Brisya risih.Namun, Haris masih bergeming, ia melirik jam tangannya dengan gelisah. "Masih lama ya cowokmu? Biasanya on time, kan.""Ishhhh!" desis Brisya sambil melirik Haris tak suka.Diam-diam, Brisya tengah menelisik penampilan pria di hadapannya. Meski mengenakan baju asal-asalan, Haris masih saja terlihat ganteng. Mengenakan kaos santai dan celana ripped jeans, benar-benar kebalikan dari Aji yang selalu tampil rapi. Sekelebat dada Brisya berdesir hangat, tubuhnya meremang.Sementara itu, Haris bersandar pada pohon di samping Brisya dan mengawasinya. Ia ingin mengenal lebih jauh, seperti apa Brisya yang sekarang berdiri di hadapannya.10 menit ... 15 menit ... 20 menit berlalu, Brisya masih betah berdiri di tempatnya.Haris mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ia memperhatikan jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang. "Kamu nggak lagi bohong, kan? Jangan- jangan cowokmu nggak jemput.""Ish, cerewet banget, sih!" rutuk Brisya sembari menghentakkan kakinya dongkol."Yaudah, kalo gitu kenapa cowokmu nggak ditelepon?" tanya Haris penasaran. "Takutnya dia kenapa-kenapa di jalan, masa sampe setengah jam nggak dateng-dateng," lanjutnya heran.Brisya melirik Haris keki. "Mau kamu apa, sih?!" tanya Brisya tak tahan, ia risih dipepet terus oleh Haris."Kan sudah aku bilang tadi, aku mau nganter kamu ke kampus."Brisya mendesah lelah, berdiri selama 30 menit sambil menahan amarah membuatnya letih."Aku bisa berangkat sendiri, tanpa kamu pun dari dulu aku udah terbiasa sendiri!" rutuk Brisya cepat, ia membuang muka.Mendengar jawaban itu, Haris terdiam, ada sakit yang ia rasakan saat Brisya mengatakan kalimat terakhir tadi.'Terbiasa sendiri katanya? Baik, mulai sekarang tidak lagi!' Haris membatin pilu.Tanpa membuang waktu, Haris meraih dan menarik tangan Brisya dengan cepat, ia menyeret Brisya ke mobilnya yang terparkir di depan ruko.Tentu saja Brisya yang kecil dan kurus tak sanggup meronta dan melepaskan diri. Ia pasrah saat Haris menariknya masuk ke dalam mobil sedan hitam miliknya. Usai memasangkan seatbelt di kursi Brisya, Haris menutup pintu mobil dan berjalan cepat ke arah kursi kemudi.Begitu Haris masuk, ia mengawasi Brisya dengan lekat setelah memasang seatbelt. "Aku antar kamu sampai ke kampus, sesudahnya terserah kamu mau bagaimana," ucapnya kalem.Untuk beberapa detik, Brisya terpaku mengawasi mata tajam itu, hangat dan terlihat tulus."Terserah!" sahut Brisya mengalah, bila Aji yang mendengar kata itu, sudah bisa dipastikan Aji akan marah dan kalap. Aji paling benci pada kata 'terserah'.Namun, Haris tak bersuara. Kenyataan bila respon pria itu berbeda dari Aji, membuat Brisya mulai dirundung rasa bersalah. Tanpa terpancing oleh kesinisan Brisya, Haris acuh dan malah menyalakan mesin mobil, lantas melajukan perlahan.Diam-diam Brisya melirik Haris sekilas, raut wajahnya begitu tenang, tak tersulut emosi sedikitpun dengan sikap Brisya yang kasar. Mungkin karena ia lebih dewasa, pembawaannya yang tenang membuat Brisya merasa bersalah sudah bersikap ketus tadi.Sepanjang perjalanan, mereka berdua diam membisu. Haris tak berniat membuka pembicaraan melihat reaksi Brisya yang seperti tak suka dengan kehadirannya. Mungkin Brisya masih syok dengan kedatangan Haris yang tiba-tiba. Mungkin juga memori Brisya tentang Haris sudah terhapus. Waktu itu Brisya masih berusia 6 tahun, ingatannya tidak setajam Haris yang sudah SMP.Brisya pun diam membisu, ada rasa bersalah yang ia rasakan. Kenapa ia harus benci dengan Haris? Bukankah ia sudah menepati janjinya untuk pulang dan menemui Brisya lagi?? Brisya merasa menjadi manusia paling jahat saat ini.Saat mobil Haris memasuki area kampus, Brisya melirik Haris sekilas. Haris masih tetap tenang, tak bergeming, tak berubah mimik wajah."Aku parkir di sini, ya? Gapapa kan kamu jalan dari sini?" tanya Haris halus setelah mobilnya menepi.Brisya mengangguk pelan, reflek Haris sedikit membungkukkan badannya dan melepas seatbelt di kursi Brisya. Aroma parfum Haris kembali menguar semerbak menusuk indra penciumannya."Bye," ucap Haris kalem saat Brisya hendak membuka pintu mobilnya.Brisya mengangguk dan lekas turun. Ia menahan degup jantungnya yang berdetak kencang. Bahkan mungkin Haris bisa saja mendengarnya seandainya Brisya tidak cepat-cepat turun dan kabur.Saat Brisya sudah berjalan cukup jauh, ia menoleh dan mendapati mobil Haris sudah tidak ada lagi di belakangnya. Sedikit kecewa Brisya meneruskan langkahnya memasuki aula fakultas. Apa yang ia harapkan?? Haris menunggunya sampai selesai kuliah??'Gila kamu Brisya!' rutuknya pada diri sendiri. *************************Usai Brisya turun, nyatanya Haris masih mengawasi gadis itu dari jauh. Haris masih sempat berharap Brisya menoleh agar ia bisa meyakinkan diri untuk tidak meninggalkan Brisya sendiri dan menunggunya sampai pulang kuliah. Dalam ilmu psikologi yang pernah ia baca, bila seseorang menoleh saat bersisipan atau berjalan menjauh itu berarti ada ketertarikan batin di antara mereka. Dan hingga Brisya akan memasuki halaman fakultas, ia tak sekalipun menoleh ke belakang.Haris harus menerima kenyataan bahwa Brisya yang sekarang bukanlah Brisya yang dulu ia kenal. Bukankah semua manusia bisa berubah?Perlahan Haris menginjak pedal gas dan memutar setir mobilnya. Baiklah sekarang waktunya menata hidup, ia harus segera mengurus ijin untuk membuka kantor di rukonya. Ia tidak mau ilmu Arsitek yang ia dapatkan selama kuliah dan magang di Mesir menjadi sia-sia. Meski Haris tak kesulitan soal uang yang selalu dikirim Mamanya setiap bulan, namun Haris harus mempunyai kegiatan agar ia tak melulu sibuk dengan perasaannya.Saat mobil berhenti di lampu merah, ponsel Haris berdering. Haris mengawasi layar ponselnya sekilas.Vega is calling ...Vega lagi. Haris membuang nafasnya jengah. Dengan malas, ia memasang air pod di telinganya."Halo?""Ya Tuhannn, Haris!! Berapa ratus kali aku harus telefon kamu dan baru diangkat??" cecar suara Vega di ujung sana.Haris tersenyum kecut. "Ada apa, Ve?" tanyanya cepat."Jahat ya kamu, pulang ke Indo nggak bilang-bilang, udah gitu langsung ngilang pula!" sungut Vega kecewa."Iya, maaf, aku harus segera pulang ke tempat tinggal yang lama untuk mengurus sesuatu.""Mamamu bilang kamu mau buka kantor di sana? Kamu yakin?? Kota kecil pinggiran begitu??""Mau bagaimana lagi.""Kamu kan bisa kerja di kantor mamamu saja, Ris, buat apa jauh-jauh pulang ke sana."Haris mendesah lelah, tak akan pernah berujung bila ia berdebat dengan Vega."Nanti lanjut lagi ya, Ve, aku lagi nyetir, nih!""Aku akan nyusul kamu ke sana, tunggu aja.""Kamu mau ngapain?" potong Haris cepat, ia berharap salah dengar barusan."Aku akan nyusul kamu, biar kamu nggak kesepian di sana.""Nggak usah, di sini nggak ada apapun yang menarik yang bisa kamu lakukan.""Selama ada kamu, di manapun itu pasti menarik!" tukas Vega penuh percaya diri."Kamu nih, jangan bikin aku jadi benci sama kamu, Ve!""Why, Haris?? Aku tunangan kamu.""Nggak!! Aku nggak pernah setuju pada pertunangan itu!" cecar Haris kesal, lalu menutup teleponnya dan melempar ponsel itu ke kursi sebelah.Dengan kalap, Haris lantas menginjak pedal gasnya lebih dalam agar suntuknya bisa hilang. He needs some alcohol.Pertunangan?Ide gila yang mamanya putuskan tiga tahun yang lalu. Saat itu Haris masih magang di kantor arsitek di Mesir. Vega adalah teman masa SMP-nya saat ia pindah ke ibu kota. Dan kebetulan Vega adalah putri seorang konglomerat. Mamanya yang matre tentu sangat bahagia saat tahu Vega mengejar cinta Haris. Bahkan sampai Haris melanjutkan sekolah di Mesir, Vega masih saja tergila-gila padanya.3 tahun yang lalu, mama memaksa Haris untuk dijodohkan dengan Vega. Tentu saja Haris menolak, namun tanpa persetujuan Haris pun perjodohan itu toh tetap dilaksanakan. Cincin pertunangan dikirim ke Mesir, dan tidak pernah Haris pakai sekalipun sampai detik ini. Sampai kemudian ia pulang ke Indonesia diam-diam tanpa sepengetahuan Vega lalu kembali ke kota kelahiran ayahnya.Haris mempercepat laju mobilnya, dia ingin cepat sampai di ruko. Beruntung tempo hari ia sempat membeli beberapa botol alkohol saat masih di kota, jadi saat stress begini ia bisa mabuk dan istirahat dengan tenang. Melupakan semuanya sejenak.Apakah semua wanita memang menyebalkan? Mamanya, Vega dan sekarang Brisya!Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Raut wajah Haris berubah serius, ia menatap Brisya dan duduk bersila agar lebih santai."Kamu mau aku menjawab apa, Briy?" Haris balik bertanya dengan lembut, akan tetapi Brisya hanya mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Apa tidak ada yang kamu ingat sedikit pun tentang aku?" tanya Haris lagi, Brisya menggeleng ragu."Yang ada diingatanku cuma rumah ini pernah di tinggali seseorang, yang dulu sering memberiku permen, tapi kemudian dia pergi," ucap Brisya lirih, ia melirik Haris yang masih memandangnya sendu."Apalagi yang kamu ingat?""Barbie! Dia memberiku boneka barbie," tukas Brisya cepat.Barbie??Haris terbelalak surprise namun detik berikutnya ia kembali tenang. "Apa yang membuatmu nggak yakin kalo itu aku?"Brisya terdiam, hanya karena ia tidak ingat wajah Haris semasa kecil dulu, bukan berarti laki-laki yang duduk di depannya ini adalah orang jahat. Haris selalu berbuat baik selama bertemu dengannya."Maaf," ucap Brisya lirih sembari memilin ujung T-shirt-nya dengan keki.
Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris
Pagi ini Brisya bangun dengan malas-malasan. Hari ini ia sudah ada janji dengan Haris. Tapi entah kenapa ia jadi enggan untuk berangkat. Pertengkarannya dengan Aji semalam membuatnya cemas. Ia takut berbuat kesalahan lagi."Briy." Suara Bu Shila tiba-tiba datang mengagetkan Brisya yang tengah melamun, wanita paruh baya itu sudah berdiri di pintu sembari mengawasi putri asuhnya."Ya, Bu?" sahut Brisya lirih sambil beranjak duduk dengan malas."Ada Haris di depan, katanya sudah janjian sama kamu?" Bu Shila mengawasi Brisya yang masih berantakan dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.Beberapa detik Brisya menarik napasnya bimbang. "Cepetan mandi, gih, kasian Haris kalo kelamaan nunggu," perintah Bu Shila saat Brisya masih diam mematung.Sekali lagi Brisya menghembuskan napasnya berat dan mulai beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah suruh tunggu bentar, Bu, Brisya mandi dulu."30 menit kemudian, Brisya keluar dari kamar dengan ogah-ogahan, ia memastikan ponselnya sudah masuk ke dala
Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan
Haris mencuci wajahnya yang terasa berat oleh debu dan keringat setelah seharian terkena terik matahari. Ia terpaku mengawasi bayangannya sendiri di cermin. Hampir saja tadi ia lepas kontrol. Beruntung mereka terselamatkan di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi bila saja mereka masih ada di ferris wheel tadi lebih lama, Haris takut ia tak bisa menahan diri. Dengan cepat Haris menarik tisu di samping wastafel dan mengusap wajahnya yang basah. Ia harus segera mengajak Brisya pulang. Begitu sampai di teras foodcourt, Haris tidak lagi mendapati Brisya di tempat duduk mereka tadi. 'Ke mana bocah itu!' desisnya bingung sambil mengawasi sekitarnya dengan gelisah. Ia mengamati setiap perempuan berkaos putih yang ada di sekelilingnya. Tapi ia tak menemukan Brisya. "Sial!!" decak Haris kesal. Harusnya tadi ia tak meninggalkan Brisya sendirian. Brisya bersikukuh ingin melihat kembang api, dia pasti kabur untuk melihatnya. Buru-buru Haris beranjak, semoga Brisya masih belum jauh. Tapi m
02.00 dini hari.Brisya masih belum bisa menutup mata. Seharian ini perasaannya campur aduk mulai dari ketakutan karena Aji, bahagia karena Haris lalu berakhir kecewa padanya.Tadi siang, ia amat sangat bahagia bisa bermain dan menikmati hari Sabtunya di Taman Bermain yang belum pernah sekalipun ia datangi. Ia bahkan sempat berpikir tidak ingin kembali ke Panti dan menginap saja di kota agar esok hari mereka bisa bermain lagi. Namun sejak Brisya tersesat tadi, ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Baru kali itu ia merasa sangat takut kehilangan seseorang, setelah terakhir kali ia kehilangan jati diri dan masa kecilnya. Kini Haris seperti candu baginya, ia terus ingin berada di dekatnya dan ingin selalu tertawa bersamanya.Dan wanita anggun itu, tunangannya, sudah berhasil membuat Brisya cemburu hingga tak bisa tidur malam ini. Wanita itu cantik sekali, tingginya hampir menyamai tinggi Haris. Rambutnya ikal dan panjang, wajahnya full make-up dan bajunya sangat elegan.Apalah Bri
Haris mengawasi kalender di dinding dengan tatapan nanar. Tadinya ia berniat untuk mabuk lagi malam ini, akan tetapi urung ia lakukan saat dirinya sadar bahwa besok ia akan mulai membuka kantor Biro Arsitek. Tiga orang staf akan mulai ngantor besok pagi, salah satunya adalah Brisya. Bila Haris mabuk malam ini, bisa dipastikan besok ia tidak akan bisa bangun pagi. Kembali Haris memasukkan botol alkoholnya ke dalam laci yang tersimpan di kolong tempat tidurnya. Di sanalah tempat teraman bagi Haris untuk menyimpan semua botol-botol favoritnya itu. Bergegas ia kemudian naik ke tempat tidur, memasang alarm di ponselnya dan memejamkan mata. Ia ingin pagi segera datang agar bisa bertemu Brisya. Ia sudah rindu melihat senyuman dan tawa gadis itu. Seulas senyuman lantas tersungging di wajah Haris, bahkan membayangkan Brisya saja sudah membuatnya bahagia, entah bagaimana rasanya bila bisa memiliki gadis itu di rumah ini. Memeluk gadis itu kapan saja ia mau, menggodanya, menciumnya ... hmmm ...
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca