Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris
Pagi ini Brisya bangun dengan malas-malasan. Hari ini ia sudah ada janji dengan Haris. Tapi entah kenapa ia jadi enggan untuk berangkat. Pertengkarannya dengan Aji semalam membuatnya cemas. Ia takut berbuat kesalahan lagi."Briy." Suara Bu Shila tiba-tiba datang mengagetkan Brisya yang tengah melamun, wanita paruh baya itu sudah berdiri di pintu sembari mengawasi putri asuhnya."Ya, Bu?" sahut Brisya lirih sambil beranjak duduk dengan malas."Ada Haris di depan, katanya sudah janjian sama kamu?" Bu Shila mengawasi Brisya yang masih berantakan dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.Beberapa detik Brisya menarik napasnya bimbang. "Cepetan mandi, gih, kasian Haris kalo kelamaan nunggu," perintah Bu Shila saat Brisya masih diam mematung.Sekali lagi Brisya menghembuskan napasnya berat dan mulai beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah suruh tunggu bentar, Bu, Brisya mandi dulu."30 menit kemudian, Brisya keluar dari kamar dengan ogah-ogahan, ia memastikan ponselnya sudah masuk ke dala
Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan
Haris mencuci wajahnya yang terasa berat oleh debu dan keringat setelah seharian terkena terik matahari. Ia terpaku mengawasi bayangannya sendiri di cermin. Hampir saja tadi ia lepas kontrol. Beruntung mereka terselamatkan di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi bila saja mereka masih ada di ferris wheel tadi lebih lama, Haris takut ia tak bisa menahan diri. Dengan cepat Haris menarik tisu di samping wastafel dan mengusap wajahnya yang basah. Ia harus segera mengajak Brisya pulang. Begitu sampai di teras foodcourt, Haris tidak lagi mendapati Brisya di tempat duduk mereka tadi. 'Ke mana bocah itu!' desisnya bingung sambil mengawasi sekitarnya dengan gelisah. Ia mengamati setiap perempuan berkaos putih yang ada di sekelilingnya. Tapi ia tak menemukan Brisya. "Sial!!" decak Haris kesal. Harusnya tadi ia tak meninggalkan Brisya sendirian. Brisya bersikukuh ingin melihat kembang api, dia pasti kabur untuk melihatnya. Buru-buru Haris beranjak, semoga Brisya masih belum jauh. Tapi m
02.00 dini hari.Brisya masih belum bisa menutup mata. Seharian ini perasaannya campur aduk mulai dari ketakutan karena Aji, bahagia karena Haris lalu berakhir kecewa padanya.Tadi siang, ia amat sangat bahagia bisa bermain dan menikmati hari Sabtunya di Taman Bermain yang belum pernah sekalipun ia datangi. Ia bahkan sempat berpikir tidak ingin kembali ke Panti dan menginap saja di kota agar esok hari mereka bisa bermain lagi. Namun sejak Brisya tersesat tadi, ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Baru kali itu ia merasa sangat takut kehilangan seseorang, setelah terakhir kali ia kehilangan jati diri dan masa kecilnya. Kini Haris seperti candu baginya, ia terus ingin berada di dekatnya dan ingin selalu tertawa bersamanya.Dan wanita anggun itu, tunangannya, sudah berhasil membuat Brisya cemburu hingga tak bisa tidur malam ini. Wanita itu cantik sekali, tingginya hampir menyamai tinggi Haris. Rambutnya ikal dan panjang, wajahnya full make-up dan bajunya sangat elegan.Apalah Bri
Haris mengawasi kalender di dinding dengan tatapan nanar. Tadinya ia berniat untuk mabuk lagi malam ini, akan tetapi urung ia lakukan saat dirinya sadar bahwa besok ia akan mulai membuka kantor Biro Arsitek. Tiga orang staf akan mulai ngantor besok pagi, salah satunya adalah Brisya. Bila Haris mabuk malam ini, bisa dipastikan besok ia tidak akan bisa bangun pagi. Kembali Haris memasukkan botol alkoholnya ke dalam laci yang tersimpan di kolong tempat tidurnya. Di sanalah tempat teraman bagi Haris untuk menyimpan semua botol-botol favoritnya itu. Bergegas ia kemudian naik ke tempat tidur, memasang alarm di ponselnya dan memejamkan mata. Ia ingin pagi segera datang agar bisa bertemu Brisya. Ia sudah rindu melihat senyuman dan tawa gadis itu. Seulas senyuman lantas tersungging di wajah Haris, bahkan membayangkan Brisya saja sudah membuatnya bahagia, entah bagaimana rasanya bila bisa memiliki gadis itu di rumah ini. Memeluk gadis itu kapan saja ia mau, menggodanya, menciumnya ... hmmm ...
Begitu Brisya pergi meninggalkannya, Haris memejamkan matanya dengan sedih. Ia mengusap wajahnya berkali-kali karena kesal dengan keadaan ini. Harus bahkan tak lagi merasakan lapar yang sedari pagi ia tahan. Merasa frustasi sendiri, Haris akhirnya beranjak dari kursinya dan naik ke lantai atas. Ia sempat melirik jam tangannya, masih ada 1 jam lagi waktu untuk beristirahat. Ia ingin menyesap sedikit saja alkoholnya. Sepertinya peningnya akan hilang. "Honey, kamu nggak makan?" tanya Vega dari meja makan.Sekils Haris menoleh pada Vega yang sedang menikmati sepiring spageti lantas menggelengkan kepala dengan suntuk. Ia lebih memilih untuk menikmati waktunya di kamar sendirian. "Aku bikinin lagi ya, Honey? Kamu suka pedas, kan? Aku bikinin saus yang ekstra pedas buat kamu."Teriakan Vega tak membuat Haris bergeming, Haris terus berlalu dan tak sekalipun menyahut, ia kemudian menutup pintu kamar dan membuka laci di bawah tempat tidurnya. Sepertinya satu sloki saja cukup untuk meredakan
Sudah dua hari ini Brisya mengurung diri. Ia bahkan tak sekalipun keluar kamar untuk makan dan tak mengijinkan siapapun masuk ke kamarnya selain Bu Shila. Bahkan Aji yang menunggu sampai sore pun tak berhasil merayu Brisya untuk membuka pintu kamarnya. Brisya lebih memilih untuk tidur dan tidak membuka mata. Ia kesal bila harus bangun dan menerima kenyataan bahwa Haris tidaklah sebaik yang ia pikirkan. Hari ini Aji masih mencoba merayu Brisya membuka pintu kamar untuknya. Kata Bu Shila, semalam Brisya bahkan tidak mau makan. Entah masalah apa yang Brisya hadapi, Aji masih penasaran. Ketika bertanya pada Bu Shila, beliau pun tak paham. Aji mengawasi pintu kamar Brisya yang tertutup rapat, ia sendiri masih betah duduk berselonjor di depan kamar. Sudah hampir setengah hari ia lewati dengan duduk di sana. Ia merindukan Brisya, sebulan meninggalkannya membuat Aji hampir gila. Dan kini saat Brisya sudah berada di hadapannya, ia masih saja tak bisa bertemu gadis itu. "Briy, makan, yuk! Ak
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca