“Nona Chloepatra, terima kasih atas kerja kerasnya selama berada di dunia yang semakin rumit ini. Sekarang waktunya kamu beristirahat.”
Chloepatra—atau yang biasa dipanggil dengan Chloe—perlahan membuka matanya. Belum sempat benar-benar terbuka, cahaya menyilaukan langsung menyambut dan mau tak mau Chloe harus menutup matanya lagi. Bertanya-tanya dalam hati siapa yang tadi mengajaknya bicara? Sayup-sayup terdengar seperti suara lelaki.
“Amalanmu selama di dunia akan ditimbang terlebih dulu untuk menentukan di mana kamu akan ditempati selama di akhirat.”
Akhirat katanya?!
Mendengar kata semenyeramkan itu, sontak mata Chloe terbuka lebar. Bahkan bola matanya yang besar nyaris melompat keluar.
Chloe berusaha bangun dari posisinya. Posisi yang aneh karena dia baru saja berbaring—atau lebih tepatnya tergeletak—di aspal jalanan. Cahaya terang yang sebelumnya menusuk matanya, tidak lagi mengganggu, sebab cahaya itu telah hilang dan berganti dengan sesosok lelaki tinggi. Tidak tahu berapa senti tingginya, yang pasti Chloe harus mendongak hanya untuk bertatapan dengan kedua matanya.
Tanpa perlu diamati dengan begitu serius, terlihat langsung kalau lelaki ini menggunakan pakaian serba hitam. Mulai dari jaket hitam, celana jeans hitam, sepatu boots hitam, hanya itu. Rambutnya mungkin juga hitam. Tidak terlihat, sebab tertutup oleh tudung jaketnya.
Lalu, ada sesuatu yang tersampir di bahunya. Berkilau, besar, dan tajam. Chloe tahu benda apa itu. Oleh karena dia tahu, dia jadi berusaha menahan diri untuk tidak tertawa.
“Oh, ya ampun!” pekik Chloe. “Apa lagi ada karnaval atau pesta kostum di sekitar sini? Tapi ini kan jalan tol,” sambungnya berujar sambil kepalanya berputar melihat sekeliling.
“Maaf?” tanya si Lelaki Serba Hitam—mulai sekarang Chloe akan memanggilnya seperti itu. Jelas sekali dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Chloe.
Chloe mendaratkan tatapannya lagi pada lelaki di depannya.
“Bukan, ya? Ah, atau lagi ada syuting? Syuting sinetron? Film?” balas Chloe bertubi-tubi. “Tapi kayaknya Mas-nya salah orang deh. Soalnya saya bukan pemeran utama, pemeran pembantu atau figuran di sinetron atau film yang lagi Mas mainin.”
Si Lelaki Serba Hitam menarik napas, kemudian menghembuskannya perlahan.
“Nona Chloepatra.”
“Iya,” jawab Chloe tenang. Namun, berubah menjadi tidak tenang usai satu detik berlalu. “Eh, kok Mas-nya tau nama saya?”
“Jelas saya tau, karena saya yang ditugaskan untuk menjemput dan mengantar kamu ke akhirat.”
Kulit wajah Chloe seketika mengencang. Pastinya kali ini bukanlah merupakan efek dari penggunaan produk skin care yang dia pakai.
“Mas, jangan bercanda ya. Jangan bawa-bawa akhirat. Ngga baik,” tukas Chloe mulai resah.
Si Lelaki Serba Hitam mengangkat wajahnya yang tirus. Memperlihatkan tulang rahangnya yang kokoh. Membuat tatapan matanya begitu menukik ke arah Chloe.
“Saya ngga bercanda.”
“Tapi, Mas—”
“Dan jangan panggil saya ‘Mas’,” protesnya memotong ucapan Chloe. “Coba kamu lihat ke belakang,” perintahnya kemudian dengan gerakan dagu.
Chloe yang masih bingung, merasa ragu untuk mengikuti arahan dari lelaki di depannya. Sesekali Chloe curi pandang ke arah lelaki itu lagi, tapi lelaki itu kembali menggerakkan dagunya ditambah dengan mulut yang komat-kamit seolah mengisyaratkan kalimat ayo-cepat-tengok-ke-belakang.
Mau tak mau, dengan berat hati—diikuti juga dengan rasa penasaran—Chloe memutar tubuh mungilnya ke belakang.
Jujur saja Chloe ingin berteriak, akan tetapi pita suaranya seakan mendadak lenyap dan yang tersisa hanyalah mulut yang menganga lebar tanpa adanya suara. Kedua tangannya bergerak menutupi mulutnya. Bola matanya lagi-lagi nyaris mencuat keluar. Tubuhnya gemetar.
Di tengah kepanikan Chloe, si Lelaki Serba Hitam melangkah dari belakang, lalu berhenti di samping Chloe. Di sana dia mendesah.
“Situasi seperti ini sebenarnya udah sering saya alami. Mati-matian meyakini arwah yang ngga percaya kalau dia udah meninggal.”
Chloe yang banyak bicara, tiba-tiba saja menjadi seperti orang yang tidak memiliki kosakata di dalam kepalanya. Kini dia hanya bisa menatap dirinya sendiri yang tengah tergeletak di atas aspal dalam keadaan bersimbah darah. Persis seperti posisi dimana dia bangun pertama kali.
“Be-benar ini saya?” tanya Chloe pada akhirnya. Itu pun juga terbata-bata.
“Yup!” sahut si Lelaki Serba Hitam.
Bola mata Chloe bergulir ke sana-ke mari. “Kalau saya udah meninggal dan kamu datang buat jemput saya, berarti kamu itu semacam malaikat maut? Grim reaper?”
“Yup.”
“Jadi, itu betulan ada?”
“Yup.”
“Berarti sabit yang kamu bawa itu betulan? Apa saya bakal disabit?” tanya Chloe setengah polos, setengah takut, dan setengah penasaran. Tercampur jadi satu.
“Umm, sebenarnya ini cuma aksesoris,” jawab si Lelaki Serba Hitam. Masih mencoba sabar.
“Apa kamu ngga salah jemput orang?”
“Di dunia ini cuma ada satu orang yang namanya semencolok dan sefrustasi itu.”
“Hei, nama itu doa. Orang tua saya susah payah cari nama itu,” keluh Chloe tidak terima namanya dibilang mencolok dan frustasi.
“Udah cukup pertanyaannya?”
“Jadi, beneran kamu ngga lagi main film, pesta kostum, karnaval, atau—”
“NGGA!” sergahnya berteriak. “Astaga. Udah ya. Jangan terlalu membuang waktu saya, karena masih ada antrian penjemputan lainnya. Ayo,” lanjutnya seraya menjulurkan tangan pada Chloe.
Chloe tahu betul apa maksud dari tangan yang terjulur padanya. Kalau saja si Lelaki Serba Hitam adalah lelaki tampan yang mengulurkan tangannya untuk mengajak Chloe berdansa, sudah pasti akan Chloe terima dengan senang hati. Namun nyatanya? Jika Chloe menerima uluran tangan kurus seorang grim reaper, itu tandanya dirinya akan dibawa langsung ke akhirat.
Jujur saja Chloe belum siap. Bahkan dia masih tidak percaya bahwa dirinya sudah meninggal. Padahal dia baru saja bersiap pergi ke asrama milik kampus impiannya sejak dulu. Padahal tahun ini adalah tahun pertamanya menjadi seorang mahasiswa jurusan matematika—mata pelajaran yang memang disukainya. Bahkan saking banyaknya, ada sekian banyak ‘padahal’ yang bermunculan di kepalanya. Dan satu hal yang teramat Chloe sayangkan adalah padahal dia belum sama sekali merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang pacar.
“Ayo tunggu apa lagi?” pinta si Lelaki Serba Hitam tak sabaran.
Chloe menarik napas dan menghembuskannya. Aktivitas yang seharusnya tidak perlu dilakukannya lagi, karena dia sudah meninggal, bukan?
Dengan terpaksa Chloe menyambut uluran tangan lelaki di depannya. Tersisa sekitar lima senti lagi sampai akhirnya kedua tangan mereka benar-benar tersentuh, tapi Chloe justru menampar kencang telapak tangan si Lelaki Serba Hitam.
“Ngga! Saya masih ngga percaya. Pasti ini cuma mimpi, kan?” tampik Chloe berteriak. “Mama. Mama saya di mana? Mama?” panggil Chloe panik sembari melangkah cepat mengitari mobil yang sebelumnya ditumpangi olehnya. Mobilnya terbalik dan mengeluarkan asap. Nyaris tak berbentuk.
“Here we go again,” gerutu si Lelaki Serba Hitam sambil mengikuti ke mana arah Chloe pergi. Lagi-lagi dirinya harus rela melewati drama penjemputan yang panjang.
“Mama!” teriak Chloe mendekati mamanya yang sama terluka parah dengannya. “Mama, bangun. Ini Chloe,” ujar Chloe berusaha membangunkan mamanya meskipun dirinya tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak akan membuahkan hasil.
Si Lelaki Serba Hitam sudah berdiri di dekat Chloe. Memberi waktu sejenak pada Chloe untuk menangis dan mungkin sedikit memberi waktu pula pada Chloe untuk bertemu dengan mamanya terakhir kali.
“Nyonya Alessa—Mamamu—sedang diambang kematian, tapi saya rasa masih akan selamat, karena saya ngga lihat ada penjemputnya di sekitar sini. Dan coba lihat ini,” ujarnya memperlihatkan sebuah ponsel yang menayangkan daftar nama manusia yang meninggal di hari ini, “nama Mamamu ngga ada di dalam daftar.”
Chloe masih menangis sesenggukan. Wajahnya dipenuhi dengan bulir-bulir air matanya sendiri. Tidak apa baginya jika mamanya masih selamat sementara dirinya tidak. Hanya saja Chloe tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuanya ketika tahu anak satu-satunya yang mereka punya pergi untuk selamanya dalam umur yang masih terbilang muda. Chloe paling tidak bisa melihat kedua orang tuanya sedih.
“Ok, ambulans udah datang,” ucap si Lelaki Serba Hitam.
Chloe melihat dari kejauhan sebuah mobil ambulans datang ke arah dirinya berada. Chloe pun bersiap bangkit dari posisinya untuk membiarkan mamanya mendapat penanganan terlebih dahulu. Namun, tanpa diduga pergerakannya dicegat oleh sesuatu yang mencengkeram pergelangan tangannya.
Chloe terkejut saat menemukan mamanya membuka mata. Si Lelaki Serba Hitam pun juga dibuat sama terkejutnya.
“Mama? Mama bisa lihat aku? Ya ampun, Ma …,” ujar Chloe kembali menangis sembari memeluk mamanya dengan begitu erat. “Mama tenang ya. Mama pasti selamat, okay? Chloe sayang Mama, juga Papa.”
Nyonya Alessa menggelengkan kepalanya begitu pelan. Seakan-akan hanya itu tenaga yang tesisa. Bibirnya yang pucat berusaha menyunggingkan senyuman.
“Bukan, Chloe. Bukan Mama, tapi kamu. Harus kamu,” tutur Nyonya Alessa lirih.
“Ngga! Mama ngomong apa sih?”
“Anak muda,” panggil Nyonya Alessa ke arah si Lelaki Serba Hitam. “Biar saya saja. Chloe masih muda. Masih banyak hal yang harus Chloe capai—”
“Ngga! Mama, apa sih! Papa di dunia masih butuh Mama!” bentak Chloe menolak.
Si Lelaki Serba Hitam masih terdiam di tempat. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya dia berkata, “Anda hanya tinggal bilang dengan sungguh-sungguh kalau anda mau bertukar tempat.”
“Ngga!” seru Chloe lagi, lalu menggebu-gebu mendekati si Lelaki Serba Hitam. “Heh! Dari awal udah saya yang kamu jemput! Saya udah terima kok! Saya udah ikhlas!” protesnya marah.
“Saya ingin bertukar tempat dengan Chloepatra,” ucap Nyonya Alessa dalam satu tarikan napas, tanpa meminta persetujuan Chloe terlebih dulu.
“Mama!”
“Permintaan diterima.”
Chloe menghabiskan waktunya hanya untuk menatap gundukan tanah yang telah diselumuti begitu rapi oleh rerumputan hijau. Membayangkan jika saja mamanya—Nyonya Alessa—tidak meminta untuk bertukar tempat, pasti nama Chloepatra lah yang terukir pada batu nisan di depannya.Usai mamanya mengucap kalimat permintaan yang sakral itu, Chloe langsung tersadar dan menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruang kamar di rumah sakit. Berharap apa yang dialami olehnya hanyalah mimpi. Namun, di saat dirinya memperoleh kabar bahwa mamanya telah meninggal, Chloe rasa apa yang terjadi padanya memanglah nyata.Dokter juga mengatakan kesembuhan Chloe adalah bentuk dari keajaiban, karena tanpa diduga Chloe mampu melalui kondisinya yang begitu kritis. Ditambah dengan proses pemulihan yang terbilang cepat, dokter menyebut Chloe adalah orang yang sangat beruntung.Beruntung. Satu kata itu terus saja berulang di dalam pikiran Chloe. Menghantuinya dengan perasaan bersalah ata
Kamar nomor 27. Di mana kamar nomor 27. Batin Chloe bertanya-tanya.“Tuh, di depan!” seru Grace yang ada di belakang Chloe. Dia terlihat sibuk menggeret dua buah koper—yang sebenarnya bukan miliknya—di kanan dan kirinya.Huft. Lelah. Menaiki tangga hingga ke lantai empat memang bukanlah hal yang disukai Chloe. Terlebih masih harus berjalan beberapa langkah lagi hingga akhirnya sampai tepat di depan sebuah kamar dengan papan nomor 27 terpasang pada pintu.Dan kini saatnya mengetes fungsi dari kunci yang sebelumnya diberikan oleh penjaga loket. Tak sampai lima detik, pintu kamar pun berhasil terbuka.Tampaklah ruangan kecil bercat putih polos yang berisikan dua tempat tidur, dua lemari dan dua meja belajar. Semuanya masih tampak kosong. Perlahan Chloe melangkah masuk, diikuti dengan Grace. Mengamati satu per satu ruangan yang selama empat tahun ke depan akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Mulai memikirkan haru
Kedua kaki Chloe bergetar hebat selama acara perkenalan jurusan berlangsung. Lebih tepatnya setelah mc memperkenalkan seorang dosen bernama Juanito Alexander. Sampai-sampai perempuan yang duduk di sebelah Chloe meminta dirinya untuk segera izin pergi ke toilet saja, karena melihat kakinya yang terus-menerus bergetar layaknya sedang menahan ingin buang air kecil. Merasa kalau itu adalah ide yang bagus untuk menenangkan hati juga pikiran, jadi Chloe beranjak dari posisinya dan melangkah keluar dari aula secepat mungkin. Pasti cuma mirip, batin Chloe berkata. Iya betul. Pasti cuma mirip. Chloe menangkup kucuran air yang keluar dari dalam keran wastafel. Membasuh wajahnya beberapa kali, kemudian memosisikan kedua tangannya bertopang pada meja wastafel. Dadanya bergerak kembang kempis menghirup udara. Dan untuk yang terakhir kalinya, diambilnya udara begitu dalam, lalu dihembuskan perlahan melalui mulut. Barulah setelah itu napasnya mula
Grace, gue harusnya udah meninggal. Grace, lo harus percaya sama gue. Pak Juan itu mirip banget sama grim reaper yang ditugasin bawa gue ke akhirat! Dan gue merasa kalau itu emang dia!Grace, gue harus gimana?Segala bentuk kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan berkecamuk di dalam kepala Chloe. Membuat semacam rentetan daftar yang Chloe sendiri pun tahu bahwa dia tidak bisa mengatakan hal semacam itu pada Grace. Akan dibilang apa dia nantinya? Gila? Stres? Atau mungkin efek kelelahan? Memang Grace akan mendengarkan cerita Chloe hingga tuntas—karena pada dasarnya Grace adalah seorang pendengar yang baik—namun setelah itu Chloe yakin, kalau teman sekamarnya itu akan langsung memintanya untuk segera periksa ke rumah sakit.Suara jentikan jari seketika berhasil menarik perhatian Chloe dari semangkuk mie instan di atas meja. Lupa kalau dia sedang berada di kantin asrama untuk makan malam.“Wah, jadi dari
Suara dentingan menyambut ketika tombol pada lift berpendar di angka tiga. Beberapa orang yang berdiri berdempetan di depan Chloe mulai melangkahkan kakinya ke luar lift, kemudian menyebar ke arah yang berbeda. Sementara Chloe bergerak ke arah kiri mengikuti seorang lelaki yang sempat menoleh ke arahnya. Chloe tebak, lelaki ini juga memiliki urusan yang sama dengannya.Ini adalah kali pertama Chloe datang ke lantai tiga gedung jurusannya, setelah saat orientasi kemarin hanya berada di lantai dua—tempat dimana aula sekaligus ruang para dosen berada. Sedangkan lantai tiga hingga lantai lima diperuntukkan untuk ruang kelas kuliah dan lantai enam difungsikan khusus untuk beberapa laboratorium jurusan.Usai beberapa langkah terlewati, Chloe berbelok masuk ke salah satu ruangan. Menemukan deretan bangku kuliah berwarna hijau yang tampak begitu kontras dengan ruangan yang bernuansa putih. Entah kenapa Chloe masih merasa mual setiap kali melihat deretan kursi. Bokongnya
“Maaf Pak, itu betul toilet laki-laki kan, ya?” Pertanyaan itu bergaung di dalam rongga telinga Chloe. “Iya betul. Perempuan ini cuma ….” Kedua mata Chloe dan Juan bertemu. “… salah ruangan.” Di sela-sela suara debaran jantungnya yang makin menjadi-jadi, Chloe masih sempat mendengar suara pergerakan tangga lipat aluminium di belakangnya. Saking paniknya, Chloe berharap orang di belakangnya tidak benar-benar pergi dan meninggalkan dirinya hanya berdua dengan Juan dalam situasi yang teramat canggung. Juan meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Saking dekatnya, Chloe bisa melihat rambut-rambut halus tersebar rata di sekitar lengan Juan dikarenakan lengan kemejanya tergulung hingga siku. “Masih betah diam di situ?” tanya Juan menanggapi posisi Chloe yang masih membungkuk memandangi area pinggang ke bawah miliknya. Mendengar pertanyaan bernada sarkastis itu, perlahan Chloe menegakkan posisi tubuhnya yang tak seberapa tinggi jika d
Semalam, setelah mengecek ulang jadwal kuliahnya di hari ini, Chloe justru tidak bisa tidur.Sepanjang malam yang dilakukannya hanyalah telentang memandangi langit-langit kamar—yang membuat Chloe ingin menempelkan hiasan bintang-bintang glow in the dark di atas sana—sambil mengetuk-ngetuk jari-jari yang saling berkaitan satu sama lain di atas dada.Entah apa tepatnya yang menjadikan Chloe tidak bisa tidur, sebab ada begitu banyak hal yang berseliweran di dalam kepalanya dan Chloe tidak bisa memilih satu saja yang bisa disalahkan sebagai penyebab insomnia-nya. Mulai dari memikirkan mamanya, papanya, beasiswanya, bagaimana dirinya menceritakan semuanya pada Grace, hingga memikirkan Juan.Bahkan seorang Juan yang notabene adalah seseorang yang baru saja dikenal Chloe beberapa hari belakangan pun, ikut berkontribusi dalam penghalang tidur malamnya. Dan pastinya, bukan memikirkan tentang wajahnya yang tampan, bola matanya yang jernih, tubuhnya ya
“Kenapa? Apa ada yang salah sama ucapan gue?”Bermodalkan seringai yang menyeramkan serta tatapan mata yang kosong, Mike perlahan-lahan makin mendekati Chloe, sementara Chloe makin menempelkan punggungnya pada pintu darurat. Berharap dirinya memiliki kekuatan tersembunyi seperti mampu menyerap ke dalam pintu yang padat, kemudian muncul di sisi yang lain.Perasaan Chloe sungguh tidak enak. Agak mual. Seakan sekumpulan organ di dalam tubuhnya tahu bahwa akan ada hal buruk yang menimpanya saat itu juga apabila dirinya tak kunjung membuka pintu. Namun, jari-jarinya yang sudah menggenggam erat gagang pintu, mendadak kaku. Tidak bisa diajak bekerja sama. Terlebih seperti ada yang tidak beres dengan pita suaranya. Ingin rasanya berteriak, tapi suaranya justru teredam, bukannya keluar dengan lantang.“Chloe … hei, Chloe,” panggil Mike berkali-kali. “Chloe, lo ngga apa-apa?” tanyanya lagi dengan raut wajah panik. Aura menakutkan
Mau tak mau Chloe datang menghampiri Juan demi menuntaskan rasa penasarannya yang sudah telanjur terpancing. Juan pun sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka. Membiarkan Chloe masuk tanpa perlu repot-repot membuka pintu.Awalnya Chloe mengira Juan sudah langsung merebahkan diri di atas tempat tidurnya, tapi ternyata dia masih sibuk mengecek ponsel. Chloe hendak lanjut melangkah setelah sempat berhenti di ambang pintu, tapi pergerakan Juan setelahnya entah kenapa membuat Chloe mengurungkan niatnya itu. Juan dengan santai melempar ponselnya ke atas tempat tidur, kemudian melepas hoodie yang dipakai. Sempat membuat Chloe berdengap, dikarenakan berpikir Juan tidak sedang mengenakan apa pun lagi di balik hoodie-nya, tapi ternyata di
Beberapa minggu kemudian.Alex dan Grace benar. Chloe harus bangkit dan harus berpikir positif. Terlebih semakin bertambahnya hari, semakin banyak pula kemajuan kabar yang diberikan oleh Alex. Chloe harus yakin bahwa Juan akan kembali. Meski terkadang rasa rindu benar-benar menguras air matanya, tapi Chloe bisa menghadapinya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak peduli celotehan dan celetukan yang tak enak didengar berseliweran di telinga kanan dan kirinya. Chloe berusaha mengabaikan itu semua.Namun, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya berangsur waswas ketika tahu waktu satu bulan akan usai. Pertanyaan-pertanyaan yang dulu pernah menggerayangi pikirannya kini kembali bermunculan. Bagaimana jika bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuat Juan kembali? Bagaimana jika Juan sungguh-sungguh tidak kembali? Bagaimana jika Chloe di
"Chloe, ayo dong. Lo jangan terus-terusan nangis begini. Gue harus lakuin apa biar seenggaknya lo berhenti nangis, lo bangun dari tempat tidur, dan yang paling penting … lo mau makan."Grace sudah tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa dalam menghadapi Chloe yang benar-benar kacau. Tidak mau makan. Tidak mau kuliah pula. Terlebih ketika dirinya tahu ada banyak orang yang menyalahkan dirinya atas kepergian Juan.Selang dua hari tanpa tanda-tanda kehadiran Juan di ruang kuliah, Alex mau tak mau mengirimkan surat permohonan pengunduran diri Juan sebagai dosen Seirios dikarenakan suatu hal yang mendesak, dimana Alex sengaja tidak menyebutkan detail alasannya. Mulai saat itu timbul banyak spekulasi yang semuanya menjurus pada satu sumber, yaitu Chloe. Orang-orang mulai menyangkutpautkan kepergian Juan yang tiba-tiba dengan Chloe. Lebih tepatnya dengan hub
Aneh. Tidak biasanya Juan pergi begitu lama. Memang Chloe tidak sedang menunggu Juan di suatu tempat. Chloe hanya sedang menunggu kabar dari lelaki itu sejak siang tadi. Sejak dimana Juan memberikan Chloe kejutan yang sungguh-sungguh membuatnya terkejut, bahkan hingga sekarang masih terasa bagaimana rasanya. Memang baru berjalan beberapa jam, tapi tetap saja tidak biasanya Juan mengabaikan Chloe begitu lama hanya karena sedang pergi menemui Alex.Chloe bolak-balik mengecek ponselnya sambil berbaring di atas tempat tidur.Chloe : Apa obrolan kalian sangat penting?Akhirnya Chloe bertanya itu dan chat tersebut tampaknya tidak benar-benar terkirim, sebab masih tertanda ceklis satu. Benar-benar an
Juan melangkah santai melewati pintu Gedung Malaikat Maut usai mengantarkan satu arwah di siang hari yang terik. Berjalan melenggang tanpa tau apa yang terjadi. Bahkan beberapa pasang mata yang memperhatikannya di lobi gedung pun tidak cukup membuatnya terusik.Tak jauh di depannya, Alex berjalan menghampiri. Bola matanya bergulir memandangi Juan dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kenapa?" tanya Juan tak paham. "Jangan ikut-ikutan yang lain. Lihat gue kayak lihat siapa aja," cetusnya.Alex menatap dengan tatapan kosong."Ju …," panggilnya. "Lo … ada yang cari lo."Juan mengernyit. "Siapa?"Tiba-tiba saja dua sosok berjubah dan bertudung hitam yan
Pak Juan : Chloe, saya ada penjemputan. Sepertinya kamu harus makan siang sendiri hari ini.Tidak boleh mengeluh, pikir Chloe. Menjemput arwah adalah tugas utama Juan, Chloe tidak bisa melarangnya. Lagi pula, apa bisa Chloe yang merupakan seorang manusia ini melarang malaikat maut menjemput arwahnya? Sekilas sempat terpikirkan juga oleh Chloe bagaimana jika malaikat maut tidak datang untuk menjemput arwahnya? Apa malaikat maut tersebut akan dihukum? Hukuman macam apa yang bisa diterima malaikat maut?Chloe bersama dengan beberapa mahasiswa lainnya menyudahi agenda pertemuan dengan dosen pembimbing akademik sebelum memasuki semester baru. Menerima wejangan dari sang dosen untuk mengambil mata kuliah yang diajar oleh dosen selain Juan, seperti yang pernah Juan katakan. Namun, tidak ja
Sejak saat itu, Chloe merasa bahwa hidupnya telah benar-benar berubah. Memiliki Juan tentunya merupakan satu dari sekian banyak hal mustahil, yang justru membuat Chloe merasakan bahwa sebenarnya tidak ada hal yang mustahil. Tidak peduli orang-orang membicarakan hubungannya seperti apa, yang terpenting dirinya dan Juan menjalani atas dasar suka sama suka. Bahkan lebih dari itu. Tidak ada paksaan dan tidak ada setting-an.“Chloe, bagaimana kalau saya tiba-tiba menghilang?”Dari posisi kepala bersandar di kursi mobil, Chloe sontak menoleh. Kepalanya bergulir dari pemandangan laut—di kala malam hari yang ada di sampingnya—kemudian ke arah Juan.“Apa maksudnya Pak Juan tanya begitu?” tanya Chloe. &ld
Berpikir bahwa semua ini telah selesai? Tentu saja belum.Di saat cerita-cerita dalam film yang penuh drama seperti ini kebanyakan berakhir dengan bahagia, cerita dalam hubungan Chloe dan Juan ini justru rasa-rasanya tidak ingin ada kebahagiaan. Sebab sekalinya kebahagiaan itu datang, kesedihan akan dengan cepat mengambil alih. Bagaimana tidak? Di saat Chloe bahagia, Juan justru menghilang darinya. Bahkan dengan terpaksa diam-diam Juan berharap jangan pernah Chloe mengungkapkan kebahagiaannya.Setelah mengetahui kenyataan bahwa sang iblis telah menerima hukuman akibat tindakannya, Chloe akhirnya kembali menjalani hari-harinya seperti biasa. Melihatnya kembali ceria sepanjang waktu—hingga lewat beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan—memberikan kebahagiaan tersendiri untuk Juan."Paling nanti
Setelah satu hari izin tidak menghadiri kuliah dikarenakan kondisi yang masih belum memungkinkan, akhirnya hari yang tidak ditunggu-tunggu Chloe pun tiba.Di sepanjang perjalanan dari lobi gedung jurusan hingga ke lantai ruang kuliah, tak henti-hentinya bisikan, gumaman, serta sorot mata tajam mengiringi langkah Chloe. Grace yang ikut berjalan di sebelahnya pun sampai menengok ke kanan juga ke kiri untuk paling tidak memberi isyarat pada para penggosip agar menghentikan kegiatan tidak penting mereka. Tampaknya, berita terkait hubungan sahabatnya dengan sang dosen benar-benar sudah tersebar dengan begitu cepat ke seantero Seirios.“Ya udah sih. Udah ngga bakal dilirik sama Pak Juan, terus bisa apa? Mereka mau apa?” gerutu Grace saat berada di dalam lift. Chloe yang dihadapi dengan situasi semacam itu, Grace-lah yang geram.