Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan.
“Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?”
“Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif.
“Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya.
“Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.
“Ponselnya nggak aktif!” tukas Sydney. Terdengar nada frustrasi dari suaranya.
Marvin geleng kepala beberapa kali kemudian kembali pada posisi duduknya. Kalau saja Sydney tidak mengganggu, bakso dan jus pokat pesannya sudah pasti tandas.
“Kamu masih bisa makan dengan santai padahal aku lagi bingung setengah mati?” bentak Sydney membuat Marvin menghentikan suapannya. Dia benar-benar kesal. Belum lagi orang-orang di kantin yang menjadikan mereka sebagai tontonan menarik di siang hari.
Marvin kembali berdiri dan memandang Sydney tajam. “Aku nggak kenal kamu dan jangan seenaknya mengganggu makan siangku. Kalau kamu ingin tahu Xavier ada di mana, cari sendiri! Jangan ganggu aku!” tukas Marvin akhirnya.
Sydney tak percaya kalau Marvin berani mempermalukannya di depan banyak orang.
“Kamu akan menyesali perbuatanmu padaku!” tunjuk Sydney dengan wajah memerah.
“Terserah deh! Aku lapar,” jawab Marvin cuek dan kembali fokus pada makanannya.
Sydney berjalan cepat meninggalkan kantin. Orang-orang yang kebetulan ada di sana dan melihat pemandangan itu, memberikan berbagai macam komentar.
“Kamu keren, bro! Sesekali cewek sok kecakepan memang harus diberi pelajaran!” tukas seseorang pada Marvin.
“Apa kamu nggak takut kalau Xavier bakalan marah? Secara Sydney kan pacarnya,” sambung yang lain.
“Xavier nggak suka padanya. Dianya aja yang ngejar-ngejar Xavier.”
“Iya, ya. Xavier mah selalu dikejar-kejar. Dianya ya santai aja sambil ngikutin kemauan para fansnya. Kalau bosan, tinggal ganti yang lain. Wong yang antri banyak,” sahut cowok bertubuh tambun.
“Tapi aku kasihan pada Sydney. Cantik-cantik kok disakitin?” yang lain balas bersimpati.
“Kalau Xavier bosan pada Sydney, aku mau kok mengganggantikan posisinya di hati gadis manis itu,” si kurus krempeng membayangkan dirinya berduaan dengan si angkuh Sydney. Teman-teman lain yang duduk dengannya dengan iseng menjitak kepala lelaki berwajah polos itu.
“Sadar, woy! Sadar! Jangan kebanyakan mimpi!”
Yang lain tertawa, si kurus memajukan bibirnya beberapa senti ke depan.
“Heh! Xavier itu cowok baik-baik. Dia hanya tidak bisa menolak cewek yang suka padanya. Dia baik meskipun misterius!” Siska, salah satu mahasiswa jurusan akuntansi yang sejak dulu mengagumi Xavier ikut buka suara.
Marvin mendesah frustrasi. Makan siangnya benar-benar dihancurkan. Mana tadi pagi dia tidak sempat sarapan di rumah.
“Kalian bisa diam, tidak? Dari tadi asyik ngerumpi. Nggak ada kerjaan lain?” bentak Marvin pada orang-orang di sekelilingnya.
Mereka mendelik kesal pada Marvin. Sedangkan lelaki itu memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut sebelum kepalanya benar-benar pecah. Marvin terkenal dengan sikapnya yang manis dan tidak banyak ulah. Namun, bila waktu makannya diganggu, dia bisa berubah menjadi sangat sangar.
***
“Kamu tidak harus selalu datang menjengukku,” ucap perempuan itu tepat ketika Xavier memasuki ruangannya.
“Aku sendiri dan tidak tahu harus bagaimana menjalani hidup ini. Kamu lupa dengan kalimat itu?” tanya Xavier yang kemudian meletakkan kantongan plastik berisi buah dan cemilan di atas meja kecil yang terdapat di ruangan itu.
“Aku tidak meminta belas kasihmu,” ucap perempuan itu sembari menutup majalah yang sedari tadi asyik dia bolak-balik.
“Aku nggak pengen hidup. Aku lelah. Aku pengen mati.”
“Memang itu yang aku rasakan. Puas?” tukas perempuan itu pelan namun menusuk.
Xavier memandang perempuan itu lekat sembari mendekap kedua tangan di dada. “Bodoh! Masalah itu dihadapin, bukannya lari dari masalah.”
“Kamu nggak perlu ikut campur urusan hidupku!”
“Mau tak mau aku harus ikut campur. Kamu lupa kalau aku yang membawamu ke rumah sakit ini? Kamu lupa kalau aku membayar semua biayamu selama di sini?”
“Aku nggak minta!” jawabnya lagi tanpa memandang Xavier.
“Tapi kamu muncul di hadapanmu! Bisa nggak sih nggak bikin aku frustrasi?” bentak Xavier kesal.
Perempuan itu diam dan tak lagi memandang Xavier.
“Kamu harusnya beruntung karena aku menyelamatkanmu!” tambah Xavier lagi.
“Aku nggak minta diselamatkan!” bentak perempuan itu kemudian. Sama frustrasinya dengan lelaki di hadapannya itu.
“Oh God! Kamu perempuan keras kepala pertama yang pernah kutemui. Ya sudah, sekarang kamu pergi dari rumah sakit ini. Atau kalau mau mati sekarang juga, lompat aja dari jendela di sebelahmu. Dijamin lima menit kemudian kamu bakalan ditemukan dengan kondisi tidak bernyawa!” jelas Xavier berapi-api. Belum pernah sebelumnya dia mengeluarkan emosi seperti ini.
Sepuluh menit berlalu tetapi perempuan itu belum jua mengeluarkan suara.
“Nggak mampu lagi berkata-kata?” sindir Xavier yang kemudian ambil posisi duduk di kursi yang tersedia di dalam ruangan tersebut. Diambilnya ponsel dari dalam saku, dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan bermain game.
Dua puluh menit berlalu. Perempuan itu masih dengan diamnya. Xavier yang penasaran melirik perempuan itu. Ternyata perempuan itu masih memfokuskan pandangan pada panorama yang tampak dari dari samping jendelanya. Ada untungnya juga Xavier memilih kamar khusus pasien VIP padanya. Kamar ini terletak pada lantai delapan. Bila pasien merasa bosan, pasien bisa melihat pemandangan dari jendela yang terletak tak sampai satu meter dari tempat tidurnya. Awalnya Xavier merasa was-was. Takut bila perempuan itu lompat dari sana. Xavier sampai mengingatkan perawat berkali-kali agar tidak lengah menjaga pasien.
Xavier berdiri dari duduknya. “Aku pamit,” ucapnya yang kemudian mengambil tas yang terletak tak jauh darinya.
Perempuan itu langsung mengarahkan pandangan pada Xavier.
“Kamu baik-baik di sini. Sekali lagi, jangan berpikiran aneh dan berbuat macam-macam!” ujar Xavier sebelum melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruangan tersebut.
“Maaf karena aku sudah menyusahkanmu. Makasih karena melalui kamu, aku diberi kesempatan untuk hidup kembali.”
Ucapan perempuan itu berhasil membuat Xavier menghentikan langkahnya dan berdiri mematung membelakangi perempuan itu.
“Ava. Namaku Ava.”
Xavier berbalik, kemudian memandang perempuan itu dengan saksama. “Ava. Nama yang bagus,” tukas Xavier dengan senyum manis di wajahnya. “By the way, kamu sudah boleh pulang. Tapi kalau kamu masih merasa nyaman di sini, nggak masalah kok. Aku masih bisa nanggung biaya nginep kamu. Yaaaa… semingguan lagi boleh lah,” cengiran Xavier membuat Ava memelototkan kedua matanya.
“Kamu bisa pulang sendiri, kan? Atau masih perlu aku antar?” tanya Xavier yang kini berjalan mendekat ke arah Ava.
Ava terlihat gelisah dan meremas jemarinya. Xavier mengerutkan kening melihat hal tersebut.
“Jangan bilang kalau kamu lagi kabur dari rumah!” tebak Xavier tiba-tiba.
Ava mematung mendengar ucapan Xavier.
“Oh God!” maki Xavier tak percaya. “Kamu ini kenapa, sih? Kamu kan bukan anak kecil lagi? Main kabur-kaburan segala. Iya kalau kamu punya duit banyak. Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu inginkan. Lah, boro-boro duit. Kartu pengenal saja kamu nggak punya,” jelas Xavier tak habis pikir.
“Jadi gimana nasib kamu ke depannya? Lihat aku dong! Aku lagi ngomong, lho!” Xavier kesal karena Ava terus menunduk, tak mengubris ucapannya.
“Ava!!”
“A… aku nggak tahu,” jawab Ava pelan sembari menatap wajah Xavier yang tengah menahan amarah dan kekesalan.
“Maksudmu?” tanya Xavier geram.
“Aku nggak punya rumah. Aku juga nggak punya saudara di sini,” tambah Ava lagi, masih dengan intonasi yang sama.
“Jangan bilang kalau kamu pengen numpang di rumahku! Nggak! Itu nggak bisa dan nggak bakalan terjadi!” ucap Xavier sembari berjalan bolak-balik di hadapan Ava. Mencoba mencari jalan keluar untuk perempuan itu.
“Aku juga nggak pengen tinggal sama kamu. Tapi kalau kamu nggak keberatan, bisakah kamu mencari rumah kontrakan untukku?” pinta Ava dengan wajah sendunya.
“Memangnya kamu pikir rumah kontrakan di Jakarta ini murah? Kamu punya uang?”
Ava tersenyum samar sembari menggeleng-gelengkan kepala.
“Benar-benar dah kamu berhasil buat aku pusing tujuh keliling!”
“Maaf,” ujar perempuan itu masih merasa bersalah.
“Huhhh! Punya salah apa aku sampai harus berurusan denganmu? Ya sudah. Aku bantu kamu! Tapi nggak gratis! Semua uang dan waktu yang sudah kukeluarkan, wajib kamu ganti!” ancam Xavier serius.
Ava membelalak bahagia. Di saat rasa percayanya pada sesama manusia hampir runtuh, muncul sang penolong tak terduga. Ya, meskipun dengan kalimat kasar dan sudah pasti tak begitu ikhlas menolongnya. Tetap saja itu meringankan beban yang ia derita.
“Makasih. Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi terima kasih!” jawab Ava sungguh-sungguh.
Xavier mendelik tak percaya. “Nanti setelah urusanku selesai, aku jemput kamu. Aku juga harus ke kampus. Gara-gara kamu, aku sampai bolos dulu hari,” omel Xavier yang berhasil membuat Ava kembali merasa bersalah.
“Maaf,” Ava lagi-lagi menundukkan kepala.
“Maaf mulu dari tadi. Aku pergi.”
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru