Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.
Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.
Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.
Musik dengan hentakan keras kini berubah dengan lagu mellow. Laki-laki dan perempuan saling berangkulan. Menggerakkan tubuh sesuai irama.
Pun demikian dengan Sydney. Lalu kesadarannya benar-benar pulih kala Xavier datang secara tiba-tiba memeluk pinggangnya dari belakang. Remaja dua puluh tahun itu terkesiap. Namun, ketika mendapati siapa yang memeluknya, senyum lebar langsung terpancar dari wajahnya.
“Xavier,” bisik Sydney mesra.
Xavier balas tersenyum. Sebuah senyuman yang selalu berhasil membuat perempuan mana pun yang dia inginkan bertekuk lutut padanya.
“Kamu dari mana saja? Kok lama banget datangnya?” tanya Sydney yang kemudian berbalik arah lalu menyilangkan kedua tangannya di leher Xavier.
“Maaf, Cantik. Ada yang harus kulakukan tadi,” jawab Xavier dibarengi senyum tipisnya yang menawan.
“Aku pikir kamu nggak bakalan datang,” Sydney menunjukkan wajah cemberut.
“Aku tak akan membiarkanmu seorang diri di sini. Mendapati banyak lelaki yang memandangimu saja membuat hatiku teriris,” sahut Xavier masih dengan senyumannya.
Sydney tersenyum, malu. “Kamu tahu tidak kalau saat ini aku sangat bahagia?”
“Aku tahu.”
“Apa kamu juga tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?” tanya Sydney lagi sembari memandang lekat kedua bola mata lelaki berlesung pipi itu.
“Aku tahu,” bisik Xavier lembut di telinga gadis berambut sebahu itu.
Langsung saja jantung Sydney berdetak lebih kencang. Dia telah lama menantikan momen ini. Bisa dekat dengan Xavier yang notabene merupakan mahasiswa paling populer di kampus.
“Aku—”
“Sssttt…” Xavier menaruh jari telunjuknya di bibir tipis gadis itu. Tak lama kemudian, dikecupnya bibir itu. Hanya hitungan detik. Namun berhasil membuat bunga yang hampir layu di hati Sydney mekar seketika.
***
Josh Xavier Turner adalah remaja berusia dua puluh tahun. Memiliki tubuh tinggi dengan berat badan seimbang. Bentuk wajahnya oval. Bola matanya hitam pekat dipadukan dengan alis yang sempura. Tidak lebat, juga tidak tipis. Rahangnya kokoh. Sedang hidungnya bangir. Rambutnya semi panjang. Terkadang terlihat acak. Tetapi bagi banyak perempuan malah memberikan kesan seksi dan keren. Memiliki senyuman maut yang mana ketika dia tersenyum, lesung pipinya langsung datang menyambut. Memberi kesan lembut yang membuat banyak perempuan tergila-gila padanya. Kata sebahagian perempuan, Xavier adalah Lee Seung Gi—aktor, penyanyi, sekaligus pembawa acara Korea Selatan— versi Indonesia.
***
“Kamu pacaran dengan Sydney?” tanya Zalea dengan muka ditekuk kala menemukan Xavier tengah asyik berbaring di tempat favoritnya, atap kampus. Meski cahaya matahari mulai meninggi, Xavier tidak peduli.
Xavier langsung mengangkat buku yang menutupi wajahnya, kemudian memicingkan mata dan mendapati Zalea, mahasiswa jurusan hukum itu, dengan wajah menahan amarah.
“Apa sih?” ucap Xavier acuh tak acuh.
“Xavier, kamu ini apa-apaan sih? Kamu selingkuh di belakangku tapi bertingkah seolah tidak bersalah!” bentak Zalea kesal.
Xavier ambil posisi duduk dan menatap Zalea dengan kening berkerut. “Maksud kamu apa?” tanyanya dengan nada datar.
“Kemarin temanku ngeliat kamu dan Sydney asyik dugem. Aku bahkan punya buktinya,” ucap Zalea masih dengan nada tinggi kemudian mengambil beberapa lembar foto dari dalam tas.
“Apa maksud semua ini, Xavier?” tambah gadis berambut panjang gelombang yang hari itu mengenakan rok jeans pendek, sweater rajutan, dan dipadukan dengan sepatu bot hitam.
Xavier terkekeh, “Sudahlah! Jangan lebay. Kita bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa,” sahut Xavier santai tanpa melihat foto pemberian Zalea.
Gadis itu geleng-geleng kepala. “Aku bahkan sudah ngenalin kamu ke mama aku,” ujarnya setengah frustrasi.
“Aku nggak pernah minta, kan?”
“Kamu jahat!” desis Zalea marah.
“Whatever!”
“Kamu bakalan nyesal udah sakitin hati aku, Xavier!”
“Aku bahkan nggak ngerasa nyakitin hati siapa-siapa,” ujar Xavier dengan senyum menghiasi wajahnya. Membuat Zalea berbalik, menghentakkan kakinya, dan kemudian meninggalkan lelaki itu.
***
Josh Xavier Turner. Mahasiswa jurusan ekonomi yang lebih mementingkan bagaimana have fun dengan cewek yang mengejar-ngejar cintanya ketimbang mengurusi kuliahnya sendiri.
“Aku tidak memilih satupun di antara mereka. Mereka yang datang sesuka hati,” jawab Xavier kala Marvin, teman sekelasnya menanyakan tips untuk menjadi seorang playboy sejati.
“Lalu setelah kamu bosan, kamu mencampakkan mereka,” ujar Marvin dengan anggukan kepala.
Xavier terkekeh. “Mereka yang memutuskan untuk pergi.”
“Kamu memilih bersama Sydney. Padahal Zalea jauh lebih cantik. Kamu tahu, sejak putus denganmu dia benar-benar kacau. Wajahnya yang cantik tak lagi bercahaya. Redup seketika! Dugaanku, tanpamu hidupnya tak lagi berarti,” jelas Marvin dengan wajah prihatin.
Lagi-lagi Xavier terkekeh. “Menurutmu dia cantik? Kamu suka padanya?”
Ditanya seperti itu Marvin malah menggeleng-gelengkan kepala cepat.
“Kalau Sydney, bagaimana?” tanya Xavier iseng.
“Cantik sih. Tapi gayanya itu selangit! Sombong! Merasa seolah dia cewek paling cantik di kampus ini. Meskipun dia anak pejabat, nggak seharusnya dia bersikap seperti itu,” jelas Marvin tak suka.
Xavier mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.
“Seleramu memang gila!”
“Kamu juga bisa mendapatkan perempuan mana pun yang mana kamu inginkan, Marvin,” tukas Xavier pada temannya yang tergolong pemalu pada perempuan itu.
“Dan aku harus belajar banyak darimu.”
“Tentu saja, Kawan,” jawab Xavier dengan derai tawanya.
“Semoga saja Sydney tidak bernasib sama dengan Zalea.”
“Haha…. Aku tidak bisa pastikan itu.”
Lalu keduanya terkekeh bersama.
***
Dengan mengendarai motor sportnya, akhirnya Xavier tiba di depan rumah Sydney yang super mewah itu. Untuk kali pertama dia menginjakkan kaki di rumah Sydney. Sydney sendiri sudah menunggu sedari tadi di teras rumah. Wajah gadis itu sumringah melihat kedatangan Xavier.
“Nggak masalah kalau kita pergi naik motor?” tanya Xavier sekedar berbasa-basi.
Sydney langsung menganggukkan kepalanya cepat. “Why not?”
“Orangtuamu tidak akan marah putri cantiknya dibawa menggunakan sepeda motor?” ulang Xavier lagi.
“Xavier…. Mom sama Dad lagi di Amerika. So, it’s oke,” jawab Sydney menanggapi pertanyaan kekasihnya itu.
“Jadi malam ini kita ke mana?”
“Ke mana aja. Pokoknya berdua denganmu.”
Dan senyuman menawan milik Xavier pun dia berikan pada gadis yang malam itu tampak fresh dengan penampilannya. Kaos oblong berwarna abu-abu disertai hotpants yang menonjolkan kaki jenjangnya. Sedang untuk sepatu, Sydney menggunakan boots coklat. Tas sandang kecil berwarna merah tersanding di bahunya.
Xavier membawa Sydney mengitari jalanan Jakarta. Sydney berteriak bahagia di belakang Xavier. Gadis itu memeluk pinggang Xavier, erat. Xavier tersenyum tipis mendapat perlakuan dari sang gadis. Padahal kalau orang tua Sydney tahu putrinya dibawa penggunakan sepeda motor, pasti tidak akan diizinkan. Satpamnya sendiri sudah dia ancam untuk tidak memberitahukan hal tersebut pada kedua orang tuanya.
Setelah puas berkeliling Jakarta, Xavier membawa Sydney menuju bioskop.
“Kita nonton?” tanya Sydney dengan bola matanya yang membulat.
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Suka dong. Kan udah aku bilang. Selagi sama kamu, kenapa tidak?” sahut Sydney yang kemudian menggamit lengan Xavier mesra.
Film romantis pun menjadi pilihan mereka. Sejujurnya, Xavier tidak begitu suka nonton film. Dia hanya lelah mengendarai sepeda motor. Dan bioskop adalah satu-satunya tempat yang terlintas di pikirannya kala itu.
Sepanjang pemutaran film, tidak banyak kalimat yang terucap dari bibir Xavier. Sedang Sydney terus-menerus menggamit lengan Xavier. Seolah tidak ingin kehilangan lelaki itu barang sedetik pun.
Ada waktu di mana Sydney bersikap begitu agresif. Ingin menciumi Xavier di gelapnya suasana. Perempuan gila, batin Xavier dalam hati dengan kekehannya yang tidak dilihat oleh Sydney. Xavier berusaha untuk menjauhkan wajah Sydney dari wajahnya.
“Xavier…” tukas Sydney dengan wajah manyun. Untung saja suaranya pelan. Kalau tidak, orang-orang pasti mengira kalau mereka sedang melakukan hal yang tidak-tidak. Apalagi zaman sekarang bioskop banyak disalahgunakan oleh pasangan muda-mudi yang tengah dimabuk asmara.
Xavier tidak menjawab. Namun dia memberikan kecupan singkat di pipi gadis itu. “Filmnya seru. Kamu harus menontonnya sampai akhir.”
Sydney mendesah dan hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan perasaan kesal.
***
Sydney adalah mahasiswa jurusan sosial politik yang baru sebulan lalu pindah ke kampus yang sama dengan Xavier. Dulunya, dia sekolah di Australia. Dia sekolah di sana sejak memasuki bangku SMA. Namun, karena tingkah lakunya yang mulai bebas, dengan terpaksa kedua orang tuanya menyuruh dia untuk kembali ke Indonesia—hal itu diketahui oleh orang tuanya karena mereka memang sengaja mengirim mata-mata yang bertugas untuk melaporkan apa saja yang dilakukan putri semata wayang mereka di Negari Kanguru itu.
Bukan Sydney namanya kalau langsung berubah seperti kemauan orang tuanya. Sehari dua hari, dia bisa bersikap manis. Namun, lama kelamaan sikap itu membuatnya muak dan bosan. Baru ketika dia melihat Xavier yang waktu itu berjalan di depan kelasnya, dia langsung bersemangat untuk kembali menjalani kehidupan. Dengan segera Sydney mencari tahu segala sesuatu tentang lelaki yang menarik hatinya itu.
Sydney tidak peduli dengan sebutan Xavier sebagai cowok playboy. Yang dia tahu, dia harus mendapatkan lelaki itu. Sebahagian mengatakan kalau Sydney terlalu agresif dan tampak begitu menginginkan Xavier. Whatever apa kata orang, batin Sydney tak terbantahkan.
“Kamu yang namanya Xavier?” kalimat pertama yang dia luncurkan ketika mendapati Xavier sedang asyik tertawa dengan Marvin di kantin.
Xavier memandang ke arah Sydney. Pun penghuni kantin yang lain.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Xavier tanpa berdiri dari duduknya. Hanya memandangi gadis cantik namun terlihat angkuh di hadapannya tersebut.
“Aku ingin kamu jadi kekasihku!” pinta Sydney bak perintah.
Tentu saja Xavier terpingkal-pingkal. Sydney yang mendapatkan respon dari Xavier menjadi sakit hatinya.
“Aku serius!” ulang Sydney lagi.
Xavier masih memegangi perutnya yang terasa sakit. Marvin sendiri memandangi Xavier dengan pandangan yang mengisyaratkan, gila kamu, Xavier. Kamu cari mati padanya!
“Saya tidak punya alasan untuk menjadi kekasihmu,” jawab Xavier yang membuat Sydney melangkahkan kakinya dengan hentakan keras dari ruangan itu.
Ruangan yang tadinya hening akhirnya kembali riuh setelah kepergian gadis tersebut.
Sydney tidak akan berhenti sampai disitu. Dia tetap berusaha mendapatkan hati Xavier. Baginya penolakan bukanlah akhir. Namun, awal dari tujuan apa yang dia inginkan.
Sebenarnya Sydney baru saja mengalami yang namanya patah hati. Pacarnya yang asli warga Australia, Eithan, selingkuh dengan kakak senior di kampusnya. Padahal Sydney sangat menyayangi cowok itu. Pikirnya, Xavier adalah orang yang pas untuk membuat suasana hatinya kembali membaik.
Sebenarnya Xavier tahu siapa Sydney. Bahkan sebelum gadis itu muncul di kampus, dia sudah mendapatkan info tentang kedatangan gadis itu. Dia hanya ingin bermain-main sebentar sebelum akhirnya mengatakan iya pada keinginan gadis itu.
***
Xavier menatap layar komputernya dengan serius. Tangannya bergerak lincah di atas tuts-tuts keyboard. Tidak butuh waktu lama untuk dia menyelesaikan tugasnya.
Enter. Selesai!
Senyum simpul menghiasi wajahnya sebelum dia memutuskan untuk terlelap malam ini. Dan dia yakin besok senyumnya akan semakin lebar.
***
Pukul sembilan pagi, Xavier berhasil memicingkan matanya, setelah kesal karena bunyi alarm di atas meja samping tempat tidurnya terus berbunyi. Setelah kesadarannya penuh, dia ambil posisi duduk, kemudian mengambil remote, lalu menyalakan televisi LCD berukuran 32 inchi yang berjarak empat meter dari hadapannya.
Putri aktris senior Lidya Bellina ternyata ada main dengan lelaki paruh baya.
Berita itu menjadi trending topic di berbagai stasiun televisi.
“Lidya Bellina belum mengkonfirmasi perihal beredarnya video mirip putrinya yang sedang bercumbu mesra dengan beberapa lelaki paruh baya. Padahal, sejak dia menjadi artis, dia tidak pernah mendapat berita buruk seperti ini. Ditemui di lokasi shooting, wanita yang hampir berusia setengah abad itu tidak mau berkomentar apa pun. Begitu juga dengan keluarga lainnya yang hingga kini belum diketahui di mana keberadaanya,” tukas salah satu pembaca acara gosip di stasiun televisi C.
“Oke. Cukup!” tukas Xavier yang kemudian mematikan televisi tersebut.
***
Kampus heboh. Wartawan ada di mana-mana. Xavier dengan santainya melewati mereka dan berjalan menuju kelasnya yang terletak di lantai tiga. Didapatinya Marvin tengah memandang hamparan manusia di halaman kampus.
“Hey, Bro!” Xavier menepuk pundak Marvin.
“Ada berita gila. Semoga saja kamu kuat mendengar kabar ini,” Marvin menunjukkan wajah shock tak percaya.
Xavier memamerkan deretan giginya yang rapi. “Ada apa sih? Kamu membuatku penasaran!”
“Zalea!”
“Kenapa dengan dia? Udah dapat gandengan baru?” tebak Xavier asal.
“Lebih dari itu,” wajah Marvin semakin tegang.
“Maksud kamu?” tanya Xavier masih dengan gaya cool. Sebelum menjawab pertanyaan Xavier, Marvin mengembuskan napasnya panjang, secara perlahan-lahan.
Xavier terkekeh melihat sikap Marvin. “Kamu persis ibu hamil yang siap buat lahiran.”
“Shit! Ini bukan saatnya bercanda, Xavier!
“So?” Xavier menaikkan sebelah alis matanya. Berusaha menunjukkan bahwa dia benar-benar penasaran akan berita yang hendak disampaikan oleh teman baiknya itu.
“Ternyata selama ini dia selingkuh dari kamu. Benar-benar gila! Apa kamu tahu dia selingkuh dengan siapa?” tukas Marvin berapi-api.
Xavier menggelengkan kepalanya.
“Lelaki tua berduit!”
Xavier mengerutkan keningnya. “Kamu nggak sedang bercanda kan, Marvin?”
“Xavier, apa wajahku mengatakan kalau aku tengah bercanda? Ya, paling tidak aku harus bersyukur karena kamu sudah lepas darinya. Kupikir dia berbeda dengan pacar-pacarmu yang lain. Ternyata cantiknya hanya di luar saja,” sesal Marvin.
“Yah sayang sekali. Aku tak menduga ini akan terjadi.”
“Makanya wartawan datang ke kampus ini. Mereka berharap bisa menemukan Zalea.”
“Bagaimana mereka mengetahui berita ini? Bisa sajakan seseorang memfitnah Zalea?”
“Xavier, video dan foto-foto mesra Zalea dengan Om-Om itu tersebar di internet. Dan bisa dipastikan kalau foto dan video itu asli!”
Kena kamu, Zalea! Itu akibatnya kalau kamu tidak terima apa yang aku ucapkan! Kamu terlalu ngotot jadi perempuan. Padahal aku tahu rahasia terbesarmu, batin Xavier dengan senyum simpul di wajahnya. Teringat bagaimana gadis itu menjejali ponselnya dengan berbagai pesan yang intinya supaya bisa kembali berpacaran dengan Xavier. Puncaknya kemarin, Zalea kembali menemui Xavier di atap kampus.
“Pokoknya kita harus balikan!” pinta Zalea ngotot di belakang Xavier.
“Pergilah dari kehidupanku, Zalea,” jawab Xavier yang tengah asyik memandangi pemandangan kampusnya.
“Aku sayang sama kamu, Xavier,” ujar gadis itu memelas. Ia berusaha meraih jemari Xavier, namun dibalas dengan penolakan.
Wajah Zalea memerah menahan amarah. Ia tak suka direndahkan seperti ini!
“Aku hamil!”
Xavier membalikkan badan. Wajah tampannya berubah masam.
“Maksud kamu?”
“Kamu harus tanggung jawab!”
Xavier terkekeh, “Aku bahkan tidak pernah menyentuhmu!”
“Xavier!!!!” pekik Zalea dengan wajah merah padam.
“Sudahlah! Nggak usah mengancamku dengan bualan konyolmu itu. Kamu bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dari aku.”
“Aku nggak suka lihat Sydney dekat sama kamu!”
“Dan aku nggak suka kamu ada di depanku,” lirih Xavier santai.
Gadis itu meluruhkan air matanya. “Please, demi bayi di dalam perutku.”
“Aku nggak pernah nyentuh kamu! Kamu benar-benar ingin melihatku marah, Zalea? Satu lagi yang harus kamu ingat, air matamu sama sekali tidak mempan buatku!” tukas Xavier yang kemudian berjalan meninggalkan gadis itu.
***
“Kenapa kamu senyam-senyum?” tanya Marvin membuyarkan angan Xavier.
“Hanya bersyukur karena sudah bisa pisah darinya,” jawab Xavier santai.
“Yap! Semoga saja Sydneymu tidak seperti dia,” Marvin mengangkat kedua bahunya.
“Semoga,” jawab Xavier dengan senyum tipis yang lagi-lagi bertengger di wajahnya.
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru