Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu.
Sydney calling.
“Halo?” jawab Xavier akhirnya.
“Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana.
“Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai.
“Please, kamu matiin dulu musik kamu. Kencangnya kebangetan. Aku nggak suka!” pekik Sydney.
“Iya iya…” ujar Xavier yang kemudian mengecilkan volume speaker.
“Kamu tahu nggak sih, aku udah puluhan kali nelepon kamu.”
“Tadi aku lagi olahraga. Nggak kedengaran.”
“Aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak suka kalau kamu seperti ini sama aku,” Sydney mencak-mencak.
Xavier memicingkan mata. Mengembuskan napas kesal berkali-kali.
“Aku pengen ke puncak,” tukas Sydney kemudian yang berhasil membuat Xavier memicingkan mata lagi.
“Terus?”
“Ya kita pergi berdua,” tambah Sydney ngotot.
“Nggak bisa. Aku ada janji mau jumpa sama teman-teman. Kamu pergi sama teman kamu aja,” jawab Xavier sembari mengempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat muda.
“Nggak bisa gitu dong, Xavier!” Sydney menaikkan nada suaranya.
Tanpa babibu, Xavier malah mematikan ponselnya. Dasar cewek aneh! Bikin repot aja.
Sejak terungkapnya rahasia Zalea, Sydney semakin menjadi-jadi mendekati Xavier. Dia tidak mengizinkan cowok itu dekat dengan cewek mana pun. Dan akan marah besar jika mengetahui ada cewek yang mencoba mendekati cowok itu. Pikirnya, Xavier adalah miliknya seorang. Awalnya Xavier mengikuti apa keinginan Sydney. Namun, lama kelamaan dia mulai muak. Dan keinginan terbesarnya saat ini adalah mengakhiri hubungan dengan cewek yang selalu berpikiran kalau dia pasti bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
***
Xavier memutuskan untuk mendatangi kediaman Marvin. Baginya, rumah temannya itu merupakan salah satu tempat yang pas untuk menghilangkan penat.
“Siang, Tante,” ucap Xavier ketika seorang perempuan paruh baya membukakan pintu untuk Xavier, yang notabene merupakan ibu dari Marvin.
“Oh, Xavier. Yuk masuk,” sahut perempuan itu sembari memberikan senyum ramahnya pada Xavier.
“Udah lama nggak ke sini. Tante kira kamu udah menghilang di telan bumi,” tukas perempuan itu—Sulastri— becanda.
“Maunya sih gitu, Tan. Tapi buminya masih cinta sama Josh Xavier Turner. Makanya sampai sekarang masih tetap hidup dengan tampangnya yang ganteng ini,” balas Xavier dengan cengiran lebarnya.
“Iye iyeee…. Kata Marvin sekarang cewek-cewek yang pacaran sama kamu semakin berkelas. Anak astis, anak pejabat—”
“Kaya Tante nggak kenal Xavier aja,” potong Xavier langsung.
“Tobat deh, Xavier. Nggak baik punya cewek gonta-ganti.”
“Aduh gimana ya, Tan, cewek-ceweknya yang ngejar-ngejar Xavier. Xavier bisa apa coba?”
“Duh! Dasar. Kamu sama Marvin memang bagai bumi dan langit. Dia sekaliii aja belum pernah punya cewek. Tante takut jangan-jangan—”
“Tante, nggak baik berpikiran negatif sama anak sendiri. Percaya sama Xavier, Marvin masih normal. Masih doyan yang cantik-cantik,” potong Xavier lagi dengan senyum merekah di wajahnya. “Marvin ada di kamar kan, Tan?”
“He’eh. Emang dia bisa ke mana lagi week end kaya gini?” Sulastri menunjukkan wajah ditekuk.
Xavier memberikan cengiran lebar. Kemudian melangkah dengan cepat menuju lantai dua, kamarnya Marvin.
“Mau dibawain minuman nggak?” teriak Sulastri.
“Boleh, Tan,” jawab Xavier dengan nada yang sama.
Xavier langsung masuk ke kamar Marvin yang tidak dikunci. Dengan cepat, dia empaskan tubuhnya di atas kasur berwarna merah maron itu. Membuat Marvin yang sedang asyik bermain playstation memandang ke arahnya.
“Nggak ada jadwal nge-date?” tanya Marvin yang kemudian mengalihkan pandangan dari monitor di hadapannya.
“Males,” jawab Xavier yang kemudian berganti posisi—terlentang—sembari memandang langit-langit kamar Marvin yang ditempeli stiker pemain sepak bola Real Madrid.
Xavier tahu hampir semua hal yang berkaitan dengan Marvin. Sedangkan Marvin tidak. Yang Marvin tahu, Xavier suka gonta-ganti cewek, tinggal sendirian di apartemen, mudah bergaul, acuh tak acuh pada kuliah, dan merupakan seorang teman yang baik hati.
“Ah, bilang aja kalau kamu lagi kesal dengan teroran si Sydney,” kekeh Marvin senang.
“Dia berhasil membuatku frustrasi!” desis Xavier kesal.
“Mungkin sudah saatnya kamu berhenti.”
“Maksudmu?” Xavier menelungkupkan badan, memandang Marvin yang masih asyik dengan permainan sepak bolanya.
“Tobat. Puasa dulu pacarannya.”
Xavier terkekeh geli. Ide yang bagus. Tapi, apa dia bisa? Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia tak punya pasangan. Sejak SMP, cewek-cewek sudah mendekat padanya. Bahkan di saat dia belum tahu apa-apa tentang cinta dan perasaan. Ya, merekalah yang membuatnya seperti ini. Hingga lama-kelamaan, hidup tanpa cewek merupakan suatu kewajiban, candu.
“Sejujurnya hingga kini, aku belum pernah jatuh cinta pada cewek,” tukas Xavier tiba-tiba.
Kalimat itu berhasil membuat Marvin fokus padanya—meninggalkan permainan game kesukaannya itu. Cowok bertubuh kurus itu memandang Xavier penasaran. Namun, sebelum Xavier kembali menjelaskan kalimatnya, Sulastri muncul dengan nampan berisi dua gelas jus jeruk.
“Aduh, Tan, nggak usah pakai repot segala seperti ini,” tukas Xavier yang kemudian ambil posisi duduk. Memandangi perempuan paruh baya yang hari itu mengenakan batik biru dengan seksama.
“Aih, entar nggak diantarin minuman kalian malah bilang kalau Tante ini pelit,” tukas perempuan itu mengerlingkan sebelah alis matanya.
“Ih, Mama ada-ada aja. Nggak mungkinlah kami ngomong seperti itu,” sahut Marvin geleng-geleng kepala.
“Becanda lho, Marvin. Kamu ini harus banyak-banyak belajar dari Xavier. Terlalu serius itu nggak baik. Bikin cepat tua!” jawab Sulastri yang kemudian menghilang dari balik pintu, setelah meletakkan minuman di atas meja belajar Marvin.
Xavier terkikik geli. Memang tingkah Marvin dan ibunya berbanding terbalik. Tapi dia menyukai itu. Setidaknya rindu Xavier pada keluarganya terbayar ketika dia berada di rumah temannya itu.
Marvin merupakan putra semata wayang. Ayahnya seorang manager di salah satu perusahaan swasta. Sedang ibunya mempunyai beberapa butik. Beberapa orang kepercayaan yang mengurus binisnya itu. Dia hanya sesekali datang untuk melihat perkembangan.
“Biasa aja dong ketawanya!” ungkap Marvin kesal.
“Habis kalian lucu,” jawab Xavier masih dengan tawa berderai.
“Bersenang-senanglah di atas penderitaan orang lain, Xavier,” tambah Marvin sembari menggelengkan kepala.
“Hahaha. Gitu aja sewot.”
“Jadi yang tadi itu gimana? Kamu beneran belum pernah jatuh cinta?” Marvin memandang Xavier dengan serius.
“Belum.”
“Kok bisa sih? Kan mantan-mantanmu keren-keren semua.”
“Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat jantungku berdebar. Tidak ada juga yang berhasil memenuhi pikiranku,” jelas Xavier santai.
“Haduh, kalau gitu tobat aja deh.”
“Thanks. Bakalan kupertimbangkan.”
“Wow, kalau itu sampai terjadi, aku rela deh melakukan apapun untukmu,” ucap Marvin dengan tawa di wajahnya. Pertanda kalau dia tidak yakin Xavier bisa hidup tanpa perempuan.
“Pegang omonganmu, Marvin!”
“Pastinya!” jawab Marvin penuh percaya diri.
***
Xavier mendapat pesan kalau ibu kandungnya terkena serangan jantung dan sekarang tengah dilarikan ke rumah sakit. Tanpa ba bi bu, lelaki itu langsung meluncur ke tempat yang dituju. Meski tiga tahun belakangan ini dia memutuskan tinggal sendiri, bukan berarti dia melupakan keluarganya.
Dari tempat parkir, dia pun berlari secepat yang dia mampu. Karena terburu-buru, Xavier sampai menabrak beberapa pengunjung.
“Maaf…. Maaf….”
Setelah menemukan ruangan tempat ibunya dirawat, Xavier melangkah dengan pelan. Ditatapnya ibunya dari kaca pintu masuk ruangan tersebut. Dilihatnya seorang perempuan paruh baya tengah terbaring lemah.
“Tidak ingin masuk ke dalam, Kak?” tukas seseorang yang membuat Xavier terkejut.
“Cukup dari sini saja, Anna.”
“Masuklah, Kak. Aku tahu kalau kakak mengkhawatirkan mama.”
Xavier terkekeh, lalu memandang perempuan tinggi langsing yang berdiri di sampingnya.
“Kalau aku masuk, sakit mama bakalan tambah parah. Kamu tahu sendiri bagaimana beliau memandangku.”
“Kak—”
“Semuanya masih seperti dulu, Anna.”
“Dan rasa sayang kakak tetap utuh pada mama. Dulu hingga kini.”
“Anna, jaga mama.”
“Kak—”
“Aku pergi.”
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru