Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan.
Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala.
Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadari bahwa aku tak secantik namaku . Entah dari mana kedua orangtuaku mendapat inspirasi mengenai nama itu. Aku tidak tahu dan mereka tidak pernah berusaha sedikit pun untuk memberi tahu. Baiklah! Aku tidak akan memaksa. Cukup dengan berterima kasih atas pemberian mereka.
Aku lahir dan dibesarkan di kota Medan. Aku yakin kamu tahu kota itu. Salah satu kota terbesar di Indonesia. Aku anak pertama dari tujuh bersaudara. Bisa kamu bayangkan betapa ramainya rumah kami. Pernah aku merasa kesal. Dunia tidak adil. Dan mengapa aku harus menjadi anak pertama? Apalagi dengan kondisi keuangan yang sangat morat-morit. Untuk makan saja susah. Sehari-hari kedua orangtuaku bekerja sebagai pedagang gorengan di depan salah satu sekolah swasta. Jadi, bagaimana bisa kedua orangtuaku memutuskan untuk memiliki banyak anak? Apa mereka pikir ini zamannya banyak anak banyak rezki? Ah, entahlah. Aku lelah berdebat. Aku lelah bertanya. Dan aku lelah dengan segala pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku.
Kehidupan kami yang bisa kubilang memprihatinkan membuatku harus ikhlas untuk tidak melanjutkan sekolah. Aku hanya seorang perempuan tamatan SMP. Ya, kau tidak salah dengar! Tentu saja aku merasa malu, kesal, marah, kecewa, dan segala macam rasa lainnya. Tapi mau bagaimana lagi? Kami benar-benar tidak memiliki uang. Bahkan di usiaku yang masih muda saat itu, aku sudah diwajibkan untuk bekerja. Demi orangtua dan tentu saja adik-adikku yang masih kecil.
Tidak cukup sampai disitu, aku kembali harus melakukan sesuatu yang tidak kusuka. Menikah! Sungguh, melihat bagaimana keluargaku, aku jadi berpikir dan selalu berniat untuk tidak akan menikah bila kondisi kehidupanku masih seperti ini.
Kedua orangtuaku benar-benar berharap banyak dariku. Ketika duda kaya raya—diyakini orangtuaku— yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan melamarku, ibu dan ayah langsung setuju. Sakit sekali! Ya benar-benar sakit ketika mereka tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan tidak. Aku tidak ingin melakukan hal ini. Namun mereka memohon, demi keluarga!
Aku lelah. Lelah dengan segala hal yang membelenggu hidupku. Aku bukan perempuan kuat yang bisa menanggung dan menjalani semua ini dengan mudah. Jadi, jangan pernah salahkan aku karena aku mengeluh atas kehidupan yang tengah kujalani. Sejujurnya ada rasa bangga karena aku bisa membantu meringankan orangtua. Bangga melihat adik-adikku bisa bersekolah dan tersenyum ceria, sekaligus berharap agar mereka tidak bernasib sama denganku. Tapi, menikah? Hal itu sama sekali belum pernah terlintas dalam benakku?
“Demi keluarga ini, Ava,” pinta Ibu dengan wajah memelas.
“Aku tidak ingin menikah, Bu. Selama ini aku tidak pernah menolak permintaan ibu dan bapak. Tapi kumohon, jangan yang satu ini. Aku tidak bisa dan tidak mau. Tidak sekarang, Bu,” ujarku lirih.
“Keluarga kita butuh bantuanmu, Ava.”
“Tidakkah kalian pernah memikirkan perasaanku?” Aku tahu, air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Aku benar-benar kesal kepada mereka. Seharusnya aku tidak dilahirkan bila hidupku menderita seperti ini!
“Ayah dan ibu minta maaf, Nak. Tapi kita tidak punya jalan lain. Kamu tahu sendiri kalau adikmu si Mayya tengah sakit dan butuh biaya yang tidak sedikit. Belum lagi hutang kita yang kian menumpuk.”
“Ohh… jadi kalian menginginkan uang dari orang yang melamarku itu? Atau sebenarnya kalian hanya berniat menjualku padanya?” tanyaku tak percaya.
“Avaaaaa—”
“Aku akan menemuinya dan mengatakan kalau aku tidak bisa menikah dengannya.”
“Jangan lakukan ini, Ava. Seharusnya kamu beruntung dia memilihmu untuk menjadi istrinya. Belum tentu suatu hari nanti kamu menemukan jodoh sebaik dia,” Bapak buka suara.
Aku memandang ibu dan bapak tidak percaya. Sebegitu rendah dan tidak berhargakah diriku?
“Aku hanya akan menikah dengan orang yang kucintai dan benar-benar mencintaiku! Percayalah Bu, Pak, kita tidak akan selamanya berada di posisi seperti ini. Jangan menyerah dan menyuruhku untuk melakukan hal ini. Aku putri kalian. Aku punya hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pendampingku. Aku punya hak untuk menyuarakan isi hati,” jelasku menahan air mata.
“Kalau bukan kamu, siapa yang akan membantu keluarga kita, Va? Adekmu si Hotman dan Sandy tengah berjuang di Batam. Kamu sendiri tahu sejak mereka merantau, mereka belum bisa membantu kita. Udah syukur mereka bisa hidup di sana. Lheila masih kuliah. Kita tidak bisa berharap banyak padanya saat ini. Biarlah dia belajar dengan giat sebagai contoh untuk adik-adik kalian. Mayya berjuang melawan penyakitnya. Tentu kamu juga bisa melihat kondisi tubuhnya yang mudah terserang penyakit. Dan sekarang adikmu itu tengah terbaring lemah karena penyakit tipusnya. Lalu harus berharap pada siapa lagi? Mona masih SMA dan Tiwi masih SD. Apa harus ibu jelaskan padamu semuanya agar kamu mengerti?”
***
“Ava Abigail. Ada apa sampai mencari saya ke kantor?” tukas lelaki yang kutaksir berusia lebih dari 35 tahun ini sembari menunjukkan seringainya.
“Aku tidak ingin menikah denganmu.”
Lelaki itu terkekeh. Kekehan yang seketika membuat perutku mual.
“Duduklah dulu, Ava. Kita bisa bicarakan hal ini dengan kepala dingin.”
“Aku tidak ingin menikah denganmu!” tukasku lagi dengan intonasi meninggi.
Lelaki itu memelototkan kedua bola matanya padaku. Kemudian dia berdiri dari duduknya. Dihampirinya aku yang masih berdiri mematung di depan meja kerjanya.
“Kamu pikir, kamu itu siapa? Aku bahkan bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darimu. Ava… Ava…. Kamu cuma bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. Jangan berpikir kalau dirimu sangat berarti,” ucapnya dengan suara kecil, tapi terdengar jelas di telingaku.
“Aku tidak ingin menikah denganmu. Apa kamu punya masalah pendengaran?” tanyaku yang berhasil membuat emosinya memuncak.
“Dasar perempuan tidak tahu diri! Asal kamu tahu, aku sama sekali tidak berniat menikah denganmu. Bahkan aku sudah memiliki dua istri. Aku tidak butuh istri tambahan yang memiliki perilaku buruk sepertimu. Tapi kamu sudah menjadi milikku. Apa orangtuamu tidak mengatakan kalau kamu telah kubeli seharga 30 juta?”
Bagai dihantam balok besar. Aku remuk dan hancur seketika.
“Aku tidak perlu menikahimu tetapi kamu sudah menjadi milikku.”
Aku kehilangan kata-kata. Benarkah semua ini?
“Dan sekarang kamu hendak menangis? Harusnya kamu senang karena bisa menjadi simpananku, Ava. Aku, seorang pria berpendidikan, memiliki kekuasaan dan juga harta,” tukas lelaki itu dengan wajah dan intonasi suara yang penuh dengan aura kegelapan.
“Sudahlah. Kuberi kamu waktu dua hari untuk melakukan perpisahan dengan keluargamu. Setelah itu, kamu akan bersamaku selama yang kubutuhkan,” kekehnya yang berhasil membuatku hendak memuntahkah seluruh isi di dalam perutku.
***
“Ibu dan Bapak dengan teganya menjualku padanya. Begitu tidak berartinya diriku bagi kalian?” Aku bertanya sembari menatap lekat kedua bola mata ibu.
Ibu dan Bapak tampak merasa bersalah. Tapi semua ini sudah terlambat. Ternyata, semua yang kulakukan dari dulu hingga sekarang, hanya sia-sia. Aku bukan siapa-siapa bagi keluargaku sendiri.
“Kak Ava, sebenarnya Ibu melakukan ini karena kita memang butuh uang. Uang sekolah kami, berobat Mayya, belum lagi untuk bayar hutang yang menumpuk. Kakak tidak pernah tahu kalau bapak meminjam uang pada rentenir untuk menutupi seluruh biaya itu, kan?” ujar Lheila dengan tatapannya yang sendu.
Aku terkekeh pelan. Lheila. Bapak dan Ibu begitu menyayanginya sampai mengizinkan anak itu kuliah di Padang. Padahal dia tidak tahu apa-apa selain bersikap sok manis layaknya anak orang kaya.
“Jangan membuat kami merasa bersalah, Ava.”
“Jadi, semua ini salahku, Bu?” tanyaku memandang ibu tidak percaya. Ah, kalau begini ceritanya, masihkah mereka kuanggap sebagai orangtua?
“Aku sudah memiliki anak yang cukup banyak. Kehilangan satu orang tidak berarti apa-apa.”
“Ibuuuuuu—” ucapku tidak percaya. Air mata di pipiku akhirnya luruh satu persatu.
“Kamu bukan anak kandung kami, Ava. Jadi, berhentilah membuat kami merasa menjadi orangtua yang paling jahat. Cukup sudah kami membesarkanmu sampai sekarang!” tambah bapak membuatku hancur tak berdaya.
“Kalian bercanda, kan? Kalian hanya ingin aku menikah dengan lelaki itu, kan? Tapi kumohon jangan ucapkan kalimat menyakitkan itu, Pak.”
“Kalau kamu menganggap kami sebagai orangtuamu, lakukan apa yang kamu perintahkan, Ava. Bapak dan Ibumu berjanji, ini akan menjadi permintaan terakhir kami.”
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru
Sydney kalang kabut karena Xavier tidak masuk kampus. Alhasil, dia menyecar Marvin dengan berbagai pertanyaan. “Xavier ada di mana? Kenapa dia tidak masuk kelas? Apa yang terjadi padanya? Dia punya cewek baru?” “Woii woiiii… santai!” tukas Marvin tak habis pikir dengan tingkah laku Sydney yang menurutnya terlalu agresif. “Kamu temannya, kan? Pasti tahu sekarang dia ada di mana dan lagi ngapain,” tambah Sydney tak peduli pendapat Marvin terhadapnya. “Aku nggak tahu. Kan kamu pacarnya. Harusnya kamu yang lebih tahu,” jawab Marvin menaikkan kedua bahunya. Kesal terhadap cewek cantik di hadapannya itu.&nb
Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan. “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban. “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu. 
Xavier tengah asyik berolahraga dengan treadmill miliknya sembari menikmati lagu Hollywood yang menggema di ruang tamu. Sayang, indahnya pagi itu harus terusik karena deringan ponselnya yang tak jua berhenti. Dia pun memilih untuk berhenti dan meraih ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja ruang tamu. Sydney calling. “Halo?” jawab Xavier akhirnya. “Haduh, lama banget sih ngangkatnya? Kamu ke mana aja?” sahut Sydney kesal di seberang sana. “Nggak ke mana-mana,” sahut Xavier santai. “Ple
Aku tak lagi aku yang dulu. Waktu berhasil mengubahku dengan sempurna. Tidak, ini tidak seperti yang aku inginkan apalagi impikan. Kamu pasti setuju bahwa setiap manusia menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Faktanya, tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan. Aku berusia dua puluh empat tahun. Bagi banyak orang, usia ini masih tergolong muda. Namun, di usiaku yang sekarang, aku sudah melewati banyak hal. Aku tahu, aku tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang jalan hidupnya lebih pahit—mungkin mengerikan dibanding aku. Itu artinya aku harus tetap bersyukur dan mencoba memperbaiki apa yang telah rusak—meski segala sesuatu yang rusak itu tidak dapat kembali seperti sedia kala. Namaku Ava Abigail. Aku suka namaku. Cantik, meski aku sadar
Ingar-bingar musik penuhi ruangan gelap diterangi oleh lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Tampak pula sebuah lampu disko berputar tepat di tengah ruangan. Tempat itu tak begitu luas. Ada beberapa sofa tersedia di sisi ruangan, sementara sejumlah kursi di depannya dihadapkan pada panggung, tempat orang-orang larut dengan kerasnya hentakan musik.Waktu sudah dini hari. Namun, suasana semakin ramai. Berbagai macam pengunjung baik itu perempuan dan lelaki muncul dengan gayanya masing-masing. Yang perempuan, ada yang mengenakan pakaian yang masih terbilang sopan, tak sedikit pula ditemukan dengan pakaian kelewat minim.Sebahagian pengunjung memilih untuk meliuk-liukkan badan ke sana kemari, sesuai hentakan musik di panggung. Ada pula yang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya di sofa. Yang lain sibuk dengan minumannya, dan beberapa lelaki berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menarik minatnya.Musik dengan hentakan keras kini beru