Share

Olimpiade

Penulis: TT.nuya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dasar g*la, cari jembatan dan melompat saja, jangan merepotkan orang lain." Makinya, sebelum menutup kaca dan melajukan mobil.

Namun belum jauh mobil itu berjalan, dari balik kaca spion Handoko melihat tubuh di belakang mobil tersebut, jatuh tersungkur tergeletak di aspal jalanan.

Dengan reflek ia menginjak rem mobil yang ia kendarai.

Merasa mobilnya berhenti, pria di kursi belakang kembali berkata. "Ada apa lagi?."

"Tuan sepertinya wanita itu pingsan." Jawab Handoko dengan sedikit kebingungan terpancar di wajah.

Entah itu karena ia merasa iba untuk sosok disana, atau jiwa sosialnya yang kini tengah terbangun, yang jelas Handoko sedikit memiliki keengganan untuk melajukan mobil hitam, dengan nomor hoky terpasang di depan dan belakang.

"Lalu?."

"Apa kau pikir kita harus membantunya?"

"Apa kau kira aku memiliki waktu untuk di buang sia-sia?, cepat jalankan mobil waktuku hampir habis."

Dengan hati sedikit tak tenang, Handoko kembali menginjak pegas dan mobil pun bergerak perlahan.

Tangan pria di balik kekang kemudi tersebut tampak mencengkram erat.

Seolah ada suatu beban yang membuatnya tak nyaman, dan ada juga sedikit gundah dalam hati.

"Han...Apa kau bosan berkerja padaku?."

Sebuah suara menghentak pikiran sang sopir.

Suara itu terdengar tenang dan tak ada kemarahan disana.

Akan tetapi, sebaris perkataan tersebut, di telinga Handoko seperti sebuah kilatan petir di langit mendung sore itu.

"Hah...Tidak tuan." Jawabnya reflek, dengan nada sedikit gugup.

"Lalu..?"

Tanya lagi, suara dari balik punggungnya.

Handoko semakin ke kebingungan, ia tidak memahami dengan perkataan "lalu" dari sang tuan.

"Lalu...?, lalu apa tuan?."

Mendengar pertanyaan pria di depan sana, orang di jok belakang perlahan membuka mata dan menjawab sedikit sinis.

"Apa kau mulai bodoh?."

"Bahkan, siput pun tidak berjalan sepelan mobil ini."

Mendengar perkataan itu, Handoko mulai menyadari apa yang terjadi.

Dengan cepat ia menambah laju gerak mobil, dan bergumam dalam diam. "Jika ada siput secepat ini, aku akan berhenti menjadi sopir Anda, dan memelihara siput saja."

Memikirkan tentang siput yang berjalan secepat mobil, sebuah senyum ironis tercetak di bibir Handoko.

Pria itu bahkan tidak menyadari bahwa, sekarang ini dirinya tengah tersenyum, dan mendapat tatapan dari balik punggungnya.

"Han.."

Panggil seseorang dari belakang lagi.

"Iya tuan.."

Sahut Handoko tenang.

"Apa kau mencemooh ku dalam hati?"

Tanya dari balik punggung lagi.

"Tidak tuan, itu tidak mungkin terjadi."

Jawabnya masih dengan tenang.

"Lalu..?"

Mendengar kata itu lagi, Handoko kembali bergumam dalam diam. "Mengapa kata itu lagi?."

Handoko memang kebingungan, mendengar kata pendek tersebut.

Pria itu berdehem sejenak, sebelum akhirnya balik bertanya.

"Ada apa dengan "lalu" tuan?."

Sosok di balik punggung Handoko yang tak lain adalah Anggara prawira tersebut, mendudukkan tubuhnya tegap.

Ia menatap punggung yang tertutup jok mobil, dan hanya menyisakan pundak atas serta kepala di depannya.

"Kau terlihat bodoh dengan senyuman itu." Anggara.

Mendengar jawaban tersebut, Handoko melirik spion sejenak dan kembali menampilkan wajah datar.

"Untuk siapa kau tersenyum Han?."

Dengan bahasa lain, senyum sinis tersebut tengah di tunjukan untuk mengejek siapa.

Handoko masih tetap tenang, meski ia mulai mengerti arah pembicaraan, dari tuan di belakang sana.

"Oh...ini untuk siput tuan."

Mendengar jawaban konyol sang supir, Anggara mengernyitkan kening dan menampilkan ketidak senangan.

Handoko yang melihat gerakan kecil Anggara dari balik mata ketiganya, tersenyum kecil sejenak dan kembali berkata. "Jika ada siput secepat mobil kita, sepertinya olimpiade untuk mereka, bisa di adakan tuan."

Dalam waktu singkat, suara gelak tawa di dalam mobil pecah dari kedua pria di sana.

Suasana tegang dengan bumbu kemarahan yang hampir pecah, nyatanya berubah menjadi tenang dan lebih nyaman akibat keajaiban "siput".

Namun, tiba-tiba sebuah suara dari Anggara kembali menarik tawa mereka.

Menyimpan candaan yang harmonis itu, kembali kedalam peti kaku keseriusan keduanya.

"Apa wanita itu benar-benar pingsan Han?"

"Sepertinya begitu tuan." Handoko.

"Lalu..?."

Lagi- lagi kata itu meluncur dari bibir tuan di balik punggung Handoko.

Namun kali ini, pria di balik kemudi mobil tidak lagi kebingungan.

"Baik tuan." Sahutnya reflek.

Dengan cepat Handoko melambatkan mobil, berputar arah, dan kembali menyusuri jalan sama, yang telah ia lewati beberapa detik lalu.

Sementara itu, Anggara yang berada di kursi belakang, kembali merebahkan punggung seraya bergumam pelan. "Semoga kita tidak membodohi diri sendiri."

Mendengar ucapan itu, Handoko menyahutinya dalam hati. "Saya harap juga demikian."

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat dan juga tidak lambat.

Dan hal itu membutuhkan waktu hampir 3 menitan, untuk bisa kembali ketempat semula, dimana ia bertemu dengan wanita disana.

Dan seperti apa yang mereka pikirkan, sosok tubuh itu masih tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan.

Maklum saja, jalan tersebut adalah jalan sepi yang baru dibangun, untuk akses ke hunian yang baru di kembangkan oleh perusahaan milik keluarga Anggara.

Meski, rumah-rumah disana telah dalam tahap siap huni, namun belum banyak yang tinggal di lingkungan tersebut.

Keduanya turun dari mobil, dan hendak mengangkat tubuh tersebut membawanya kedalam mobil.

Handoko membalik tubuh Angel yang dalam posisi tertelungkup secara perlahan.

Hal itu ia lakukan untuk mempermudah keduanya mengangkat tubuh lemah tak sadarkan diri tersebut.

Akan tetapi, ketika melihat darah yang mewarnai pakaian bagian bawah tubuh sang wanita, tindakan mereka terhenti.

"Telpon ambulance!." Perintah Anggara dengan raut wajah sedikit panik.

"Masalah apa yang ku campuri saat ini?." Gumam Anggara pelan.

Dalam sekilas detik, ia menyesali meminta Handoko untuk memutar mobil dan datang ketempat itu lagi.

Meski demikian, ia juga tidak mengabaikan sosok Angel yang tengah terbaring disana.

Dalam keterkejutan Handoko, dengan cepat ia menelpon ambulance.

Dan entah untuk faktor apa, tak menunggu waktu yang lama sebuah mobil putih telah datang ketempat kejadian, membawa tubuh Angel yang terkulai berpindah ketempat lain.

..................................

Waktu berlalu dengan cepat, dari sore yang penuh dengan keterkejutan, beralih menjelang malam dan dengan cepat merambat ke pagi hari.

Sosok Anggara sampai di apartemen mewah miliknya menjelang pukul 3 pagi.

Wajahnya yang kusut tampak menakutkan di depan Handoko.

Sehingga, pria yang sejak pagi merangkap sebagai sopir tersebut, hanya diam dan mengikuti sang atasan hingga sampai di depan pintu apartemen miliknya.

"Menginaplah di sini, nanti jam 9 kita ada rapat dengan kantor cabang."

Suara itu masih terdengar tenang.

Akan tetapi, Handoko tahu pria yang menjadi atasan sekaligus sahabatnya tersebut sangat kelelahan.

Dan ia tak ingin berdebat dengannya, atau bermain majikan dan tuan lagi seperti saat siang hari tadi.

"Hem..aku ambil kamar kanan malam ini." Sahutnya datar.

"Terserah." Anggara.

Bab terkait

  • Oh...Jandaku tersayang.   Handoko.

    Waktu berlalu dengan cepat, dari sore yang penuh dengan keterkejutan, beralih menjelang malam dan dengan cepat merambat ke pagi hari.Sosok Anggara sampai di apartemen mewah miliknya menjelang pukul 3 pagi.Wajahnya yang kusut tampak menakutkan di depan Handoko.Sehingga, pria yang sejak pagi merangkap sebagai sopir tersebut, hanya diam dan mengikuti sang atasan hingga sampai di depan pintu apartemen miliknya."Menginaplah di sini, nanti jam 9 kita ada rapat dengan kantor cabang."Suara itu masih terdengar tenang.Namun Handoko tahu, pria yang menjadi atasan sekaligus sahabatnya tersebut sangat kelelahan.Dan ia tak ingin berdebat dengannya, atau bermain majikan dan tuan lagi, seperti saat siang hari tadi."Hem..aku ambil kamar kanan malam ini." Sahutnya datar, sembari berlalu pergi, menuju kamar yang akan ia gunakan."Terserah." Anggara. ........................................Flash back on.Sebuah mobil hitam dengan 4994 terce

  • Oh...Jandaku tersayang.   Anggara

    Di sana Handoko masih berusaha tetap tenang. Akan tetapi, ketika melihat sorot mata milik sang wanita, Handoko bergidik.Tatapan itu tampak tajam sekilas, namun sedetik kemudian itu jelas tak memiliki titik fokus orang pada umumnya.Ditambah lagi, dengan kesunyian di bibir mungil yang serangkai dengan air mata mengalir deras, jelas wanita di depannya tidak sedang dalam kondisi baik.Menyadari keanehan itu, dengan langkah cepat ia mendekati samping mobil bagian belakang kemudi, dan berbicara sedikit berbisik. "Tok..tok..tok"Suara kaca mobil di ketuk."Sreeeeet."Suara kaca mobil terbuka."Tuan...Sepertinya wanita ini agak tidak normal." Ucap Handoko pelan.Mendengar bisikan tersebut, Anggara masih bersikap acuh tak acuh.Baginya apapun atau siapapun di depan sana tidak ada sangkut pautnya dengan diri sendiri, lalu apa pedulinya?.Ia adalah Anggara prawira, sosok realistis tinggi dalam segi apap

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bagas dan vanesa.1.

    *Flash back on*Waktu berlalu dengan cepat, setelah beberapa bulan pertengkaran diantara Angel dan Bagas. Pada akhirnya kasih sayang yang kuat di antara ke duanya, mampu menemukan titik penyelesaian yang baik.Angel memutuskan untuk memaafkan kesalahan sang suami, meski perkataan itu belum sepenuhnya mampu ia jalankan dengan benar.Setidaknya, ia akan mencoba untuk bersabar, serta berupaya sebaik mungkin, memberi harapan untuk cinta mereka dahulu, dengan cara memperbaiki keretakan rumah tangga mereka.Sudah hampir dua bulan ini, mereka berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok lebih sabar dan memahami pasangan.Tak ada lagi perkataan saling tuding, serta tindakan melempar tanggung jawab untuk masalah beberapa waktu lalu.Bagas membuktikan dirinya dengan memblokir no telepon WIL-nya, dan juga benar-benar menyesali apa yang telah ia perbuat.Sesungguhnya, wanita yang tak lain adalah Vanesa tersebut, tak dapat di katakan sebagai WIL milik Bagas.Sebab pria tersebut memang tidak pernah m

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bagas dan Vanesa.2.

    "Ayah...Ibu, kapan datang?." Sapa Angel sembari menyeruak kedalam pelukan sang ibu mertua.Wanita paruh baya itu, telah berdiri dari duduk, dan merentangkan kedua tangan untuk menyambut tubuhnya dengan pelukan.Ia mereka adalah kedua orang tua Bagas, yang sengaja datang dari kampung halaman, setelah pria tersebut, mengakui kesalahannya beberapa hari yang lalu.Melihat sang menantu yang tampak tertekan, Hanum ibu Bagas memeluk Angel dengan erat, tanpa menjawab pertanyaan sang menantu barusan.Bukan hanya itu saja, menyaksikan kedua wanita di sana berpelukan Hartono ayah Bagas, juga ikut membaur memeluk keduanya."Kau sudah pulang...Bagus..Pulang saja, jangan pikirkan apapun." Ucap Hartono lembut, sembari mengusap kepala sang menantu.Entah mengapa begitu tubuhnya yang lelah, menerima kehangatan pelukan dari Hanumi, air mata yang ia tahan kembali meleleh.Bulir bening tersebut, seolah ingin berteriak kepda kedua orang tua di sana, dan mengadukan keburukan Bagas putra mereka.Sebagai seor

  • Oh...Jandaku tersayang.   Kebodohan Bagas.

    Ada sedikit kebimbangan dalam benak Bagas saat ini. Namun, perkataan sang ayah memang benar adanya.Bagaimana mungkin, ada orang lain yang berada di ruangan itu, yang bahkan leluasa mengambil gambar kejadian di malam tersebut.Bagas kembali mengingat rekaman gambar Vidio, di telepon genggam Angel. Ia memikirkan dari sudut mana pose Vidio dirinya dan Vanesa di ambil.Dan dalam sekejap saja wajah Bagas menghitam, dadanya bergemuruh hebat."Sial...sial...ternyata ini benar ulahnya. Sial...sial.."Rahang Bagas mengeras, telapak tangan itu rapat mengepal menahan kemarahan yang besar atas kebenaran yang baru ia sadari.Dengan cepat, ia meraih ponselnya di dalam saku celana, menempelkan sidik jari jempol kanan miliknya pada layar ponsel.Ia membuka deretan kontak disana, setelah menemukan apa yang di cari, jarinya bergerak membuka kembali pemblokiran pada sebuah nama kontak yang tertera di layar."Tut...Tut...Tut..." Nada ponsel menyambungkan ke suatu alamat IP seseorang. "Ceklek...Hallo..

  • Oh...Jandaku tersayang.   Sosok suami hebat.

    Meskipun harus memandikan sang putra dengan air comberan, ia tidak peduli.Hanum berpikir itu sah-sah saja, karena Bagas putranya memang telah menyelam dan berenang di dalam comberan tersebut.Sementara itu, mendengar setiap detil pembicaraan ibu dan istrinya dari luar. Wajah Bagas menghitam dengan kemarahan.Dan tentu saja, itu tidak di tujukan untuk kedua orang di balik pintu, melainkan untuk sosok di luar sana.Tangan besarnya yang kokoh mengepal kuat, Bagas mengingat air mata serta kekecewaan di mata Angel beberapa waktu lalu, ketika menerima Vidio dari sosok tak di kenal.Bagas mengakui segalanya adalah kesalahan bodohnya, yang berpikir bahwa ia akan dapat mencuci segalanya, dengan pengakuan dan permintaan maaf.Ia naif sesaat, bahwa semua akan mudah bagi mereka jika mengaku dan memohon pengampunan. Namun, yang tidak ia sadari, bahwa luka itu akan selalu bersama sang istri di sepanjang hidup ini.Bagas mengacak rambut cepak rapi miliknya kasar. Pria tersebut frustasi atas kesediha

  • Oh...Jandaku tersayang.   Gayung bersambut.

    Meninggalkan kedua pria disana, dengan percakapan serius tentang usaha menyelamatkan biduk rumah tangga Bagas, dan beralih di suatu sisi tempat lain.Di sebuah rumah mewah, berlantai dua dengan gaya klasik, kokoh serta halaman yang luas, seorang wanita cantik dengan penuh kebahagiaan meraih kunci mobil di atas meja."Akhirnya kau bersedia menemui ku, lihat apa kali ini kau akan bisa menghindar?." Ucap Vanessa, sembari mengusap lembut perutnya yang rata.Vanessa Aditama Prawirya, seorang wanita modis, dengan materi kelengkapan yang berjut-jut melekat di tubuhnya, setiap kali ia berdandan.Baju, tas, sepatu, bahkan mungkin juga dalaman, semuanya adalah barang-barang ekslusif terbaik di brand-nya.Sosoknya yang tegas, cantik, ramping semakin membuatnya bersinar dengan balutan barang-barang kece bade, yang akan menggetarkan jiwa-jiwa cemburu kaum hawa di sekitarnya.Maklum, terlahir dengan sendok emas di tangan memang membuatnya semakin percaya diri.Ingin ini gesek, ingin itu gesek, tak a

  • Oh...Jandaku tersayang.   Hanya memastikan.

    Di rumah makan Palma.Vanesa yang datang lebih cepat 10 menit, tampak tengah menikmati minuman dingin yang ia pesan.Maklum dengan rasa gerogi yang ia miliki, tenggorokannya seolah jauh lebih cepat kering.Bahkan belum sepuluh menit ia duduk di sana untuk menunggu kedatangan Bagas, minuman dingin yang ia pesan telah tinggal sepertiganya saja."Kau sudah datang." Sapa nya lembut, ketika melihat sosok Bagas mendekat."Mengapa tidak memesan ruangan pribadi?." Tanya balik Bagas dengan datar, sebagai tambahan, rasa kurang puasnya untuk wanita itu.Sebenarnya tadi ketika baru datang, Vanesa hendak memesan ruangan pribadi untuk mereka.Akan tetapi, entah mengapa ia urungkan itu.Vanesa tidak tersinggung dengan perkataan Bagas barusan, ia hanya tersenyum kecil dan menjawab."Baik...kita pindah."Setelah memanggil pelayan rumah makan, dan memintanya mengatur ruangan khusus di sana, keduanya dengan dipandu pelayan tadi, menuju ruangan khusus rumah makan tersebut."Ingin memesan apa?, apa aku yang

Bab terbaru

  • Oh...Jandaku tersayang.   Hanya karena teh.

    "Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa

  • Oh...Jandaku tersayang.    Daftar hitam.

    "Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah

  • Oh...Jandaku tersayang.   Lebih bodoh darimu

    "Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t

  • Oh...Jandaku tersayang.   Beauty Phoenix.

    " Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau

  • Oh...Jandaku tersayang.   Pemakan segala.

    "Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bertemu lagi.

    "Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel

  • Oh...Jandaku tersayang.   Han..jangan harap!.

    "Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se

  • Oh...Jandaku tersayang.   Nikah di bawah tangan.

    "Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bersihkan tubuhmu.

    Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan

DMCA.com Protection Status