"Tok..tok..tok" Suara kaca mobil di ketuk. "Sreeeeet." Suara kaca mobil terbuka. "Tuan...Sepertinya wanita ini agak tidak normal." Ucap Handoko pelan. Mendengar bisikan tersebut, Anggara masih bersikap acuh tak acuh. Baginya apapun atau siapapun di depan sana tidak ada sangkut paut dengan diri sendiri, lalu apa pedulinya?. Ia adalah Anggara prawira, sosok realistis tinggi dalam segi apapun, termasuk segi hubungan di antara manusia. Dengan sikapnya yang demikian, tak salah jika orang yang tidak mengenalnya dengan baik, akan selalu melebelkan sosok egois, arogan, serta sombong untuk pria tersebut. Bahkan, julukan terbaik yang melekat untuknya selama setahun terakhir ini, adalah tubuh tak berjantung, hati batu, iron man, dan masih ada beberapa lagi. Lalu dengan sebutan itu, masihkan dapat di harapkan ia akan berbelas kasih ataupun bersimpati untuk sosok di depan sana, yang jelas-jelas telah menggangu perjalanan nyaman yang di nikmati?. Dan jawabannya tentu saja tida
*Flash back on* Waktu berlalu dengan cepat, setelah beberapa bulan pertengkaran diantara Angel dan Bagas. Pada akhirnya kasih sayang yang kuat di antara ke duanya, mampu menemukan titik penyelesaian yang baik. Angel memutuskan untuk memaafkan kesalahan Bagas suami, meskipun terasa berat. Angel berpikir, jika mencoba untuk bersabar, serta berupaya sebaik mungkin, serta mengingat cinta mereka dahulu, semua akan lebih mudah. Sudah hampir dua bulan ini, keduanya berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok lebih sabar dan memahami pasangan. Tak ada lagi perkataan saling tuding, serta tindakan melempar tanggung jawab untuk masalah beberapa waktu lalu. Bagas membuktikan dirinya dengan memblokir no telepon WIL-nya, dan juga benar-benar menyesali apa yang telah ia perbuat. Sesungguhnya, wanita yang tak lain adalah Vanesa tersebut, tak dapat di katakan sebagai WIL milik Bagas. Sebab pria tersebut memang tidak pernah memiliki perasaan kasih sayang, untuk sosok Vanesa. Akan tetap
"Kau sudah pulang...Bagus..Pulang saja, jangan pikirkan apapun." Ucap Hartono lembut, sembari mengusap kepala sang menantu. Entah mengapa begitu tubuhnya yang lelah, menerima kehangatan pelukan dari Hanum, air mata kembali meleleh. Bulir bening tersebut, seolah ingin berteriak kepada kedua orang tua di sana, dan mengadukan keburukan Bagas putra mereka. Sebagai seorang wanita, Hanum mampu memahami penderitaan Angel. Ia juga tahu dengan benar, bahwa seorang istri tak ada satu di antara ke duanya, yang rela untuk berbagi suami. Hanum ikut merasakan kepedihan Angel, dan itu tulus adanya. Bagaimanapun, ia telah menganggap wanita itu sebagai putri sendiri, bahkan sebelum menjadi istri Bagas putranya. Angel adalah sahabat Cantika, adik kandung dari Bagas, putri kesayangan Hartono. Keduanya telah berteman sejak mereka masih duduk di bangku SMP, dan ketika kedua orang tua Angel mengalami musibah yang membuat Angel menjadi yatim piatu, Hanum lah yang banyak maju, untuk memberikan k
"Sial...sial...ternyata ini benar ulahnya. Sial...sial.." Rahang Bagas mengeras, telapak tangan itu rapat mengepal menahan kemarahan yang besar atas kebenaran yang baru ia sadari. Dengan cepat, Bagas meraih ponsel dari dalam saku celana, menempelkan sidik jari jempol kanan miliknya pada layar ponsel. Ia membuka deretan kontak disana, setelah menemukan apa yang di cari, jarinya bergerak membuka kembali pemblokiran pada sebuah nama kontak yang tertera di layar. "Tut...Tut...Tut..." Nada ponsel menyambungkan ke suatu alamat IP seseorang. "Ceklek...Hallo..ap..." Sebuah suara renyah terdengar dari dalam ponsel. Namun, seolah suara itu tidak pernah berpengaruh apapun, langsung terjeda dengan suara dari Bagas. "Satu jam lagi temui aku di restoran Palma, jangan terlambat." Bagas bangkit dari duduk, ia berjalan mendekati ruang di mana sang ibu membawa Angel masuk beberapa saat lalu. Langkah Bagas sedikit tertahan, ketika melihat Hartono ayahnya hanya berdiri mematung di
Hanum merasa selama keduanya masih bisa dipersatukan, jangankan sekedar mengatakan Bagas bodoh, meskipun harus memandikan sang putra dengan 7 air comberan pasti akan ia lakukan. Hanum berpikir itu sah-sah saja, karena Bagas putranya memang telah menyelam dan berenang di dalam comberan, bukankah dia tinggal menenggelamkannya 6 kali lagi. Sementara, mendengar setiap detil pembicaraan ibu dan Angel dari luar, wajah Bagas menghitam dengan kemarahan. Dan tentu saja, itu tidak di tujukan untuk kedua orang di balik pintu, melainkan untuk sosok di luar sana. Bagas masih belum menyadari, bahwa semuanya bukan karena orang lain semata, melainkan dirinya sendiri juga ikut berperan. Tangan besarnya yang kokoh mengepal kuat, ia mengingat air mata serta kekecewaan di mata Angel beberapa hari lalu, ketika menerima Vidio dari sosok tak di kenal. Bagas mengakui kejadian itu adalah kesalahan bodohnya, yang berpikir bahwa ia akan dapat mencuci segalanya, dengan pengakuan dan permintaan maaf. Sunggu
"Baiklah..Katakan apa yang ingin kau bicarakan." Seberapa besarpun kemarahan yang di miliki Hartono untuk sang putra, ia tetap harus luluh dan berusaha sebaik mungkin memberikan bantuan, bagaimanapun kegagalan Bagas memperoleh pengampunan dari Angel, juga berarti bahwa keluarga mereka juga akan kehilangan wanita itu selamanya. ................................... Meninggalkan kedua pria disana, dengan percakapan serius tentang usaha menyelamatkan biduk rumah tangga Bagas, dan beralih di suatu sisi tempat lain. Di sebuah rumah mewah, berlantai dua dengan gaya klasik, kokoh serta halaman yang luas, seorang wanita cantik dengan penuh kebahagiaan meraih kunci mobil di atas meja. "Akhirnya kau bersedia menemui ku, lihat apa kali ini kau akan bisa menghindar?." Ucap Vanessa, sembari mengusap lembut perutnya yang rata. Vanessa Aditama Prawirya, seorang wanita modis, dengan materi kelengkapan yang berjut-jut melekat di tubuhnya, setiap kali ia berdandan. Baju, tas, sepatu, bahkan mungki
Di rumah makan Palma. Vanesa yang datang lebih cepat 10 menit, tampak tengah menikmati minuman dingin yang ia pesan. Maklum dengan rasa gerogi yang ia miliki, tenggorokannya seolah jauh lebih cepat kering. Bahkan belum sepuluh menit ia duduk di sana untuk menunggu kedatangan Bagas, minuman dingin yang ia pesan telah tinggal sepertiganya saja. "Kau sudah datang." Sapa nya lembut, ketika melihat sosok Bagas mendekat. "Mengapa tidak memesan ruangan pribadi?." Tanya Bagas balik dengan datar. Sebenarnya, ketika baru datang Vanesa hendak memesan ruangan pribadi untuk mereka. Akan tetapi, entah mengapa ia urungkan itu. Vanesa tidak tersinggung dengan perkataan Bagas barusan, ia hanya tersenyum kecil dan menjawab."Baik...kita pindah." Setelah memanggil pelayan rumah makan, dan meminta mengatur ruangan khusus di sana, keduanya menuju ruangan khusus rumah makan tersebut. "Ingin memesan apa?, apa aku yang pilihkan seperti biasanya?." Vanesa membuka topik pembicaraan, setelah melihat Bag
"Mengapa kau lakukan itu?, apa tujuanmu?." Suara Bagas terdengar dalam, serta penuh penekanan. Vanesa terkejut sejenak, namun dengan cepat berusaha menghilangkan perasaan takut yang mulai hadir di hati, dan kembali berkata. "Apa lagi?, aku cemburu melihatmu begitu perhatian kepadanya." Vanesa mengakui itu tanpa menutupi sama sekali. "Aku pikir semua akan baik-baik saja, selama kau memberiku sedikit perhatian, tapi Aku ingin lebih, aku menginginkan yang sama seperti dirinya." Mendengar perkataan itu, Bagas melebarkan mata tak percaya, ada kemarahan semakin membesar dalam hati. Kemarahan untuk sosok di depannya, dan kemarahan untuk diri sendiri. Ia menyesal telah bermain api dan telah tergoda, untuk datang ke sangkar madu Vanesa. "Bukankah di awal kau tidak menyebutkannya, mengapa sekarang jadi seperti ini?." Bagas. "Iya..Aku tahu semua memang salahku. Tapi kenyataannya, aku semakin menginginkanmu." Vanesa. Wajah itu berusaha dengan kuat menjadi tetap tenang, sehingga yang tersa
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan