*Flash back on*
Waktu berlalu dengan cepat, setelah beberapa bulan pertengkaran diantara Angel dan Bagas. Pada akhirnya kasih sayang yang kuat di antara ke duanya, mampu menemukan titik penyelesaian yang baik. Angel memutuskan untuk memaafkan kesalahan Bagas suami, meskipun terasa berat. Angel berpikir, jika mencoba untuk bersabar, serta berupaya sebaik mungkin, serta mengingat cinta mereka dahulu, semua akan lebih mudah. Sudah hampir dua bulan ini, keduanya berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok lebih sabar dan memahami pasangan. Tak ada lagi perkataan saling tuding, serta tindakan melempar tanggung jawab untuk masalah beberapa waktu lalu. Bagas membuktikan dirinya dengan memblokir no telepon WIL-nya, dan juga benar-benar menyesali apa yang telah ia perbuat. Sesungguhnya, wanita yang tak lain adalah Vanesa tersebut, tak dapat di katakan sebagai WIL milik Bagas. Sebab pria tersebut memang tidak pernah memiliki perasaan kasih sayang, untuk sosok Vanesa. Akan tetapi, karena kejadian di antara keduanya yang telah melewati batas norma, dan Angel menggaris bawahi wanita itu sebagai kekasih yang lain di hati Bagas, pria tersebut pasrah menerima tudingan tersebut. Bagas memang tak dapat berkilah, meski ia menyerukan kata hati tidak mencintai wanita tersebut, nyatanya keduanya memang pernah menghabiskan malam bersama. Dan sebagai sosok yang terluka, jelas bukan hal mudah bagi Angel untuk lupa akan kejadian tersebut. Dirinya bukan malaikat yang suci, sebagaimana makna nama yang ia sandang. Ia adalah seorang istri yang mencintai sang suami, seperti wanita pada umumnya. Angel juga tak menginginkan untuk berbagi suami dengan wanita lain. Dalam bulan-bulan terakhir Angel menjadi sosok rapuh dan melo. Bahkan ia akan menangis sedih, ketika melihat sepintas kisah sinetron lokal yang tayang di layar kaca, bahkan sekedar lagu tentang sebuah pengkhianatan. Menyadari perubahan emosi dan kepekaan hati sang istri yang demikian, Bagas hanya bisa bersabar menemani, dan sebaik mungkin mengalah. Entah Angel, tengah menghayati makna dari kisah di dalam tayangan sinetron, atau mengingat luka yang ia berikan, Bagas akan kembali mengingat kesalahannya. Pria tersebut bahkan, bersedia membantu mencuci piring setelah makan bersama, membantu mencuci baju mereka, merapikan tempat tidur dan banyak hal lainnya lagi, yang belum pernah di lakukan. Yang jelas, Bagas berusaha mengambil hati Angel dan memanjakan wanita itu. Bagas berharap, dengan tindakan itu sang istri akan sedikit terhibur, dan sedikit memaafkan dirinya. Namun, apa yang tidak ia mengerti adalah, bahwa perubahannya tersebut adalah sebuah kejanggalan yang menjadi pengingat untuk Angel, tentang kesalahannya. Ketika Bagas membantunya mencuci piring ataupun mencuci baju, wanita itu terdiam mematung menatap punggung sang suami. Dalam benak berpikir, bahwa tak akan hal itu terjadi jika suaminya tersebut tidak melakukan kesalahan terhadap dirinya, serta diliputi rasa bersalah. Dan dengan demikian wanita itu akan kembali mengingat tayangan slide, yang tergambar jelas tentang perbuatan Bagas. Angel hanya ingin di berikan waktu dan ruang untuk menenangkan diri, dan berharap Bagas bertindak seperti biasa. Karena semakin ia berupaya untuk menjadi baik serta menyenangkan wanita itu, semakin Angel mengingat alasan di balik kebaikan tersebut. Dan secara tak langsung, Bagas akan menjadi titik fokus alasannya mengingat kejadian buruk pengkhianatan dirinya. Meski demikian, Angel berusaha menerima perubahan Bagas dengan baik. Ia menekan kuat gambaran pengkhianatan sang suami, yang selalu melintas di benak, dengan senyuman kecil yang di paksakan. Dalam hati Angel selalu mengulang kalimat, bahwa ia mampu melalui ini. Seperti apa yang di katakan oleh Ranti sahabatnya, ketika menangis di hari itu. Bahwa jika hati masih saling mencintai, maka seburuk apapun badai yang datang, pasti masih ada jalan bertahan untuk menyongsong hari baru. Dan seburuk apapun pertengkaran serta kesalahan, dengan mudah menemukan alasan memaafkan. Namun jika tak lagi mampu maka lepaskan, jangan menyakiti diri sendiri dengan bertahan, dan menjaganya paksa untuk sebuah kebersamaan, dengan rasa kecurigaan adalah hal buruk. Karena itu akan menghancurkan orang yang kita cintai dan diri sendiri. Karena, sebesar apapun kasih sayang yang dimiliki, jika tanpa kepercayaan dan saling menyakiti itu bukan cinta. Melainkan keegoisan harga diri, atas pengukuhan diri orang lain untuk mewujudkan impian semu. Setelah merenung, dan berpikir tenang "di waktu liburannya." Angel kembali ke rumah mereka, dengan harapan untuk memperbaiki kembali hubungan dirinya dan Bagas. Dan dengan sambutan pria itu di depan rumah, kekecewaan serta kesedihan yang memenuhi hati wanita tersebut sedikit berkurang. Angel menekankan bahwa Bagas bukanlah orang suci. Meski dalam hati berontak dengan kenyataan, Angel masih mampu memikirkan penjabaran tentang makna di balik kodrat manusia, yang tak pernah luput dari kesalahan dan dosa. Dalam langkahnya yang beberapa tapak untuk sampai di depan pintu utama rumah, Angel melihat senyum hangat sang suami untuk dirinya. Sebuah senyum lembut ciri khas suaminya. Dan dengan senyum itu juga, dulu hatinya takluk kepada Bagas. Sungguh ironis, saat ia melihat senyum itu lagi hari ini, dalam hati dan pikiran Angel kembali di guncang, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan. 'Apakah kau juga tersenyum seperti ini kepadanya?.' 'Apakah kau juga melakukan hubungan ranjang dengan semangat dan bahagia bersamanya, seperti yang kita lakukan.' 'Apakah dalam hati dan pikiranmu masih mengingat malam kebersamaan kalian?.' Dan dalam sepersekian detik saja, banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang bergentayangan di otak kecilnya. Hati Angel yang mulai tenang, kembali goyah. Pikiran yang di penuhi dengan kenangan, serta pertanyaan tentang Bagas suaminya dan Vanesa, menghantui Angel hingga ke tulang sumsum. Langkah kaki yang ringan, seolah di tindih gundukan gunung besar. 'Bisakah kami kembali seperti semula?, bisakah aku memaafkannya?.' Ucap Angel dalam diam, sembari lekat menatap sosok di depan. "Kau kembali?, ayo kita masuk. Ibu dan ayah sudah pulang." Sapa Bagas lembut. Mendengar nama ibu dan ayah di mulut Bagas, langkah kaki Angel menjadi sedikit ringan. Dengan anggukan kecil angel6 menjawab ajakan Bagas, untuk masuk ke rumah. "Krieet.." Suara pintu di dorong dari luar. Dan benar saja, di dalam ruang utama keluarga yang bersebrangan dengan ruang tamu di rumah itu, seorang pria 50 tahunan, duduk berdampingan dengan seorang wanita paruh baya. Ketika mendengar suara pintu di buka, kedua orang tersebut yang tengah menonton acara televisi, menoleh kearah Angel. "Ayah...Ibu, kapan datang?." Sapa Angel sembari menyeruak kedalam pelukan sang ibu mertua, yang telah berdiri dari duduk, dan merentangkan kedua tangan untuk menyambutnya dengan pelukan. Ia mereka adalah kedua orang tua Bagas, yang sengaja pulang lebih cepat dari kampung halaman, setelah Bagas mengakui kesalahannya beberapa hari yang lalu, melalui telepon. Melihat sang menantu yang tampak tertekan, Hanum ibu Bagas memeluk Angel dengan erat. Ia juga tidak menjawab pertanyaan sang menantu barusan. Bukan hanya itu saja, menyaksikan kedua wanita itu berpelukan Hartono ayah Bagas, juga ikut membaur memeluk keduanya. "Kau sudah pulang...Bagus..Pulang saja, jangan pikirkan apapun." Ucap Hartono lembut, sembari mengusap kepala sang menantu."Kau sudah pulang...Bagus..Pulang saja, jangan pikirkan apapun." Ucap Hartono lembut, sembari mengusap kepala sang menantu. Entah mengapa begitu tubuhnya yang lelah, menerima kehangatan pelukan dari Hanum, air mata kembali meleleh. Bulir bening tersebut, seolah ingin berteriak kepada kedua orang tua di sana, dan mengadukan keburukan Bagas putra mereka. Sebagai seorang wanita, Hanum mampu memahami penderitaan Angel. Ia juga tahu dengan benar, bahwa seorang istri tak ada satu di antara ke duanya, yang rela untuk berbagi suami. Hanum ikut merasakan kepedihan Angel, dan itu tulus adanya. Bagaimanapun, ia telah menganggap wanita itu sebagai putri sendiri, bahkan sebelum menjadi istri Bagas putranya. Angel adalah sahabat Cantika, adik kandung dari Bagas, putri kesayangan Hartono. Keduanya telah berteman sejak mereka masih duduk di bangku SMP, dan ketika kedua orang tua Angel mengalami musibah yang membuat Angel menjadi yatim piatu, Hanum lah yang banyak maju, untuk memberikan k
"Sial...sial...ternyata ini benar ulahnya. Sial...sial.." Rahang Bagas mengeras, telapak tangan itu rapat mengepal menahan kemarahan yang besar atas kebenaran yang baru ia sadari. Dengan cepat, Bagas meraih ponsel dari dalam saku celana, menempelkan sidik jari jempol kanan miliknya pada layar ponsel. Ia membuka deretan kontak disana, setelah menemukan apa yang di cari, jarinya bergerak membuka kembali pemblokiran pada sebuah nama kontak yang tertera di layar. "Tut...Tut...Tut..." Nada ponsel menyambungkan ke suatu alamat IP seseorang. "Ceklek...Hallo..ap..." Sebuah suara renyah terdengar dari dalam ponsel. Namun, seolah suara itu tidak pernah berpengaruh apapun, langsung terjeda dengan suara dari Bagas. "Satu jam lagi temui aku di restoran Palma, jangan terlambat." Bagas bangkit dari duduk, ia berjalan mendekati ruang di mana sang ibu membawa Angel masuk beberapa saat lalu. Langkah Bagas sedikit tertahan, ketika melihat Hartono ayahnya hanya berdiri mematung di
Hanum merasa selama keduanya masih bisa dipersatukan, jangankan sekedar mengatakan Bagas bodoh, meskipun harus memandikan sang putra dengan 7 air comberan pasti akan ia lakukan. Hanum berpikir itu sah-sah saja, karena Bagas putranya memang telah menyelam dan berenang di dalam comberan, bukankah dia tinggal menenggelamkannya 6 kali lagi. Sementara, mendengar setiap detil pembicaraan ibu dan Angel dari luar, wajah Bagas menghitam dengan kemarahan. Dan tentu saja, itu tidak di tujukan untuk kedua orang di balik pintu, melainkan untuk sosok di luar sana. Bagas masih belum menyadari, bahwa semuanya bukan karena orang lain semata, melainkan dirinya sendiri juga ikut berperan. Tangan besarnya yang kokoh mengepal kuat, ia mengingat air mata serta kekecewaan di mata Angel beberapa hari lalu, ketika menerima Vidio dari sosok tak di kenal. Bagas mengakui kejadian itu adalah kesalahan bodohnya, yang berpikir bahwa ia akan dapat mencuci segalanya, dengan pengakuan dan permintaan maaf. Sunggu
"Baiklah..Katakan apa yang ingin kau bicarakan." Seberapa besarpun kemarahan yang di miliki Hartono untuk sang putra, ia tetap harus luluh dan berusaha sebaik mungkin memberikan bantuan, bagaimanapun kegagalan Bagas memperoleh pengampunan dari Angel, juga berarti bahwa keluarga mereka juga akan kehilangan wanita itu selamanya. ................................... Meninggalkan kedua pria disana, dengan percakapan serius tentang usaha menyelamatkan biduk rumah tangga Bagas, dan beralih di suatu sisi tempat lain. Di sebuah rumah mewah, berlantai dua dengan gaya klasik, kokoh serta halaman yang luas, seorang wanita cantik dengan penuh kebahagiaan meraih kunci mobil di atas meja. "Akhirnya kau bersedia menemui ku, lihat apa kali ini kau akan bisa menghindar?." Ucap Vanessa, sembari mengusap lembut perutnya yang rata. Vanessa Aditama Prawirya, seorang wanita modis, dengan materi kelengkapan yang berjut-jut melekat di tubuhnya, setiap kali ia berdandan. Baju, tas, sepatu, bahkan mungki
Di rumah makan Palma. Vanesa yang datang lebih cepat 10 menit, tampak tengah menikmati minuman dingin yang ia pesan. Maklum dengan rasa gerogi yang ia miliki, tenggorokannya seolah jauh lebih cepat kering. Bahkan belum sepuluh menit ia duduk di sana untuk menunggu kedatangan Bagas, minuman dingin yang ia pesan telah tinggal sepertiganya saja. "Kau sudah datang." Sapa nya lembut, ketika melihat sosok Bagas mendekat. "Mengapa tidak memesan ruangan pribadi?." Tanya Bagas balik dengan datar. Sebenarnya, ketika baru datang Vanesa hendak memesan ruangan pribadi untuk mereka. Akan tetapi, entah mengapa ia urungkan itu. Vanesa tidak tersinggung dengan perkataan Bagas barusan, ia hanya tersenyum kecil dan menjawab."Baik...kita pindah." Setelah memanggil pelayan rumah makan, dan meminta mengatur ruangan khusus di sana, keduanya menuju ruangan khusus rumah makan tersebut. "Ingin memesan apa?, apa aku yang pilihkan seperti biasanya?." Vanesa membuka topik pembicaraan, setelah melihat Bag
"Mengapa kau lakukan itu?, apa tujuanmu?." Suara Bagas terdengar dalam, serta penuh penekanan. Vanesa terkejut sejenak, namun dengan cepat berusaha menghilangkan perasaan takut yang mulai hadir di hati, dan kembali berkata. "Apa lagi?, aku cemburu melihatmu begitu perhatian kepadanya." Vanesa mengakui itu tanpa menutupi sama sekali. "Aku pikir semua akan baik-baik saja, selama kau memberiku sedikit perhatian, tapi Aku ingin lebih, aku menginginkan yang sama seperti dirinya." Mendengar perkataan itu, Bagas melebarkan mata tak percaya, ada kemarahan semakin membesar dalam hati. Kemarahan untuk sosok di depannya, dan kemarahan untuk diri sendiri. Ia menyesal telah bermain api dan telah tergoda, untuk datang ke sangkar madu Vanesa. "Bukankah di awal kau tidak menyebutkannya, mengapa sekarang jadi seperti ini?." Bagas. "Iya..Aku tahu semua memang salahku. Tapi kenyataannya, aku semakin menginginkanmu." Vanesa. Wajah itu berusaha dengan kuat menjadi tetap tenang, sehingga yang tersa
"Mari kita akhiri semuanya sampai di sini, aku tak bisa melihatnya menangis lagi." Lanjut Bagas, sembari berdiri dan hendak beranjak pergi dari sana. Bagas merasa semakin lama ia di sana, semakin besar kemungkinan untuk lebih membenci wanita itu. Vanesa yang melihat gelagat Bagas, segera meraih tangan itu dan kembali berkata. " Lalu...lalu bagaimana dengan aku?, aku juga bersedih dan menangis, apa itu tidak berarti untukmu?." Tangan Vanesa memegang kuat pergelangan tangan Bagas, ia tak ingin pria itu beranjak pergi. "Jangan membuat segalanya semakin sulit, sejak awal semuanya salah, kita berdua yang salah, dan..." Suara Bagas terjeda sejenak, seolah ia tengah membawa beban berat yang sulit ia tanggung. "Dia belum memaafkan ku." Tambahnya lirih. Mendengar perkataan tersebut, Vanesa merasa lucu dalam sekejap. Di sini dirinya seperti pengemis meminta untuknya tinggal, sementara Bagas bersikukuh untuk segera pulang, dan mengemis pengampunan dari istrinya. Apakah ia yang seorang Vane
*Back to story* Di dalam salah satu kamar rawat inap rumah sakit, Angel tergolek lemas di atas ranjang. Matanya yang tampak sayu, seolah enggan menatap apapun yang berada di sekeliling, terutama untuk sosok yang kini duduk dengan wajah penuh kecemasan untuk dirinya. Bagas sampai disana, setelah pihak rumah sakit atau lebih tepatnya Handoko mengatasnamakan dirinya sebagai pihak rumah sakit, dan memberi kabar tentang hal yang menimpa wanita tersebut. Handoko mendapat nomor Bagas, dari ponsel Angel, yang mensepesialkan kontak miliknya dengan id kontak "Husband" di sana. Namun, keistimewaan nama itu tidak lagi dapat menjamin kehangatan di antara mereka ke depan. Pasalnya, meski wanita itu telah siuman ia masih bungkam untuk suaminya tersebut. "Cekleek." Pintu ruangan di buka dari arah luar. Hanum dan Hartono segera menyeruak masuk, dan mendekat kearah ranjang. Hanum sudah tak tahan dengan air mata yang mulai merembes, terlebih melihat keadaan dan ekspresi sang menantu, yang seolah
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan