*Kembali ke cerita*Di dalam salah satu kamar rawat inap rumah sakit, Angel tergolek lemas di atas ranjang.Matanya yang tampak sayu, seolah enggan menatap apapun yang berada di sekelilingnya, terutama untuk sosok yang kini duduk dengan wajah memancarkan kecemasan untuk dirinya.Bagas sampai disana, setelah pihak rumah sakit atau lebih tepatnya Handoko mengatasnamakan dirinya sebagai pihak rumah sakit, dan memberi kabar tentang hal yang menimpa wanita tersebut.Handoko mendapat nomor Bagas, dari ponsel Angel, yang mensepesialkan kontak miliknya dengan id kontak "Husband" di sana.Namun, keistimewaan nama itu tidak lagi dapat menjamin, kehangatan di antara mereka ke depan.Pasalnya, meski wanita itu telah siuman ia masih bungkam untuk suaminya tersebut."Cekleek." Pintu ruangan di buka dari arah luar.Hanum dan Hartono segera menyeruak masuk, dan mendekat kearah ranjang.Hanum sudah tak tahan dengan air mata yang mulai merembes, terlebih melihat keadaan dan ekspresi sang menantu, yang s
"Apa yang kupikirkan Bu?, Apa aku salah, bahwa ibu dan ayah telah mengetahui segalanya?, Apa aku salah bahwa kalian semua berbohong kepadaku?."Angel terisak dengan rasa sakit yang tampak nyata, bahkan kepedihan itu jelas tergambar dari setiap gerak tubuhnya saat ini."Aku selalu percaya kepada kalian. Bahkan setelah mas Bagas mengkhianati pernikahan kami, aku masih berusaha memenuhi kewajiban ku sebagai putri kalian. Ibu aku hancur sekarang, aku tidak bisa lagi seperti ini, aku hancur ibu..."Tangis Angel semakin pecah, selain Bagas kedua sosok disana berusaha untuk menenangkan wanita tersebut.Hingga seorang pria masuk kedalam ruangan itu, dengan seorang wanita yang tadi pagi memeriksanya.Melihat kehadiran Dokter Bagus dan perawat di sana, Bagas tersadar dan mendekat."Dokter tolong, bantu dia..." Ucapnya cepat."Saya mengerti, tolong beri sedikit ruang agar pasien dapat lebih tenang dan beristirahat."Ucap Dokter Bagus, sembari memberikan suntikan untuk Angel......................
"Tin...tin...tin..."Angel melihat dari kaca spion dengan reflek.Sebuah mobil beewarna hitam, telah menunggu giliran untuk melalui jalur itu. Dengan cepat, ia memarkir mobil pada tempat kosong di depannya, dan secara tak langsung telah memutuskan untuk mensejajarkan mobil antik miliknya, dengan dua jenis mobil lainnya yang sama."Cocok, mungkin lain kali harus lebih cepat. Toh pilihanmu juga tetap sama, berbaris dengan yang sejenis." Sebuah suara sindiran terlontar dari dalam mobil hitam, yang kebetulan juga hendak memarkir benda tersebut.Mendengar hal itu, Angel merasa aneh untuk sosok pria di balik kemudi."Apa salahnya jika kami berkumpul bersama, lagi pula ini juga karena bantuanmu yang kurang sabar." Gerutu Angel, ketika keluar dari dalam mobil.Wanita itu mengatakan semuanya untuk diri sendiri, ia tak berniat untuk membagi perkataan barusan dengan orang lain.Namun yang tidak ia ketahui, bahwa di dalam mobil merah terang yang kebetulan bersebelahan dengan mobil uniknya, seora
Setelah dari parkiran, Angel tak lagi menengok handphonenya lagi. Maklum ia masih belum terbiasa dengan lingkungan kerja sekarang, atau memahami cara kerja dan situasi grup baru tersebut.Meski Ia mendengar banyak notifikasi masuk, Angel masih enggan untuk ikut nimbrung di sana.Oleh karenanya, wanita tersebut memutuskan untuk sementara mematikan nada dering benda tersebut, dan fokus dalam urusan yang lebih penting.Hal itu juga dapat menghindari kesan buruk untuk dirinya, sebagai pekerja baru di depan semua relasi kerja, menghela nafas sejenak, memasukkan Handphonenya kedalam tas, serta mengeluarkan sebuah amplop persegi panjang, sebelum berjalan menuju ruang HRD.Namun, karena ia telah di beri tahu bahwa ia harus secara langsung datang ke kantor Presdir, Wanita itu tak membuang waktu lama untuk berada di ruangan tersebut.Ia harus segera datang ke kantor pimpinan saat itu juga, sekaligus menyerahkan surat keterangan dari Dokter rumah sakit.
Namun ketika wanita di depannya membuka suara, wajah itu sedikit menunjukan simpati. Sedikit...hanya sedikit, mungkin seukuran ujung kuku."Jadi sudah bisa kita bicara sekarang?" Anggara.Mendengar pertanyaan tersebut, dengan cepat Angel menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya dengan nyaman.Dalam barisan perkataan, ungkapan nyaman itu di tujukan untuk tampil setenang mungkin, di depan pria tersebut. Akan tetapi, bergulat penuh gugup serta rasa khawatir dalam hati."Jangan pecat, jangan pecat...jika hari ini aku selamat, mereka akan aku traktir makan sepulang kerja nanti." Ucapnya dalam hati.Ketika wanita itu merapalkan mantra tersebut, dalam kepala kecilnya sosok Rahman dan Wita melayang dengan senyum cerah di wajahnya. Ia merekalah titik figuran Dewa dan Dewi Hokky dadakan, dalam mantra doa yang Angel lantunkan.Meski pikiran Angel tidak sepenuhnya fokus, akan tetapi ketika posisi duduknya telah sempurna, dengan cepat tangannya terulur menyerahkan
Wajah itu, perkataan, serta penyampaian yang di berikan, tak ubahnya seperti seseorang yang tengah mensyukuri atas kehilangan wanita tersebut.Dengan bahasa dan perkataan lain Anggara menyampaikan, bahwa Angel harus merasa lega dengan kehilangan bayinya. Anggara masih menampilkan wajah datar dan tenang miliknya. Bahkan, ketika manik mata menatap lekat kearah manik mata Angel, itu tetap tak berekspresi apapun.Sekedar melihat saja, dan tak ada apapun selain rasa meremehkan, dingin serta kejam.Sementara sosok Angel masih tampil seperti sebelumnya.Wajah dan mata coklatnya yang jernih masih terlihat lembut. Ia juga tidak menolak kontak manik, dari sang Presdir di depannya.Akan tetapi di bawah sana, tepatnya di balik meja kerja Anggara sisi depan.Jari-jari Angel mengepal kuat, dengan bertumpu di atas paha.Hati wanita tersebut seakan kembali mengucurkan darah, dari luka yang belum sempat ia balut.Dan sepandai-pandainya ia menyembunyikan emosi, namun d
Sementara itu, sosok Angel yang tampak kuat dan hebat dalam ruangan tadi, dengan cepat melangkahkan kaki menuju suatu tempat, yang telah ia ketahui arahnya.Dan tak membutuhkan waktu lama, langkah itu semakin di percepat ketika sebuah tulisan "Wanita" terpampang elegan di atas pintu, menyambut.Angel membuka pintu, masuk ke dalam salah satu ruangan, menutupnya rapat, dan tidak keluar untuk beberapa saat.........................Setelah hampir satu jam lamanya, Angel akhirnya keluar dari dalam bilik semedinya dengan langkah tegas, mengenakan sweater dan kaca mata dengan lensa ungu gelap.Memasang senyum cantik untuk menyapa, atau sekedar mengangguk membalas sapaan orang lain yang ia temui.Meski ia belum mengenal betul setiap karyawan di kantor tersebut, namun setelah bekerja dua hari di sana. Angel mengetahui, bahwa para pekerja di sana dengan tingkatan jabatan lebih rendah akan selalu memberikan tegur sapa, untuk yang memiliki posisi di atas mereka.Dalam kepala kecilnya berharap, ia
Di dalam ruang HRD.Meneliti, dan membaca dengan baik selalu ia lakukan pada setiap berkas di sana. Namun, karena setiap bagian kertas yang ia cermati masih sama, bahkan hingga pada lembar ke 14. Di tambah lagi, ketika mengingat proses pengetikan dan menggandakan berkas tersebut di lakukan tepat di depannya, pada lembar 6 terakhir wanita itu menjadi kurang teliti."Terimakasih, senang berjumpa dengan Anda bu." Ucap Angel, sembari menyerahkan berkas-berkas yang telah ia tanda tangani.Dan hal tersebut di sambut baik oleh Maya. Bahkan jelas terlihat senyum mengembang, di wajah paruh baya wanita tersebut."Semoga hari ke depan anda lebih baik." Jawab Maya singkat.."Terimakasih." Jawab Angel lagi dengan senyum lembut, sebelum melangkah meninggalkan ruangan tersebut.............................. FIKARsta : Seeeereeeemmm...hantu juga ada di pagi hari, #toilet wanita..............Sebuah rekaman suara terlampir........................V
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan
"Njel...Apa kau percaya jika ku katakan aku tertarik kepadamu?."Angel terdiam sejenak, menatap wajah di depannya dengan sedikit raut terkejut. "Apa yang kudengar barusan?." Kurang lebih demikian makna dari diamnya.Tetapi ketika mengingat siapa Anggara, dan bagaimana kebiasaannya berhubungan dengan wanita, Angel kembali tenang dan bersikap wajar. Wanita itu mengangguk serta kembali menampilkan senyum kecil, sebelum menjawab dengan ringan. "Ya pak." Sekarang, giliran Anggara yang terdiam dan menatap serius wajah Angel dengan sorot mata tak percaya, bahkan secara reflek pria itu mengulangi perkataannya kembali. "Kubilang aku tertarik kepadamu, apa kau percaya?."Ada rasa ragu dalam baris kalimat kali ini, seperti rasa enggan, heran, dan mungkin sedikit campuran rasa "aneh" yang tak di mengerti sebabnya. Namun kapan seorang Anggara akan menjaga perkataan dan tindakan.Pria tersebut justru menatap sosok cantik di depannya lebih cermat. Sedetik kemudian, gejolak rasa ingin tahu serta se
"Haah...akhirnya aku bisa menikmati hidupku." Gumam Angel dalam hati dengan binar mata cerah, sembari berjalan mendekat kearah Anggara."Mohon di tentukan pak." Ucapnya ringan sembari menyodorkan ponsel, yang telah menampilkan beberapa foto wanita cantik."Ini Rania 19 tahun mahasiswi di kota ini, cantik, putih, tinggi 169cm. Kalau yang ini Daisy 20 tahun, putih, indo cina 168cn, mahasiswi juga, dan yang ini..." Angel terus menggeser layar ponsel serta memberikan penjelasan tentang profil foto yang di lihat, tanpa menyadari kelainan ekspresi wajah Anggara, yang kini sudah bisa di bilang hampir menempel kepadanya. "Evangeline." Jawab Anggara dengan suara sedikit dalam, ketika Angel selesai menyebut nama salah satu profil foto pada layar.Iya...Evangeline, janda cantik satu anak berpose jauh lebih berani dari yang lainnya, wajahnya cantik, dengan kulit kuning Langsat mampu membuat pria manapun bertekuk lutut."Hah?." Jawab Angel reflek seraya menoleh kearah Anggara. Tentu saja wanita i