"Tin...tin...tin..." Angel melihat dari kaca spion dengan reflek. Sebuah mobil beewarna hitam, telah menunggu giliran untuk melalui jalur itu. Dengan cepat, ia memarkir mobil pada tempat kosong di depannya, dan secara tak langsung telah memutuskan untuk mensejajarkan mobil antik miliknya, dengan dua jenis mobil lainnya yang sama. "Cocok, mungkin lain kali harus lebih cepat. Toh pilihanmu juga tetap sama, berbaris dengan yang sejenis." Sebuah suara sindiran terlontar dari dalam mobil hitam, yang kebetulan juga hendak memarkir benda tersebut. Mendengar hal itu, Angel merasa aneh untuk sosok pria di balik kemudi. "Apa salahnya jika kami berkumpul bersama, lagi pula ini juga karena bantuanmu yang kurang sabar." Gerutu Angel, ketika keluar dari dalam mobil. Wanita itu mengatakan semuanya untuk diri sendiri, ia tak berniat untuk membagi perkataan barusan dengan orang lain. Namun yang tidak ia ketahui, bahwa di dalam mobil merah terang yang kebetulan bersebelahan dengan mobil unikn
Setelah dari parkiran, Angel tak lagi menengok handphonenya lagi, maklum ia masih belum terbiasa dengan lingkungan kerja sekarang, atau memahami cara kerja dan situasi grup baru tersebut. Meski Ia mendengar banyak notifikasi masuk, Angel masih enggan untuk ikut nimbrung di sana. Oleh karena itu, wanita tersebut memutuskan untuk sementara mematikan nada dering benda tersebut, dan fokus dalam urusan yang lebih penting. Hal ini juga dapat menghindari kesan buruk untuk dirinya, sebagai pekerja baru di depan semua relasi kerja, menghela nafas sejenak, memasukkan Handphonenya kedalam tas, serta mengeluarkan sebuah amplop persegi panjang, sebelum berjalan menuju ruang HRD. Namun, karena telah di beri tahu bahwa ia harus secara langsung datang ke kantor Presdir, Wanita itu tak membuang waktu lama untuk berada di ruangan tersebut. Angel harus segera datang ke kantor pimpinan saat itu juga, sekaligus menyerahkan surat keterangan dari Dokter rumah sakit. Dalam hati Angel berharap tidak mem
Namun ketika wanita di depannya membuka suara, wajah itu sedikit menunjukan simpati. Sedikit...hanya sedikit, mungkin seukuran ujung kuku. "Jadi sudah bisa kita bicara sekarang?" Anggara. Mendengar pertanyaan tersebut, dengan cepat Angel menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya dengan nyaman. Dalam barisan perkataan, ungkapan nyaman itu di tujukan untuk tampil setenang mungkin, di depan pria tersebut. Akan tetapi, bergulat penuh gugup serta rasa khawatir dalam hati. "Jangan pecat, jangan pecat...jika hari ini aku selamat, mereka akan aku traktir makan sepulang kerja nanti." Ucapnya dalam hati. Ketika wanita itu merapalkan mantra tersebut, dalam kepala kecilnya sosok Rahman dan Wita melayang dengan senyum cerah. Ia merekalah titik figuran Dewa dan Dewi Hokky dadakan, dalam mantra doa yang Angel lantunkan. Meski pikiran Angel tidak sepenuhnya fokus, akan tetapi ketika posisi duduknya telah sempurna, dengan cepat tangannya terulur menyerahkan sebuah amplop putih panjang, dengan
Wajah itu, perkataan, serta penyampaian yang di berikan, tak ubahnya seperti seseorang yang tengah mensyukuri atas kehilangan wanita tersebut. Dan dengan bahasa dan perkataan lain Anggara menyampaikan, bahwa Angel harus merasa lega dengan kehilangan bayinya. Anggara masih menampilkan wajah datar dan tenang miliknya. Bahkan, ketika manik mata menatap lekat kearah manik mata Angel, itu tetap tak berekspresi apapun. Sekedar melihat saja, dan tak ada apapun selain rasa meremehkan, dingin serta kejam. Sementara sosok Angel masih tampil seperti sebelumnya. Wajah dan mata coklatnya yang jernih masih terlihat lembut. Ia juga tidak menolak kontak manik, dari sang Presdir di depannya. Akan tetapi di bawah sana, tepatnya di balik meja kerja Anggara sisi depan, jari-jari Angel mengepal kuat, dengan bertumpu di atas paha. Hati wanita tersebut seakan kembali mengucurkan darah, dari luka yang belum sempat ia balut. Dan sepandai-pandainya ia menyembunyikan emosi, namun dengan keberunt
Sementara itu, sosok Angel yang tampak kuat dan hebat dalam ruangan tadi, dengan cepat melangkahkan kaki menuju suatu tempat, yang telah ia ketahui arahnya. Dan tak membutuhkan waktu lama, langkah itu semakin di percepat ketika sebuah tulisan "Wanita" terpampang elegan di atas pintu, menyambut. Angel membuka pintu, masuk ke dalam salah satu ruangan, menutupnya rapat, dan tidak keluar untuk beberapa saat. ........................ Setelah hampir satu jam lamanya, Angel akhirnya keluar dari dalam bilik semedi dengan langkah tegas, mengenakan sweater dan kaca mata dengan lensa ungu gelap. Memasang senyum cantik untuk menyapa, atau sekedar mengangguk membalas sapaan orang lain yang ia temui. Meski belum mengenal betul setiap karyawan di kantor tersebut, namun setelah bekerja dua hari di sana. Angel mengetahui, bahwa para pekerja di sana dengan tingkatan jabatan lebih rendah akan selalu memberikan tegur sapa, untuk yang memiliki posisi di atas mereka. Dalam kepala kecilnya berh
Di dalam ruang HRD. Meneliti, dan membaca dengan baik selalu ia lakukan pada setiap berkas di sana. Namun, karena setiap bagian kertas yang ia cermati masih sama, bahkan hingga pada lembar ke 14, ketika mengingat proses pengetikan dan menggandakan berkas tersebut di lakukan tepat di depannya, pada lembar 6 terakhir wanita itu menjadi kurang teliti. "Terimakasih, senang berjumpa dengan Anda bu." Ucap Angel, sembari menyerahkan berkas-berkas yang telah ia tanda tangani. Dan hal tersebut di sambut baik oleh Maya. Bahkan jelas terlihat senyum mengembang, di wajah paruh baya wanita tersebut. "Semoga hari ke depan anda lebih baik." Jawab Maya singkat.. "Terimakasih." Jawab Angel lagi dengan senyum lembut, sebelum melangkah meninggalkan ruangan tersebut. ............................. FIKA Rsta : Seeeereeeemmm...hantu juga ada di pagi hari, #toilet wanita. .............Sebuah rekaman suara terlampir........... .............Vidio pendek yang menampilkan punggung seseorang
"Mungkin, dia yang menjadi hantu di toilet." Sambung Anggara, dengan senyum sinis melintas di wajahnya. Handoko menyipitkan ujung mata menatap kearah Anggara, ketika sahabatnya itu memberikan kosakata yang sedikit mencurigakan. "Dia?, siapa maksudmu?." Handoko. Anggara terdiam sejenak, ia sedikit memberikan umpan untuk memancing ekspresi misterius, kepada Handoko. Benar saja seperti apa yang telah di duga, Handoko memberikan reaksi sama seperti tebakannya. Pria tersebut mulai gelisah, dan hal itu memang sangat mengasikkan untuk di nikmati. Wajah penasaran dengan campuran praduga yang hampir 80% telah di yakini benar oleh pria tersebut, nyatanya cukup mampu membuat hatinya sedikit terhibur. "Menurutmu, seharusnya siapa "Dia"?." Anggara melangkah lebih dekat kearah Handoko. Dari wajah yang tertangkap mata tajam miliknya, sahabatnya itu telah menekan rasa sabar di dalam hati, hingga wajahnya terlihat sedikit masam. "Jangan membuat teka-teki, aku sedang malas meneba
"Kau benar...Itu memang dia." Anggara membenarkan, tebakan sosok yang duduk tepat di depannya, dengan sedikit menekan pada akhir kata"dia". Dan dari reaksi sahabatnya itu, Anggara tahu bahwa pria disana kecewa dengan apa yang terjadi. "Aku tidak memecatnya, ada apa dengan ekspresi mukamu?." Anggara. "Asal kamu tahu, aku berusaha memenuhi permintaanmu itu saja." Lanjutnya lagi, masih dengan wajah dan nada tak perduli. Handoko yang telah mengenal baik sosok di depannya tersebut, hanya bisa menelan kembali setiap kekesalan yang ada. Ia tak bisa melakukan apapun untuk sosok di depannya ini. Handoko menghela nafas dalam sejenak, seolah tengah menekan sesuatu yang berat dan melarutkannya dalam sekali hembusan. Iya...hanya itu saja yang bisa di lakukan untuk sekarang, dan untuk membantu Angel bisa di pikirkan lagi nanti. "Kau tahu, Dia datang kesana atas perintah siapa?." Handoko kembali membuka suara, dan ingin mengatakan apa yang di ketahui nya 2 hari lalu, setelah menanyakan perih
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan