"Kau benar...Itu memang dia." Anggara membenarkan, tebakan sosok yang duduk tepat di depannya, dengan sedikit menekan pada akhir kata"dia". Dan dari reaksi sahabat di depannya itu, ia tahu bahwa pria disana kecewa dengan apa yang terjadi."Aku tidak memecatnya, ada apa dengan ekspresi muka itu?." Anggara."Asal kamu tahu, aku berusaha memenuhi permintaanmu itu saja." Lanjutnya lagi, masih dengan wajah dan nada tak perduli.Handoko yang telah mengenal baik sosok di depannya tersebut, hanya bisa menelan kembali setiap kekesalan yang ada. Ia tak bisa melakukan apapun untuk sosok di depannya ini.Ia menghela nafas dalam sejenak, seolah tengah menekan sesuatu yang berat dan melarutkannya dalam sekali hembusan. Iya hanya itu saja yang bisa di lakukan untuk sekarang, dan untuk membantu Angel bisa di pikirkan lagi nanti."Kau tahu, Dia datang kesana atas perintah siapa?." Handoko kembali membuka suara, dan ingin mengatakan apa yang di ketahui nya 2 hari lalu, setelah menanyakan perihal kehadi
Namun lagi dan lagi, dia adalah Anggara Prawirya, kapan ia harus menyerah dan mengaku salah?."Tidak, itu tidak boleh terjadi. Jika wanita itu kehilangan suaminya, mungkin ia memang kurang pandai menjaga miliknya, atau mungkin suaminya yang memang tidak baik, dan jatuh kedalam pelukan wanita lain." Kilah Anggara dalam hati, untuk mencabut rasa bersalah yang mulai menancapkan akarnya di sana.Mengesampingkan pergulatan hati sendiri dengan sedikit rasa bersalah yang mulai bercokol, Anggara masih memiliki beberapa pertanyaan di benaknya, mengapa Vanesa menyuruh Angel datang kesana, dan mengapa ia bersikap aneh di sore itu. Bahkan, seolah tengah meneriakkan kemarahan besar.Apa yang memicunya bertindak demikian?.Anggara hanya memikirkan itu dalam diamnya, ia tidak ingin merealisasikan semua hal tersebut dalam baris perkataan. Terutama di depan sosok di depannya saat ini.Namun ibarat setali tiga uang, pemikirannya yang tengah digelitik dengan tanda tanya, ternyata t
Sosok Anggara yang tak mempercayai cinta, dan belum pernah memahami ketulusan hati, memang selalu menilai sesuatu dengan timbangan kegunaan, kekayaan, dan timbal balik saling menguntungkan.Anggara berdiri dari duduk, dan menjawab dengan acuh."Jika kau tanya aku, lalu aku tanya siapa?, datangi dan tanyakan langsung kepadanya." Handoko yang mendengar jawaban asal sahabatnya tersebut, tidak terkejut.Sudah barang tentu pria itu akan acuh dan tidak peduli tentang urusan orang lain, bahkan jika itu menyangkut karyawan di perusahannya.Dan meskipun sahabatnya tersebut tahu perihal Angel, yang secara langsung terpaut dengan sang adik, Handoko jelas tak boleh banyak berharap, bahwa Anggara akan memberitahunya dengan mudah. Melihat pria tersebut berdiri dan berbalik untuk keluar dari sana, Handoko dengan cepat juga berdiri dari duduk dan mengikuti langkah sang Presdir. Melupakan sesuatu yang menjadi topik pembicaraan barusan................
*#Angel. "Jika aku telah lelah, maka tak ada yang ingin ku ketahui dan tanyakan lagi."*"Kau pulang?." Tanya Bagas, dengan senyum masih melekat. Wajah Angel yang semula memang agak lesu, semakin kuyu melihat kehadiran Bagas di sana."Mengapa ia harus datang?." Gumamnya dalam hati.Mungkin dulu sambutan seperti itu, akan menghangatkan hatinya. Namun sekarang semua telah berubah, bahkan jika ketulusan di hati Bagas masih sama, rasa hangat yang biasa tercipta telah membeku hingga ke dasar tulang. "Kapan anda datang?." Ucapnya santai, ketika masuk dan mendekat kearah Bagas.Angel berjalan mendekat dengan tenang, bukan untuk mendatangi sosok calon mantan suaminya tersebut, melainkan memang itu pintu utama untuk masuk kedalam rumah.Bibir tipis Angel memang meluncurkan pertanyaan untuk Bagas, seolah ia masih peduli kapan pria tersebut datang, dan berapa lama ia telah menunggu di teras.Akan tetapi pada kenyataan yang ada, Bagas memahami satu hal bahwa sang istri masih memendam kemarahan k
"Kita duduk dan bicara sebentar." Bagas kembali menegaskan, apa yang menjadi tujuannya datang kesana. Mengingat penghianatan, serta sosok wanita lain yang tengah mengandung, sesungguhnya ia tak ingin lagi berbicara dengan pria tersebut.Namun, untuk kelancaran rencana pengajuan gugatan cerai diantara mereka, mungkin wanita itu harus sedikit ekstra sabar, serta merantai harimau di dalam hatinya kuat-kuat, agar tidak melompat keluar serta menerkam sosok Bagas."Aku mandi dulu." Jawab Angel singkat.Dengan bahasa lain, ia menyetujui permintaan Bagas untuk melakukan pembicaraan perihal permasalahan diantara mereka.Baginya, hari ini mungkin waktu yang tepat untuk mengatakan apapun yang tengah ia pikirkan.Selain itu di sana di rumah peninggalan orang tuanya, tak ada orang lain yang akan mempengaruhi keputusan yang akan di ambil.Bagas menunggu Angel di ruang tamu, hampir satu jam lamanya.Entah itu kesengajaan dari wanita tersebut, atau ada hal lain, Bagas tidak mempersoalkan sama sekali.
"Aku juga tak pernah bercita-cita untuk menjadi janda."Meskipun bahasa di bibir tersebut terdengar lembut dan tenang, namun sungguh ironis dalam pemahaman Bagas ibarat sebuah bilah yang tajam menusuk ulu hati."Tapi juga tidak akan takut untuk menyandang lebel itu, jika orang yang ku cintai tak bisa menjaga kepercayaan."Angel masih menatap lekat Bagas, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perkataan. "Ayo kita bercerai mas, berpisah secara baik-baik." "Zeblaaaaaarrrr."Meski telah beberapa kali Bagas membayangkan kemungkinan sikap, dan kejadiannya akan berakhir seperti ini, perkataan tersebut masih menghentak hatinya.Mata itu dalam sekilas menyiratkan kilat yang tajam. Jantung dan hati yang di usahakan mengalun dengan ritme tenang, kini berderu dengan cepat, berpacu bersama kegelisahan serta rasa takut yang hebat.Bagas menarik nafas panjang beberapa kali, seolah tengah menenangkan sesuatu yang hendak terlepas tak terkontrol."Mengapa kalimat itu terlihat mudah di bibirmu Een?, apak
Angel mengatakan perbandingan, antara perkataannya yang di anggap mudah ketika meminta cerai, dengan tindakan Bagas untuk menyentuh tubuh wanita lain."Apakah hubungan kita dangkal mas, sekalinya jauh dariku, kamu bisa bersama serta membelainya?." "Bisakah kau ingat kasih sayangku ketika bersamanya?, bisakah itu terjadi saat kamu mementingkan hubungan diantara kita?." Angel mengepalkan jari-jari tangannya dengan kuat, seakan tengah mencari kekuatan untuk melanjutkan ucapannya lagi."Setelah aku melihat vidio kalian bersama, jujur ketika kita melakukan itu, pikiran dan jiwa ini berontak. Aku selalu bertanya, apakah tindakanmu saat bersamanya juga seperti saat kau melakukannya denganku?, kata-kata manis mu, gerakan mu, bahkan apakah senyummu untukku juga sama dengan senyum untuknya?.""Apakah kau juga membisikkan namanya, dengan cara yang sama kau membisikkan namaku?, apakah kau juga puas serta bahagia, saat melakukan itu seperti ketika bersamaku?.'' Suara itu, tatapan dan penyampaian
"Iya.....Aku telah jatuh dalam pandanganmu, bahkan jika itu sebuah lubang dangkal, tetap saja tak ada jalan keluar dari sana." Ucap Bagas dalam hati.Ia merasa semakin jauh dari sosok Angel istrinya, dan mungkin juga gelar suami yang ia miliki akan segera terhapus, dalam hitungan beberapa saat ke depan.Hati Bagas seolah terhimpit dua dinding kokoh, yang yang kian merapat. Di sana juga ada kehampaan yang kuat, ketika membayangkan perpisahan mereka nanti."Een...bisakah itu di pikirkan lagi, lihat Ayah dan ibuku mereka sangat menyayangimu." Bagas mencari pemberat lain, untuk menahan keinginan Angel agar tidak kekeh untuk bercerai.Dan kali ini ia menyebut kedua orang tuanya, sebagai titik fokus wanita itu. Bagas berharap dengan kasih sayang tulus Hanum dan Hartono, ia akan berpikir dua kali, atau jika mungkin mengurungkan niatnya."Bahkan Cantika lebih menyayangimu ketimbang aku kakaknya, keluargaku akan selalu menjadi pendukung mu." Lanjut Bagas lagi.Mendengar perkataan itu Angel jus
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan
"Njel...Apa kau percaya jika ku katakan aku tertarik kepadamu?."Angel terdiam sejenak, menatap wajah di depannya dengan sedikit raut terkejut. "Apa yang kudengar barusan?." Kurang lebih demikian makna dari diamnya.Tetapi ketika mengingat siapa Anggara, dan bagaimana kebiasaannya berhubungan dengan wanita, Angel kembali tenang dan bersikap wajar. Wanita itu mengangguk serta kembali menampilkan senyum kecil, sebelum menjawab dengan ringan. "Ya pak." Sekarang, giliran Anggara yang terdiam dan menatap serius wajah Angel dengan sorot mata tak percaya, bahkan secara reflek pria itu mengulangi perkataannya kembali. "Kubilang aku tertarik kepadamu, apa kau percaya?."Ada rasa ragu dalam baris kalimat kali ini, seperti rasa enggan, heran, dan mungkin sedikit campuran rasa "aneh" yang tak di mengerti sebabnya. Namun kapan seorang Anggara akan menjaga perkataan dan tindakan.Pria tersebut justru menatap sosok cantik di depannya lebih cermat. Sedetik kemudian, gejolak rasa ingin tahu serta se
"Haah...akhirnya aku bisa menikmati hidupku." Gumam Angel dalam hati dengan binar mata cerah, sembari berjalan mendekat kearah Anggara."Mohon di tentukan pak." Ucapnya ringan sembari menyodorkan ponsel, yang telah menampilkan beberapa foto wanita cantik."Ini Rania 19 tahun mahasiswi di kota ini, cantik, putih, tinggi 169cm. Kalau yang ini Daisy 20 tahun, putih, indo cina 168cn, mahasiswi juga, dan yang ini..." Angel terus menggeser layar ponsel serta memberikan penjelasan tentang profil foto yang di lihat, tanpa menyadari kelainan ekspresi wajah Anggara, yang kini sudah bisa di bilang hampir menempel kepadanya. "Evangeline." Jawab Anggara dengan suara sedikit dalam, ketika Angel selesai menyebut nama salah satu profil foto pada layar.Iya...Evangeline, janda cantik satu anak berpose jauh lebih berani dari yang lainnya, wajahnya cantik, dengan kulit kuning Langsat mampu membuat pria manapun bertekuk lutut."Hah?." Jawab Angel reflek seraya menoleh kearah Anggara. Tentu saja wanita i