"Baiklah..Katakan apa yang ingin kau bicarakan."
Seberapa besarpun kemarahan yang di miliki Hartono untuk sang putra, ia tetap harus luluh dan berusaha sebaik mungkin memberikan bantuan, bagaimanapun kegagalan Bagas memperoleh pengampunan dari Angel, juga berarti bahwa keluarga mereka juga akan kehilangan wanita itu selamanya. ................................... Meninggalkan kedua pria disana, dengan percakapan serius tentang usaha menyelamatkan biduk rumah tangga Bagas, dan beralih di suatu sisi tempat lain. Di sebuah rumah mewah, berlantai dua dengan gaya klasik, kokoh serta halaman yang luas, seorang wanita cantik dengan penuh kebahagiaan meraih kunci mobil di atas meja. "Akhirnya kau bersedia menemui ku, lihat apa kali ini kau akan bisa menghindar?." Ucap Vanessa, sembari mengusap lembut perutnya yang rata. Vanessa Aditama Prawirya, seorang wanita modis, dengan materi kelengkapan yang berjut-jut melekat di tubuhnya, setiap kali ia berdandan. Baju, tas, sepatu, bahkan mungkin juga dalaman, semuanya adalah barang-barang ekslusif terbaik di brand-nya. Sosoknya yang tegas, cantik, ramping semakin membuatnya bersinar dengan balutan barang-barang kece bade, yang akan menggetarkan jiwa-jiwa cemburu kaum hawa di sekitarnya. Maklum, terlahir dengan sendok emas di tangan memang membuatnya semakin percaya diri. Ingin ini gesek, ingin itu gesek, tak ada yang tak dia dapatkan selama itu tersedia untuk di beli. Namun, kesempurnaan dan kekuasaan mutlak memang selalu hanya milik sang pencipta. Berbeda dengan keinginannya yang selalu terpenuhi, beberapa bulan yang lalu, ketika ia mengenal sosok Bagas Pambudi, kartu ajaibnya ternyata tak dapat berbuat apapun. Bahkan, jika sosok pria tersebut adalah pekerja di perusahaan anak cabang milik keluarga Prawira, Vanesa tetap hanya bisa bermimpi, lantaran pria di sana telah memiliki seorang istri. Di awal ia berpikir untuk menyerah, namun sensasi perasaan mencintai seseorang untuk pertama kalinya, sungguh tiada tandingan. Rasa cintanya menggebu dan menderu hebat, seperti ombak laut selatan yang tiada bandingan. Vanesa benar-benar terjerat dengan pesona Bagas yang baik, santun dan mudah bergaul. Senyumannya yang hangat, mampu melelehkan hati Vanesa yang acuh tak acuh, serta membuatnya kehilangan akal. Hingga pada akhirnya ia meminta izin sang ayah, untuk di pindahkan ke kantor cabang, di mana Bagas juga bekerja. Dan dari sinilah, awal mula kejadian itu terjadi. Vanesa yang tak lagi bisa membendung rasa cintanya untuk Bagas, kembali menyatakan perasaan itu dengan lugas. Bahkan dengan terang-terangan mengatakan, bahwa ia tak menginginkan status istri ataupun kucuran materi dari sosok Bagas. Dan lebih hebatnya lagi, Vanessa menjanjikan sebuah kesempatan emas, untuk lebih cepat naik ke tingkat atas dalam pekerjaan. Bagi wanita tersebut, harta serta materi Bagas, tidaklah sebanding dengan yang ia miliki. Dan untuk status istri, Vanessa selalu mempunyai pikiran tersendiri dalam benaknya. Sekarang mungkin menjadi sekedar kekasih itu sudah cukup, yang lain biarlah berjalan di akhir. Vanessa selalu optimis dalam apapun, bahkan untuk sisi perihal perasaan hati, wanita itu tetap memiliki kepercayaan tinggi. Seperti seekor kucing yang di cocok hidungnya dengan ikan asin, Bagas menjadi kelimpungan. Membayangkan pangkat, wanita dan petualangan yang menggiurkan, akhirnya ia goyah serta menyetujui permintaan dari wanita tersebut. Sekedar bersama, saling memberi perhatian, tambahan belaian keindahan yang menantang, tanpa menuntut waktu dan materi, dan berbonus naik pangkat, siapa yang akan melewatkan kesempatan?. Jiwa Bagas yang meronta, pada akhirnya di lepas dari belenggu, dan gayung pun bersambut. Sejak saat itu kisah penjahat biru, yang mencuri pengkhianat abu-abu pun, mulai menggoreskan kisahnya. Hebatnya Bagas, ia tetap bisa tenang dalam keseharian di rumah, tetap mesra dan peduli untuk sang istri. Dan dengan hadirnya kisah dirinya dan Vanessa, ia juga lebih giat dalam bekerja. Sungguh dunia Bagas, di penuhi dengan rona beraneka warna yang indah. Namun ibarat pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat, suatu ketika ia akan terjatuh juga. Dan sebaik apapun menutup rapat sebuah bangkai, udara akan tetap menyebarkannya. Tepatnya setelah hampir 7 atau 8 bulanan, hubungannya dengan Vanessa mulai terkuak, dan keindahan hidupnya mulai menunjukkan sisi sebaliknya. Angel menerima sebuah video dengan durasi beberapa menit, dari sosok yang tidak di kenal. Dan disana sebuah tampilan sosok sang suami tengah bercumbu bersama Vanessa, menyambangi telepon genggam wanita itu. "Zeblaaaaaarrrr..."Di rumah makan Palma. Vanesa yang datang lebih cepat 10 menit, tampak tengah menikmati minuman dingin yang ia pesan. Maklum dengan rasa gerogi yang ia miliki, tenggorokannya seolah jauh lebih cepat kering. Bahkan belum sepuluh menit ia duduk di sana untuk menunggu kedatangan Bagas, minuman dingin yang ia pesan telah tinggal sepertiganya saja. "Kau sudah datang." Sapa nya lembut, ketika melihat sosok Bagas mendekat. "Mengapa tidak memesan ruangan pribadi?." Tanya Bagas balik dengan datar. Sebenarnya, ketika baru datang Vanesa hendak memesan ruangan pribadi untuk mereka. Akan tetapi, entah mengapa ia urungkan itu. Vanesa tidak tersinggung dengan perkataan Bagas barusan, ia hanya tersenyum kecil dan menjawab."Baik...kita pindah." Setelah memanggil pelayan rumah makan, dan meminta mengatur ruangan khusus di sana, keduanya menuju ruangan khusus rumah makan tersebut. "Ingin memesan apa?, apa aku yang pilihkan seperti biasanya?." Vanesa membuka topik pembicaraan, setelah melihat Bag
"Mengapa kau lakukan itu?, apa tujuanmu?." Suara Bagas terdengar dalam, serta penuh penekanan. Vanesa terkejut sejenak, namun dengan cepat berusaha menghilangkan perasaan takut yang mulai hadir di hati, dan kembali berkata. "Apa lagi?, aku cemburu melihatmu begitu perhatian kepadanya." Vanesa mengakui itu tanpa menutupi sama sekali. "Aku pikir semua akan baik-baik saja, selama kau memberiku sedikit perhatian, tapi Aku ingin lebih, aku menginginkan yang sama seperti dirinya." Mendengar perkataan itu, Bagas melebarkan mata tak percaya, ada kemarahan semakin membesar dalam hati. Kemarahan untuk sosok di depannya, dan kemarahan untuk diri sendiri. Ia menyesal telah bermain api dan telah tergoda, untuk datang ke sangkar madu Vanesa. "Bukankah di awal kau tidak menyebutkannya, mengapa sekarang jadi seperti ini?." Bagas. "Iya..Aku tahu semua memang salahku. Tapi kenyataannya, aku semakin menginginkanmu." Vanesa. Wajah itu berusaha dengan kuat menjadi tetap tenang, sehingga yang tersa
"Mari kita akhiri semuanya sampai di sini, aku tak bisa melihatnya menangis lagi." Lanjut Bagas, sembari berdiri dan hendak beranjak pergi dari sana. Bagas merasa semakin lama ia di sana, semakin besar kemungkinan untuk lebih membenci wanita itu. Vanesa yang melihat gelagat Bagas, segera meraih tangan itu dan kembali berkata. " Lalu...lalu bagaimana dengan aku?, aku juga bersedih dan menangis, apa itu tidak berarti untukmu?." Tangan Vanesa memegang kuat pergelangan tangan Bagas, ia tak ingin pria itu beranjak pergi. "Jangan membuat segalanya semakin sulit, sejak awal semuanya salah, kita berdua yang salah, dan..." Suara Bagas terjeda sejenak, seolah ia tengah membawa beban berat yang sulit ia tanggung. "Dia belum memaafkan ku." Tambahnya lirih. Mendengar perkataan tersebut, Vanesa merasa lucu dalam sekejap. Di sini dirinya seperti pengemis meminta untuknya tinggal, sementara Bagas bersikukuh untuk segera pulang, dan mengemis pengampunan dari istrinya. Apakah ia yang seorang Vane
*Back to story* Di dalam salah satu kamar rawat inap rumah sakit, Angel tergolek lemas di atas ranjang. Matanya yang tampak sayu, seolah enggan menatap apapun yang berada di sekeliling, terutama untuk sosok yang kini duduk dengan wajah penuh kecemasan untuk dirinya. Bagas sampai disana, setelah pihak rumah sakit atau lebih tepatnya Handoko mengatasnamakan dirinya sebagai pihak rumah sakit, dan memberi kabar tentang hal yang menimpa wanita tersebut. Handoko mendapat nomor Bagas, dari ponsel Angel, yang mensepesialkan kontak miliknya dengan id kontak "Husband" di sana. Namun, keistimewaan nama itu tidak lagi dapat menjamin kehangatan di antara mereka ke depan. Pasalnya, meski wanita itu telah siuman ia masih bungkam untuk suaminya tersebut. "Cekleek." Pintu ruangan di buka dari arah luar. Hanum dan Hartono segera menyeruak masuk, dan mendekat kearah ranjang. Hanum sudah tak tahan dengan air mata yang mulai merembes, terlebih melihat keadaan dan ekspresi sang menantu, yang seolah
"Apa yang kupikirkan Bu?, Apa aku salah, bahwa ibu dan ayah telah mengetahui segalanya?, Apa aku salah bahwa kalian semua berbohong kepadaku?." Angel terisak dengan rasa sakit yang tampak nyata, bahkan kepedihan itu jelas tergambar dari setiap gerak tubuhnya saat ini. "Aku selalu percaya kepada kalian, bahkan setelah mas Bagas mengkhianati pernikahan kami, aku masih berusaha memenuhi kewajiban ku sebagai putri kalian. Ibu aku hancur sekarang, aku tidak bisa lagi seperti ini, aku hancur ibu..." Tangis Angel semakin pecah, selain Bagas kedua sosok disana berusaha untuk menenangkan wanita tersebut. Hingga seorang pria masuk kedalam ruangan itu, dengan seorang wanita yang tadi pagi memeriksanya. Melihat kehadiran Dokter Bagus dan perawat di sana, Bagas tersadar dan mendekat. "Dokter tolong, bantu dia..." Ucapnya cepat. "Saya mengerti, tolong beri sedikit ruang agar pasien dapat lebih tenang dan beristirahat." Ucap Dokter Bagus, sembari memberikan suntikan untuk Angel. ............
"Tin...tin...tin..." Angel melihat dari kaca spion dengan reflek. Sebuah mobil beewarna hitam, telah menunggu giliran untuk melalui jalur itu. Dengan cepat, ia memarkir mobil pada tempat kosong di depannya, dan secara tak langsung telah memutuskan untuk mensejajarkan mobil antik miliknya, dengan dua jenis mobil lainnya yang sama. "Cocok, mungkin lain kali harus lebih cepat. Toh pilihanmu juga tetap sama, berbaris dengan yang sejenis." Sebuah suara sindiran terlontar dari dalam mobil hitam, yang kebetulan juga hendak memarkir benda tersebut. Mendengar hal itu, Angel merasa aneh untuk sosok pria di balik kemudi. "Apa salahnya jika kami berkumpul bersama, lagi pula ini juga karena bantuanmu yang kurang sabar." Gerutu Angel, ketika keluar dari dalam mobil. Wanita itu mengatakan semuanya untuk diri sendiri, ia tak berniat untuk membagi perkataan barusan dengan orang lain. Namun yang tidak ia ketahui, bahwa di dalam mobil merah terang yang kebetulan bersebelahan dengan mobil unikn
Setelah dari parkiran, Angel tak lagi menengok handphonenya lagi, maklum ia masih belum terbiasa dengan lingkungan kerja sekarang, atau memahami cara kerja dan situasi grup baru tersebut. Meski Ia mendengar banyak notifikasi masuk, Angel masih enggan untuk ikut nimbrung di sana. Oleh karena itu, wanita tersebut memutuskan untuk sementara mematikan nada dering benda tersebut, dan fokus dalam urusan yang lebih penting. Hal ini juga dapat menghindari kesan buruk untuk dirinya, sebagai pekerja baru di depan semua relasi kerja, menghela nafas sejenak, memasukkan Handphonenya kedalam tas, serta mengeluarkan sebuah amplop persegi panjang, sebelum berjalan menuju ruang HRD. Namun, karena telah di beri tahu bahwa ia harus secara langsung datang ke kantor Presdir, Wanita itu tak membuang waktu lama untuk berada di ruangan tersebut. Angel harus segera datang ke kantor pimpinan saat itu juga, sekaligus menyerahkan surat keterangan dari Dokter rumah sakit. Dalam hati Angel berharap tidak mem
Namun ketika wanita di depannya membuka suara, wajah itu sedikit menunjukan simpati. Sedikit...hanya sedikit, mungkin seukuran ujung kuku. "Jadi sudah bisa kita bicara sekarang?" Anggara. Mendengar pertanyaan tersebut, dengan cepat Angel menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya dengan nyaman. Dalam barisan perkataan, ungkapan nyaman itu di tujukan untuk tampil setenang mungkin, di depan pria tersebut. Akan tetapi, bergulat penuh gugup serta rasa khawatir dalam hati. "Jangan pecat, jangan pecat...jika hari ini aku selamat, mereka akan aku traktir makan sepulang kerja nanti." Ucapnya dalam hati. Ketika wanita itu merapalkan mantra tersebut, dalam kepala kecilnya sosok Rahman dan Wita melayang dengan senyum cerah. Ia merekalah titik figuran Dewa dan Dewi Hokky dadakan, dalam mantra doa yang Angel lantunkan. Meski pikiran Angel tidak sepenuhnya fokus, akan tetapi ketika posisi duduknya telah sempurna, dengan cepat tangannya terulur menyerahkan sebuah amplop putih panjang, dengan
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan