Untuk kita!, untuk kita!. Itu untukmu, hanya untukmu, bagaimana kau mengatakan itu untuk kita?." Bagas ingin meneriakkannya dengan keras.Sebesar apa kekuatan kemarahan dan kecewa yang di miliki, sebesar itu dorongan dirinya untuk segera bersuara.Namun, mengingat apa dan mengapa kehidupan rumah tangganya berakhir hingga di titik sekarang, tenggorokan Bagas seolah mengatup kuat. Tak ada perkataan apapun yang meluncur dari sana, bahkan ketika hati dan pikiran tidakak setuju.Bagas hanya bisa bungkam dan tidak menyahuti sama sekali.Seketika ruang menjadi hening sejenak, keduanya hanya saling tatap dengan pikiran masing-masing.Hingga beberapa saat kemudian, dengan perasaan marah yang berusaha untuk di tekan, Bagas kembali membuka suara. "Een...Aku lelah, biar aku pikirkan dulu. Kita lanjutkan lagi nanti."Bagas membaringkan tubuh, serta memunggungi sosok Angel yang terpaku di tepi ranjang."Tapi mas." Sahutnya reflek, Angel menolak mengakhiri pembicaraan.Ia tahu bahwa Bagas sengaja in
"Apa kau akan bahagia jika kita berpisah?." Tanyanya lirih. Namun, sepelan apapun itu terdengar bagi telinga orang lain, pada kenyataannya adalah sebuah guntur yang menggelegar dahsyat, di dalam hati Bagas.Bahkan, dapat di katakan kini ia tengah mengiris hati sendiri demi untuk menegaskan kata rela dalam benaknya, sekedar pembuktian bahwa ia tulus 0eduli padanya.Dan demi mewujudkan hal tersebut, ia harus bisa memberi kebahagian bagi sosok wanita ini meskipun hati sendiri yang tersakiti.Ada sesak yang menghimpit dada bidang Bagas dengan kuat. Dalam kesadaran dan pemahamannya sekarang, mungkin kedekatan dan interaksi tanpa jarak seperti itu, adalah kali terakhir untuk mereka.Di sela dirinya yang berusaha mengukuhkan hati untuk berlapang dada, Bagas juga tengah berjuang untuk tidak meloloskan air mata.Oleh karena itu tanpa di sadari, ia semakin menekan kuat pelukan, meskipun tubuh dalam dekapan memberi dorongan perlawanan.
Mendengar perkataan barusan, Bagas terhenyak sejenak dan perlahan mulai melonggarkan kedua lengan kokohnya, dengan sorot mata keengganan.Namun, siapa yang menyangka, bahwa ketika tangan itu sedikit meloloskan kekuatan tubuhnya segera mendapat dorongan dari tangan Angel.Bagas yang tanpa persiapan, tak mungkin lagi untuk memaksanya kembali masuk kedalam pelukan.Ia hanya bisa menatap kearah tubuh yang kian menyusut menjauh dari dirinya, dan melihat sosok lembut di depannya menyeka sendiri beberapa bulir bening, yang masih tersisa di atas pipi putih itu.Mata cantik yang dulu sering membuatnya tertegun dengan keceriaan, kini sering berkabut dengan bulir bening air mata.Menyaksikan kesedihan di sana, jujur hati Bagas merasakan nyeri serta kepedihan yang jauh lebih besar.Namun, akankah Angel percaya jika hal itu katakan sekarang?. Bagas memahami betul, bahwa sosok di depannya mungkin terlihat lemah, namun ia adalah wanita dengan ketegasan hati yang menarik garis jelas, antara cinta dan
"Tapi untuk saat sekarang, hal yang paling ku inginkan adalah kita berjalan masing-masing." Lanjutnya lagi, dengan wajah seta sorot mata penuh keyakinan.Angel mencengkram kedua ujung lutut dengan lima jari penuh.Seakan ia tengah melumat sesuatu, atau mungkin menempatkan penekanan segala beban berat, serta keraguan hati di sana."Jika nantinya aku tidak bahagia karena keputusan hari ini, maka itu sudah bagian dari jalan hidup serta keputusan yang ku pilih." Angel.Bagas sedikit melirik samping ranjang, dimana sosok Angel tengah duduk kokoh pada sebuh kursi. Dalam sekali lihat mungkin wanita disana seakan menjadi sebuah pribadi yang kuat serta mampu tegas menentukan keputusan.Namun, Bagas adalah suami yang telah hidup bersamanya bukan hanya dalam kurun waktu sehari dua hari saja, sehingga apapun pergerakan kecil dari dirinya tak akan mudah luput dengan leluasa dari pandangan pria tersebut.Seperti saat ini, dapat di katakan bahwa Angel tengah tertangkap
"Bagaimana aku begitu bodoh, dan mana mungkin akan ada hal baik di antara kita setelah ini." Ucap Bagas lirih, ketika membalikkan tubuh dan memunggungi Angel, seraya merebahkan tubuhnya kembali. Pada detik ini, Bagas menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.Sehebat apapun orang merekatkan pecahan sebuah gelas, retakan yang tertinggal masih menjadi bagian dari benda tersebut.Angel berdiri dari duduk dengan enggan. Ia tahu bahwa sosok pria di atas ranjang tidak bisa lagi diajak bicara saat ini.Dengan keheningan ruangan yang kian baku, tubuh Angel kembali duduk pada kursi yang ia gunakan untuk tidur pagi tadi.Wanita itu kembali menatap punggung bisu di atas ranjang. Dalam hati memang masih ada rasa sakit, ketika melihat sosok di sana terlihat muram dan bersedih.Namun, sebuah masa depan yang telah ia rencanakan tanpa sosok itu, harus menegaskan bahwa kesedihan Bagas sekarang bukanlah sebuah kesalahan.Dengan keputusan ini, mungkin Bagas dan dirinya akan
"Eeen....Een.." Panggilnya berkali-kali dalam hati, dengan bibir yang tertutup rapat.Sudah berakhir, apapun yang tengah ia harapkan untuk kelangsungan hubungan di antara mereka.Bagi Bagas segala upaya yang di lakukan harus berhenti sampai di sini.Ada rasa gundah, kecewa, hampa bahkan sesak dalam dada pria tersebut, mungkin penjabaran apapun dalam kosa kata yang ada, tak bisa mewakili apa yang tengah ia rasakan.Sehingga hanya bulir bening yang mengucur deras, dengan kebisuan bibir tipis yang bergetar tak terkontrol sajalah, sebagai penyampaian setiap gemuruh yang bercampur aduk.Bagas masih terdiam dengan punggung serta posisi sama. Membelakangi sosok lain di ruangan tersebut, yang terlihat jauh lebih cerah setelah membasuh wajahnya di kamar mandi.Bahkan, ketika wanita tersebut sibuk dengan pikiran dan kegiatan santai di balik punggungnya, Bagas tak menunjukkan pergerakan yang berarti.Sesekali menggerakkan tangan dan kaki secara wajar, layaknya
"Kemana dia pergi?."Mata Angel membulat penuh dalam satu kali hentakan.Ia menyapu ruangan dan mendapati, bahwa selain pria tersebut yang telah menghilang, seluruh perlengkapan dan tas pakaian ganti Bagas juga sudah tidak ada.Sejenak wanita itu terdiam, ia mencoba mencerna dengan baik apa yang terjadi di sana.Setelah menemukan pemahaman yang logis, Angel berdiri dari duduk dan mengambil langkah lebar menuju tempat perawat dan dokter jaga malam ini."Permisi." Ucapnya kepada dua perawat yang tengah berbincang."Ia..ada yang bisa di bantu?. " Sahut salah satu perawat setelah mendengar panggilannya."Maaf suster, pasien atas nama bapak Bagas di ruang rawat inap Lily kemana ya?." Tanyanya dengan cepat.Ia hanya ingin segera memastikan, dimana keberadaan Bagas saat ini, atau lebih tepatnya ingin memastikan tentang kebenaran dugaannya.Namun, ketika melihat wajah sang perawat sedikit mengernyit, dengan cepat ia
"Sial...mengapa aku justru menelpon si bodoh ini?." Umpatnya dalam hati, ketika melihat nomor siapa yang tengah dihubungi.Anggara tidak habis pikir, mengapa tangan itu bergerak untuk memanggilnya.padahal sejak awal orang yang ingin dia hubungi adalah Handoko, sahabatnya yang berada beberapa blok dari apartemen miliknya.Ingin menutup telepon secara langsung dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.Akan tetapi, jika hal tersebut di lakukan bukankah rasa mendominasi di dalam hatinya terluka.Dan jika berbicara secara langsung, alasan apa yang akan dia berikan.Tentu saja, jauh lebih mustahil untuk berbicara jujur serta mengatakan tentang kondisi dirinya, yang telah salah pencet nomor."Heeemz apa peduliku, dia juga karyawan di perusahaan, lagi pula dia adalah sekertaris pribadi yang makan gaji di APC." Pikiran Anggara kembali kepada rasional istimewa miliknya.Menurut pria tersebut, sesekali menerima panggilan telepon di tenga