"Sial...mengapa aku justru menelpon si bodoh ini?." Umpatnya dalam hati, ketika melihat nomor siapa yang tengah dihubungi.Anggara tidak habis pikir, mengapa tangan itu bergerak untuk memanggilnya.padahal sejak awal orang yang ingin dia hubungi adalah Handoko, sahabatnya yang berada beberapa blok dari apartemen miliknya.Ingin menutup telepon secara langsung dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.Akan tetapi, jika hal tersebut di lakukan bukankah rasa mendominasi di dalam hatinya terluka.Dan jika berbicara secara langsung, alasan apa yang akan dia berikan.Tentu saja, jauh lebih mustahil untuk berbicara jujur serta mengatakan tentang kondisi dirinya, yang telah salah pencet nomor."Heeemz apa peduliku, dia juga karyawan di perusahaan, lagi pula dia adalah sekertaris pribadi yang makan gaji di APC." Pikiran Anggara kembali kepada rasional istimewa miliknya.Menurut pria tersebut, sesekali menerima panggilan telepon di tenga
"Coba saja jika berani tidak datang, kamu pasti mati kali ini." Di sela rasa lemas dan pusing kepala, Anggara masih sempat membuat rencana singkat untuk mempersulit Angel.Pria tersebut mengurungkan niatnya untuk menghubungi Handoko, dan telah menemukan titik fokus baru, untuk menyiksa wanita tersebut."Kita lihat, siapa yang akan sial tujuh turunan." Gumamnya pelan untuk diri sendiri.Selang waktu kurang lebih 15 menitan, bel pintu apartemen Anggara berbunyi.Dengan tubuh yang sedikit di paksakan, Anggara bangun dari ranjang dan berjalan keluar kamar dengan sedikit gontai.Sebenarnya, ada rencana untuk membiarkan sosok tamu di biarkan menunggu.Akan tetapi, entah mengapa begitu bel pintu bernyanyi, tubuhnya secara reflek bergerak dan bangkit dari ranjang.Anggara membenci reflek ini. Bahkan jika itu sang ayah yang datang, biasanya pria tersebut tidak seantusias sekarang, untuk segera membukakan pintu.Terlebih
Angel menggigit kuat bibir bawahnya, dengan rasa sakit itu ia berharap mampu menekan getaran hebat dalam hati, dan berkata. "Maka matilah!." "Apa katamu?." Kini giliran Anggara yang membulatkan mata, serta memberikan tatapan tajam untuk sosok di depan ranjang.Baginya wanita ini sungguh bermulut sial dan tidak tahu batasan."Coba katakan sekali lagi!." Lanjut handoko dengan suara yang penuh penekanan."Kenapa apa Anda tersinggung?, apa hanya anda saja yang bisa marah?." Angel menatap balik tatapan manik mata itu dengan ketajaman yang berupaya ia kuatkan.Sejujurnya saat ia menerima pandangan dari Anggara hati dan pikirannya mulai menciut, bahkan kaki penopang tubuhnya yang baik-baik saja beberapa saat lalu, mungkin akan runtuh dan lemah sebentar lagi.Namun, perasaan terhina dan merasa di rendahkan jauh lebih hebat menguasai hatinya.Ia merasa tidak terima dengan apa yang ia terima, hatinya berontak dan mengeluh dengan kuat.
Angel tersenyum mengejek, dan mencibir pelan. "Maka yang anda butuhkan untuk rasa sakit itu adalah wanita-wanita biasanya, saya tidak akan pernah bisa membantu.." Anggara benar-benar tak percaya, bahwa sampai pada penjelasan yang demikian, Angel masih saja salah paham terhadap dirinya."Wanita ini pasti ketiduran, saat tuhan membagikan kecerdasan." Ejeknya dalam hati."Hei ...wanita Alien, apa otakmu di makan Anjing gila?, mengapa banyak kebodohan keluar dari mulut dan kepalamu?."Mendengar perkataan tersebut, Angel yang telah kesal semakin di buat geram.''Kamu yang Alien, bapakmu Alien, nenekmu Alien, dan seluruh keluargamu adalah Alien." Angel ingin meneriakkan itu semua dengan sekencang-kencangnya. Namun entah mengapa ada sedikit ragu yang membebani, sehingga perkataan barusan hanya terhenti di tenggorokan.Dalam hati ada ketidak nyamanan, seperti sebuah kesenjangan yang menggantung. Akan tetapi, entah itu apa dan mengapa ia tidak tahu."Ap
"Jika tidak merasa risih, biar saya kompres untuk menurunkan demamnya dulu, setelah pagi kita bisa menghubungi dokter." Perkataan dan bahasa Angel, menjadi sedikit santai.Bahkan ia tidak lagi menggunakan panggilan "Pak" atau "Anda" untuk membuka percakapan, dengan sosok yang kini terlihat lemah di atas ranjang.Menggunakan dua sapu tangan dan satu lembaran kain katun kecil, yang ia peroleh dari barang-barang pribadinya, Angel mengompres kening, dan kedua ketiak Anggara.Maklum, ia datang kesana dengan semua bawaan yang di persiapkan untuk menemani Bagas di rumah sakit. Bagaimanapun ketika menerima telepon panggilan Anggara, hari sudah sepertiga pagi.Dan dengan pengetahuan, bahwa kamar rawat inap atas nama Bagas yang terjadwal keluar di pagi keesokannya, Angel sekalian membawa semua barang bawaan menuju apartemen Anggara.Wanita tersebut mendesah perlahan, dan meminta maaf kepada Anggara.Bagaimanapun dalam situasi beberapa
"Ya Tuhan...ini bercanda kan?." Reaksi Angel yang skeptis atas bunyi bel pintu, membuat Anggara yang baru saja terbangun, tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis."Ternyata kau takut dengan yang beginian" Gumam Anggara dalam hati.Wajah yang masih tetap tampan meski dengan rambut acak-acakan gaya bangun tidur, semakin terlihat natural. Mungkin justru terlihat semakin natural, dengan hiasan lengkung tipis di bibir yang terlihat seksi.Di mata pria tersebut, Angel yang tampak ketakutan seperti kucing kecil yang terinjak ekornya, menjerit dengan keterkejutan serta rasa takut pad akhirnya. Dengan langkah lebar, Angel menuju arah pintu mengintip dari lubang ajaib yang terpasang, dan semakin gelisah ketika mendapati sosok Handoko-lah yang berdiri di depan sana."Habis aku....benar-benar habis aku kali ini...aduuuuh....bagaimana ini?." Wanita itu bergumam untuk diri sendiri, di sela langkah kakinya kembali menuju kamar Anggara.
"Merepotkan!, bahkan sangat merepotkan, jika bukan karena kontrak konyol yang telah ku tanda tangani, mana mungkin masih bersedia berkerja untuk seorang Flamboyan konyol, paranoid seperti anda." Angel ingin berteriak dengan keras, tepat di depan Anggara. Menyadarkan kesombongan, arogan dan kepercayaan diri yang parah serta sudah mencapai ambang batas, yang mungkin sulit untuk bisa di perbaiki lagi.Namun apa boleh di kata, semuanya hanya dapat ia simpan sendiri tanpa bisa di dengar oleh orang lain, khususnya sosok sombong yang senang berbangga diri di depannya saat ini."Bukannya merepotkan pak, saya takut akan menjadi sebuah masalah untuk anda." Bibir Angel menampilkan senyum selembut sutra, dan seringan kapas.Seolah di sana, pada wajah cantik miliknya, tengah menampilkan cerminan hati yang tulus memuji, dan dengan sedikit tampilan rasa khawatir."Sedangkan untuk saya....mungkin tidak banyak berpengaruh, lagi pula siapa saya
"Apa yang harus di takutkan?, bukankah hanya rumor saja." Anggara bangun dari tempat tidur, meski kepalanya masih sedikit pusing, dan rasa lemas menjalar di setiap sendi, tapi dorongan kuat dari pikiran yang menggelitik hati, membuatnya memiliki tenaga ekstra.Sementara Angel yang telah sampai di depan pintu, tangan itu perlahan terulur untuk memutar tuas kecil pengunci "klik..klik." Dua kali bunyi terdengar, Angel meraih pegangan pembuka pintu. "Cekleeek." "Nggi....?". Suara akrab terdengar di pendengaran kedua orang di sana(Anggara dan Angel).Baik Anggara, Angel bahkan juga Handoko sendiri, sejenak seperti tugu yang membisu.Terkejut, tentu saja mereka semua terkejut. Namun, dengan opsi serta pemikiran yang berbeda-beda."Nggi?." Ulangnya dalam diam.Anggara mengernyit dengan panggilan sahabatnya tersebut untuk Angel. Seolah panggilan itu, tengah menyatakan ada sebuah kedekatan yang tidak bisa di pahami sejak kapan