Mendengar perkataan barusan, Bagas terhenyak sejenak dan perlahan mulai melonggarkan kedua lengan kokohnya, dengan sorot mata keengganan.Namun, siapa yang menyangka, bahwa ketika tangan itu sedikit meloloskan kekuatan tubuhnya segera mendapat dorongan dari tangan Angel.Bagas yang tanpa persiapan, tak mungkin lagi untuk memaksanya kembali masuk kedalam pelukan.Ia hanya bisa menatap kearah tubuh yang kian menyusut menjauh dari dirinya, dan melihat sosok lembut di depannya menyeka sendiri beberapa bulir bening, yang masih tersisa di atas pipi putih itu.Mata cantik yang dulu sering membuatnya tertegun dengan keceriaan, kini sering berkabut dengan bulir bening air mata.Menyaksikan kesedihan di sana, jujur hati Bagas merasakan nyeri serta kepedihan yang jauh lebih besar.Namun, akankah Angel percaya jika hal itu katakan sekarang?. Bagas memahami betul, bahwa sosok di depannya mungkin terlihat lemah, namun ia adalah wanita dengan ketegasan hati yang menarik garis jelas, antara cinta dan
"Tapi untuk saat sekarang, hal yang paling ku inginkan adalah kita berjalan masing-masing." Lanjutnya lagi, dengan wajah seta sorot mata penuh keyakinan.Angel mencengkram kedua ujung lutut dengan lima jari penuh.Seakan ia tengah melumat sesuatu, atau mungkin menempatkan penekanan segala beban berat, serta keraguan hati di sana."Jika nantinya aku tidak bahagia karena keputusan hari ini, maka itu sudah bagian dari jalan hidup serta keputusan yang ku pilih." Angel.Bagas sedikit melirik samping ranjang, dimana sosok Angel tengah duduk kokoh pada sebuh kursi. Dalam sekali lihat mungkin wanita disana seakan menjadi sebuah pribadi yang kuat serta mampu tegas menentukan keputusan.Namun, Bagas adalah suami yang telah hidup bersamanya bukan hanya dalam kurun waktu sehari dua hari saja, sehingga apapun pergerakan kecil dari dirinya tak akan mudah luput dengan leluasa dari pandangan pria tersebut.Seperti saat ini, dapat di katakan bahwa Angel tengah tertangkap
"Bagaimana aku begitu bodoh, dan mana mungkin akan ada hal baik di antara kita setelah ini." Ucap Bagas lirih, ketika membalikkan tubuh dan memunggungi Angel, seraya merebahkan tubuhnya kembali. Pada detik ini, Bagas menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.Sehebat apapun orang merekatkan pecahan sebuah gelas, retakan yang tertinggal masih menjadi bagian dari benda tersebut.Angel berdiri dari duduk dengan enggan. Ia tahu bahwa sosok pria di atas ranjang tidak bisa lagi diajak bicara saat ini.Dengan keheningan ruangan yang kian baku, tubuh Angel kembali duduk pada kursi yang ia gunakan untuk tidur pagi tadi.Wanita itu kembali menatap punggung bisu di atas ranjang. Dalam hati memang masih ada rasa sakit, ketika melihat sosok di sana terlihat muram dan bersedih.Namun, sebuah masa depan yang telah ia rencanakan tanpa sosok itu, harus menegaskan bahwa kesedihan Bagas sekarang bukanlah sebuah kesalahan.Dengan keputusan ini, mungkin Bagas dan dirinya akan
"Eeen....Een.." Panggilnya berkali-kali dalam hati, dengan bibir yang tertutup rapat.Sudah berakhir, apapun yang tengah ia harapkan untuk kelangsungan hubungan di antara mereka.Bagi Bagas segala upaya yang di lakukan harus berhenti sampai di sini.Ada rasa gundah, kecewa, hampa bahkan sesak dalam dada pria tersebut, mungkin penjabaran apapun dalam kosa kata yang ada, tak bisa mewakili apa yang tengah ia rasakan.Sehingga hanya bulir bening yang mengucur deras, dengan kebisuan bibir tipis yang bergetar tak terkontrol sajalah, sebagai penyampaian setiap gemuruh yang bercampur aduk.Bagas masih terdiam dengan punggung serta posisi sama. Membelakangi sosok lain di ruangan tersebut, yang terlihat jauh lebih cerah setelah membasuh wajahnya di kamar mandi.Bahkan, ketika wanita tersebut sibuk dengan pikiran dan kegiatan santai di balik punggungnya, Bagas tak menunjukkan pergerakan yang berarti.Sesekali menggerakkan tangan dan kaki secara wajar, layaknya
"Kemana dia pergi?."Mata Angel membulat penuh dalam satu kali hentakan.Ia menyapu ruangan dan mendapati, bahwa selain pria tersebut yang telah menghilang, seluruh perlengkapan dan tas pakaian ganti Bagas juga sudah tidak ada.Sejenak wanita itu terdiam, ia mencoba mencerna dengan baik apa yang terjadi di sana.Setelah menemukan pemahaman yang logis, Angel berdiri dari duduk dan mengambil langkah lebar menuju tempat perawat dan dokter jaga malam ini."Permisi." Ucapnya kepada dua perawat yang tengah berbincang."Ia..ada yang bisa di bantu?. " Sahut salah satu perawat setelah mendengar panggilannya."Maaf suster, pasien atas nama bapak Bagas di ruang rawat inap Lily kemana ya?." Tanyanya dengan cepat.Ia hanya ingin segera memastikan, dimana keberadaan Bagas saat ini, atau lebih tepatnya ingin memastikan tentang kebenaran dugaannya.Namun, ketika melihat wajah sang perawat sedikit mengernyit, dengan cepat ia
"Sial...mengapa aku justru menelpon si bodoh ini?." Umpatnya dalam hati, ketika melihat nomor siapa yang tengah dihubungi.Anggara tidak habis pikir, mengapa tangan itu bergerak untuk memanggilnya.padahal sejak awal orang yang ingin dia hubungi adalah Handoko, sahabatnya yang berada beberapa blok dari apartemen miliknya.Ingin menutup telepon secara langsung dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.Akan tetapi, jika hal tersebut di lakukan bukankah rasa mendominasi di dalam hatinya terluka.Dan jika berbicara secara langsung, alasan apa yang akan dia berikan.Tentu saja, jauh lebih mustahil untuk berbicara jujur serta mengatakan tentang kondisi dirinya, yang telah salah pencet nomor."Heeemz apa peduliku, dia juga karyawan di perusahaan, lagi pula dia adalah sekertaris pribadi yang makan gaji di APC." Pikiran Anggara kembali kepada rasional istimewa miliknya.Menurut pria tersebut, sesekali menerima panggilan telepon di tenga
"Coba saja jika berani tidak datang, kamu pasti mati kali ini." Di sela rasa lemas dan pusing kepala, Anggara masih sempat membuat rencana singkat untuk mempersulit Angel.Pria tersebut mengurungkan niatnya untuk menghubungi Handoko, dan telah menemukan titik fokus baru, untuk menyiksa wanita tersebut."Kita lihat, siapa yang akan sial tujuh turunan." Gumamnya pelan untuk diri sendiri.Selang waktu kurang lebih 15 menitan, bel pintu apartemen Anggara berbunyi.Dengan tubuh yang sedikit di paksakan, Anggara bangun dari ranjang dan berjalan keluar kamar dengan sedikit gontai.Sebenarnya, ada rencana untuk membiarkan sosok tamu di biarkan menunggu.Akan tetapi, entah mengapa begitu bel pintu bernyanyi, tubuhnya secara reflek bergerak dan bangkit dari ranjang.Anggara membenci reflek ini. Bahkan jika itu sang ayah yang datang, biasanya pria tersebut tidak seantusias sekarang, untuk segera membukakan pintu.Terlebih
Angel menggigit kuat bibir bawahnya, dengan rasa sakit itu ia berharap mampu menekan getaran hebat dalam hati, dan berkata. "Maka matilah!." "Apa katamu?." Kini giliran Anggara yang membulatkan mata, serta memberikan tatapan tajam untuk sosok di depan ranjang.Baginya wanita ini sungguh bermulut sial dan tidak tahu batasan."Coba katakan sekali lagi!." Lanjut handoko dengan suara yang penuh penekanan."Kenapa apa Anda tersinggung?, apa hanya anda saja yang bisa marah?." Angel menatap balik tatapan manik mata itu dengan ketajaman yang berupaya ia kuatkan.Sejujurnya saat ia menerima pandangan dari Anggara hati dan pikirannya mulai menciut, bahkan kaki penopang tubuhnya yang baik-baik saja beberapa saat lalu, mungkin akan runtuh dan lemah sebentar lagi.Namun, perasaan terhina dan merasa di rendahkan jauh lebih hebat menguasai hatinya.Ia merasa tidak terima dengan apa yang ia terima, hatinya berontak dan mengeluh dengan kuat.