"Bisakah kita kembali seperti dulu?, beri satu kesempatan lagi untuk kita Een.....bisakah?."
Mata Angel menggeliat sejenak dengan rasa terkejut. Namun, benar inilah akhirnya dan ia sudah menebak sejak awal jika memutuskan untuk datang.Angel bukan tak bisa menebak arah dari ujung keputusan yang di ambilnya dengan datang memberikan perawatan ini kepada Bagas.Sudah barang tentu, pria tersebut akan menjadi kembali di hidupkan keyakinannya, tentang kemungkinan baik diantara keduanya.Angel masih melihat sosok di depannya dengan lekat.Ada kenangan indah diantara kisah hidupnya bersama sosok ini dulu. Bukan hanya sekali, namun lebih dari berkali-kali kebaikan hadir diantara mereka, termasuk kebaikan hati keluarga Pambudi untuknya.Namun, manusia terkadang adalah sosok yang sangat baik dalam fotocopy sejarah, ia akan mampu mengingat apapun dalam setiap detil hidup ini, khususnya hal buruk serta luka.Oleh karena nya untuk luka dalam pengkh"Mengapa harus menunggu lain waktu, katakan saja bahwa kau memang telah mengurus perceraian kita saat ini."Angel memang sedang berusaha menyisihkan waktu untuk mengajukan gugatan cerai, namun itu masih belum di laksanakan.Akan tetapi, melihat dan mendengar perkataan dari Bagas barusan, ia kembali menyesali perkataannya beberapa waktu lalu, yang bersedia untuk memikirkan kembali."Aku memang berniat untuk melakukannya mas, bagaimanapun kita bukanlah pasangan sehari dua hari saja, dan selama ini kelurga pambudi juga sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri." Angel berusaha menekan rasa tidak nyaman, serta kecewanya dalam-dalam.Baginya, mungkin sekaranglah saat yang tepat ia harus mengatakan apa yang telah ia putuskan."Karena inilah aku ingin mempertimbangkan lagi tentang hubungan kita selama ini, hubungan yang telah memberiku kenyamanan keluarga, serta kepedulian orang tua yang telah lama tak kumiliki." Melihat nada suara ya
"Jika aku juga bersama pria lain, mungkin mas akan mengerti, apa dan mengapa keputusan ini kuambil." Angel merasa kesal dengan pemikiran dan pemahaman Bagas yang di rasanya tidak masuk akal.Sebaik apa dan sejelas apa ia berusaha menjelaskan, pria tersebut tidak bisa mengambil poin pentingnya.Seolah ia tengah berbicara dengan sosok lain yang berbeda dimensi.Iya, mungkin Bagas tengah berperan menjadi alien asing, yang tidak dapat memahami bahasa manusia yang ia ucapkan.Dan mungkin jika dirinya menjadi Alien juga, atau makhluk yang sama dengan sosok itu, segalanya akan menjadi mudah.Dan di sini itu berarti, Angel harus menjadi sosok wanita penghianat, agar bisa masuk ranah dunia Bagas.Akan tetapi apa yang di ucapkan oleh Angel dengan nada kekesalan barusan, justru memicu sesuatu yang baru.Bagas yang tengah berada di atas ranjang, dengan cepat meraih tangan Angel dan menariknya dengan kasar, sembari berseru. "Coba saja, kalau k
"Een...kita belum selesai bicara Eeen...." Angel tak lagi menghiraukan panggilan dan tetap mengabaikan Bagas, ia justru dengan santainya membaringkan tubuh pada kursi."Bicara saja dengan punggungku." Ucapnya dalam diam, sembari memunggungi Bagas yang masih menatap kearahnya.Angel bukan sosok yang bisa bersabar dengan mudah. Baginya menahan kegeraman dalam hati, serta menyaksikan kepura-puraan bodoh dari Bagas, telah membuatnya jengkel hingga batas tak terkatakan. Menyesalkah ia datang kesana?.Kedatangannya kali ini tidak dapat di kategorikan ataupun di tentukan dalam penyesalan atau tidak.Bagi sosok Angel demi alasan masa lalu dan kebaikan keluarga Pambudi yang begitu baik kepadanya, serta status wanita tersebut yang masih resmi istri Bagas. Berapa kalipun waktu diputar, seberapa jengkel ia untuk sosok Bagas, pada akhirnya dirinya tetap harus datang.Buka semerta-merta demi kasih sayang keluarga itu saja, namun lebih spesifi
"Apakah aku telah sampai pada tahap mencintai wanita itu sebesar ini?, dan haruskah ia memiliki kecemburuan?." Pertanyaan tersebutlah terus bergulir dalam pikirkan.Handoko mencoba mengingat saat mereka masih kecil dulu, bermain, bercanda dan berpisah lantaran keluarganya pindah ke kota lain. Pria tersebut juga mengingat pertemuan pertamanya kembali beberapa hari yang lalu, meski itu bukan kejadian yang menyenangkan, namun ia mensyukurinya sekarang.Pikiran Handoko kembali melayang saat ia mengingat kontrak kerja hasil budidaya Anggara, yang sedikit skeptikal untuk Angel. Wajah tampan itu tersenyum.Akan tetapi, ketika ia mengingat pagi hari dimana ia menjemput wanita tersebut, tubuh gagahnya terlonjak secara reflek, sebuah gambaran terlintas jelas di benak Handoko, dan itu membuatnya sedikit merasakan desir tak terungkap.Pria tersebut segera menuju meja kecil di samping ranjang, menarik laci kecil di sana dan melebarkan mata tak percay
"You are mine, i won't let go of you." Ucap Anggara, di tengah desahannya."Yes, I am your's to night." jawab WM.Entah sejak kapan Anggara mulai memperlakukan sosok partner adu kungfunya dengan kelembutan ektra. Bahkan, ia juga selalu menyebut sosok di bawahnya sebagai tampilan Angel, yang ia puja untuk kurun waktu tertentu.Dalam hal kebiasaan Anggara tidak menyadari perubahan yang ada pada dirinya tersebut.Ia hanya berpikir, setiap ia merasa kesal dan di kecewakan oleh sosok sang sekertaris baru, melakukan adu tos dengan cara baru ini, cukup efektif meredakan kemarahannya.Anggara kembali masuk ke kamar mandi sekitar pukul 8 pagi, ia menghabiskan hampir 40 menti di ruangan tersebut.Dan selama ia berada di sana, sosok di atas ranjang sudah hampir kehilangan tenaga sepenuhnya.Tubuh itu lunglai dan terlelap ke alam mimpi tanpa sadar.Sehingga yang seharusnya ia berbenah diri dan meninggalkan hotel pagi ini, justru kini
"Bahkan untuk satu hari lagi, kau sudah tidak pantas. Cepat ambil uang itu dan enyah dari hadapanku." Wajah di atas ranjang itu berubah dari yang centil menggoda, menjadi muram dan kesal.Namun, yang terlihat jelas saat ini, justru keterkejutan yang besar tengah hinggap.pada wajah menggodanya yang semula tampil sempurna.Bagaimana ada orang yang tega mengatakan kekasaran itu, untuk sosok lemah lembut nan menggoda dengan tubuh polos di sana.Tentu saja segalanya tidak berarti bagi Anggara, semalam tiga kali menjamah tubuh yang sama, sudah dalam kategori luar biasa. Entah mengapa, kebiasaan ini mulai di lakukan oleh sosok tampan tersebut, dan malam ini adalah kali keduanya itu di lakukan."Siapa yang semalam penuh bahkan hingga pagi, menyanjungnya ibarat seorang Dewi(Angel)?, siapa juga yang terus meraba serta menikmati sangkar madu tubuhku?." Wanita itu ingin melontarkan perkataan tersebut dengan nada jengkel.Ia jelas tak p
"Sial...sial......Dia tidak terpengaruh sama sekali." Umpatnya kesal di bawah kran air.Wanita tersebut mengigit ujung kuku jempol kiri miliknya, dengan mata yang terus berkilat akan sesuatu yang sulit untuk di lepas dengan mudah."Percepat semuanya." Anggara.Akan tetapi, ketika sebuah suara dari luar kamar mandi menyambangi kedua telinga miliknya, wanita di bawah pancuran bergegas menyelesaikan acara bersih-bersih diri, secepat kilat.Tak membutuhkan waktu lama seperti ketika Anggara mandi, sepuluh menit saja telah membawa tubuh polos disana keluar dari kamar mandi.Wanita itu meraih setiap pakaian miliknya, yang masih tergolek nyaman di atas lantai akibat letupan gelora gairah tidak sabar Anggara semalam.Dan dengan cepat juga, ia mengenakan pakaian tersebut.Setelah semua pakaian melekat kembali ke tubuh, wanita tersebut melirik sejenak pada sosok Anggara yang tengah duduk santai pada sebuah kursi, tak jauh dari ranjang dan se
"Kau tak jauh berbeda dengan wanita-wanita itu. Bahkan nilai nominal yang tertera di keningmu, jelas terlihat di mataku." Anggara menggumamkan semuanya, ketika pintu kamar kembali tertutup setelah punggung wanita itu melangkah keluar.Ia berbalik menoleh untuk melihat sisi ranjang yang masih berantakan.Di sana,dalam sekali lihat melintas sosok wanita lain yang mungkin juga tengah menarik sudut lengkung bibirnya, dan menggoda dirinya dnegan manja."Aku mungkin tengah gila denganya sementara waktu, tapi ketika tubuh itu telah ku jelajahi segalanya akan kembali biasa saja, tidak lebih." Lanjutnya lagi, masih dengan gumaman untuk diri sendiri.Bagi Anggara ia hanya sedang mengagumi sosok wanita itu, dan hal ini terus berlangsung karena ia belum sempat menyentuhnya.Anggara merasa yakin dengan pemikirannya seperti biasa. Namun yang tidak ia pahami, bahwa sebentar lagi, dirinya akan membentur dinding tembok tebal, yang bahkan akan meruntuhkan setiap pandangannya tentang sosok lawan jenis.
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan