"Een...Angkat telponnya." Suara Bagas terdengar seperti sebuah doa yang di ucapkan dengan penuh harapan.Dengan rasa sakit di kepala yang masih bersarang, ia berpikir untuk terus mencoba menghubungi Angel.Sebenarnya ia bisa saja menghubungi keluarga yang lain, Cantika, Hanum ataupun Hartono.Namun mengingat ia sekarang tengah berada di kota B, dan orang yang tepat untuk bisa segera datang dan sangat ia harapkan adalah Angel.Dalam kesempitan situasinya saat ini, ia ingin memanfaatkan musibah kali ini, untuk menciptakan kesempatan bagi hubungan diantara dirinya dan wanita itu.Iya, jika Angel mengetahui dirinya tengah terluka, atau mengalami kecelakaan, wanita itu pasti akan segera datang. Dan untuk selanjutnya, Bagas bisa memasang wajah layaknya kucing terluka, yang tengah butuh perawatan serta kepedulian.Namun, seperti panggilan telepon itu yang tak pernah menerima tanggapan, hatinya mulai merasa kembali bimbang.Di tatapn
"Mulai hari ini, kau jangan membantunya Han!. Dia bukan baru lulus kemarin, tugasnya harus di selesaikan sendiri." Handoko yang baru saja memilih kursi untuk duduk tidak banyak terpengaruh, bagi pria tersebut setiap perkataan sahabatnya akhir-akhir ini sungguh tidak valid, sebentar-sebentar membuat peraturan, marah bahkan juga mengancam akan memberhentikan karyawan.Namun, sebagai bawahan sekaligus orang terdekat Anggara sejak lama, Handoko hanya cukup mengiyakan perintah itu atau mengganggukkan kepalanya.Kali ini mereka tidak mengambil ruangan khusus, hal ini di karenakan rumah makan tersebut memang sudah di atur sedemikian rupa, dengan adanya beberapa penyekat ruangan, serta jarak meja makan satu dengan yang lainnya tidak terlalu berdekatan.Begitu mereka telah menempatkan tubuh dengan baik, dua orang pelayan datang dengan sigap.Satu mencatat pesanan mereka, dan yang satunya lagi menuangkan air putih untuk ketiganya.Handoko dan
Angel masih terdiam beberapa saat, tak ada sahutan lain selain kata"Iya, mengerti dan baik" saja, yang meluncur dari bibirnya hingga panggilan itu selesai.Namun, dari pandangan kedua pria di sana yang memperhatikan pergerakan wanita itu sejak tadi, wajah Angel tampak tidak baik-baik saja.Akan tetapi, apa sangkut paut keduanya dengan itu, di sini Angel tetaplah pribadi bebas dengan segala permasalahan dan urusan pribadi, yang tidak dapat di campuri oleh orang lain. Termasuk Anggara atasan dalam perkerjaan, dan Handoko sang sahabat kecil yang baru mengklaim jati dirinya.Wanita itu berjalan kembali menuju tempat duduknya semula, ia hanya diam dan menunduk di sana, tanpa ada niat melanjutkan hidangan yang belum ia selesaikan.Hal ini berlangsung sampai Anggara menyelesaikan makanan yang terhidang di depannya, barulah Angel mulai membuka suara. "Maaf pak." Wanita itu tampak ragu-ragu.Dan mendengar Angel membuka suara, untuk berbicara
Meskipun Angel masih kebingungan dengan perkataan Anggara, ia masih tetap harus berdiri dari duduk dan mengejar kedua orang itu, yang mulai melangkah menjauh.Hari ini, setelah makan siang, jadwal akan berlanjut di gedung utama kantor cabang APC, yang berada di tengah kota D.Sebuah perkantoran yang menjulang tinggi, dengan 7 lantai tak jauh dari hotel tempat mereka menginap tadi malam.Dalam perjalanan dari rumah makan hingga sampai ke tempat tujuan, tak banyak percakapan yang terjadi.Khususnya Anggara yang memang tampak anti, untuk menrekoncilisasi kebodohan Angel, yang di rasa oleh pria tersebut sudah kelewat batas. Hanya Handoko yang beberapa kali membuka suara, sekedar untuk mengingatkan points penting dari rapat kali ini.Sebenarnya, saat pria tersebut mengetahui bahwa Angel masih memendam kecemasan untuk sang suami, terbesit kecewa di benak Handoko.Dalam pemikirannya, sebesar apa Angel mencintai pria tersebut, dapat di lihat
"Ini, pakai untuk keperluan mu." Ucap Handoko, sembari menyodorkan sebuah amplop kecil.Suara pria tersebut terlihat tenang dan dalam, Seperti keheningan telaga, dengan kesejukan embun pagi yang menyegarkan setelah hujan."Ini?." Angel menatap Handoko dengan pandangan terkejut.Dan sedetik kemudian, Angel merasakan kehangatan hati yang telah lama menghilang, ketika telah memahami apa yang di lakukan oleh sosok di depannya.Pria itu peduli tentang musibah dari Bagas, dan tentu saja karena memandang dirinya sebagai sosok sahabat kecil di masa lalu. Setidaknya, itulah yang di pikirkan oleh Angel saat ini."Itu bukan untuk keperluan suami bodoh mu, tidak juga untuk pengobatan nya. Pakai untuk kebutuhanmu sendiri." Handoko ingin menambahkan perkataan tersebut.Akan tetapi, melihat senyum cerah dan tatapan hangat wanita di depannya, timbul rasa ketidak tegaan dalam hati. Dan pada akhirnya, Handoko hanya bisa menelan kembali perkataan tersebut.Ia berpikir, mungkin bercanda dengan Angel saat
"Yang pergi bodoh, yang di tinggalkan juga ikut menjadi bodoh."Tepat ketika Handoko berbalik, di sana di depan pintu masuk hotel telah berdiri sosok sang sahabat yang sekaligus atasannya di kantor.Dan terlihat dari mimik wajah yang terpasang, pria tersebut tampak sedang dalam mood yang buruk.Handoko menghela nafas pelan, ia berjalan kearah sahabatnya dan menyapa dengan bahasa keakraban. "Apa kau sudah selesai?." "Apa yang sudah ku selesaikan?." Anggara."Entahlah, mungkin hal yang menarik." Sahut Handoko, seolah acuh menimpali keengganan menjawab pertanyaan sahabatnya tersebut."Apa dia sudah pergi?." Anggara."Baru saja." Jawab Handoko singkat."Baguslah." Anggara lagi.Ia menjawab dengan lugas, mengenai kepergian Angel kembali ke kota B, seolah wanita itu memang akan membuatnya sial dan kesal jika tetap berada di sekitarnya.Namun, hanya dirinya dan tuhan saja yang tahu bahwa kini ia tidak sedan
Pagi ini langit terlihat suram, dengan awan tebal tengah menyingsingkan kecerahan, serta sinar matahari yang malu-malu di sela mega-mega mendung abu-abu.Namun, ke muraman bukan hanya di atas langit pagi ini saja, di bawah naungan perlindungan atap rumah sakit, wajah Bagas juga tampak tidak begitu baik.Seseorang yang ia tunggu sejak siang kemarin, sosok yang ia pikir akan datang dengan cepat begitu mengetahui kondisinya, ternyata tidak seperti harapan.Bahkan dengan berlalunya waktu dari sore yang ia perhitungkan akan kedatangan Angel, menjadi semakin menciutkan hati dan harapan, ketika hari berlalu menuju gelap, sosok wanita itu tidak kunjung datang.Meski begitu, Bagas masih menyisakan harapan kecil dalam hati, bahwa sosok sang istri mungkin menemui kendala dalam perjalanannya untuk sampai ke rumah sakit, di mana tempat dirinya di rawat sekarang. Hingga saat malam sudah menunjukkan kesunyian, dengan jarum jam di tembok menunjukkan pukul 2
"Selamat pagi mas." Suara itu tidak keras ataupun pelan, namun dengan keakraban di dalam pendengaran Bagas untuk suara itu, Musim semi tiba-tiba saja mereka di benak dan hati pria tersebut.Mata itu teguh menatap sosok Angel yang mulai berjalan masuk, ia tak ingin melepaskan momen saat ini, dan membiarkannya menghilang dalam sekali kedipan mata."Sedang sarapan, lanjutkan saja dulu." Sambung Angel lagi, sembari meletakkan sebuah tas tanggung yang di perkirakan oleh Bagas, bahwa itu adalah baju ganti milik Angel.Melihat gelagat, dan tas yang di letakkan tak jauh dari tubuhnya berbaring, Bagas semakin menyiratkan kebahagiaan seketika itu juga."Oh ya, Anda...?." Tanya Angel lagi, setelah selesai meletakkan barang bawaannya, untuk sosok asing baginya di sana.Mendengar pertanyaan itu, kedua orang disana mulai tersadar kembali."Oh, saya pak Rajiman non, orang yang..." Pria paruh baya tersebut belum sempat menyelesaik
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan