Semalaman mata Nirmala tak dapat terpejam. Ia berguling ke kanan dan ke kiri mencari titik nyamannya, namun tak sekalipun ia mendapatkannya. Ia sama sekali tak dapat memejamkan mata ketika lagi-lagi ucapan Bhaskara terngiang-ngiang dalam kepalanya. 'Ayo kau cobalah. Emmm tidak-tidak, ayo kita coba berjuang bersama.'"Argh! Apa-apaan ini kenapa Bhaskara malah seperti menerorku," geramnya ketika suara Bhaskara terngiang-ngiang dipikirnya.Ia lantas bangkit dari posisi tidurnya dan membuka jendelanya, membiarkan udara dingin malam itu menerobos masuk ke kamarnya. Ia memandangi gelapnya langit dengan sedikit titik putih di mana bintang bersinar."Ayah, apakah ayah ingin aku berjuang? Apa Nirmala akan sanggup?" gumamnya memandangi bintang kecil yang ia perumpamakan sebagai ayahnya.Ting.Tiba-tiba saja di sebelah bintang yang ia pandangi terdapat bintang jatuh.Netra hazelnya berbinar. "Woaaa bintang jatuh! Aku harus buat permintaan," serunya lantas memejamkan mata kemudian menangkupkan k
Senja telah terlukis indah di ufuk barat. Dengan berlatar belakang langit jingga, Bhaskara mengendarai motor memasuki pekarangan rumahnya Nirmala."Thanks, Kara," ucap Nirmala menuruni sepeda motor itu perlahan.Bhaskara pun melepas helm full facenya. "Santai, kalau butuh refresing bilang aja. Aku anterin kemanapun kau mau."Pipi Nirmala sedikit bersemu. Meskipun Bhaskara selengekan dan menyebalkan, ia akui Bhaskara termasuk orang yang memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. Ia akan melakukan apa saja demi menyenangkan temannya. "Gak ah udah cukup sekali saja," tolak Nirmala jelas."Kenapa? Takut baper, ya?" goda lelaki itu mulai senang melihat Nirmala salah tingkah.Nirmala menatap Bhaskara horor. "Apa sih, nggak!"Dikala mereka saling berbincang, Ganesha keluar rumah. Ia menyambut hangat kepulangan kakaknya."Kakak udah pulang?" tanya Anes mengalihkan perhatian Nirmala. "Gimana, Kak, seneng kan jalan-jalan sama Kak Kara?" Nirmala tiba-tiba mengerlingkan matanya curiga. "Jadi kalian
Laju motor berhenti di depan sebuah rumah yang nampak asri. Rumah itu tidak terlalu besar, namun berbagai jenis tanaman menghijaukan halaman rumahnya. Meskipun baru sampai di depan gerbang, suasana hati Nirmala menjadi tenang. Sepertinya udara segar dengan pemandangan hijau itu mampu merilekskan pikiran Nirmala."Wah! Rumahmu keren, ya! Kayaknya aku bakal betah kalau tiap hati berkebun di sini," ucap Nirmala takjub begitu turun ia segera mengabsen tiap sudut rumah Bhaskara.Bhaskara turun dari motornya kemudian membuka gerbang rumahnya. "Iya, mama emang hobi berkebun makanya banyak taneman di sini. Kalau mau bilang aja ke mama pasti kegirangan dapet temen berkebun," balasnya terkekeh geli melihat tatapan penuh binar Nirmala.Setelah itu Nirmala membuntuti Bhaskara memasuki halaman rumahnya dengan antusias. Ia naik ke rerumputan gajah yang disekelilingnya ditanami berbagai tumbuhan indah.Dari arah pintu, keluarlah sesosok wanita paruh baya menyambut hangat."LOH?! Lala ada disi—""MA
"Sekarang apa?"Kini Nirmala dan Bhaskara tengah berdiri di parkiran motor. Usai meminta prosedur pemindahtanganan saham diurus oleh Surya, Bhaskara meminta Nirmala ikut dengannya."Tak ada. Kita pulang," jawab lelaki itu enteng."Ayolah aku tak ingin hari ini pulang dengan tangan kosong. Sekarang kau adalah mentorku, jadi kumohon bimbinglah aku mulai hari ini," mohon Nirmala memelas sembari memegang erat lengan Bhaskara.Bhaskara membuang napas lelah. "Baiklah-baiklah. Karena aku adalah mentor bisnismu, kau juga harus menjadi asisten pribadiku. Setuju?""HEY?! APA-APAAN INI! Mana boleh seperti itu!" semprot wanita itu melotot terkejut.Melihat wajah Nirmala, Bhaskara terkekeh geli. "Ayolah hitung-hitung kau bisa mengisi waktu luang. Lumayan nanti kau juga akan mendapatkan uang saku.""Uang saku?! Sungguh?"Mata Nirmala berbinar terang begitu mendengar permintaan menggiurkan itu. Tak bisa dipungkiri ia memang membutuhkan pekerjaan sekarang."Iya, jadi kau tak keberatan kan bekerja di
"Bhaskara bisa kau lebih cepat??" pinta Nirmala terus-terusan meminta Bhaskara menambah kecepatan. Bhaskara membuka kaca helm fullfacenya. "Tenanglah. Jika kita menambah kecepatan, aku tak yakin kita akan pulang dengan selamat," tolaknya begitu melihat jarum speedometernya telah menunjuk angka 80 km/jam.Ia paham Nirmala sedang terguncang, tapi ia tetap ingin semuanya selamat.Akhirnya hanya butuh sepuluh menit dengan kecepatan di atas rata-rata, mereka pun sampai di halaman rumah Nirmala. Seiring laju motor melambat, Bhaskara terpengkur menatap halaman rumah Nirmala yang begitu berantakan. Rupanya ini yang membuat Nirmala sekhawatir itu."Mala?" panggilnya begitu merasakan beban di belakangnya menjadi ringan. Ternyata Nirmala telah berlari menuju ke rumah tetangganya. Bhaskara pun bergegas menyetandarkan motornya dan berlari mengikuti wanita itu yang berlari kalang kabut.***Perasaan kalut seketika menyelimuti hati Nirmala. Belum cukup melihat halaman rumahnya yang telah porak-por
"Cepat buka pintu!"Ketiga pria bertubuh kekar itu memaksa masuk. Setelah pembuktian telak Helena, pada akhirnya Nirmala tak dapat berbuat banyak dan terpaksa mengalah. Nirmala masih berdiri membeku di depan pintu yang terkunci. Ia belum rela jika harus terusir dari rumah yang ia tempati sejak kecil."Hey, Cepat!!" sentak seorang pria mendorong bahu Nirmala kasar.Bhaskara yang sedari tadi hanya terdiam mendadak tak terima. "Kau jangan kasar dengan perempuan!" gertaknya memasang badan tak terima."Aku tidak bisa."Bhaskara menoleh, menatap Nirmala yang masih menangis dalam diam. Wanita itu berbicara lirih, hanya dirinya yang dapat mendengarnya."Sini biar aku saja." Dengan lembut Bhaskara menarik kunci pada telapak tangan Nirmala. Ia segera memasukkan kunci ke lubang kunci kemudian memutarnya hingga ketika tersisa satu kuncian, tangan Nirmala menyentuh punggung tangan Bhaskara. Lelaki itu tahu wanita di sampingnya pasti berat untuk menerimanya."Kenapa lama sekali? Nirmala, apa kau s
Brakkk!Pintu ditutup dengan kerasnya. Meninggalkan Bhaskara yang gelisah di luar rumahnya. Nirmala menangis sejadi-jadinya di balik pintu yang baru saja ia banting. Ia tak sanggup lagi harus menghadapi kehidupan yang semakin mengekang. Ia berusaha membuat keputusan yang berpotensi menguntungkannya, namun baru juga akan memulai step itu kini telah ada tekanan yang memintanya mundur. Merelakan rumah orang tuanya?Bodoh jika ia mementingkan egonya, sementara kenang-kenangan dan harta benda peninggalan orang tuanya hancur tak bersisa. Rongga dada Nirmala terasa dihimpit peti puluhan ton, memberikan rasa sesak yang tak berkesudahan. Kepalan tangan Nirmala ia pukulkan pada dadanya upaya dapat membuka jalan pernapasannya. "Hiks ... haruskah sesulit ini untuku bisa bertahan hidup?" lirihnya dengan air mata yang membanjiri pipinya.Sementara di luar sana, Bhaskara terus mencoba membujuk Nirmala untuk keluar."Nirmala, keluarlah! Kau jangan memikirkan hal yang tidak-tidak!" serunya tanpa
Disaat Nirmala sedang kalut memikirkan nasibnya, ia semakin dibuat kalang kabut begitu menerima pesan singkat dari mantan kekasihnya."Menemui ia tengah malam di diskotik katanya?" lirihnya menatap tak percaya deretan kata pada pesan tersebut.Ia sejenak terpengkur. Baladewa bersedia membantunya tapi harus menemuinya di diskotik? Bukankah itu suatu keanehan yang mudah ditebak alurnya? Tapi .... Ting ...Ponselnya kembali berdenting dan ada lagi sebuah pesan singkat dari sang mantan kekasih.-Pastikan kau berpenampilan menarik-Deg.Firasatnya semakin memburuk. Lagi-lagi ia dibuat terpengkur lama. Diminta berpenampilan menarik di diskotik? Bukankah artian 'menarik' di sini bisa saja berbeda arti?Berbagai pikiran kotor segera bersliweran dalam pikiran Nirmala. Ia dibuat kalut dan tak percaya pada pikirannya sendiri."Baladewa tak mungkin memperlakukanku seperti itu, kan?"Nirmala masih denial. Ia tak sama sekali mempedulikan kemungkinan buruknya, justru tetap berpegang teguh memand