Senja telah terlukis indah di ufuk barat. Dengan berlatar belakang langit jingga, Bhaskara mengendarai motor memasuki pekarangan rumahnya Nirmala."Thanks, Kara," ucap Nirmala menuruni sepeda motor itu perlahan.Bhaskara pun melepas helm full facenya. "Santai, kalau butuh refresing bilang aja. Aku anterin kemanapun kau mau."Pipi Nirmala sedikit bersemu. Meskipun Bhaskara selengekan dan menyebalkan, ia akui Bhaskara termasuk orang yang memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. Ia akan melakukan apa saja demi menyenangkan temannya. "Gak ah udah cukup sekali saja," tolak Nirmala jelas."Kenapa? Takut baper, ya?" goda lelaki itu mulai senang melihat Nirmala salah tingkah.Nirmala menatap Bhaskara horor. "Apa sih, nggak!"Dikala mereka saling berbincang, Ganesha keluar rumah. Ia menyambut hangat kepulangan kakaknya."Kakak udah pulang?" tanya Anes mengalihkan perhatian Nirmala. "Gimana, Kak, seneng kan jalan-jalan sama Kak Kara?" Nirmala tiba-tiba mengerlingkan matanya curiga. "Jadi kalian
Laju motor berhenti di depan sebuah rumah yang nampak asri. Rumah itu tidak terlalu besar, namun berbagai jenis tanaman menghijaukan halaman rumahnya. Meskipun baru sampai di depan gerbang, suasana hati Nirmala menjadi tenang. Sepertinya udara segar dengan pemandangan hijau itu mampu merilekskan pikiran Nirmala."Wah! Rumahmu keren, ya! Kayaknya aku bakal betah kalau tiap hati berkebun di sini," ucap Nirmala takjub begitu turun ia segera mengabsen tiap sudut rumah Bhaskara.Bhaskara turun dari motornya kemudian membuka gerbang rumahnya. "Iya, mama emang hobi berkebun makanya banyak taneman di sini. Kalau mau bilang aja ke mama pasti kegirangan dapet temen berkebun," balasnya terkekeh geli melihat tatapan penuh binar Nirmala.Setelah itu Nirmala membuntuti Bhaskara memasuki halaman rumahnya dengan antusias. Ia naik ke rerumputan gajah yang disekelilingnya ditanami berbagai tumbuhan indah.Dari arah pintu, keluarlah sesosok wanita paruh baya menyambut hangat."LOH?! Lala ada disi—""MA
"Sekarang apa?"Kini Nirmala dan Bhaskara tengah berdiri di parkiran motor. Usai meminta prosedur pemindahtanganan saham diurus oleh Surya, Bhaskara meminta Nirmala ikut dengannya."Tak ada. Kita pulang," jawab lelaki itu enteng."Ayolah aku tak ingin hari ini pulang dengan tangan kosong. Sekarang kau adalah mentorku, jadi kumohon bimbinglah aku mulai hari ini," mohon Nirmala memelas sembari memegang erat lengan Bhaskara.Bhaskara membuang napas lelah. "Baiklah-baiklah. Karena aku adalah mentor bisnismu, kau juga harus menjadi asisten pribadiku. Setuju?""HEY?! APA-APAAN INI! Mana boleh seperti itu!" semprot wanita itu melotot terkejut.Melihat wajah Nirmala, Bhaskara terkekeh geli. "Ayolah hitung-hitung kau bisa mengisi waktu luang. Lumayan nanti kau juga akan mendapatkan uang saku.""Uang saku?! Sungguh?"Mata Nirmala berbinar terang begitu mendengar permintaan menggiurkan itu. Tak bisa dipungkiri ia memang membutuhkan pekerjaan sekarang."Iya, jadi kau tak keberatan kan bekerja di
"Bhaskara bisa kau lebih cepat??" pinta Nirmala terus-terusan meminta Bhaskara menambah kecepatan. Bhaskara membuka kaca helm fullfacenya. "Tenanglah. Jika kita menambah kecepatan, aku tak yakin kita akan pulang dengan selamat," tolaknya begitu melihat jarum speedometernya telah menunjuk angka 80 km/jam.Ia paham Nirmala sedang terguncang, tapi ia tetap ingin semuanya selamat.Akhirnya hanya butuh sepuluh menit dengan kecepatan di atas rata-rata, mereka pun sampai di halaman rumah Nirmala. Seiring laju motor melambat, Bhaskara terpengkur menatap halaman rumah Nirmala yang begitu berantakan. Rupanya ini yang membuat Nirmala sekhawatir itu."Mala?" panggilnya begitu merasakan beban di belakangnya menjadi ringan. Ternyata Nirmala telah berlari menuju ke rumah tetangganya. Bhaskara pun bergegas menyetandarkan motornya dan berlari mengikuti wanita itu yang berlari kalang kabut.***Perasaan kalut seketika menyelimuti hati Nirmala. Belum cukup melihat halaman rumahnya yang telah porak-por
"Cepat buka pintu!"Ketiga pria bertubuh kekar itu memaksa masuk. Setelah pembuktian telak Helena, pada akhirnya Nirmala tak dapat berbuat banyak dan terpaksa mengalah. Nirmala masih berdiri membeku di depan pintu yang terkunci. Ia belum rela jika harus terusir dari rumah yang ia tempati sejak kecil."Hey, Cepat!!" sentak seorang pria mendorong bahu Nirmala kasar.Bhaskara yang sedari tadi hanya terdiam mendadak tak terima. "Kau jangan kasar dengan perempuan!" gertaknya memasang badan tak terima."Aku tidak bisa."Bhaskara menoleh, menatap Nirmala yang masih menangis dalam diam. Wanita itu berbicara lirih, hanya dirinya yang dapat mendengarnya."Sini biar aku saja." Dengan lembut Bhaskara menarik kunci pada telapak tangan Nirmala. Ia segera memasukkan kunci ke lubang kunci kemudian memutarnya hingga ketika tersisa satu kuncian, tangan Nirmala menyentuh punggung tangan Bhaskara. Lelaki itu tahu wanita di sampingnya pasti berat untuk menerimanya."Kenapa lama sekali? Nirmala, apa kau s
Brakkk!Pintu ditutup dengan kerasnya. Meninggalkan Bhaskara yang gelisah di luar rumahnya. Nirmala menangis sejadi-jadinya di balik pintu yang baru saja ia banting. Ia tak sanggup lagi harus menghadapi kehidupan yang semakin mengekang. Ia berusaha membuat keputusan yang berpotensi menguntungkannya, namun baru juga akan memulai step itu kini telah ada tekanan yang memintanya mundur. Merelakan rumah orang tuanya?Bodoh jika ia mementingkan egonya, sementara kenang-kenangan dan harta benda peninggalan orang tuanya hancur tak bersisa. Rongga dada Nirmala terasa dihimpit peti puluhan ton, memberikan rasa sesak yang tak berkesudahan. Kepalan tangan Nirmala ia pukulkan pada dadanya upaya dapat membuka jalan pernapasannya. "Hiks ... haruskah sesulit ini untuku bisa bertahan hidup?" lirihnya dengan air mata yang membanjiri pipinya.Sementara di luar sana, Bhaskara terus mencoba membujuk Nirmala untuk keluar."Nirmala, keluarlah! Kau jangan memikirkan hal yang tidak-tidak!" serunya tanpa
Disaat Nirmala sedang kalut memikirkan nasibnya, ia semakin dibuat kalang kabut begitu menerima pesan singkat dari mantan kekasihnya."Menemui ia tengah malam di diskotik katanya?" lirihnya menatap tak percaya deretan kata pada pesan tersebut.Ia sejenak terpengkur. Baladewa bersedia membantunya tapi harus menemuinya di diskotik? Bukankah itu suatu keanehan yang mudah ditebak alurnya? Tapi .... Ting ...Ponselnya kembali berdenting dan ada lagi sebuah pesan singkat dari sang mantan kekasih.-Pastikan kau berpenampilan menarik-Deg.Firasatnya semakin memburuk. Lagi-lagi ia dibuat terpengkur lama. Diminta berpenampilan menarik di diskotik? Bukankah artian 'menarik' di sini bisa saja berbeda arti?Berbagai pikiran kotor segera bersliweran dalam pikiran Nirmala. Ia dibuat kalut dan tak percaya pada pikirannya sendiri."Baladewa tak mungkin memperlakukanku seperti itu, kan?"Nirmala masih denial. Ia tak sama sekali mempedulikan kemungkinan buruknya, justru tetap berpegang teguh memand
"Kau menarilah sekarang!"Langkah Nirmala sontak berhenti. Ia terpaku menatap mantan kekasihnya tak percaya. Tak melakukan pergerakan, Baladewa menarik lengan Nirmala kasar. Ia seperti orang kesetanan memaksa wanita itu untuk menurutinya. Karena penolakan yang diutarakan terang-terangan, Nirmala harus menerima cengkeraman erat pada rahang "Menari sekarang atau rumahmu akan hilang!!" bentak Baladewa tanpa belas kasihan.Hati Nirmala menceplos. Luka yang kemarin berusaha ia tutupi kini seolah dipaksa dirobek lebih lebar. Untuk menangis pun ia tak sanggup lagi.Semua pandangan mata di tempat hiburan malam itu tertuju pada Nirmala dan Baladewa. Baladewa masih dalam pengaruh alkohol mencoba menggandeng tangan Nirmala untuk bergoyang. Tapi Nirmala tentu tak sudi, ia berusaha menarik tangannya dari genggamannya. "Lepas, Dewa! Sadarlah brengsek!!!" gertak Nirmala menyentak tangannya.Ketika tangan Nirmala mampu terbebas, justru lelaki itu menarik pinggang Nirmala hingga perut Nirmala menem
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “