"Jangan sampai gagal!"
Lana menggumamkannya berkali-kali kala kakinya melangkah masuk ke dalam kantor ini, menyamar menjadi seorang office girl. Ini hari pertamanya masuk kerja, dan ini juga terakhir kalinya ia berada di sini. Sebab, kedatangannya hanya untuk menjalankan sebuah misi.Ia sudah menyiapkan secangkir teh. Ditatapnya minuman itu, bayangan wajahnya yang tampak dalam minuman itu memperlihatkan ekspresinya yang penuh tekad."Biarin aja kalau sampai ketahuan dan masuk penjara, aku nggak peduli. Yang penting, aku bisa melihatnya mati di depan mataku!"Derit pintu pantri membuatnya terhenyak dan sontak menoleh. Seorang office girl lain muncul, mengernyit mendapati Lana masih bergeming di sana."Udah kamu antarkan minumannya untuk bapak Mikail?" tanya wanita itu seraya menghampiri rak piring untuk mengambil sebuah cangkir.Lana tersenyum kikuk dan spontan berseru, "Udah kok, Kak. Ini mau saya antar."Gadis itu mengangkat nampan yang berisi secangkir teh buatannya, lalu keluar dari ruangan secepatnya. Saat berada di luar, Lana memperbaiki sikapnya; menegakkan badan, dan tatapannya berubah dingin."Nyawamu ada di dalam cangkir ini, Mikail," gumamnya dalam.Kakinya melangkah tanpa ragu menuju ruangan pria itu berada. Membunuh memang dosa, tapi semua ini demi membalaskan dendamnya pada pria yang telah menghancurkan keluarganya.Ia sudah sampai di depan pintu. Senyum sinis terulas sebelum tangannya mengetuk pintu ruangan itu. "Permisi, Pak. Saya mengantarkan teh untuk Bapak," serunya kemudian."Masuk!" sahut seorang pria dari dalam.Barulah Lana membuka pintu, mulai mengulas senyum, kemudian menghampiri meja seorang pria tampan yang sedang duduk di meja kebesarannya seraya membaca sebuah berkas.Lana meletakkan cangkir teh di meja dengan diam-diam menatap penuh dendam pada Mikail. "Ini tehnya, Pak.""Letakkan saja di sana," perintah Mikail tanpa meliriknya sedikitpun.Misi berhasil, tinggal mendengar kabar kematian pria itu saja. Lana berbalik, tersenyum puas karena sudah menyelesaikan tugasnya."Tunggu!" seru Mikail tiba-tiba, bertepatan saat Lana akan melangkah pergi.Ada apa ini? Lana mengernyit sejenak. Senyuman palsunya kembali dipasang sembari berbalik menghadap Mikail.Pria itu telah meletakkan berkasnya di meja, sehingga tampaklah wajah tampannya yang sering disebut-sebut oleh para perempuan yang memujanya."Apa Bapak membutuhkan hal yang lain?" tanya Lana berbasa-basi.Mikail tak menjawab, pandangannya teralihkan sejenak pada name tag yang terpasang pada seragam Lana. "Sarah," bacanya, kemudian tersenyum mencemooh.Kenapa dia berekspresi begitu? Sarah bukan nama yang aneh, 'kan? Lana memilih nama itu sebagai nama samaran secara acak."Iya, itu nama saya, Pak. Apa ada yang aneh?" Dengan polosnya, Lana bertanya seperti itu.Mikail tak merespons ucapannya, beranjak dari kursinya dan berjalan dengan tatapan geli menuju tempat Lana berdiri. Mata Lana membulat kala pria itu sampai di hadapannya, menatap seraya tersenyum sinis.Mau apa dia? Lana membatin waspada.Tangan Mikail terangkat, meraih dagu Lana dan menggenggamnya. Lana mengernyit, mulai risi. Tidak mungkin kan kalau pria itu mau menggodanya? Lana sudah berpenampilan buruk begini, menutupi mata indahnya dengan kacamata berframe tebal agar tidak dikenali. Tapi, pria itu masih mau merayunya? Apa selera sudah berubah?"A-a apa yang Bapak lakukan?" Lana masih memberanikan diri untuk bertanya.Mikail tidak lagi menjawab pertanyaan Lana. Matanya terlalu terfokus pada bibir ranum Lana seraya tersenyum sensual. Lana semakin gugup, pikirannya melayang ke mana-mana, sehingga menimbulkan kecurigaan yang membuatnya bergidik.Namun, firasatnya itu benar. Tak ayal Mikail tiba-tiba menggendong tubuhnya. Lana terpekik. Mikail membawa tubuhnya dan membantingnya di atas sofa."Aduh!" pekik Lana, merasakan sakit di tubuhnya.Tanpa sempat menghindar, Mikail berlutut di atas tubuhnya. Lana mendelik, senyuman pria itu mengerikan bagai iblis yang hendak melumat tubuhnya bulat-bulat. Jangan bilang, pria itu akan melakukan perbuatan bejadnya di sini?"Sarah? Nama yang menggelikan," gumam Mikail, lalu meraih kacamata Lana, dan melemparkannya ke sembarang tempat.Lana terhenyak. Apa penyamarannya ketahuan?"Kau pikir, aku tidak tahu siapa kau, Nona Lana?"Jadi, selama ini Mikail pura-pura bodoh dan membiarkannya masuk ke dalam perusahaannya? Kenapa dia melakukan itu? Ini terdengar lucu. Meskipun Lana dalam keadaan bahaya, masih sempat ia tersenyum mencemooh pada pria itu."Kalau Anda sudah tahu, kenapa Anda menerima saya bekerja di sini?" tanyanya menantang."Aku hanya ingin tahu niatmu datang ke sini. Ternyata, kau cukup berani juga, walaupun dengan cara kuno," jawab Mikail, menggenggam kuat dagu Lana. "Apa kau pikir, aku akan lengah meminum teh yang telah kau racuni itu?"Lana tak kaget, justru semakin menantangnya. "Oh? Terus, kalau sudah tahu, apa Anda mau membunuh saya seperti yang Anda lakukan pada orangtua saya?!" Kemurkaan Lana membara, sehingga lambat-laun ucapannya disertai bentakan.Rahang Mikail mengeras, menatap kedua mata Lana yang memperlihatkan percikan kebencian. Dalam beberapa saat, keduanya membeku dalam tatapan sengit itu."Dasar wanita lancang!" gumam Mikail dalam, kemudian seulas senyum misterius mengembang di bibirnya.Perlahan, pria itu bergerak maju ke hadapannya. Lana sontak was-was, tangannya spontan hendak mendorong tubuh Mikail. Namun, Mikail dengan cepat menangkap kedua tangannya, lalu menahannya di atas sofa."LEPASKAN!" jerit Lana.Mikail tak mengindahkan, terus mendekatkan wajahnya ke telinga Lana. "Lana, apa kau mau merasakan hukuman dariku?" bisiknya, suara paraunya bernada sensual.Hukuman? Lana bergidik ngeri. Kedua tangan terkekang, Lana tak bisa memberontak. Hal ini menjadi kesempatan bagi Mikail untuk melakukan apa pun pada gadis itu. Sasaran pertama adalah leher Lana. Mikail menyematkan kecupan dan gigitan pelan di sana hingga meninggalkan bekas merah.Lana menggelinjang, perasaannya campur aduk antara menolak dan terangsang. Sejak tadi, Mikail tertarik pada bibir merah jambu milik Lana. Ia mengalihkan wajahnya ke hadapan Lana."Aku ingin tahu, apa bibirmu ini terasa manis?" ucapnya berbisik. "Aku ingin memilikinya.""Jangan coba-cob ... hmmp...."Ucapan Lana tak sempat terucap karena Mikail langsung melumat bibirnya tanpa ampun. Gejolak di dalam dada Lana terusik, tetapi ia tetap berusaha menolak gairah itu. Sekuat tenaga ia meronta, tapi Mikail takkan membiarkannya. Permainan ini baru saja dimulai.Sia-sia perlawanannya, kekuatan Lana tak sebanding. Akhirnya, ia pasrah, membiarkan pria itu mencobai bibirnya. Sepertinya, Mikail pencium yang andal, durasi ciuman mereka begitu lama sampai Lana hampir kehabisan napas.Lana menggerakkan kepalanya seraya mencoba mengatakan sesuatu, dan rupanya Mikail mengerti. Mikail melepaskan ciumannya, Lana bergegas menghirup napas sebanyak-banyaknya.Pria sialan! Apa dia sengaja melakukan ini? Apa ini hukuman yang dimaksud? Huh, dasar bejad! rutuk Lana dalam hati."Sepertinya, tidak seru melakukannya di sini. Bagaimana kalau kita lakukan di tempat lain?"Ucapan nakal Mikail bersamaan dengan tatapan mesum yang membuat Lana mendelik gugup. Apa maksudnya Mikail, permainan ini belum selesai?"Masuklah!" seru Mikail ke arah pintu.Dua pria berbadan besar layaknya preman masuk ke dalam ruangan. Ternyata Mikail sudah menempatkan mereka di luar ruangan untuk membongkar penyamaran Lana.Sial!Kedua pengawal itu menghadap Mikail, bersiap mendengarkan perintah."Bawa gadis ini ke mobil! Kalau melawan, sekap dia di bagasi!" perintah Mikail."Siap, Tuan!" sahut kedua pria itu berbarengan.Mikail melepaskan tangan Lana dan beranjak turun dari tubuhnya. Lana berpikir untuk segera berlari mencapai pintu. Namun, langkah salah satu pengawal Mikail lebih cepat darinya. Tubuh Lana tertangkap sebelum tangannya menggapai pintu. Lantas, pria itu menggendong tubuhnya ke bahunya."LEPASKAN! LEPASKAN!" Lana menjerit seraya memukul-mukul punggung pengawal itu.Pukulan dari tangan kecil Lana mana terasa oleh pengawal itu, tetapi Lana tetap melakukannya sebagai usaha melepaskan diri. Mikail berjalan mendekat seraya terkekeh geli. Lana terdiam, menantang Mikail dengan tatapan benci."Bawa dia!" perintah Mikail pada pengawal itu.Lana panik. Mau dibawa ke mana lagi dirinya? Apa pria itu mau meneruskan perbuatan mesum padanya?[]Lana mengernyit dengan mata masih terperjam. Kemudian, ia tersentak, dan matanya terbelalak kaget. Pemandangan yang dilihatnya begitu bangun adalah pria iblis itu, Mikail. Dia ... sedang apa di sini?Lana sontak duduk dan beringsut menjauh. Ia menyadari bahwa saat ini tubuhnya tanpa mengenakan pakaian dan hanya ditutupi oleh selimut putih. Keadaan Mikail nyaris sama dengannya. Apakah dia dan Mikail telah...."AKH, TIDAK!" jerit Lana sangat kencang karena sangking syoknya, yang membuat Mikail terbangun."Hmm, ada apa? Pagi-pagi udah berisik?" Lana tak mengindahkan gumaman Mikail, sibuk pada dirinya sendiri yang masih bingung dan syok dengan kejadian hal ini seraya bergumam, "Apa yang terjadi? Nggak mungkin kan aku sudah tidur dengan pria itu? Nggak! Nggak mungkin!""Apanya yang nggak mungkin?" tanya Mikail, tahu-tahu sudah duduk seraya memangku dagunya. Dan yang membuat Lana geram, Mikail malah tersenyum geli menatapnya."Kau! DASAR BEJAT! Kau apakan aku? Kau memperkosaku saat aku ti
Apa dia sudah mati?Lana gemetaran mendekati pria itu, lalu berjongkok perlahan di hadapannya. Tangannya akan menggapai hidung pria itu, bermaksud mengecek apakah dia masih bernapas atau tidak.Belum sempat ia melakukannya, tiga orang wanita muncul di depan kamar dengan ekspresi terkejut. Lana menoleh. Seorang wanita paruh baya mendekati pria itu dan jongkok di sisi lain. Kemudian, dia menempelkan dua jarinya, hening sejenak dengan dahi mengernyit, setelah itu menghela napas lega."Syukurlah. Apa yang telah terjadi?" gumamnya pada diri sendiri.Dan wanita itu menemukan jawabannya ketika matanya tanpa sengaja mengarah pada pecahan kaca dari botol wine yang ditemukan tak jauh darinya. Ia kembali mengernyit, melemparkan tatapan menuduh pada wanita yang tubuhnya hanya ditutupi oleh selimut putih.Lana tentu terhenyak serta salah tingkah. Wanita ini sepertinya pelayan Mikail. Apakah dia akan melaporkan kejadian ini pada majikannya? "Hei, kalian!" seru wanita paruh baya itu pada dua pelaya
"Kau akan kubunuh!"Lana membeku dengan mata mendelik ngeri. Dibunuh? Tapi, ia tidak siap mati sekarang. Kematian orangtuanya belum terbalas. Ia baru bisa mati jika Mikail yang mati duluan!Mikail menarik Lana yang masih dalam keadaan terkejut. Namun, kesadarannya cepat pulih, dan langsung menahan tubuhnya sekuat mungkin agar tidak dibawa olehnya."Lepaskan! Lepaskan!" jerit Lana. Lana mencoba melepaskan cengkraman Mikail dengan mencabik tangannya menggunakan kuku hingga berdarah. Mikail justru semakin kuat menariknya meski sembari menahan rasa sakit. Namun, pada akhirnya Lana tak mampu lagi menahannya, dan mau tak mau terhela. Hanya saja, kakinya tiba-tiba tersandung. Lana terhempas, dan kepalanya membentur tepi ranjang. Suara pekik kesakitan keluar dari bibirnya. Mikail terhenyak, tetapi bergeming di tempat melihat reaksi Lana selanjutnya. Baguslah, gadis itu tak akan pingsan hanya karena dahinya terbentur sedikit. "Aduh, aduh. Apa dengan cara ini kau membunuhku?" keluh Lana ser
Mikail mengoleskan salep luka pada bekas cakaran Lana di ruang kerjanya. Sang sekretaris, Vincent, berdiri memandanginya tanpa kata. Namun, Vincent tak dapat menahan lagi bibirnya untuk mengajukan sebuah pertanyaan padanya."Apa Anda baik-baik saja? Bagaimana kalau diperiksa ke dokter, Pak? Saya cemas jika luka itu infeksi.""Tak perlu, aku sudah mengoleskan antiseptik. Lagi pula, ini hanya luka ringan," jawab Mikail santai. Vincent tak berkomentar sesaat, sebelum muncul lagi pertanyaan lain. "Apa wanita itu yang melakukannya?""Ya, dia hebat, 'kan?" sahut Mikail, tersenyum sinis. "Dia sangat lancang. Berani sekali dia melakukan hal itu pada Bapak?" Vincent tak bermaksud memprovokasi, tapi dia memang benar-benar marah pada perlakuan yang dilakukan Lana pada bosnya. Namun yang terjadi, Mikail malah tersenyum lebar. "Dia memang berbeda. Aku tidak pernah menemui wanita manapun yang berani menentangku," komentarnya, mata birunya yang tajam melirik ke arah lain. "Biasanya, wanita-wanit
Lana duduk di atas ranjang seraya bersandar dan menjulurkan kaki. Matanya fokus pada satu arah, termenung berpikir serius dengan tangan menyentuh dagu."Apa itu benar-benar pintu keluarnya? Bagaimana kalau bukan?" gumamnya, kakinya digerak-gerakkan cepat. Ingatannya melintas pada kejadian beberapa jam yang lalu. Norman memergokinya di tempat itu. Apakah nanti akan terpengaruh?"Takutnya..." Mata Lana menyipit. "Aku ketahuan tadi, terus Norman menutup pintu tadi."Lana menegak, wajahnya pucat dengan keraguan dan rasa cemas yang menyeruak. Tiba-tiba ia beranjak lalu membeku dan menegang. "Aku nggak ketahuan kan tadi?" gumamnya resah, berjalan mondar-mandir di tempat. Pasti nggak ketahuan, aku yakin! Duuuuuuuh... semoga aja nggak ketahuan! Kalau sampai itu terjadi, aku nggak bisa kabur...."Ting! Langkahnya sontak terhenti. Bagaimana kalau ia manfaatkan situasinya? Maksudnya. Lana terkurung di rumah, tapi tidak di dalam kamar ini. Ia bisa berkeliling di rumah ini kapanpun, bahkan di ma
"Haruskah aku membunuhnya?"Keraguan itu berkecambuk dalam hati, seakan ada dua suara yang menghasutnya. Hati nurani berusaha mencegah untuk melakukan hal itu. Di lain sisi setan menghembuskan kebencian dengan memutar memori kematian orangtuanya dalam otak. Akhirnya, dendam berhasil menguasai, perlahan kedua tangannya mengarah pada leher Mikail, bersiap mencengkramnya kuat sampai meregang nyawa.Grep!Lana terhenyak, tiba-tiba kedua tangannya digenggam oleh Mikail. Kemudian, mata pria itu terbuka. Tatapan kebencian Lana berubah menjadi keterkejutan lalu kecemasan.Lana berusaha menarik tangannya, tetapi Mikail semakin kuat menggenggamnya. Senyuman sinis pria itu berkembang, membuat Lana gugup bukan kepalang.Apakah hari ini ia akan mati?Dengan cepat Mikail memutar keadaan sehingga kini Lana yang terbaring di ranjang. Kedua lengan Lana diletakkan di samping kepalanya, mengekangnya dengan lengan kekar Mikail."Kemarin diracun, sekarang dicekik. Besok apa lagi? Mungkin kau akan mencoba
"Apa katamu?" Begitu kata itu terucap, Norman gemetaran. Cepat Mikail beranjak, lalu melemparkan gelas yang dipegangnya ke dinding. Tak sempat bagi Norman untuk bergidik, sebab Mikail langsung meraih lehernya dan mencekiknya. "Pelayan di rumah ini banyak, bagaimana kalian bisa seteledor itu, hah?" bentak Mikail, matanya nyalang mengerikan.Cekikan dari tangan kekar Mikail tak begitu kencang, sehingga Norman masih bisa sedikit bernapas, meskipun agak sulit untuk berbicara. "Ma... ma... maafkan saya... Tuan," jawabnya tercekat. "Saya akan memaksimalkan penjagaan."Sayangnya, Mikail tak mudah dibujuk, ia belum puas jika kemarahannya belum dilampiaskan dulu, barulah ia menghempaskan Norman hingga terjungkal. Mikail melirik dingin pada Norman yang tengah merangkak di bawah kakinya. "Pastikan bahwa hal itu bukan sekadar ucapan!"Ancaman yang cukup membuat tubuh Norman menggigil di balik sikap dan ucapannya yang tenang. "Baik, Tuan."Mikail mengibas-kibaskan tangannya, menyuruh Norman eny
"Ya, itu aja!"Lana sigap beranjak dari tempatnya. Setelah hampir satu jam berpikir, ia memutuskan untuk mencoba pakai cara yang tadi. Maka, Lana berjalan keluar kamar, mencari keberadaan Norman. Namun, ia tak menemukannya di dapur. Saat keluar dari dapur, ia berpapasan dengan dua pelayan muda. "Siang, Nona. Apa ada yang bisa kami bantu?" sapa salah seorang pelayan.Iya, Lana memang membutuhkan bantuan. Senyumannya merekah kala pertanyaan itu diajukan. "Apa kalian tahu di mana pak Norman?" tanyanya bergegas. "Tuan Norman sepertinya ada di taman belakang. Mau saya panggilkan?" Padahal Lana bisa meminta mereka untuk menyuruh Norman datang ke kamarnya, tetapi Lana malah menolak. "Nggak usah, saya yang akan menghampirinya."Kaki mungilnya terburu-buru melangkah meninggalkan kedua pelayan itu menuju taman belakang yang sering dilihat Lana lewat jendela kamarnya.Norman sedang menyiram kebun bagian bunga mawar putih. Keindahan taman yang dihiasi oleh air mancur tak membuat Lana terpana.
“Sshhh... kau akan menyakiti lenganmu kalau kau meronta-ronta terus seperti itu.” Bibir Mikail merayap dan mendarat di bibir Lana.Lelaki itu mengecup sedikit ujung bibir Lana, lalu lidahnya menelusup masuk, membuka bibir Lana yang lembut, mencecapnya dan merasakan seluruh tekstur bibir Lana yang hangat dan panas, lidahnya mengait lidah Lana dan memainkannya dengan intensitas yang sangat ahli.Ketika Mikail melepaskan bibirnya, napas Lana terengah-engah, ciuman ini adalah ciuman yang paling intens yang pernah dirasakannya.“Kau menyukainya bukan?” Mikail berbisik lembut dengan nafasnya .yang panas di telinga Lana. “Aku sangat menyukai bibirmu, dan sensasi kelembutannya di bibirku...” Tangan Mikail merayap ke bawah, meraba kulit leher Lana. “Seluruh tubuhmu hangat sayang, seakan menggodaku....” Jemari Mikail menyingkap rok Lana dan menelusup ke dalam sana, menggoda pusat gairahnya. “Di sini... yang
Tubuh lemas Lana di baringkan di lantai di pinggiran kolam, lalu dia merasakan perutnya di tekan dengan ahli hingga aliran air yang tertelan keluar.Lana memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa begitu sakit dan nyeri. Siapakah penolongnya?Apakah dia memang belum diizinkan mati? Tangan kuat itu terus menekan hingga seluruh cairan terpompa keluar dari perut Lana. Mata Lana mulai buram, kesadarannya semakin hilang, ketika suara itu terdengar tenang di atasnya. “Panggil dokter.”Itu suara Mikail. Apakah Mikail yang menyelamatkannya? Lagi pula... kenapa lelaki itu menyelamatkannya?♡♡♡Mikail keluar dari kamar mandi dengan masih menyimpan kemarahan. Rambutnya basah kuyup. Dan seluruh pakaiannya yang basah teronggok di lantai. Sebuah gerakan di sudut kamar membuatnya menoleh.Norman berdiri di sana, bekas-bekas pukulan Mikail masih menimbulkan memar-memar di sana sini, tetapi lelaki itu sep
Tubuh Norman hampir melemas. Tubuhnya dan wajahnya dipenuhi lebam. Darah mengalir pada hidung dan bibirnya, semakin membuat Lana kasihan melihatnya.Lana menjerit, tangisannya semakin keras. "Hentikan! Aku mohon," pintanya memelas, semakin lama tubuhnya duduk bersimpuh di atas lantai.Mikail menghentikan pukulannya, lalu menoleh pada Lana yang tengah menangis tak berdaya. Dihampirinya gadis itu. "Kamu menangisinya? Apa sekarang kau menyesal?"Lana tak menjawab, tertunduk sesegukan. Namun, Mikail tetap ingin menagih jawabannya. Dagu Lana diremasnya dan dihelanya kasar hingga tatapan mereka kini beradu. Mikail tersenyum puas melihat mata Lana basah disebabkan oleh air mata penderitaan."Norman begitu gara-gara kau. Lihat!" Mikail beringsut sedikit, mengarahkan tunjukkannya pada tubuh Norman yang tengah meringkuk kesakitan. "Jika kau berbuat salah, maka para pekerja yang ada di rumah ini yang akan menanggung hukumannya."Kejam sekali! Lana menat
"Tuhan, selamatkan aku...," lirih Lana dalam hati, terisak.Pria itu bergerak di atas Lana, lalu menindihnya. Dia tersenyum, memandangi wajah cantiknya. "Jangan takut, sayang. Kamu pasti ketagihan nanti," ucapnya sensual, setengah berbisik.Rahang Lana mengeras. Ia malah nekat membuat pria itu semakin bengis dengan meludahi wajahnya. Alhasil, pria itu mendelik marah. Dari raut wajahnya, kali ini perlakuan kasar yang akan didapatkan Lana atas kelancangannya itu."DASAR JALANG!"Pria itu meradang, menyingkapkan baju kaus Lana hingga terlihatlah bra hitam yang menutupi payudara ranumnya. Wajah pria itu mendekat pada area sensitif itu. Lana mendelik dan sebisa mungkin meronta. "JANGAN!" jerit Lana kencang.Tiba-tiba, bahu pria itu digenggam, lalu ditarik oleh seseorang di belakangnya hingga terjatuh di atas sebuah makam. Keempat temannya menoleh kaget pada pria yang membuatnya jatuh. Lana juga melirik pada pria itu. Tapi karena tempat itu gelap, ditambah lagi matanya digenangi oleh air m
"Bagaimana dia bisa lolos?!" maki Mikail, sebuah vas yang dibelinya langsung dari China melayang hampir ke wajah seorang pengawal.Sang pengawal berlutut dan menunduk gemetaran. Hanya satu kata yang bisa diucapkannya:"Maafkan saya, Tuan."Bukan pengampunan, melainkan amarah Mikail semakin menjadi. Mikail menghampirinya, menggenggam kerah bajunya, lalu melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah si pengawal, menjadikannya tontonan memilukan di depan para pengawal lainnya. "Bodoh! Saya mencari pengawal terbaik dan menggaji tinggi kalian. Apa otakmu sangat kecil, bisa-bisanya ditipu oleh wanita itu!" Mikail memaki seraya menendang tubuh sang pengawal yang terbaring tanpa melawan. Norman juga merasa takut sekaligus kasihan pada pengawal itu. Iapun memberanikan diri maju untuk mempertanggungkan perbuatannya. "Tuan, saya juga bersalah dalam hal ini. Tolong, maafkan kami."Mikail langsung menoleh bengis pada pria paruh baya itu. Gerakannya cepat melesat mendorong Norman dengan satu tangan sa
"Ya, itu aja!"Lana sigap beranjak dari tempatnya. Setelah hampir satu jam berpikir, ia memutuskan untuk mencoba pakai cara yang tadi. Maka, Lana berjalan keluar kamar, mencari keberadaan Norman. Namun, ia tak menemukannya di dapur. Saat keluar dari dapur, ia berpapasan dengan dua pelayan muda. "Siang, Nona. Apa ada yang bisa kami bantu?" sapa salah seorang pelayan.Iya, Lana memang membutuhkan bantuan. Senyumannya merekah kala pertanyaan itu diajukan. "Apa kalian tahu di mana pak Norman?" tanyanya bergegas. "Tuan Norman sepertinya ada di taman belakang. Mau saya panggilkan?" Padahal Lana bisa meminta mereka untuk menyuruh Norman datang ke kamarnya, tetapi Lana malah menolak. "Nggak usah, saya yang akan menghampirinya."Kaki mungilnya terburu-buru melangkah meninggalkan kedua pelayan itu menuju taman belakang yang sering dilihat Lana lewat jendela kamarnya.Norman sedang menyiram kebun bagian bunga mawar putih. Keindahan taman yang dihiasi oleh air mancur tak membuat Lana terpana.
"Apa katamu?" Begitu kata itu terucap, Norman gemetaran. Cepat Mikail beranjak, lalu melemparkan gelas yang dipegangnya ke dinding. Tak sempat bagi Norman untuk bergidik, sebab Mikail langsung meraih lehernya dan mencekiknya. "Pelayan di rumah ini banyak, bagaimana kalian bisa seteledor itu, hah?" bentak Mikail, matanya nyalang mengerikan.Cekikan dari tangan kekar Mikail tak begitu kencang, sehingga Norman masih bisa sedikit bernapas, meskipun agak sulit untuk berbicara. "Ma... ma... maafkan saya... Tuan," jawabnya tercekat. "Saya akan memaksimalkan penjagaan."Sayangnya, Mikail tak mudah dibujuk, ia belum puas jika kemarahannya belum dilampiaskan dulu, barulah ia menghempaskan Norman hingga terjungkal. Mikail melirik dingin pada Norman yang tengah merangkak di bawah kakinya. "Pastikan bahwa hal itu bukan sekadar ucapan!"Ancaman yang cukup membuat tubuh Norman menggigil di balik sikap dan ucapannya yang tenang. "Baik, Tuan."Mikail mengibas-kibaskan tangannya, menyuruh Norman eny
"Haruskah aku membunuhnya?"Keraguan itu berkecambuk dalam hati, seakan ada dua suara yang menghasutnya. Hati nurani berusaha mencegah untuk melakukan hal itu. Di lain sisi setan menghembuskan kebencian dengan memutar memori kematian orangtuanya dalam otak. Akhirnya, dendam berhasil menguasai, perlahan kedua tangannya mengarah pada leher Mikail, bersiap mencengkramnya kuat sampai meregang nyawa.Grep!Lana terhenyak, tiba-tiba kedua tangannya digenggam oleh Mikail. Kemudian, mata pria itu terbuka. Tatapan kebencian Lana berubah menjadi keterkejutan lalu kecemasan.Lana berusaha menarik tangannya, tetapi Mikail semakin kuat menggenggamnya. Senyuman sinis pria itu berkembang, membuat Lana gugup bukan kepalang.Apakah hari ini ia akan mati?Dengan cepat Mikail memutar keadaan sehingga kini Lana yang terbaring di ranjang. Kedua lengan Lana diletakkan di samping kepalanya, mengekangnya dengan lengan kekar Mikail."Kemarin diracun, sekarang dicekik. Besok apa lagi? Mungkin kau akan mencoba
Lana duduk di atas ranjang seraya bersandar dan menjulurkan kaki. Matanya fokus pada satu arah, termenung berpikir serius dengan tangan menyentuh dagu."Apa itu benar-benar pintu keluarnya? Bagaimana kalau bukan?" gumamnya, kakinya digerak-gerakkan cepat. Ingatannya melintas pada kejadian beberapa jam yang lalu. Norman memergokinya di tempat itu. Apakah nanti akan terpengaruh?"Takutnya..." Mata Lana menyipit. "Aku ketahuan tadi, terus Norman menutup pintu tadi."Lana menegak, wajahnya pucat dengan keraguan dan rasa cemas yang menyeruak. Tiba-tiba ia beranjak lalu membeku dan menegang. "Aku nggak ketahuan kan tadi?" gumamnya resah, berjalan mondar-mandir di tempat. Pasti nggak ketahuan, aku yakin! Duuuuuuuh... semoga aja nggak ketahuan! Kalau sampai itu terjadi, aku nggak bisa kabur...."Ting! Langkahnya sontak terhenti. Bagaimana kalau ia manfaatkan situasinya? Maksudnya. Lana terkurung di rumah, tapi tidak di dalam kamar ini. Ia bisa berkeliling di rumah ini kapanpun, bahkan di ma