Mila tidak bisa tidur padahal sekarang sudah tengah malam, perutnya sejak tadi terasa lapar tapi dia terlalu malu untuk makan tengah malam seperti ini. Dia terus menatap jam hingga akhirnya berjalan menuju ke pintu. Beberapa saat Mila hanya berdiri di balik pintu dia ragu untuk membuka pintu itu. Perutnya terus berbunyi mau tak mau Mila membuka pintu. Kepala Mila keluar dari pintu melihat ke kanan kiri yang nampak sepi dan gelap karena lampu sudah dimatikan. Mila pun segera melangkah menuju ke dapur, tidak nampak Rocky disana. Mila membuka kulkas dia mencari sesuatu untuk dimakan. "Cari apa?" "Astaga," ucap Mila yang terkejut karena Rocky tiba-tiba datang. Mila mengusap dadanya karena jantungnya berdetak dengan kencang. Rocky lalu menyalakan lampu terlihat wajah Mila yang gelagapan seolah kepergok melakukan kejahatan. "Kamu lapar?" tanya Rocky. "Iya maaf," jawab lirih Mila. "Kenapa minta maaf?" Rocky mengusap kepala Mila lalu berjalan ke arah lemari kabinet atas. "Mau mie?" tany
Mila baru selesai mandi dia memilih mengenakan rok jeans dengan belahan depan hingga selutut. Atasan Mila memakai outer bergaris berwarna biru putih, Mila memang tidak pernah memakai celana atau rok pendek hingga menampilkan pahanya. Pakaiannya terbilang cukup tertutup setiap saatnya meskipun di dalam rumah. Pintu kamar tiba-tiba dibuka oleh Rocky terlihat Rocky yang memakai kemeja biru dan kaos putih. "Sayang ayo makan," ajak Rocky. Mila menganggukkan kepalanya dan dia pun segera mengikuti langkah Rocky. Seorang wanita paruh baya terlihat tengah menata makanan di atas meja. "Oh ya Sayang kenalin ini Bibi Lia yang sering aku panggil untuk membersihkan apartemen," tutur Rocky. "Halo Bi saya Mila," sapa Mila. "Iya Nyonya Mila.""Bibi sudah makan?" "Bibi makannya nanti Nyonya, masih terlalu pagi juga Bibi tidak biasa sarapan.""Oh iya Bi.""Kalau begitu Bibi pamit kembali ke dapur Tuan Nyonya," tutur Bibi Lia dengan sopan yang kemudian pergi dari ruang makan itu. Rocky menarikkan
Mobil memasuki pemukiman dimana sebelah kanannya masih ada hamparan sawah yang luas. Anak-anak berlari dengan memakai seragam sekolah, tawa ceria mereka seperti tak punya beban. Pemandangan itu cukup menarik perhatian Rocky. Anak-anak itu sangat berbeda dengan Rocky, dia dulu tak memiliki teman karena asal usul yang tidak jelas itu. "Rumah warna putih itu Pak," ucap Mila yang menunjuk ke sebuah rumah dengan ada sosok pria paruh baya yang masih duduk di teras rumah. Mobil berhenti tepat di sebuah rumah yang nampak sederhana itu. Mila segera turun, pria paruh baya yang melihat Mila pun langsung berdiri. Senyum cerah menghiasi wajahnya, Mila langsung memeluk pria itu. "Ya ampun Nok akhirnya kamu sampai juga," ucap Pak Fajar yang tak lain adalah Bapak Mila. "Bu Ibu, Mila pulang ini," teriak Pak Fajar memanggil istrinya. Seorang wanita paruh baya keluar dan langsung memeluk Mila. Rocky cukup iri saat melihat pemandangan itu. "Oh ya Bapak Ibu ini Rocky," tutur Mila memperkenalkan Rocky
Arin masuk ke ruang kerja untuk menyimpan dokumen yang sudah dia teliti. Di atas meja Samuel ada sesuatu yang mengkilap menarik perhatiannya. Arin berjalan mendekat ke arah meja Samuel. Terlihat sebuah undangan berwarna gold, Arin pun membuka undangan itu. "Sayang aku cari ternyata kamu disini," ucap Samuel yang masuk ke dalam ruang kerja. "Iya Mas baru nyimpen dokumen, ada apa?""Tidak apa-apa.""Kakek sudah tidur siang?""Iya baru aja tidur. Kamu udah membacanya?" Samuel setelah makan siang berbincang dengan Kakek Indra dan baru saja Samuel mengantar Kakek Indra ke kamar untuk tidur siang. "Tidak sengaja melihat, aku penasaran jadi aku buka. Maaf tidak izin dulu.""Tidak apa-apa Sayang, tidak perlu izin segala," tutur Samuel yang mengecup pipi Arin. "Mas tidak bisa datang nanti Mas kirim kado ke rumah mereka saja," jelas Samuel. "Kenapa?""Mas harus ke Singapura, kamu ikut ya.""Tidak mau, malas.""Beneran Sayang? Mas disana beberapa hari, kamu tidak apa-apa?" tanya Samuel yang
Gaun panjang itu melekat sempurna di badan Arin, sungguh sangat mempesona. Arin melangkah memasuki rumah mewah itu, ruang tamu itu disulap seperti ballroom dengan dekorasi yang sangar elegant. Arin mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Hingga dia tersenyum saat melihat sosok Ola yang tengah berdiri memegang minuman. Arin berjalan ke arah Ola, gadis itu tidak sendirian tetapi didampingi lelaki yang tak lain adalah Elio kekasih Ola. "Ola," panggil Arin membuat Ola menoleh. "Kakak akhirnya datang juga."Ola tersenyum melihat Arin yang datang dengan gaun putih yang membuatnya semakin menawan. Arin tersenyum ke arah Elio yang di balas senyum kecil oleh Elio. Mereka memang sudah kembali berbaikan dan Arin cukup senang melihatnya. "Baby, aku tinggal sebentar ya," tutur Elio kepada Ola yang dijawab anggukan kepala oleh Ola. Di lain tempat ada keluarga Irawan yang baru saja datang, Bella melingkarkan tangan di lengan sang suami. Mereka pertama kalinya hadir di acara pesta mewah namp
"Benar itu gelang Nyonya Ara, bagaimana gelang itu ada di tas kamu?" tanya Irene dengan tatapan merendahkan. "Itu memang bukan gelang saya tapi saya juga tidak tahu itu gelang siapa dan kenapa bisa ada di tas saya," jelas Arin tanpa rasa takut karena memang dia tidak bersalah. Arin tak pernah mengambil barang milik pernah lain dan dia juga belum pernah melihat gelang itu. "Maling mana ada yang mau ngaku," seru Clara memprovokasi mereka yang ada disana. Tatapan mereka kini terus menatap ke arah Arin, mereka tidak percaya ada yang mencuri disana. Tatapan merendahkan mereka berikan kepada Arin tapi Arin tak goyah. Irawan dan Bella tersenyum puas melihat Arin yang di permalukan disana. Mereka puas dengan kerja Clara yang berhasil membuat Arin sebagai pencuri. "Apakah saya pernah mengatakan ciri-ciri gelang saya?" ucap Ara dengan tegas membuat Clara dan Irene gelagapan. "Bagaimana kalian tahu jika itu gelang saya atau bukan?" sambung Ara menatap Irene dan Clara bergantian. Irene mere
Arin terbangun dari tidurnya saat merasakan ada yang memeluk dirinya. Arin yang mengingat jika Samuel tidak di rumah pun langsung berbalin dan segera menjauh. "Kenapa Baby?""Mas mengagetkanku," gerutu Arin memukul dada Samuel. "Kenapa pulang tidak memberi kabar?""Maaf sayang, Mas hanya khawatir tentang kamu soal kejadian tadi," jelas jujur Samuel yang menatap lembut istrinya itu. Samuel mengusap pipi Arin dengan lembut, Arin menatap Samuel terlihat lega saat suaminya ada di sampingnya. Samuel tak pernah terima jika seseorang mengganggu istrinya dia ingin langsung menghabisi keluarga Irawan. Tapi lagi-lagi Samuel tidak bisa melakukan itu, cara dia dan Arin untuk membalas dendam sangat berbeda. Arin tak akan bermain fisik berbeda dengan Samuel yang akan menyiksa mereka hingga mati. Samuel menarik Arin untuk masuk ke dalam pelukannya, dalam posisi seperti itu Arin bisa merasakan detak jantung Samuel. Terdengar kencang dan tak beraturan membuat Arin segera menatap wajah Samuel. Meski
Mila keluar dari kamar, saat ini jam menunjukkan pukul delapan. Dia memang bangun kesiangan karena semalam susah tidur. Mila yang belum mandi terlihat penampilannya yang masih berantakan. Rambutnya yang mengembang dengan mata yang belum terbuka sempurna. Gadis itu berjalan ke arah dapur untuk minum air putih. "Udah bangun sayang."Pyar! Gelas yang ada di tangannya terjatuh karena dia terkejut tiba-tiba mendengar suara Rocky. Sebuah tangan langsung menahan badan Mila agar tidak melangkah dan menginjak pecahan gelas. "Kenapa tidak pakai alas kaki," ucap Rocky yang langsung mengangkat tubuh Mila agar duduk di meja dapur. "Diam disana, aku bersihkan dulu," sambung Rocky. Mila yang masih terkejut pun belum bersuara. Ketika dia tersadar maka dia langsung merapikan rambutnya. "Mas kok belum berangkat?" tanya Mila. "Ada yang ketinggalan makannya aku pulang," jawab Rocky sambil menyapu pecahan gelas itu. Setelah selesai Rocky mencuci piring lalu kembali ke arah Mila. "Kenapa tidak pakai a
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal