Sampai di rumah Fani langsung menata sate ke dalam piring. Arin menunggunya di dalam kamar, dia duduk di sofa dan tidak lama Fani datang membawa sate dan cireng yang tadi mereka beli. "Makasih," ucap Arin ketika Fani masuk ke dalam kamar dan meletakkan sate itu di atas meja. "Sama-sama Nyonya, kalau begitu saya permisi untuk keluar," pamit Fani. Arin menganggukkan kepalanya, Fani pun keluar dari kamar utama. Arin langsung memotret sate dan cireng itu laku mengirimnya ke Samuel. Detik kemudian Samuel langsung menelponnya. "Halo Sayang kapan kamu beli?""Baru saja aku keluar sama Fani dan Pak Ujang.""Kenapa tidak menunggu Mas pulang.""Aku maunya sekarang.""Kan bisa telepon Mas biar Mas belikan jika kamu tidak mau maid yang beli," tutur Samuel yang terlihat khawatir. Arin memajukan bibirnya dia nampak sedih ketika Samuel memarahi dirinya. "Ya sudah tidak apa-apa, kamu makan ya. Jangan sedih lagi, Mas minta maaf."Arin menganggukkan kepalanya lalu mencoba sate yang dia beli. "Bagaima
Jam menunjukkan pukul empat sore, Samuel baru sadar jika Arin tidur di sofa. Samuel mematikan komputernya dan merapikan berkas yang ada di meja. Dia lalu berjalan ke arah Arin yang masih terlelap. Samuel berjongkok di depan Arin, dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Arin. Senyum terlihat di wajah Samuel saat melihat istrinya yang tengah tidur. Arin membuka matanya dan dia pun tersenyum saat melihat Samuel berada di depan dirinya. "Sejak kapan Mas disini?""Baru saja," jawab Samuel. Arin pun langsung duduk membuat Samuel kini duduk di sampingnya. "Mau pulang sekarang?"Arin melihat jam tangannya dia lalu menganggukkan kepalanya. "Aku mau ke kamar mandi dulu," tutur Arin yang masuk ke kamar pribadi Samuel untuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi Arin membasuh wajahnya, setelah memastikan penampilannya dia pun keluar dari kamar mandi. Samuel ternyata menunggunya di depan kamar mandi. "Ayo Mas," ucap Arin yang melingkarkan tangannya di lengan Samuel. "Kita ke kampus du
Arin telah selesai bersiap dia memakai dress berwarna hitam dengan outer. "Sayang Mas ikut ya," tutur Samuel ketika Arin keluar dari walk in closet. Arin tidak menjawab hingga Samuel pun berdiri di depannya membuat langkah Arin terhenti. "Baby," panggil Samuel memohon. Arin menatap Samuel dengan tatapan tajam Samuel pun menyingkir dia segera mengambil kemeja lalu mengejar Arin. Terlihat Arin dan Kakek Indra yang masuk ke dalam mobil. Samuel langsung mengambil kunci mobil dari tangan Pak Ujang. "Tuan Besar dan Nyonya Xalvador mau makan dimana?" tanya Samuel dengan sopan. Kakek Indra menatap Arin, "Kakek pokoknya Arin mau makan sate, terserah dimana," tutur Arin kepada Kakek Indra. "Baik Nyonya," balas Samuel yang langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil Arin sama sekali tidak menatap Samuel, hingga mobil pun sampai di parkiran sebuah restoran mewah. Samuel langsung keluar dari mobil dia membukakan pintu untuk Arin. Arin dan Kakek Indra masuk ke dalam re
Ia mendorong tubuh Arin hingga terperangkap di antara dinding dan dirinya, menciptakan jarak yang begitu sempit. Arin tampak terkejut, nafasnya tercekat saat merasakan tubuh Miko yang begitu dekat dengannya. Miko mengikis jarak di antara mereka, Arin memberontak ketika bibir mereka hampir bersentuhan. Seseorang tiba-tiba mendobrak pintu kamar mandi, sebuah pukulan menerpa wajahnya Miko. Elang menarik Arin dari sana memastikan Arin aman. "Sudah Lang, aku tidak apa-apa kok," ucap Arin yang menahan tangan Elang ketika akan kembali memukul Miko. "Tapi... ""Ayo keluar," ucap Arin yang menarik tangan Elang untuk keluar dari kamar mandi. "Nyonya..." Fani terdiam saat melihat Arin dan Elang keluar berdua dari kamar mandi perempuan. "Dia yang menyelamatkan saya," tutur Arin. Saat Fani akan bertanya Miko pun keluar dari kamar mandi, Arin langsung menarik Fani pergi dari sana. "Nyonya apa yang pria itu lakukan?" tanya Fani. "Kita pulang, aku lelah," tutur Arin yang berjalan menuju parkira
Bella sampai di rumah dia melangkah masuk ke dalam rumah. Terlihat Irawan yang melangkah menghampirinya. "Dimana bocah sialan itu?" tanya Irawan dengan nada tinggi. "Jangan salahkan dia, Mas."Plak! Satu tamparan mengenai wajah Bella, "Bilang apa kamu?""Wajar anak seumuran dia suka seperti itu," tutur Bella yang langsung di cekik Irawan. "Kamu bilang wajar? Dia berhubungan dengan banyak wanita kamu bilang wajar? Menjijikan!" murka Irawan yang kini menjambak rambut Bella. "Mas ampun.""Ini akibatnya jika kamu tidak bisa mendidik anakmu dengan baik!"Irawan membenturkan kepala Bella ke meja berkali-kali, Clara yang baru saja pulang terkejut melihat kejadian itu. "Papa! Apa yang Papa lakukan?""Apa kamu tidak tahu yang dilakukan Kakak sialanmu itu!"Clara tentu saja tahu karena dia pulang setelah mendengar berita itu. Clara pun shock tetapi dia jadi memil celah untuk bisa menggantikan posisi Papanya. "Para pemegang saham sudah menekankan dan si brengsek itu justru membuat masalah!"
Laura mulai membuka matanya dia menatap ke sekeliling kamar itu yang nampak asing baginya. Saat dia terduduk dirinya baru sadar jika tidak mengenakan apapun. Laura langsung menangis dia panik mencari pakaian tetapi tidak terlihat. "Sudah bangun ternyata," ucap Miko yang masuk ke dalam kamar dengan santainya duduk di sofa. "Apa yang kamu lakukan?" teriak Laura. "Aku tidak melakukan apa-apa," ucap Miko. "Kamu tenang saja aku belum mengambil keperaw*nanmu itu," sambung Miko. Laura memang tidak merasakan sakit di pangkal pahanya. Tetapi bangun dengan keadaan tidak mengenakan pakaian sudah membuatnya panik. "Dimana pakaianku?""Akan aku berikan tapi katakan dulu apa yang kamu tahu tentang Arin."Wajah Laura nampak bingung dengan apa yang Miko katakan. "Aku tidak mengerti.""Katakan semua hal tentang Arin, wanita yang berbicara denganmu di belakang cafe," seru Miko yang emosi. "A-aku tidak tahu apapun," ucap Laura. Miko bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Laura, gadis itu semak
"Sayang," panggil Samuel untuk membangunkan Arin. "Sarapan dulu yuk, tidak boleh melewatkan sarapan," tutur Samuel karena kemarin Arin yang melewatkan jam makan siang membuat perutnya merasakan perih. "Jam berapa sekarang?" tanya Arin. "Jam delapan, bangun ya," tutur Samuel membuat Arin akhirnya membuka matanya. Samuel mengecup bibir Arin dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Mau sarapan apa hari ini?""Roti aja.""Mau pakai selai apa?""Coklat.""Yaudah Mas buatkan dulu ya," tutur Samuel yang di jawab anggukan kepala oleh Arin. Saat Samuel keluar dari kamar maka Arin turun dari tempat tidur. Dia berjalan menuju ke kamar mandi, awalnya Arin malas mandi tetapi dia ingat jika ada janji dengan dokter kandungan pagi ini. Samuel yang berada di dapur sibuk membuat roti untuk Arin. Para maid yang melihat Samuel di dapur menjadi tegang. Mereka takut melakukan kesalahan karena Samuel tak pernah terlihat tersenyum selain bersama Arin. Samuel juga membuatkan susu untuk Arin karena dia tidak
Mila meninggalkan Laura karena dia harus ke cafe untuk bekerja. Sebelumnya Mila sudah menitipkan Laura kepada perawat, gadis itu mengendarai motornya menuju ke cafe. Di sisi lain Miko berada di depan kamar Laura, dia memakai pakaian perawat dan memakai masker. Miko masuk ke dalam kamar itu, terlihat Laura yang belum sadarkan diri. Dibalik masker itu dia tersenyum tanpa rasa bersalah justru merasa senang melihat kondisi Laura yang tidak berdaya. Miko mengeluarkan sebuah suntikan dia lalu menyuntikkan itu ke infus Laura. Miko kemudian langsung keluar dari ruangan itu. Senyum merekah di wajah Miko saat dia berada di dalam mobil. Miko yakin kali ini Laura akan meninggal sehingga tidak akan ada yang membocorkan perbuatannya. ***Samuel dan Arin sampai di rumah dan Samuel langsung meminta Arin untuk istirahat. "Mas mau langsung ke kantor?" tanya Arin. "Mas hari ini tidak ke kantor," jawab Samuel yang masuk walk in closet. Tak lama Samuel keluar dari sana dan membawa baju ganti Arin. "G
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal