"Selamat malam Nyonya, saya membawakan makan malam untuk Nyonya Kata Tuan Besar Anda belum makan," jelas maid itu membuat Arin terpaku. "Bu Santi?" ucap Arin yang mengenali wanita paruh baya di depannya itu. Bu Santi tersenyum, "Makanannya mau diletakan dimana?" tanya Bu Santi. "Ibu kok bisa berada disini?" tanya Arin yang penasaran. "Sejak kapan Bu Santi bekerja di sini?" sambung Arin. "Saya sudah lama bekerja dengan Tuan Samuel, Nyonya," jawab Bu Santi membuat Arin semakin bingung. "Maksudnya?" tanya Arin kembali. "Maaf Nyonya, bukan wewenang saya untuk menjelaskan." Arin menerima makanan itu dan Bu Santi pun pamit untuk pergi dari sana. Arin segera meletakkan makanannya di atas meja lalu dia keluar untuk mencari Kakek Indra. "Paman Erwin, Kakek dimana?" tanya Arin karena tidak mendapati Kakek Indra di ruang makan. "Beliau ada di ruang kerjanya, Nyonya."Arin langsung berlari ke menuju ke ruang kerja Kakek Indra. Tanpa mengetuk pintu Arin langsung masuk ke ruangan itu. "Ad
Selesai sarapan Arin naik ke atas tempat tidur, dia bersandar di kepala tempat tidur. Arin menyalakan ponselnya, banyak pesan dari Samuel saat Samuel mencari dirinya. Arin kemudian membuka sosial media, ada berita yang menjadi trending topik sekarang. "Felicia Rania Safira seorang model terkenal yang baru saja kembali kini di tangkap polisi pagi tadi atas tuduhan pembunuhan berencana yang menewaskan James Xalvandor dan Istrinya Agnes Charlotte yang mengalami kecelakaan enam tahun yang lalu. Dalam kecelakaan itu menewaskan juga Noah dan Agnes Juanita."Jantung Arin berdegup dengan kencang saat membaca berita itu. Tangannya bergetar, pasalnya Noah dan Agnes Juanita adalah kedua orang tuanya. "Xalvandor?" ucap Arin bersamaan dengan Samuel yang masuk ke dalam kamar. "Kamu kenapa, baby?" tanya Samuel saat Arin menatapnya dan terlihat istrinya itu yang bergetar. Samuel langsung menghampirinya dan memeluknya erat. "Ada apa?""Apa maksudnya ini?" tanya Arin menunjukkan berita yang baru saj
Sore yang cerah ini sesuai izin Samuel maka Arin akan pergi ke taman kota. Arin telah bersiap dengan memakai atasan putih dan bawahan denim. Samuel sejak pagi tidak berada di rumah dia sudah berpesan kepada Arin untuk pergi dengan supir. Sebelum pergi Arin berpamitan kepada Kakek Indra terlebih dahulu lalu dia keluar dari rumah. Mobil telah bersiap untuk mengantarnya. "Mari Nyonya," ucap supir itu yang membuat Arin terpaku. "Pak Ujang?" panggil Arin mengenali pria yang tengah membukakan mobil. "Apa kabar Nyonya?" sapa Pak Ujang. "Mari saya antar," sambung pak Ujang membuat Arin melangkah masuk ke dalam mobil. Arin duduk di kursi penumpang sedangkan di depan ada Pak Ujang yang sedang menyetir dan bodyguard Rocky untuk menjaga Arin. "Bapak sudah lama juga bekerja untuk Samuel?" tanya Arin saat mobil telah melaju. "Benar Nyonya," jawab Pak Ujang. Arin memijat pelipisnya, jadi benar jika selama ini diam-diam Samuel menjaganya. Tetapi sikap Samuel sekarang kepada dirinya j
Ini hari ketiga dimana Arin koma, Samuel masih setia menunggunya di ruangan itu. Dia tidak pernah kelaur dari sana sekalipun dokter memeriksa Arin. Rumah sakit itu miliknya sehingga para dokter tak berani menentang perkataan Samuel. Sedangkan Kakek Indra sesekali menjenguk Arin, awal Kakek Indra ke rumah sakit itu dia langsung melayangkan tamparsn di pipi Samuel. Berkali-kali Kakek Indra memperingati Samuel agar bersikap lembut kepada Arin. Tetapi perkataan itu tidak pernah di dekat Samuel, dia terlalu terobsesi kepada Arin hingga tak ingin memberikan sedikit celah pun. Apa yang terjadi terakhir kali karena dia cemburu, dia cemburu karena Arin berdekatan dengan pria lain. Hingga dia pun tidak berpikir jernih dan justru membuat Arin hancur. "Maafkan aku, aku mohon bangunlah," pinta Samuel sekian kalinya. Terus memohon dan memohon agar wanitanya membuka mata. Samuel nampak berantakan, dengan rambut yang tumbuh di wajahnya. Tak terlihat seperti Samuel yang biasanya berwibawa dengan m
Hari ini Arin sudah di perbolehkan pulang Samuel dan Kakek Indra menjumputnya. Melihat Kakek Indra yang datang membuat senyum Arin mengembang. "Apa kamu benar-benar sudah membaik?" tanya Kakek Indra. "Sudah Kek," jawab Arin dengan tersenyum. Samuel mengambil kursi roda untuk Arin, sebenarnya Arin sudah mengatakan jika dia bisa berjalan keluar dari rumah sakit sendiri. Tetapi Samuel memaksanya untuk menggunakan kursi roda. Mau tak mau Arin mengikuti perkataan Samuel. Mereka keluar dari rumah sakit dan di depan lobi mobil mereka sudah menunggu. Kakek Indra menggunakan mobil berbeda dari Arin dan Samuel. Di perjalanan Arin menatap ke luar jendela, ia masih tidak percaya dengan statusnya ini. Samuel sendiri sudah menunjukkan buku nikah mereka dan itu benar-benar membuat Arin terkejut. Meskipun Samuel sudah menunjukkan bukti tetap saja Arin merasa canggung dengan Samuel. Karena ingat dia Samuel adalah dosen pembimbingnya yang terkenal killer di kampus. Sangat aneh jika mereka menikah.
Arin keluar dari kamar mandi, Fani dan Sinta sudah mengambilkan pakaian ganti untuknya. Sebenarnya mereka ingin membantu Arin untuk memakai pakaian tetapi Arin menolaknya. Dia sangat malu jika mereka terus membantunya memakai pakaian dan sesuai pesan Samuel kepada mereka untuk menuruti perkataan Arin mereka pun patuh kepada Arin. Selesai mengenakan pakaian mereka membanti Arin mengeringkan rambutnya. Pintu kamar Arin di buka terlihat Samuel dengan setelan jasnya. "Sudah selesai, Baby?" tanya Samuel yang dijawab anggukan kepala. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu di bawah," ajak Samuel. Arin pun melangkah ke arah Samuel, Samuel menggenggam tangan Arin membawa Karin ke ruang makan. Arin terus menundukkan kepalanya, dia merasa aneh dengan semua ini. "Angkat kepalanya Baby," bisik Samuel membuat Arin semakin merinding. Samuel mencium puncak kepala Arin membuat Arin seakan tersengat aliran listrik. Ting! Pintu lift terbuka membuat Arin segera melepaskan genggaman tangan Samuel dan kel
Jam menunjukkan pukul delapan malam, Arin baru saja selesai makan malam. Dia tidak kembali ke kamar, pikirkan sangat kacau tentang Samuel dan suara tembakan itu malah terdengar jelas di telinganya. "Baby kenapa disini?" Deg! Suara itu mempu membuat Air membeku, ia mendongakkan kepalanya menatap pria yang berada di hadapannya sekarang. Samuel menatapnya dengan tersenyum kecil, terlihat lembut dan penuh kasih sayang. Jika ingatan itu tidak kembali mungkin Arin langsung terpesona melihatnya. "Ayo masuk," ajak Samuel tetapi Arin masih diam di tempatnya. "Aku tidak akan menyakitimu Sayang, aku hanya tidak mau kamu sakit. Udara disini dingin, tenang saja aku tidak akan menyentuhmu," tutur Samuel dengan lembut membujuk Arin agar mau mengikutinya. Arin akhirnya mengikuti perkataan Samuel dia masuk ke dalam rumah menuju ke kamar utama. Terlihat jelas di mata Samuel bagaimana Arin takut kepadanya hingga memberi jarak di antara mereka. Samuel membuka pintu kamar dia lalu masuk ke dalam kama
Selesai berganti pakaian Arin langsung naik ke atas tempat tidur, dia menutup tubuhnya menggunakan selimut. Baru beberapa menit memejamkan mata Arin merasakan bahwa tempat tidur di sampingnya bergerak. Ia pun membuka matanya, terlihat Samuel yang ikut berbaring di sebelahnya. "Apa aku masih belum boleh tidur disini?" tanya Samuel yang melihat tatapan Arin yang tidak bersahabat. "Tentu saja boleh karena ini rumah Anda," jawab Arin membuat Samuel tersenyum. Tetapi detik kemudian senyum itu pun lenyap ketika Arin turun dari tempat tidur. "Kembali ke tempat tidur," ucap Samuel yang bangkit dari tempat tidur dengan membawa bantal. Dia langsung merebahkan dirinya di atas sofa. "Tidak apa-apa tiap hari badan terasa remuk yang penting masih satu kamar sama istri," gumam Samuel yang sengaja agar terdengar Arin. "Saya pindah kamar saya." "Jangan buat aku marah Baby," ucap Samuel dengan suara beratnya. "Kalau begitu kenapa Anda tidak minta maid menata kasur lagi di kamar ini, lag
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal