”La- lagi,” bisik Naura setengah sadar. Perempuan itu merintih sembari sesekali menggigiti bibirnya yang bengkak karena ulah Aditya. ”Lebih cepat, Pak. Le- lebih cepat ..” Seolah kuda dalam pacuan, Aditya menuruti keinginan sekretarisnya dan bergerak lebih cepat.
“Mas, aku masuk ya?” tanya Aruna dari balik pintu
Aditya menoleh, Istrinya sudah berdiri di depan pembatas antara kamar mandi dan kamarnya. Perempuan itu mendekat, melepas jubah tidurnya yang tipis dengan gerakan menggoda sedangkan Aditya menunggu di tempatnya dengan tatapan datar.
“Aku jadi pengen ikut mandi juga,” bisik Aruna begitu tubuhnya bergelayut di pundak suaminya, “Enggak apa-apa kan?”
Aditya mengangguk, ”Mandi lah, aku sudah selesai.” Aditya menarik handuk, mengerikan tubuh dengan cepat. “Jangan terlalu lama, kamu bisa masuk angin nanti.”
“… Iya.” Mati-matian Aruna berusaha mempertahankan harga dirinya yang merasa tertolak oleh sikap suaminya.
Aditya sibuk merapikan bathrobe yang membungkus tubuh setengah basahnya. Kesibukan lelaki itu berhenti ketika matanya dan Aruna tidak sengaja saling betabrakan. Lelaki itu jelas bisa melihat kebingungan di mata istrinya, tapi malam ini ia memang sudah cukup lelah. Adityalah yang akhirnya mengakhiri keheningan dengan berlalu meninggalkan Aruna meringkuk sendirian di kamar mandi.
Aruna baru keluar setelah puas menangis di bawah shower, perempuan itu sudah berniat menyusul Aditya yang pulas di atas ranjang. Tapi kelip di ponsel suaminya membuat Aruna penasaran, tidak biasanya Aditya masih menyalakan ponsel ketika sudah memasuki jam tidur.
“Sepuluh juta,” gumam Aruna begitu melihat notifikasi M-banking di ponsel suaminya.
Aditya bukan tipe lelaki yang gemar belanja, segala keperluan lelaki itu sudah Aruna siapkan. Sepuluh juta yang malam itu keluar dari rekening suaminya bergasil membuat Aruna tidak dapat memejamkan mata sepanjang malam.
***
Naura memperhatikan notifikasi M- Bankingnya dengan seksama, memastikan jika notifikasi tersebut benar-benar resmi dan bukan notifikasi broadcast message penipuan seperti biasanya. Sepuluh juta, saldo yang pagi ini masuk ke rekening pribadinya dan pengirimnya tidak lain adalah atasannya sendiri, Aditya.
“Gila, ini benar-benar gila!” teriak Naura kesenangan. ”Kalau tahu nyari duit bisa segampang ini, udah dari dulu aku melakukannya.” Naura mengusap layar ponselnya dengan sayang, ia tidak sabar untuk segera menghamburkan uang di satu-satunya akun rekening yang ia punya.
Ting!
Satu notifikasi masuk, Aditya mengirim pesan yang langsung dibuka Naura dengan tidak sabaran. Saking tidak sabarannya, perempuan itu bahkan memutuskan untuk langsung menelepon atasannya alih-alih membalas pesan Aditya.
“Saya enggak paham kenapa Bapak mengirimkan uang sebanyak itu untuk saya,” ucap Naura begitu Aditya menerima panggilan suara darinya. “Sepuluh juta bukan angka yang sedikit, Pak.” Naura jelas tidak sungguh-sungguh, ia hanya tidak ingin Aditya menilainya sebagai perempuan bayaran. Ia harus membangun citra sebagai gadis polos yang tidak sengaja lelaki itu rusak. “Apa ini karena kejadian semalam?”
“Semalam tidak ada apa-apa, Naura. Kita hanya sibuk dengan berkas lalu pulang karena sudah terlalu lelah.”
Naura memutar mata, khas lelaki. Padahal Naura yakin sekali jika atasannya itu tidak sabar untuk mengulangi malam panas mereka.
”Uang yang saya kirimkan adalah bonus untuk kamu di bulan ini, kinerja kamu cukup bagus dan memuaskan.”
”Memuaskan?” bisik Naura dengan suara serak, ”Terima kasih Bapak, karena menurut saya semalam juga sangat luar biasa. Saya bahkan enggak bisa tidur dengan nyenyak karena terus-terusan terbayang bagaimana cara Bapak meremas-”
”Cukup!” Napas Aditya mulai berat, bisikan nakal Naura jelas membuat tubuh lelakinya terpancing. ”Jangan membicarakan apa pun selain soal pekerjaan. Mengerti, Naura?”
Naura tidak langsung menjawab dan itu membuat Aditya kehilangan kesabaran.
”Naura!”
”Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih untuk bonusnya.”
Aditya mengangguk puas, ”Saya tunggu kamu di kantor, siang ini kita akan meeting dengan Margaya Corp. Siapkan dokumennya.”
Naura merengut karena Aditya memutuskan panggilan secara sepihak, ”Sekarang masih aku biarkan. Tapi lihat saja nanti, aku akan membuat kamu merengek dan memohon kepadaku. Jangan panggil aku Naura kalau aku enggak bisa membuat kamu jatuh ke dalam pelukanku.”
***
“Kamu nanti bisa makan malam di rumah, Mas?”
Aditya mencoba menampilkan wajah tenang meski jantungnya berdebar cukup keras, ia baru saja memutuskan sambungan telepon dengan Naura ketika Aruna datang. Lelaki itu baru bisa bersikap santai setelah memastikan Aruna tidak mendengar percakapannya dengan Naura di telepon.
”Aku enggak bisa menjanjikan, belakangan ini pekerjaanku lumayan menumpuk.” Aditya membiarkan Aruna mengurusnya, istrinya itu memilihkan setelan kerja, membantu Aditya mengenakan kancing kemeja dan bahkan memilihkan warna dasi yang sesuai. ”Aku akan telepon ke rumah kalau bisa pulang lebih cepat.”
”Jangan terlalu di forsir, Mas. Aku enggak mau kamu sakit.” Aruna mundur selangkah untuk menatap penampilan sempurna suaminya. ”Nanti aku ke kantor, ya. Antar makan malam untuk kamu.”
”Enggak usah.” Aditya berdeham begitu menyadari ia terlalu cepat memberi jawaban. “Naura udah mengurus semuanya, Run. Dia memastikan aku makan tepat waktu, jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja.”
”Naura?”
Aditya mengangguk, ”Dia sekretarisku yang baru.” Salah satu alasan kenapa pekerjaan Aditya lumayan menumpuk adalah karena sekretarisnya yang lama memutuskan untuk mengundurkan diri setelah cuti melahirkan. ”Naura mungkin masih harus banyak belajar, tapi dia cukup bisa diandalkan. Jangan cemas, aku akan baik-baik saja.”
“Akhirnya kamu menemukan sekretaris yang kompeten ya, Mas.”
”Lumayan, sejauh ini kinerjanya bagus.” Sahut Aditya dengan santai.
”Aku jadi penasaran ingin lihat seperti apa orangnya.”
”Kapan-kapan ya, pekerjaan kami cukup banyak sampai akhir bulan ini.”
Aruna ingin mendesak, tapi perempuan itu percaya bahwa istri yang baik selalu menuruti perkataan suami. Karena itu perempuan itu mengangguk. ”Ya sudah kalau begitu, aku siapkan kamu bekal ya? Kamu pasti enggak mau sarapan di rumah, sudah jam tujuh lewat.” Aruna mengerti sekali bagaimana karakter lelaki yang sudah dinikahinya selama sepuluh tahun terakhir.
***
Aditya mengangguk sebagai balasan atas salam yang karyawannya berikan, mereka sedang mengantre lift untuk ke unit masing-masing meski tentu saja sebagai eksekutif Aditya memiliki jalur akses sendiri. Lift khusus eksekutif terbuka, Aditya masuk dan sebelum pintu benar-benar tertutup seseorang berteriak meminta ditunggu.
“Oh, maaf Pak. Saya pakai lift selanjutnya aja.” Naura membungkuk sebagai tanda permintaan maaf karena sudah berani berteriak meminta agar pengguna lift menunggunya, perempuan itu tidak memiliki pilihan lain karena ia nyaris terlambat.
”Masuk.”
”Ya?” Naura jelas kebingungan.
”Masuk Naura, saya enggak mau terlambat lebih lama lagi.”
Naura mengangguk cepat, meski canggung ia akhirnya tetap melangkahkan kaki ke dalam lift. Hanya ada Naura dan Aditya di dalam lift dan begitu saja Naura merasakan wajahnya memanas. Rasanya Naura ingin kembali membuat pakaian kerja Aditya kembali berantakan seperti semalam.
”Oh liftnya bermasalah.”
Seruan bernada kecewa itu terdengar, lift karyawan yang memang letaknya berdekatan dengan lift eksekutif rupanya mengalami masalah serius hingga untuk beberapa saat tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
“Sebagian bisa ikut bergabung di lift ini,” ujar Aditya yang disambut dengan senang oleh karyawannya.
Naura menoleh, Aditya memang sudah dikenal sebagai atasan yang membumi. Perempuan itu sedikit bergeser, memberikan ruang agar teman-temannya bisa menaiki lift. Begitu lift bergerak naik, Naura baru menyadari keberadaan Aditya yang tepat berada di belakang punggungnya. Lift yang penuh membuat ia harus bergerak merapat sedikit ke belakang.
“Jangan banyak bergerak, Naura.” Aditya menggeram karena harum vanilla dari tubuh sintal di hadapannya benar-benar membuatnya hilang akal.
Naura tidak tahan untuk tidak menggoda, dengan lihai perempuan itu menggerakkan sedikit pinggulnya ke belakang. Geraman Aditya membuat Naura senang hingga perempuan itu semakin semangat menggesekkan bokongnya yang padat ke inti tubuh Aditya yang memang tepat berada di sela bokongnya.
“Saya hanya berusaha menjaga keseimbangan, Pak. Liftnya terlalu penuh.”
Aditya menggeram, lift yang ramai dan mata-mata yang mungkin saja melihat apa yang Naura lakukan kepadanya membuat adrenalinnya terpacu. ”Bergeraklah sedikit lebih halus,” bisik lelaki itu di telinga Naura yang memerah.
Aditya menarik pinggul Naura semakin merapat dan membiarkan perempuan itu bergerak secara perlahan tepat di pangkuannya dan begitu semua orang sudah keluar dari lift, Aditya mendorong tubuh Naura dengan kasar ke sudut yang sama sekali tidak terjangkau CCTV.
“Berlutut, Naura.” Aditya dengan tidak sabaran melepas resletingnya begitu sekretarisnya menuruti perintahnya, lelaki itu bahkan enggan memberikan jeda sebelum melesakkan miliknya yang sudah menegang ke dalam mulut sekretarisnya yang hangat.
Aditya membersihkan diri di toilet ruang kerjanya, sejak tadi lelaki dengan rahang tegas yang di kelilingi sedikit bulu-bulu halus itu sama sekali tidak bisa berhenti merutuki kebodohannya. Pertahanan dirinya benar-benar lemah jika sudah berhadapan dengan Naura.“Kamu seharusnya malu, Aditya! Kamu bukan lagi bocah bau kencur yang mudah penasaran dengan tubuh seorang perempuan!” geramnya sembari memukul westafel. Aditya tidak bisa menampik jika rasa antusiasnya kepada Naura bisa jadi karena kehidupan pernikahannya yang dingin. Aruna terlalu kaku, monoton dan membosankan beberapa tahun terakhir ini. “Ini yang terakhir, demi Tuhan dia adalah bawahanmu! Ini yang terakhir Aditya, enggak ada lagi lain kali.” Janjinya pada diri sendiri.“Bapak baik-baik saja?””Saya baik-baik saja,” jawab Aditya setengah terkejut karena tidak menyangka perempuan yang memenuhi isi kepalanya menunggu di luar pintu toilet.“Bapak yakin? Apa saya harus menghubungi Margaya Corp untuk menunda meetingnya?”Aditya b
Satu bulan adalah waktu yang dibutuhkan Aditya untuk mengenal karakter Naura yang manja, sekretarisnya itu selalu saja memiliki hal untuk dilakukan atau bahkan dibeli. Tidak jarang juga permintaan Naura sama sekali tidak masuk akal.“Ayolah, ini yang terakhir. Janji.”Aditya membuka lembar ke dua dari laporan yang ia bawa ke tempat tinggal Naura. Alih-alih membantunya memeriksa laporan, Naura justru merengek ingin berlibur ke Negeri Singa akhir pekan nanti.”Aku penasaran banget pengen pegang air mancurnya, mau ya?” Naura semakin merengek, ia bahkan sudah menyingkirkan laporan yang masih Aditya baca. Perempuan itu dengan berani duduk di pangkuan atasannya yang sudah beristri. ”Mau ya, sayang. Please ...””Kita baru saja berlibur ke Raja Ampat akhir pekan kemarin.” Aditya mengingatkan kekasihnya. ”Aruna bisa curiga kalau akhir pekan ini aku bilang harus ke luar kota lagi.”“Mbak Aruna pasti punya acara sendiri akhir pekan nanti, teman-temannya kan banyak.”Aditya menggeleng. ”Aruna sel
“Run, kamu melamun.” Melanie, mendekati Aruna dengan segelas tropical bamboo ditangannya. “Mikirin apa sih?”Aruna sejenak meragu, haruskah ia menceritakan keresahannya kepada Melanie. ”Enggak ada, aku enggak mikirin apa-apa.””Kamu bisa ikut liburan kali ini, Aditya pasti lagi enggak di rumah ya?” Soraya, bergabung bersama teman-temannya setelah puas berbagi ciuman panas dengan salah satu pengunjung bar.Aruna, Melanie dan Soraya memutuskan untuk mampir ke beach club setelah puas menikmati spa party sore tadi. Harusnya mereka masih menari, menikmati hidup setelah beberapa bulan ditekan oleh urusan rumah tangga yang membosankan. Tapi wajah Aruna yang sendu benar-benar tidak bisa diabaikan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati liburan mereka.”Aditya belakangan ini jarang di rumah ya, Run?” Soraya kembali bertanya.“Iya, kantor lagi sibuk-sibuknya. Enggak cuma sering keluar kota, Mas Ditya juga jadi sering lembur.”“Beneran lembur? Ukh-”Melanie menyikut pinggang Soraya gemas, per
Naura memastikan penampilannya sempurna, ia baru saja membeli parfum baru dan ia harap parfum barunya benar-benar mampu memikat Aditya sang atasan yang masih sibuk dengan tumpukan berkas di ruangannya. Misinya malam ini cukup berisiko, jika ia gagal maka ia harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya mata pencahariannya di Ibu Kota. Tapi jika berhasil, sudah dipastinya Naura akan hidup senang selama beberapa waktu ke depan.“Satu pulasan terakhir dan sempurna.” Naura berdecak memperhatikan penampilannya sendiri, dua kancing kemejanya terlepas dan menunjukkan betapa indah buah dadanya yang ranum dan kencang. Rambut hitamnya ia buat mengikal dengan alat pengeriting milik tetangga kosnya dan terakhir lipstick merah yang ia dapat ketika menghadiri event beauty bazar bersama teman kantornya. Lipstick merah itu mengkilat membuat bibir Naura yang memang sudah ranum menjadi lebih terlihat segar dan menggoda.Setelah puas mengamati penampilannya sendiri, Naura kembali ke ruangannya. S