Aditya membersihkan diri di toilet ruang kerjanya, sejak tadi lelaki dengan rahang tegas yang di kelilingi sedikit bulu-bulu halus itu sama sekali tidak bisa berhenti merutuki kebodohannya. Pertahanan dirinya benar-benar lemah jika sudah berhadapan dengan Naura.
“Kamu seharusnya malu, Aditya! Kamu bukan lagi bocah bau kencur yang mudah penasaran dengan tubuh seorang perempuan!” geramnya sembari memukul westafel. Aditya tidak bisa menampik jika rasa antusiasnya kepada Naura bisa jadi karena kehidupan pernikahannya yang dingin. Aruna terlalu kaku, monoton dan membosankan beberapa tahun terakhir ini. “Ini yang terakhir, demi Tuhan dia adalah bawahanmu! Ini yang terakhir Aditya, enggak ada lagi lain kali.” Janjinya pada diri sendiri.
“Bapak baik-baik saja?”
”Saya baik-baik saja,” jawab Aditya setengah terkejut karena tidak menyangka perempuan yang memenuhi isi kepalanya menunggu di luar pintu toilet.
“Bapak yakin? Apa saya harus menghubungi Margaya Corp untuk menunda meetingnya?”
Aditya bergegas merapikan diri sebelum Naura memiliki pikiran untuk mendobrak pintu toilet ruang kerjanya. ”Saya baik-baik saja, Naura. Siapkan saja berkas untuk meetingnya.”
”Emm, baiklah kalau begitu. Saya permisi, Pak.”
Aditya menunggu beberapa saat, setelah yakin bahwa Naura tidak lagi berada di dekatnya lelaki itu dengan kasar melempar kotak tisu ke dinding toilet yang di lapisi marmer. ”Sialan! Bagaimana bisa perempuan itu bisa bersikap seolah tidak terjadi apa pun di antara kami.” Napas Aditya memburu, tangannya terkepal seiring dengan harga dirinya yang terluka karena sikap tak acuh Naura barusan.
***
“Laporan yang saya minta sudah siap?”
Naura yang sedang mendengarkan program promosi dari Ghandi, manager marketing spontan memberikan sikap hormat. Begitu juga Ghandi yang entah kenapa tiba-tiba merasa Aditya tidak senang dengan kehadirannya.
“Berkas untuk meeting sudah siap, Pak. Perwakilan dari Margaya Corp akan siap dalam lima menit.” Naura menjelaskan
”Bukan kamu,” Aditya mengalihkan tatapan kepada Ghandi, lelaki cerdas yang berhasil menduduki posisi managerial di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun. ”Laporan yang saya minta sudah selesai?”
”Oh, sudah Pak. Saya baru saja menyerahkan laporannya ke Naura.”
Aditya menerima laporan yang langsung disodorkan Naura, lelaki itu melihat isinya sekilas lalu mendengus tidak senang. ”Karena laporan kamu sudah selesai, kamu jadi merasa memiliki waktu untuk bermalas-malasan, begitu?”
Ghandi melirik Naura yang sama kebingungannya dalam menghadapi kemarahan Aditya yang tiba-tiba. ”Ka- Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Ada briefing konten yang harus saya periksa.”
”Revisi laporannya. Saya enggak mau menerima laporan sampah seperti ini lagi, mengerti?” Aditya melemparkan laporan setebal lima puluh halaman milih Ghandi.
”Dimengerti, Pak. Saya permisi.” Meski kebingungan, Ghandi tetap membawa laporannya dan bergegas meninggalkan Aditya dan Naura.
Naura mengikuti Aditya ke ruang meeting yang memang masih berada satu lantai dengan ruang kerja lelaki itu. Naura memastikan seluruh dokumen siap dan tidak ada masalah dengan jaringan internet mau pun perangkat yang akan digunakan untuk meeting nanti.
”Saya sudah lihat sekilas laporan milik Ghandi, seharusnya laporan itu sudah bisa di tanda tangani.”
Aditya menaikkan alis, matanya menap Naura yang masih sibuk dengan kegiatannya. ”Kamu mau bilang kalau saya atasan yang suka mencari-cari kesalahan bawahan?”
”Bukan seperti itu,” Naura menghela napas. ”Setidaknya, Bapak harus memberi tahu Ghandi bagian mana dari laporannya yang harus direvisi.”
”Saya akan memberitahunya nanti,” sahut Aditya dengan santai. ”Kamu baik-baik saja?” tanya lelaki itu penasaran. Naura terlihat terlalu santai untuk ukuran seseorang yang baru saja melewatkan malam panas bersama atasannya.
”Saya baik-baik sa-”
”Kamu tahu maksud pertanyaan saya, Naura.” Aditya menyela, bertele-tele bukanlah gaya bicaranya. ”Saya yakin sempat mengotori pakaian kamu di lift tadi.”
Naura berdehem salah tingkah, kali ini Aditya bisa melihat semburat merah di pipi mulus sekretarisnya. ”Sa- saya memang selalu membawa pakaian ganti untuk berjaga-jaga.” Ruang meeting tiba-tiba terasa panas, namun sikap Naura yang salah tingkah membuat Aditya terhibur.
”Malam itu kali pertamamu, benarkan?” bisik Aditya nyaris tidak dapat terdengar. ”Saya menyakiti kamu, Ra?”
Naura menggeleng, awalnya ia memang sempat merasa tidak nyaman. Tapi kelembutan Aditya berhasil membuatnya merasakan jenis surga yang sebelumnya hanya bisa ia dengar dari tetangga kosnya.
”Kenapa kamu melakukannya?” tanya Aditya dengan suara mengambang. ”Kenapa kamu membiarkan saya melakukan hal itu kepada kamu, Naura?”
Kali ini Naura memberanikan diri untuk menatap Aditya, ini adalah kesempatan emas untuk mendapatkan simpati dari Aditya. ”Karena saya mencintai Bapak. Sejak pertama kali saya melihat Bapak, saya yakin kalau hanya Bapak yang bisa membuat saya merasakan debaran aneh hingga membuat pipi saya terasa panas.”
Naura memberikan jawaban yang sama sekali tidak Aditya sangka, lelaki itu bahkan harus membasahi tenggorokannya dengan segelas penuh air putih karena tiba-tiba saja merasa gugup. “Saya lelaki beristri, Naura.”
“Saya tahu dan saya sama sekali tidak keberatan.” Perempuan itu memberikan senyum simpul yang berhasil menggelitik hati atasannya. ”Paling enggak saya sudah menyampaikan perasaan saya ke Bapak, walau hanya semalam, saya juga sudah pernah menerima kasih sayang dari Bapak. Buat saya itu saja sudah cukup, saya enggak akan meminta lebih dari ini.”
Aditya terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi ia memahami betul posisinya sebagai lelaki beristri, tapi di sisi lain ia juga sedikit tergoda dengan kenakalan-kenakalan yang mungkin saja bisa ia lakukan bersama Naura. Sekretarisnya itu bagaikan oase yang memberi angin segar pada kehidupan Aditya yang mulai monoton.
“Saya lelaki beristri, Naura.” ucap Aditya lirih.
“Saya tahu, Bapak. Jangan khawatir, saya enggak akan menuntut apa pun.”
Aditya terdiam cukup lama, ”Tapi kalau kamu tidak keberatan ...” Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. ”Saya rasa kita bisa mencobanya.”
Naura spontan membulatkan mata, tidak menyangka jika Aditya sendiri yang akan menawarkan hubungan tanpa perlu ia harus susah payah untuk memohon. ”Mak- maksud Bapak?” Naura tentu saja tidak boleh terlalu menunjukkan rasa antusiasnya, ia harus berperan sebagai gadis polos sebaik mungkin.
”Ekhm. Selama kamu tidak menuntut hubungan yang permanen, saya rasa kita bisa mencobanya. Kamu tahu risikonya kan? Enggak ada jaminan kalau hubungan ini akan berakhir baik, saya enggak mungkin meninggalkan Aruna.” Aditya mengetuk jari ke meja dengan resah, persetan dengan norma karena ia benar-benar menginginkan sekretarisnya. Ia tidak suka membayangkan ada orang lain yang menjamah tubuh Naura, terlebih saingannya adalah bawahannya sendiri, Ghandi. ”Kalau kamu mau, saya bisa mengatur segalanya untuk kita.”
Naura pura-pura berpikir, ketika Aditya terlihat semakin resah karena menunggu jawabannya barulah perempuan itu mengangguk. ”Saya mau, Pak. Terima kasih karena sudah memberikan kesempatan untuk perasaan saya.”
Satu bulan adalah waktu yang dibutuhkan Aditya untuk mengenal karakter Naura yang manja, sekretarisnya itu selalu saja memiliki hal untuk dilakukan atau bahkan dibeli. Tidak jarang juga permintaan Naura sama sekali tidak masuk akal.“Ayolah, ini yang terakhir. Janji.”Aditya membuka lembar ke dua dari laporan yang ia bawa ke tempat tinggal Naura. Alih-alih membantunya memeriksa laporan, Naura justru merengek ingin berlibur ke Negeri Singa akhir pekan nanti.”Aku penasaran banget pengen pegang air mancurnya, mau ya?” Naura semakin merengek, ia bahkan sudah menyingkirkan laporan yang masih Aditya baca. Perempuan itu dengan berani duduk di pangkuan atasannya yang sudah beristri. ”Mau ya, sayang. Please ...””Kita baru saja berlibur ke Raja Ampat akhir pekan kemarin.” Aditya mengingatkan kekasihnya. ”Aruna bisa curiga kalau akhir pekan ini aku bilang harus ke luar kota lagi.”“Mbak Aruna pasti punya acara sendiri akhir pekan nanti, teman-temannya kan banyak.”Aditya menggeleng. ”Aruna sel
“Run, kamu melamun.” Melanie, mendekati Aruna dengan segelas tropical bamboo ditangannya. “Mikirin apa sih?”Aruna sejenak meragu, haruskah ia menceritakan keresahannya kepada Melanie. ”Enggak ada, aku enggak mikirin apa-apa.””Kamu bisa ikut liburan kali ini, Aditya pasti lagi enggak di rumah ya?” Soraya, bergabung bersama teman-temannya setelah puas berbagi ciuman panas dengan salah satu pengunjung bar.Aruna, Melanie dan Soraya memutuskan untuk mampir ke beach club setelah puas menikmati spa party sore tadi. Harusnya mereka masih menari, menikmati hidup setelah beberapa bulan ditekan oleh urusan rumah tangga yang membosankan. Tapi wajah Aruna yang sendu benar-benar tidak bisa diabaikan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati liburan mereka.”Aditya belakangan ini jarang di rumah ya, Run?” Soraya kembali bertanya.“Iya, kantor lagi sibuk-sibuknya. Enggak cuma sering keluar kota, Mas Ditya juga jadi sering lembur.”“Beneran lembur? Ukh-”Melanie menyikut pinggang Soraya gemas, per
Naura memastikan penampilannya sempurna, ia baru saja membeli parfum baru dan ia harap parfum barunya benar-benar mampu memikat Aditya sang atasan yang masih sibuk dengan tumpukan berkas di ruangannya. Misinya malam ini cukup berisiko, jika ia gagal maka ia harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya mata pencahariannya di Ibu Kota. Tapi jika berhasil, sudah dipastinya Naura akan hidup senang selama beberapa waktu ke depan.“Satu pulasan terakhir dan sempurna.” Naura berdecak memperhatikan penampilannya sendiri, dua kancing kemejanya terlepas dan menunjukkan betapa indah buah dadanya yang ranum dan kencang. Rambut hitamnya ia buat mengikal dengan alat pengeriting milik tetangga kosnya dan terakhir lipstick merah yang ia dapat ketika menghadiri event beauty bazar bersama teman kantornya. Lipstick merah itu mengkilat membuat bibir Naura yang memang sudah ranum menjadi lebih terlihat segar dan menggoda.Setelah puas mengamati penampilannya sendiri, Naura kembali ke ruangannya. S
”La- lagi,” bisik Naura setengah sadar. Perempuan itu merintih sembari sesekali menggigiti bibirnya yang bengkak karena ulah Aditya. ”Lebih cepat, Pak. Le- lebih cepat ..” Seolah kuda dalam pacuan, Aditya menuruti keinginan sekretarisnya dan bergerak lebih cepat. “Mas, aku masuk ya?” tanya Aruna dari balik pintuAditya menoleh, Istrinya sudah berdiri di depan pembatas antara kamar mandi dan kamarnya. Perempuan itu mendekat, melepas jubah tidurnya yang tipis dengan gerakan menggoda sedangkan Aditya menunggu di tempatnya dengan tatapan datar.“Aku jadi pengen ikut mandi juga,” bisik Aruna begitu tubuhnya bergelayut di pundak suaminya, “Enggak apa-apa kan?”Aditya mengangguk, ”Mandi lah, aku sudah selesai.” Aditya menarik handuk, mengerikan tubuh dengan cepat. “Jangan terlalu lama, kamu bisa masuk angin nanti.”“… Iya.” Mati-matian Aruna berusaha mempertahankan harga dirinya yang merasa tertolak oleh sikap suaminya.Aditya sibuk merapikan bathrobe yang membungkus tubuh setengah basahny