Naura memastikan penampilannya sempurna, ia baru saja membeli parfum baru dan ia harap parfum barunya benar-benar mampu memikat Aditya sang atasan yang masih sibuk dengan tumpukan berkas di ruangannya. Misinya malam ini cukup berisiko, jika ia gagal maka ia harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya mata pencahariannya di Ibu Kota. Tapi jika berhasil, sudah dipastinya Naura akan hidup senang selama beberapa waktu ke depan.
“Satu pulasan terakhir dan sempurna.” Naura berdecak memperhatikan penampilannya sendiri, dua kancing kemejanya terlepas dan menunjukkan betapa indah buah dadanya yang ranum dan kencang. Rambut hitamnya ia buat mengikal dengan alat pengeriting milik tetangga kosnya dan terakhir lipstick merah yang ia dapat ketika menghadiri event beauty bazar bersama teman kantornya. Lipstick merah itu mengkilat membuat bibir Naura yang memang sudah ranum menjadi lebih terlihat segar dan menggoda.
Setelah puas mengamati penampilannya sendiri, Naura kembali ke ruangannya. Sengaja berpura-pura tidak menyadari bahwa Aditya memperhatikannya . ”Bapak butuh sesuatu?”
”Oh, ya. Saya butuh data laporan tim marketing tahun lalu. Bisa kamu carikan?” Aditya tiba-tiba merasa haus, mati-matian ia berusaha untuk tidak melirik belahan dada Naura yang membuat jiwa lelakinya penasaran. Aditya bukan lagi bocah bau kencur, ia sudah berusia tiga puluh tujuh tahun dan sudah menikah. Belahan dada perempuan seharusnya tidak lagi mengganggunya, tapi ”Shit!” Aditya mengumpat karena Naura begitu saja merunduk di mejanya, harum vanila yang manis membuat pikiran lelaki itu menjadi berantakan.
”Bapak enggak apa-apa?” tanya Naura polos. ”Perlu saya panggilkan tim medis?”
Aditya menggeleng, ”Saya baik-baik saja, taruh saja laporannya di meja dan kamu bisa pulang.”
Naura mengangguk ragu, ia kesal karena Aditya ternyata masih menahan diri. ”Kalau begitu saya permisi, Pak.” Naura membungkuk, memberi hormat kemudian berbalik. Sialnya hak sepatu yang ia beli seharga tujuh puluh ribu rupiah di toko online bermasalah. Tubuh sintal Naura kehilangan keseimbangan dan begitu saja jatuh menimpa Aditya.
“Astaga, kamu enggak apa-apa?” tanya Aditya setengah terkejut
Naura memperhatikan atasannya yang masih terlihat tampan di usia menjelang empat puluh, merasa ini adalah satu-satunya kesempatan Naura memutuskan untuk bertindak nekat dengan memberanikan diri meraba dada bidang Aditya yang masih terbungkus kemeja satin yang lelaki itu kenakan.
”Naura!” gertak Aditya, tapi lelaki itu sama sekali tidak berusaha menepis tangan Naura yang semakin berani memberikan sentuhan menggoda. Jemari lentik milik perempuan itu bergerak dengan pasti, meraba dada hingga batas perut Aditya dengan gerakan halus.
”Saya penasaran,” Bisik Naura serak, ”Gimana reaksi Bapak kalau saya melakukan ini.”
Aditya setengah menggeram, matanya terpejam menikmati sentuhan halus Naura di inti tubuhnya yang semakin mengeras.
”Wajah Bapak merah.” Naura kesenangan, perempuan itu semakin berani dengan mendekatkan wajah. ia mengecupi rahang atasannya tanpa ragu apalagi takut.
”Sialan!” Tidak lagi dapat menahan diri, Aditya meraih pinggang sekretarisnya kemudian menyambar bibir Naura dengan kasar. Di sesapnya bibir ranum yang terasa manis di lidahnya yang kasar, Aditya juga dengan tergesa menurunkan resleting celana kerjanya dan membimbing tangan Naura untuk membelai lebih dalam, lebih lembut dan lebih cepat.
“Bapak!” Naura panik karena tubuhnya tiba-tiba saja didudukkan di atas meja sedangkan Aditya seperti kesetanan melepaskan kancing kemejanya. ”Pelan-pelan, kalau sampai sobek saya enggak akan bisa pulang. Bapak!” Naura berhenti melakukan protes karena lidah atasannya sudah lebih dulu bekerja, menyesap, mengulum dan sesekali memukul puncak payudaranya dengan penuh semangat.
Naura tidak lagi peduli dengan pakaiannya yang sudah tidak lagi berbentuk, perempuan itu juga sudah tidak lagi peduli pada tumpukan laporan yang berantakan di lantai. Naura juga tidak ingin memikirkan waktu yang ia butuhkan untuk membereskan semua kekacauan ini. Ia hanya ingin Aditya, memuaskannya yang sudah pasrah membuka ke dua kakinya selebar mungkin hingga lelaki itu bisa bebas bergerak bersamanya.
Naura mendesah, merintih dan memohon di bawah kuasa atasannya, ia sudah lama mendengar dari tetangga kosannya bahwa sex adalah kegiatan yang menyenangkan. Awalnya Naura tidak percaya tapi setelah merasakannya sendiri ia jadi menyesal karena tidak melakukan hal ini sejak lama.
”Sebut namaku dengan benar,” bisik Aditya dengan napas terengah. “Panggil namaku dengan benar, Naura!”
“A- Aditya .. Aditya ..” Naura mengulangi perintah atasannya berkali-kali, hingga akhirnya tubuhnya bergetar dengan penuh kepuasan di dalam pelukkan Aditya.
**
”Baru pulang, Mas?” tanya Aruna, istri Aditya yang memang belum tertidur lelap.
Aditya terkejut karena lampu kamar tiba-tiba menyala, padahal ia sudah berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. ”Banyak pekerjaan di kantor.” Aditya melirik jam tangannya, masih pukul tiga dini hari. ”Kamu tidur lagi aja, aku mau mandi dulu sebentar.”
”Tumben.” Kantuk Aruna sudah hilang, Perempuan itu memilih mendekat dan membantu suaminya membuka kancing lengan kemeja. ”Biasanya kamu paling males mandi malam, kamu kan enggak kuat dingin.”
Aditya tidak dapat menjawab pertanyaan istrinya, lelaki itu tidak mungkin memberi tahu Aruna bahwa ia baru saja meniduri sekretarisnya. Aditya bahkan masih bisa merasakan betapa kencang dan halusnya kulit perempuan yang menggeliat di bawah tubuhnya, meminta dipuaskan.
”Mas?” panggil Aruna karena suaminya terlihat tidak fokus.
”Hari ini aku banyak berkeringat, enggak apa-apa. Kamu tidur lagi aja.” Aditya menyambar handuk lalu begitu saja membiarkan air shower mendinginkan kepalanya. Matanya terpejam mengingat gairah yang ia kira tidak lagi bisa ia rasakan, jiwa lelakinya seketika terpacu untuk mengulang hal yang sama. “Naura …” desisnya penuh damba, ia bahkan seolah masih bisa mendengar rintihan Naura yang memohon untuk disentuh dan dimanja.
”La- lagi,” bisik Naura setengah sadar. Perempuan itu merintih sembari sesekali menggigiti bibirnya yang bengkak karena ulah Aditya. ”Lebih cepat, Pak. Le- lebih cepat ..” Seolah kuda dalam pacuan, Aditya menuruti keinginan sekretarisnya dan bergerak lebih cepat. “Mas, aku masuk ya?” tanya Aruna dari balik pintuAditya menoleh, Istrinya sudah berdiri di depan pembatas antara kamar mandi dan kamarnya. Perempuan itu mendekat, melepas jubah tidurnya yang tipis dengan gerakan menggoda sedangkan Aditya menunggu di tempatnya dengan tatapan datar.“Aku jadi pengen ikut mandi juga,” bisik Aruna begitu tubuhnya bergelayut di pundak suaminya, “Enggak apa-apa kan?”Aditya mengangguk, ”Mandi lah, aku sudah selesai.” Aditya menarik handuk, mengerikan tubuh dengan cepat. “Jangan terlalu lama, kamu bisa masuk angin nanti.”“… Iya.” Mati-matian Aruna berusaha mempertahankan harga dirinya yang merasa tertolak oleh sikap suaminya.Aditya sibuk merapikan bathrobe yang membungkus tubuh setengah basahny
Aditya membersihkan diri di toilet ruang kerjanya, sejak tadi lelaki dengan rahang tegas yang di kelilingi sedikit bulu-bulu halus itu sama sekali tidak bisa berhenti merutuki kebodohannya. Pertahanan dirinya benar-benar lemah jika sudah berhadapan dengan Naura.“Kamu seharusnya malu, Aditya! Kamu bukan lagi bocah bau kencur yang mudah penasaran dengan tubuh seorang perempuan!” geramnya sembari memukul westafel. Aditya tidak bisa menampik jika rasa antusiasnya kepada Naura bisa jadi karena kehidupan pernikahannya yang dingin. Aruna terlalu kaku, monoton dan membosankan beberapa tahun terakhir ini. “Ini yang terakhir, demi Tuhan dia adalah bawahanmu! Ini yang terakhir Aditya, enggak ada lagi lain kali.” Janjinya pada diri sendiri.“Bapak baik-baik saja?””Saya baik-baik saja,” jawab Aditya setengah terkejut karena tidak menyangka perempuan yang memenuhi isi kepalanya menunggu di luar pintu toilet.“Bapak yakin? Apa saya harus menghubungi Margaya Corp untuk menunda meetingnya?”Aditya b
Satu bulan adalah waktu yang dibutuhkan Aditya untuk mengenal karakter Naura yang manja, sekretarisnya itu selalu saja memiliki hal untuk dilakukan atau bahkan dibeli. Tidak jarang juga permintaan Naura sama sekali tidak masuk akal.“Ayolah, ini yang terakhir. Janji.”Aditya membuka lembar ke dua dari laporan yang ia bawa ke tempat tinggal Naura. Alih-alih membantunya memeriksa laporan, Naura justru merengek ingin berlibur ke Negeri Singa akhir pekan nanti.”Aku penasaran banget pengen pegang air mancurnya, mau ya?” Naura semakin merengek, ia bahkan sudah menyingkirkan laporan yang masih Aditya baca. Perempuan itu dengan berani duduk di pangkuan atasannya yang sudah beristri. ”Mau ya, sayang. Please ...””Kita baru saja berlibur ke Raja Ampat akhir pekan kemarin.” Aditya mengingatkan kekasihnya. ”Aruna bisa curiga kalau akhir pekan ini aku bilang harus ke luar kota lagi.”“Mbak Aruna pasti punya acara sendiri akhir pekan nanti, teman-temannya kan banyak.”Aditya menggeleng. ”Aruna sel
“Run, kamu melamun.” Melanie, mendekati Aruna dengan segelas tropical bamboo ditangannya. “Mikirin apa sih?”Aruna sejenak meragu, haruskah ia menceritakan keresahannya kepada Melanie. ”Enggak ada, aku enggak mikirin apa-apa.””Kamu bisa ikut liburan kali ini, Aditya pasti lagi enggak di rumah ya?” Soraya, bergabung bersama teman-temannya setelah puas berbagi ciuman panas dengan salah satu pengunjung bar.Aruna, Melanie dan Soraya memutuskan untuk mampir ke beach club setelah puas menikmati spa party sore tadi. Harusnya mereka masih menari, menikmati hidup setelah beberapa bulan ditekan oleh urusan rumah tangga yang membosankan. Tapi wajah Aruna yang sendu benar-benar tidak bisa diabaikan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati liburan mereka.”Aditya belakangan ini jarang di rumah ya, Run?” Soraya kembali bertanya.“Iya, kantor lagi sibuk-sibuknya. Enggak cuma sering keluar kota, Mas Ditya juga jadi sering lembur.”“Beneran lembur? Ukh-”Melanie menyikut pinggang Soraya gemas, per