Satu bulan adalah waktu yang dibutuhkan Aditya untuk mengenal karakter Naura yang manja, sekretarisnya itu selalu saja memiliki hal untuk dilakukan atau bahkan dibeli. Tidak jarang juga permintaan Naura sama sekali tidak masuk akal.
“Ayolah, ini yang terakhir. Janji.”
Aditya membuka lembar ke dua dari laporan yang ia bawa ke tempat tinggal Naura. Alih-alih membantunya memeriksa laporan, Naura justru merengek ingin berlibur ke Negeri Singa akhir pekan nanti.
”Aku penasaran banget pengen pegang air mancurnya, mau ya?” Naura semakin merengek, ia bahkan sudah menyingkirkan laporan yang masih Aditya baca. Perempuan itu dengan berani duduk di pangkuan atasannya yang sudah beristri. ”Mau ya, sayang. Please ...”
”Kita baru saja berlibur ke Raja Ampat akhir pekan kemarin.” Aditya mengingatkan kekasihnya. ”Aruna bisa curiga kalau akhir pekan ini aku bilang harus ke luar kota lagi.”
“Mbak Aruna pasti punya acara sendiri akhir pekan nanti, teman-temannya kan banyak.”
Aditya menggeleng. ”Aruna selalu ada di rumah jika aku enggak bekerja, dia bukan jenis istri yang akan meninggalkan suaminya hanya sekedar untuk bersenang-senang.”
”Ck, perempuan membosankan.” Naura menggumam, perempuan itu bisa mati jika Aditya tahu ia baru saja memaki istrinya. ”Tapi bulan depan jadwal kita padet banget, enggak akan ada waktu untuk berlibur.” Naura merajuk, ia memainkan kancing kemeja Aditya sebagai gantinya. ”Seminggu ini kamu lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan menghabiskan waktu bersamaku loh, Mas.”
”Kita sudah melewati dua akhir pekan untuk berlibur bersama, Naura.” Aditya memang menyukai saat-saat bersama Naura, ada saja hal menantang yang sekretarisnya itu tawarkan kepadanya. Tapi statusnya sebagai lelaki beristri membuat Aditya harus berhati-hati, Aditya tidak ingin Aruna tahu bahwa ia bermain gila dengan perempuan lain. ”Aku enggak bisa beralasan la-, Sialan!”
Naura benar-benar keras kepala, ia selalu saja menggunakan tubuhnya agar Aditya mau menuruti keinginannya. Sialnya, Aditya belum menemukan cara untuk menolak sekretarisnya jika sudah begitu. Tubuh Naura benar-benar sudah menjadi candu untuk lelaki itu.
”Ini yang terakhir, Mas. Aku janji.” Naura mengatakan itu sembari menggerakan pinggulnya, di bawah sana ia bisa merasakan inti tubuh Aditya yang menegang. ”Aku pengen lihat air mancur.” Naura mulai mengecup bibir tipis Aditya, dikulum dan disesapnya bibir kemerahan atasannya.
”Naura.” geram Aditya karena sekretarisnya terus menghalangi tangannya untuk membelai ke dalam tubuh perempuan itu.
”Aku ingin berlibur.”
Aditya diam, sejujurnya ia bisa saja mengiyakan dengan mudah. Tapi lelaki itu sudah terlanjur hafal dengan kebiasaan sekretarisnya. Perempuan itu akan merengek lalu berusaha untuk menggodanya ketika ada keinginan yang harus Aditya penuhi. Hal itu membuat Aditya senang, jiwa lelakinya merasa terpuaskan karena ada perempuan yang mau memohon, merayu dan merengek hanya sekedar untuk mendapatkan sesuatu darinya.
”Baiklah, kita akan ke Singapura akhir pekan nanti.”
”Yeay!” Naura kegirangan. ”Kalau begitu aku mau belanja dulu, aku enggak punya baju-, Mas!” Ponsel Naura terlepas karena Aditya begitu saja membawa tubuh sintal perempuan itu ke atas ranjang. ”Sakit!” Protes Naura karena Aditya begitu saja melemparkannya ke atas ranjang, lelaki itu bahkan dengan kasar menyatukan ke dua tangan Naura di atas kepala dan mengikatnya dengan dasi.
”Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan jika ingin kita pergi berlibur akhir pekan ini.” Aditya melolosi pakaian Naura dengan kasar.
”Mas, pelan-pelan.” Tawa Naura terdengar begitu kepada Aditya merunduk dan mulai mengecupi pangkal pahanya. ”Geli, Mas. Jangan di situ.”
”Kali ini kamu harus memohon dengan serius, Naura.” bisik Aditya sebelum mulai melucuti pakaiannya sendiri.
***
“Akhir pekan nanti kamu ada pekerjaan ke luar kota lagi, Mas?”
Aditya yang sedang memotong daging di piringnya spontan menatap Aruna, istrinya itu tampak cantik dengan drees rumahan dan make up tipis. Aruna memang selalu tampil cantik, anggun dan berkelas. Sangat bertolak belakang dengan Naura yang cenderung sembrono dan bebas. Sekretarisnya itu seolah tidak memiliki peraturan dalam hidupnya.
“Mas?” Aruna memanggil karena Aditya terlihat melamun. ”Kamu mikirin apa, sih?”
Aditya berdehem. ” Enggak ada, tadi kamu nanya apa?”
”Akhir pekan nanti, kamu ada pekerjaan?”
“Kenapa memang?” tanya Aditya sembari menyesap wine yang menjadi teman makan malammnya.
”Aku mau izin untuk pergi sama temen-temenku, Mas. Kita mau spa party di Bali. Boleh?’
Aditya sebenarnya sudah memiliki rencana akhir pekan ini, ia bahkan sedang memikirkan cara untuk beralasan kepada Aruna jika istrinya itu bertanya kenapa ia harus keluar kota lagi. Tapi rasa penasarannya tergelitik, alih-alih menganggukan kepala dan memberikan izin. Lelaki itu justru balik bertanya kepada istrinya.
”Kalau aku enggak mengizinkan, gimana?” Aditya menatap wajah istrinya, lelaki itu terus memperhatikan raut wajah Aruna yang tetap tenang meski ia menolak memberikan izin bagi perempuan itu untuk bersenang-senang.
”Ya sudah kalau kamu enggak kasih izin, akhir pekan ini kita santai-santai aja di rumah ya.”
Sama sekali tidak ada rajukkan, Aruna bahkan kembali meneruskan makan malamnya sembari membicarakan kegiatan yang bisa mereka lakukan akhir pekan nanti. Lagi-lagi Aditya tidak dapat menahan diri untuk membandingkan Aruna dan Naura, ke dua perempuan itu memang memiliki kepribadian yang bertolak belakang.
Sedikit saja. Aditya berharap Aruna memiliki keberanian dan sikap keras kepala Naura yang selalu saja membuat Aditya merasa sakit kepala. Sakit kepala yang menyenangkan karena Aditya merasa berkomunikasi dengan manusia, bukannya robot yang seolah sudah diatur untuk selalu menuruti perintahnya.
”Akhir pekan ini aku harus pergi ke luar kota lagi, Run.”
”Lagi?” tanya Aruna tidak percaya, ia sudah merencanakan berbagai kegiatan bersama suaminya. ”Bukannya akhir pekan kemarin kamu juga keluar kota ya, Mas?”
”Ada masalah dengan hasil produksi, aku harus turun tangan langsung untuk memastikannya.” Aditya mengusap sudut bibirnya dengan serbet. ”Soal rencana ke Bali, aku tadi hanya bercanda. Kamu boleh pergi kalau memang mau pergi, nanti aku akan transfer uang tambahan ke rekening kamu sebelum kamu berangkat.”
Aruna seharusnya senang karena suaminya sedang sangat bermurah hati, tapi anehnya perempuan itu justru merasa was-was. “Belakangan ini kamu banyak dinas keluar kota, Mas. Perusahaan baik-baik aja? Aku perlu turun tangan untuk-”
”Perusahaan baik-baik saja, Aruna.” Aditya menyela. ”Kamu meragukan aku?”
“Bukan begitu, Mas. Aku cuma khawatir-“
“Aku enggak akan membuat perusahaan keluargamu hancur, Aruna.” Aditya mulai kesal. ”Aku yang mendampingi Almarhum Papa sewaktu beliau merintis perusahaan ini dari nol, bukan cuma untuk kamu. Perusahaan ini juga penting bagiku, jadi jangan pernah meragukanku.”
Aruna tahu ia sudah membuat kesalahan. ”Aku salah, Mas. Aku minta maaf ya. Aku cuma khawatir kamu kerepotan.”
”Aku baik-baik saja, perusahaan juga. Jangan khawatir.”
Aruna mengangguk. ”Aku enggak akan tanya-tanya lagi. Maaf ya, Mas.”
Aditya tidak menjawab, lelaki itu memilih meninggalkan meja makan meski makan malamnya belum sepenuhnya ia sentuh.
“Run, kamu melamun.” Melanie, mendekati Aruna dengan segelas tropical bamboo ditangannya. “Mikirin apa sih?”Aruna sejenak meragu, haruskah ia menceritakan keresahannya kepada Melanie. ”Enggak ada, aku enggak mikirin apa-apa.””Kamu bisa ikut liburan kali ini, Aditya pasti lagi enggak di rumah ya?” Soraya, bergabung bersama teman-temannya setelah puas berbagi ciuman panas dengan salah satu pengunjung bar.Aruna, Melanie dan Soraya memutuskan untuk mampir ke beach club setelah puas menikmati spa party sore tadi. Harusnya mereka masih menari, menikmati hidup setelah beberapa bulan ditekan oleh urusan rumah tangga yang membosankan. Tapi wajah Aruna yang sendu benar-benar tidak bisa diabaikan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati liburan mereka.”Aditya belakangan ini jarang di rumah ya, Run?” Soraya kembali bertanya.“Iya, kantor lagi sibuk-sibuknya. Enggak cuma sering keluar kota, Mas Ditya juga jadi sering lembur.”“Beneran lembur? Ukh-”Melanie menyikut pinggang Soraya gemas, per
Naura memastikan penampilannya sempurna, ia baru saja membeli parfum baru dan ia harap parfum barunya benar-benar mampu memikat Aditya sang atasan yang masih sibuk dengan tumpukan berkas di ruangannya. Misinya malam ini cukup berisiko, jika ia gagal maka ia harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya mata pencahariannya di Ibu Kota. Tapi jika berhasil, sudah dipastinya Naura akan hidup senang selama beberapa waktu ke depan.“Satu pulasan terakhir dan sempurna.” Naura berdecak memperhatikan penampilannya sendiri, dua kancing kemejanya terlepas dan menunjukkan betapa indah buah dadanya yang ranum dan kencang. Rambut hitamnya ia buat mengikal dengan alat pengeriting milik tetangga kosnya dan terakhir lipstick merah yang ia dapat ketika menghadiri event beauty bazar bersama teman kantornya. Lipstick merah itu mengkilat membuat bibir Naura yang memang sudah ranum menjadi lebih terlihat segar dan menggoda.Setelah puas mengamati penampilannya sendiri, Naura kembali ke ruangannya. S
”La- lagi,” bisik Naura setengah sadar. Perempuan itu merintih sembari sesekali menggigiti bibirnya yang bengkak karena ulah Aditya. ”Lebih cepat, Pak. Le- lebih cepat ..” Seolah kuda dalam pacuan, Aditya menuruti keinginan sekretarisnya dan bergerak lebih cepat. “Mas, aku masuk ya?” tanya Aruna dari balik pintuAditya menoleh, Istrinya sudah berdiri di depan pembatas antara kamar mandi dan kamarnya. Perempuan itu mendekat, melepas jubah tidurnya yang tipis dengan gerakan menggoda sedangkan Aditya menunggu di tempatnya dengan tatapan datar.“Aku jadi pengen ikut mandi juga,” bisik Aruna begitu tubuhnya bergelayut di pundak suaminya, “Enggak apa-apa kan?”Aditya mengangguk, ”Mandi lah, aku sudah selesai.” Aditya menarik handuk, mengerikan tubuh dengan cepat. “Jangan terlalu lama, kamu bisa masuk angin nanti.”“… Iya.” Mati-matian Aruna berusaha mempertahankan harga dirinya yang merasa tertolak oleh sikap suaminya.Aditya sibuk merapikan bathrobe yang membungkus tubuh setengah basahny
Aditya membersihkan diri di toilet ruang kerjanya, sejak tadi lelaki dengan rahang tegas yang di kelilingi sedikit bulu-bulu halus itu sama sekali tidak bisa berhenti merutuki kebodohannya. Pertahanan dirinya benar-benar lemah jika sudah berhadapan dengan Naura.“Kamu seharusnya malu, Aditya! Kamu bukan lagi bocah bau kencur yang mudah penasaran dengan tubuh seorang perempuan!” geramnya sembari memukul westafel. Aditya tidak bisa menampik jika rasa antusiasnya kepada Naura bisa jadi karena kehidupan pernikahannya yang dingin. Aruna terlalu kaku, monoton dan membosankan beberapa tahun terakhir ini. “Ini yang terakhir, demi Tuhan dia adalah bawahanmu! Ini yang terakhir Aditya, enggak ada lagi lain kali.” Janjinya pada diri sendiri.“Bapak baik-baik saja?””Saya baik-baik saja,” jawab Aditya setengah terkejut karena tidak menyangka perempuan yang memenuhi isi kepalanya menunggu di luar pintu toilet.“Bapak yakin? Apa saya harus menghubungi Margaya Corp untuk menunda meetingnya?”Aditya b