Perlahan, mata itu mulai membuka setelah sengatan sinar matahari pagi masuk melalui celah jendela dan mengenai kulitnya. Melenguh pelan, Aruna berusaha menggerakkan badannya yang terasa nyeri. Mata gadis itu tampak membengkak dan masih sedikit sakit akibat tangisannya semalam. Aruna bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di atas ranjang. Menoleh ke sekeliling, dia mendapati bahwa hanya ada dirinya di kamar itu. Para pelayan sepertinya belum datang. Aruna tiba-tiba teringat kejadian semalam. Saat kamarnya tiba-tiba dipenuhi dengan banyak ular yang melilit tubuhnya dengan sangat kuat. Mengedarkan pandangan, pagi ini Aruna tidak mendapati satu pun ular di kamarnya. Aruna mengerjap. Dia bertanya-tanya dalam hati. Apa mungkin Gielza sudah menarik sihirnya?Gadis itu lalu menghela napas pelan. Sama seperti biasanya, Gielza pasti tidak ingin ketahuan makanya dia langsung menarik sihirnya. Itu cukup bagus, karena Aruna jadi tidak perlu takut atau menderita karena lilitan ular. Aruna lalu
Aruna berkedip beberapa kali. Matanya memandang lekat pada manik hazel terang milik Arxen seolah tersihir karenanya. "Aku tidak boleh memberitahukannya pada keluargaku?""Hm." "Kenapa?" Arxen mengelus pelan tangan Aruna yang ada dalam genggamannya. "Ini yang terbaik untuk sekarang. Setidaknya, sampai kau bisa mengendalikan sihirmu sepenuhnya, aku harap kau bisa merahasiakannya dulu."Aruna mengangguk tanpa bantahan sedikit pun.Arxen benar. Aruna harus bisa mengendalikannya sebelum menunjukkan ke semua orang agar dia tidak dituduh dan dipukul lagi seperti hari ini. Karena keluarganya itu kejam. Mereka tidak percaya sekali pun Aruna berkata jujur. Yang mereka inginkan adalah bukti. Mereka tidak akan peduli jika Aruna tidak membawakan bukti ke depan mata mereka. Jadi, Aruna merasa kalau apa yang Arxen katakan itu benar. Lagi pula semua yang Arxen lakukan selama ini adalah untuk Aruna. Arxen selalu memikirkan Aruna, jadi kali ini pun Aruna yakin apa yang Arxen bilang adalah yang terba
Suara dentingan pedang yang beradu bergema di seluruh penjuru tempat itu. Dua orang yang saling melawan dengan pedang mereka masing-masing terlihat serius. Tubuh yang berkeringat dan lelah sama sekali tidak menjadi penghalang dalam latihan mereka. "Lancarkan serangan akhir terbaik yang kau miliki sekarang." Ucapan Arlemus langsung diangguki Arxen dengan serius. Pemuda itu memasang kuda-kuda terbaik dan menyiapkan pedangnya. Mata Arxen terlihat tajam saat dia berusaha fokus untuk melihat lawan. Memprediksi dan membayangkan dalam otaknya tentang bagaimana dia harus menyerang. Hanya saat dirasanya telah siap, Arxen maju dengan kecepatan tinggi sambil menghunuskan pedangnya. Tanpa ragu dia membuat gerakan menebas pada Arlemus yang tentu saja mudah untuk ditangkis oleh gurunya. "Seranganmu sudah banyak meningkat." Arlemus memberi pujian sambil menunjukkan senyum tipisnya pada Arxen yang tengah mengatur napasnya. "Kerja bagus. Kau telah me
Arxen berjalan-jalan menelusuri taman istana yang rimbun dengan pepohonan dan berbagai macam bunga serta hiasan lainnya. Dalam taman yang besar dan indah itu Arxen sengaja datang untuk menenangkan pikirannya setelah berbincang dengan Arlemus tadi. Ada satu ucapan Arlemus sebelum pria itu pergi yang masih terngiang-ngiang dalam benak Arxen, "kau lebih beruntung dari dua orang itu. Kau juga mendapatkan berkah dari dewa, jadi jalanmu pasti akan berhasil."Arxen benar-benar berharap kalau ucapan Arlemus itu akan terjadi. Arxen sangat ingin perjalanan waktunya membuahkan hasil yang baik. Yaitu keselamatan Aruna, juga Arxen yang bisa hidup bersama Aruna dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Arxen memang sudah menyerah dengan banyak hal. Dia tidak terlalu ambisius pada hal lain dan cenderung merelakannya jika itu tidak berhubungan dengan keselamatan Aruna. Berjalan semakin dalam ke taman istana yang sangat luas itu, Arxen menghentikan langkah saat mendengar suara beberapa orang yang tengah b
Dalam empat tahun Aruna dipaksa untuk melatih sihirnya, tak pernah sekali pun Aruna melaksanakannya dengan gembira. Selalu, Aruna menjalannya dengan terpaksa karena tidak ingin menerima 'hukuman' dari keluarganya. Aruna selalu tertekan setiap kali melakukannya. Namun kali ini berbeda. Sejak pagi tadi dia memulai latihan sihir yang biasanya sangat tidak disukainya, kali ini wajah Aruna dihiasi senyum yang mengembang indah disertai rona kemerahan di kedua pipinya. Aruna senang. Dia merasa bahagia karena pernyataan Arxen padanya. Arxen bilang, dia akan melindungi Aruna dan membahagiakannya. Arxen bilang, Aruna adalah segalanya. Jadi bukankah itu berarti Arxen tidak akan pernah meninggalkan Aruna? "Arxen menyukaiku." Aruna tertawa pelan setelah menggumamkan kata-kata itu. "Arxen sangat menyukaiku."Arxennya sangat menyukainya. Jadi tentu saja Aruna tidak ingin mengecewakan Arxen yang begitu disukainya. Aruna akan berlatih dengan giat, membuat sihirnya tumbuh menjadi hebat hingga Aruna
"Lagi-lagi Aruna! Selalu saja Aruna, Aruna, dan Aruna!" Gielza melempar setiap barang yang ada di dekatnya. Gielza frustrasi. Tidak peduli jika kamarnya hancur berantakan, dia hanya berusaha untuk menyalurkan rasa sesak di dadanya yang terasa menyebalkan. Para pelayan yang semula ada di kamar itu semuanya langsung keluar saat Genio memberi perintah dengan lambaian tangannya. Mereka cepat-cepat melangkah pergi karena takut menjadi sasaran amukan dari sang Nona."HANYA ARUNA SAJA YANG IBU PEDULIKAN!"Gielza berteriak kuat. Matanya memerah dan terbuka lebar--setengah melotot. Hatinya terasa pedih. Dia kesal dan juga marah. Kecewa karena lagi-lagi menganggap Yeslyhn bersikap tidak adil. Sejak kecil Gielza selalu marah saat ibunya hanya selalu menunjukkan kepeduliannya pada Aruna setelah gadis itu lahir. Hanya karena Aruna putri bungsunya yang memiliki badan lemah, tidak seperti Gielza dan Genio, Yeslyhn cenderung hanya memikirkan tentang Aruna. Aruna dibiarkan bersikap manja dan berma
"Selamat pagi, Tuan."Arxen langsung menyapa setelah tiba di depan Arlemus. Sedikit bingung karena Arlemus yang terdiam sambil melihat ke langit, Arxen memutuskan untuk bertanya karena sapaannya tidak dibalas. "Apa ada sesuatu di atas sana?" "Tidak." Kali ini Arlemus membalas ucapan Arxen. Meski mata obsidiannya masih memandang dengan intens ke atas sana. "Aku hanya memikirkan cara yang tepat untuk membuatmu bisa membangkitkan sihir itu sekarang." "Ya?" "Keluarkan sihirmu." Arlemus memberi perintah saat wajah Arxen terlihat diliputi kebingungan. Pria itu menoleh dan menatap Arxen dengan wajah serius. "Itu pasti sudah lebih kuat sekarang, jadi kau akan berhasil membangkitkannya." Arxen lagi-lagi kebingungan karena ucapan Arlemus yang selalu saja terdengar begitu misterius. Tidak hanya sekali duakali Arxen gagal untuk memahami maksud ucapan sang guru. Namun tetap saja Arxen menurut. Melakukan apa yang disuruh tanpa protes. Dia segera mengangkat kedua tangannya hingga sebatas perut.
"Dewa."Bibir Arxen tanpa sadar menggumamkannya. Dia ikut berlutut di dekat ibunya. Membuat Bellanca kembali mendapatkan akal sehatnya. "Mohon ampuni manusia yang bodoh ini, dewa." Bellanca bersujud di depan sosok itu. Sedikit gemetaran setelah mengalami sesuatu yang luar biasa dan tidak pernah dia sangka sebelumnya. "Saya sangat bodoh hingga tak bisa mengenali Anda padahal Anda telah berada sangat dekat dengan kami." "Itulah tujuanku. Karena tugasku adalah untuk membuat Arxen memperoleh kekuatan itu."Arxen menelan ludah saat mendengar perkataan itu. Meski terlihat ragu, dia memutuskan untuk tetap bertanya. "Apakah ... dewa Althopheus yang memerintahkannya pada Anda?"Sang guru menatap lekat pada Arxen untuk beberapa lama, namun dia memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, dia justru memperkenalkan diri. "Akulah Atlemos, pelayan dari sang dewa tertinggi, dewa agung yang berkuasa atas delapan alam. Aku adalah pedang dan tombak milik dia yang luar biasa." Suara it