Bellanca tersenyum dan kembali menyeruput tehnya dengan tenang. Seperti menunjukkan bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh putranya sama sekali tidak mengganggunya. Terbukti dari gelagatnya yang terlihat masih baik-baik saja. Mungkin, Bellanca sudah sejak lama mengantisipasi pertanyaan tentang hal tersebut. "Alasan Ibu menikah dengan ayahmu memang karena cinta." Bellanca terlihat santai saat menjawab. Menceritakan kisah lama yang sempat membuatnya terpuruk. "Ibu sangat mencintainya ... dulu. Tapi semua hal telah sangat berubah sekarang." Wajah wanita itu terlihat ceria. Bellanca meletakkan cangkir tehnya dan menatap pada sang putra yang berdiri diam. "Tidak ada lagi cinta atau pun rasa hormat yang tersisa untuknya." Tidak pernah sekali pun Bellanca melupakan kisah tragis miliknya. Saat masih muda dulu, Bellanca sering dipuji sebagai bunga mawar kekaisaran. Dia dihormati dan disanjung oleh semua orang. Pada dasarnya, Bellanca masuk pa
Senyum Bellanca sempat membeku setelah Arxen melontarkan pertanyaannya. Tapi wanita itu segera mengendalikan ekspresinya dan terlihat lebih santai. "Ternyata kau sudah mengetahuinya."Arxen hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. "Sebenarnya, Ibu memiliki sebuah kemampuan yang Ibu sembunyikan dari semua orang. Bahkan ayahmu dan keluarga Erphaus tidak mengetahuinya." Bellanca menjelaskan. "Kemampuan pengendali pikiran. Ibu menguasainya meski tidak secara sempurna." Mata Arxen membola saat mendengar jawaban dari sang Ibu. "Pengendali pikiran?"Arxen membeo tak percaya. Dia terkejut. Meski apa yang disampaikan Bellanca terdengar mustahil, tapi Arxen makin tak menyangka saat melihat raut wajah serius ibunya. Lagipula, Bellanca tidak mungkin berbohong padanya. "Ibu ... memiliki kemampuan pengendali pikiran?""Benar. Ibu sudah memilikinya bertahun-tahun lamanya."Kemampuan pengendali pikiran. Sebuah kemampuan yang disebut hampir hilang karena sangat jarang ada orang yang bisa menguasa
"Dengar, Arxen. Jika pria itu membuatmu kesal, kau bisa melawannya." Arxen melihat Bellanca yang duduk tepat di depannya. Di dalam kereta megah yang tengah berjalan menuju ke istana kaisar yang letaknya cukup jauh untuk berjalan kaki, wanita yang malam ini merias diri dengan sangat cantik dilengkapi dengan gaun dan permata indah itu memberi Arxen nasihat-nasihat yang sebenarnya tidak pantas keluar dari mulut seseorang yang berstatus sebagai permaisuri. Tapi, Bellanca benar-benar terlihat serius dengan semua ucapannya."Ah, tapi jangan memukulnya atau menyerangnya dengan sihir. Walau bagaimana pun, dia masih belum kita tendang dari takhta." Bellanca mewanti-wanti dengan senyum menawan di wajahnya. "Lawan saja dengan kata-kata yang menyakitkan. Jika hanya segitu, aku masih bisa melindungimu dengan statusku dan juga keluarga Erphaus."Arxen sudah tahu kalau Bellanca membenci kaisar. Arxen pun juga sangat membenci pria itu sampai ingin membunuhnya. Tapi seperti yang Bellanca bilang, kais
"Tolong tenanglah, Baginda." Peony menunjukkan senyum indahnya. Berusaha menenangkan Theron yang terlihat mulai luluh. "Jika Baginda tidak merasa nyaman, bagaimana kami bisa menikmati makan malam ini?" Theron menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Hatinya terasa lemah saat dia berhadapan dengan wanita yang sangat dia cintai itu. Pada akhirnya, Theron akan selalu mengabulkan keinginannya. "Baiklah, aku akan melakukannya karena dirimu." Theron balas tersenyum. "Terima kasih, Baginda." Peony perlahan melepaskan pegangannya saat Theron memerintahkan para pelayan untuk mulai menyiapkan makanannya. Dia sedikit melirik pada Bellanca yang duduk berhadapan dengannya. Dia kemudian memindahkan pandangannya pada Arxen yang kebetulan sedang menatapnya juga. Peony mengulas senyuman kecil yang tampak ramah untuk Arxen. Tapi bocah itu hanya menatapnya datar lalu mengalihkan pandangan melihat Bellanca. Tanpa sadar, Peony sedikit menu
Di malam yang sama, tepatnya dalam sebuah ruangan sempit tanpa lubang yang membuatnya jadi kesulitan bernapas, seorang gadis kecil duduk bersimpuh di dalamnya. Bibir pucat keringnya bergerak, menggumamkan kata-kata yang rancu. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh keringat dingin.Dia merasa tersiksa. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Dengan tidak adanya asupan makan serta tidur meski hanya semenit membuat penampilannya jadi lebih kurus hanya dalam beberapa hari dia dikurung di ruangan itu. Aruna kecil lagi-lagi mengerang saat merasakan nyeri. Air matanya sampai mengering saking seringnya ia menangis dalam hari-hari awal dia dikurung, dipaksa membangkitkan sihirnya entah bagaimana caranya? Mungkin, kalau tidak ada sihir dari Macario di ruangan itu, Aruna sudah mati. Gadis kecil itu berjengit kaget saat mendengar satu-satunya pintu besi berukuran kecil di ruangan itu terbuka. Pelan-pelan membuka matanya dengan sedikit harapan, Aruna justru menggigil ketakutan saat melihat ekspresi dingi
"Nona Muda, silakan makan kuenya."Aruna mengulurkan tangan dan mengambil satu buah kue dari piring yang disodorkan seorang pelayan kepadanya. Gadis itu memakannya dalam diam, menikmati rasa manis kue itu dengan kesunyian diantara ramainya perbincangan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan kedua kakaknya. Mereka berbincang dengan bahagia tapi tidak mengikutsertakan Aruna dalam perbincangan itu. Membuat Aruna justru berusaha keras agar keberadaannya terasa setipis mungkin. Dia bersikap seolah tidak tergabung di sana. Aruna masih merasakan trauma. Apa yang dialaminya beberapa waktu lalu masih sangat membekas dalam dirinya. Aruna sampai merasa tidak nyaman saat tadi dipanggil oleh pelayan ibunya, disuruh untuk menghadiri minum teh bersama keluarga mereka. Aruna hadir karena mengira kakeknya akan hadir juga. Tapi ternyata, di sini hanya ada mereka. Macario sama sekali tidak kelihatan. Membuat Aruna ingin segera cepat-cepat pergi dari sini. Terlebih, saat helaan napas Beroz dan liri
"Ibu! Ayah! Tolong aku!"Aruna menggedor pintu dengan panik. Dia ketakutan setengah mati sampai kakinya gemetar hebat. Lagi dan lagi, Aruna menangis histeris. Aruna memukul-mukul pintu dengan lebih kuat saat suara para tikus di kamarnya itu terdengar lebih ramai. Tak sekali dua kali Aruna berjengit karena tikus-tikus berjalan di kakinya, bahkan beberapa sempat mencoba memanjat tubuh Aruna. Aruna benar-benar tidak tahu tikus sebanyak ini berasal dari mana? Padahal sebelumnya kamarnya baik-baik saja. Kamar Aruna sangat bersih karena selalu dibersihkan oleh para pelayan setiap hari. Bahkan sebelum-sebelumnya, nyamuk pun tidak pernah terlihat berada di kamarnya.Lantas ... darimana semua tikus itu datang?"Kakak!" Aruna memanggil keras saat di luar kamar, dia mendengar suara tawa Genio dan Gielza. Kedua kakaknya masih berada di depan kamarnya, jadi Aruna merasa bisa meminta bantuan mereka. "Tolong aku, kakak! Pintunya tidak mau terbuka dan
Arxen keluar dari kediaman Evanthe dan kembali ke istana dengan terburu-buru. Setelah orang suruhan Bellanca datang mencarinya ke kediaman Evanthe saat Arxen sedang bersama Aruna, Arxen langsung beranjak setelah meminta maaf pada Aruna dan berjanji akan datang lagi menemuinya. Arxen sebenarnya tidak tega saat melihat wajah Aruna yang terlihat sedih. Tapi lagi-lagi, tujuan utama Arxen adalah untuk menyelamatkan Aruna. Dan informasi yang disuruh ibunya untuk disampaikan padanya adalah informasi yang sangat penting. Bellanca memberi tahu kalau pelatih yang Arxen ingin telah datang ke istana. Bellanca menyuruh Arxen untuk segera kembali dan bertemu dengan sosok yang akan melatihnya itu. Arxen langsung turun dari kereta setelah kendaraan itu berhenti sepenuhnya. Melihat pada para pelayan yang menyambutnya, Arxen bertanya tidak sabaran. "Di mana ibu?" "Yang Mulia Permaisuri sedang berada rumah kaca dengan seorang tamu, Yang Mulia Pangeran." Salah se