halo semua! sejauh ini, bagaimana menurut kalian perkembangan cerita ini? Apakah cerita ini cukup bagus dan membuat kalian tertarik? kalo iya, mohon dukungannya ya~! jangan lupa ramein~ - salam, Cyra Arluna.
"Ibu! Ayah! Tolong aku!"Aruna menggedor pintu dengan panik. Dia ketakutan setengah mati sampai kakinya gemetar hebat. Lagi dan lagi, Aruna menangis histeris. Aruna memukul-mukul pintu dengan lebih kuat saat suara para tikus di kamarnya itu terdengar lebih ramai. Tak sekali dua kali Aruna berjengit karena tikus-tikus berjalan di kakinya, bahkan beberapa sempat mencoba memanjat tubuh Aruna. Aruna benar-benar tidak tahu tikus sebanyak ini berasal dari mana? Padahal sebelumnya kamarnya baik-baik saja. Kamar Aruna sangat bersih karena selalu dibersihkan oleh para pelayan setiap hari. Bahkan sebelum-sebelumnya, nyamuk pun tidak pernah terlihat berada di kamarnya.Lantas ... darimana semua tikus itu datang?"Kakak!" Aruna memanggil keras saat di luar kamar, dia mendengar suara tawa Genio dan Gielza. Kedua kakaknya masih berada di depan kamarnya, jadi Aruna merasa bisa meminta bantuan mereka. "Tolong aku, kakak! Pintunya tidak mau terbuka dan
Arxen keluar dari kediaman Evanthe dan kembali ke istana dengan terburu-buru. Setelah orang suruhan Bellanca datang mencarinya ke kediaman Evanthe saat Arxen sedang bersama Aruna, Arxen langsung beranjak setelah meminta maaf pada Aruna dan berjanji akan datang lagi menemuinya. Arxen sebenarnya tidak tega saat melihat wajah Aruna yang terlihat sedih. Tapi lagi-lagi, tujuan utama Arxen adalah untuk menyelamatkan Aruna. Dan informasi yang disuruh ibunya untuk disampaikan padanya adalah informasi yang sangat penting. Bellanca memberi tahu kalau pelatih yang Arxen ingin telah datang ke istana. Bellanca menyuruh Arxen untuk segera kembali dan bertemu dengan sosok yang akan melatihnya itu. Arxen langsung turun dari kereta setelah kendaraan itu berhenti sepenuhnya. Melihat pada para pelayan yang menyambutnya, Arxen bertanya tidak sabaran. "Di mana ibu?" "Yang Mulia Permaisuri sedang berada rumah kaca dengan seorang tamu, Yang Mulia Pangeran." Salah se
Pagi itu, seperti biasanya keluarga Evanthe menikmati sarapan mereka bersama. Dengan Macario yang duduk di ujung meja, lalu kedua sampingnya diisi oleh anggota keluarga Evanthe yang lain. Sebagai anggota keluarga yang paling muda, Aruna duduk di kursi yang paling jauh dari Macario. Tetap tenang dan memakan makanannya dalam diam. Tidak seperti dulu saat Aruna masih sering merengek untuk duduk di dekat kakeknya atau di dekat ibunya. Di sebelah Aruna ada Gielza, dan di sebelahnya lagi ada Genio. Kedua anak itu seperti saling memberi kode dengan mata mereka. Lalu melihat pada kedua orang tua mereka juga Macario, memastikan kalau orang-orang itu tidak sedang melihat.Setelah memastikan semuanya aman, Gielza melirik lagi pada Aruna. Sudut bibirnya terangkat saat dia memegang bahu Aruna, membuat adiknya itu menoleh padanya. Sebelah tangan Gielza yang lain bergerak secepat kilat kemudian menggeleng saat Aruna melihatnya dengan tatapan bingung. Gielza lalu kembali menikmati supnya. Aruna ju
Satu minggu setelahnya, Arxen kembali berkunjung ke kediaman Evanthe untuk menepati janjinya pada Aruna. Seperti biasa, mereka menerima kunjungan Arxen dengan gembira. Terlebih, Macario yang saat itu juga mengajak Arxen untuk minum teh bersama. "Bagaimana kabar Baginda dan Permaisuri, Yang Mulia? Sudah lama saya tidak ke istana menemui Baginda dan Permaisuri." Macario membuka pembicaraan disela-sela waktu minum teh mereka. "Bisakah Anda menyampaikan salam saya kepada Baginda dan Permaisuri?""Kaisar dan Permaisuri sangat baik. Mereka hanya sedikit sibuk sekarang." Arxen menjawab formal. Meski dia sangat membenci Macario, dia tetap harus menunjukkan kesopanan karena posisi Arxen yang masih belum stabil. "Aku juga pasti akan menyampaikan salam dari Grand Duke.""Terima kasih, Yang Mulia." Macario menyesap tehnya. Matanya memandang Arxen yang sejak tadi terlihat sedikit tidak tenang. Melihat ke sekeliling seolah sedang mencari sesuatu. "Sungguh sebuah kehormatan bagi keluarga ini karena
Hari itu, Arxen pergi ke tempat latihan saat matahari sudah terbit sepenuhnya. Tidak seperti biasanya saat Arxen disuruh latihan subuh, kali ini Arlemus meminta latihannya dimulai saat udara telah hangat karena ada sesuatu yang harus pria itu kerjakan terlebih dahulu. Suasana istana pun sudah ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang melaksanakan tugas mereka masing-masing. Arxen berjalan sendiri menyusuri istana tanpa ditemani seorang ksatria atau pelayan. Memang tadi mereka akan menemani, tapi Arxen lagi-lagi menolak karena Bellanca sudah memerintahkan secara khusus agar tidak ada orang selain Arlemus dan Arxen yang memasuki tempat latihan itu. Orang-orang dilarang mendekat, bahkan Bellanca sendiri pun memutuskan untuk tidak akan masuk jika tidak dipanggil oleh sang utusan dewa. Arxen mempercepat langkahnya saat matanya telah melihat tempat latihannya. Arxen ingin buru-buru sampai, khawatir jika ternyata Arlemus sudah menunggunya. Namun hanya beberapa meter lagi sebelum Arxen m
Kala itu, matahari sudah berada pada puncak. Bersinar terik membuat kulit jadi tersengat panas yang dikeluarkannya. Produksi keringat yang dikeluarkan tubuh pun bertambah. Terlebih bagi mereka yang melaksanakan aktivitas di luar ruangan, panas ini terasa cukup mengganggu. "Cukup untuk sekarang." Arlemus memberi perintah setelah berhasil membuat pedang Arxen terlempar dan kalah di duel pedang dengannya. Pria itu melirik Arxen yang mengatur napasnya yang terengah-engah. Dia kembali melanjutkan ucapannya. "Kita akan melanjutkan latihan ini sore nanti." Arxen mengangguk setuju setelah napasnya mulai teratur. Meski seluruh tubuhnya kini terasa sangat sakit dan dia bahkan butuh kekuatan lebih untuk sekedar berdiri, tapi Arxen tetap mengikuti. Dia melihat dan memerhatikan Arlemus yang saat ini tengah mengumpulkan semua senjata yang mereka gunakan selama latihan. Arxen cukup heran dan takjub. Penampilan Arlemus masih terlihat segar dan bersih, berbeda dengan Arxen yang seluruh tubuhnya dit
Aruna lagi-lagi jatuh berlutut dan memuntahkan darah. Keningnya dipenuhi keringat dingin dan seluruh tubuhnya yang penuh dengan memar terasa kehabisan tenaga. Napas Aruna putus-putus seolah dia sangat kesulitan untuk menghirup oksigen. Lagi, Aruna kembali merasakan rasa sakit yang luar biasa karena tubuhnya belum terbiasa dengan racun yang hampir setiap hari dikonsumsinya itu. Terdengar suara helaan napas berat di sana. Tepat di samping Aruna, Yeslyhn yang duduk santai di sebuah sofa menatap datar pada putrinya sendiri. "Kenapa sesulit itu untuk tubuhmu bisa beradaptasi?" Yeslyhn terlihat jengah dengan sang putri bungsu. Menurutnya Aruna terlalu lamban, baik soal fisik maupun kemampuan sihirnya. Aruna tidak menunjukkan perubahan yang signifikan padahal Yeslyhn sudah berusaha keras selama beberapa hari ini agar Aruna bisa segera membangkitkan kekuatan sihirnya. "Kau sangat lemah karena selama ini hanya main-main saja. Memang, ini kesalahanku yang membiarkanmu berlaku sesuka hati." Y
"Siapa ... yang melakukannya padamu?"Aruna mengangkat wajah dengan sedikit terkejut saat Arxen bertanya padanya. Ragu-ragu, dia menjawab dengan suara pelan yang bergetar. "K-kak Gielza.""Ada apa, Pangeran?" Macario yang pertama menyadari sebuah keanehan saat melihat dua orang itu berdiri diam dengan percakapan yang sulit untuk mereka dengar. "Apa ada sesuatu yang terjadi?" Arxen lantas berbalik. Wajahnya yang terlihat murka membuat seluruh Evanthe tertegun. Tatapan menusuk Arxen dilayangkan pada Macario yang langsung berdiri bersama semua Evanthe yang lain. "Apa Grand Duke yang luar biasa tidak bisa mendidik cucunya dengan benar?" Arxen sama sekali tidak menahan amarahnya. Dia kehilangan kendali dirinya saat melihat Aruna yang lagi-lagi terluka karena keluarga ini. "Apakah keluarga ini tidak mampu mengajari anaknya dengan benar?!""Mohon tenang dulu, Yang Mulia. Saya tidak mengerti kenapa Anda tiba-tiba menghina saya dan didikan yang