Hari itu, Arxen pergi ke tempat latihan saat matahari sudah terbit sepenuhnya. Tidak seperti biasanya saat Arxen disuruh latihan subuh, kali ini Arlemus meminta latihannya dimulai saat udara telah hangat karena ada sesuatu yang harus pria itu kerjakan terlebih dahulu. Suasana istana pun sudah ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang melaksanakan tugas mereka masing-masing. Arxen berjalan sendiri menyusuri istana tanpa ditemani seorang ksatria atau pelayan. Memang tadi mereka akan menemani, tapi Arxen lagi-lagi menolak karena Bellanca sudah memerintahkan secara khusus agar tidak ada orang selain Arlemus dan Arxen yang memasuki tempat latihan itu. Orang-orang dilarang mendekat, bahkan Bellanca sendiri pun memutuskan untuk tidak akan masuk jika tidak dipanggil oleh sang utusan dewa. Arxen mempercepat langkahnya saat matanya telah melihat tempat latihannya. Arxen ingin buru-buru sampai, khawatir jika ternyata Arlemus sudah menunggunya. Namun hanya beberapa meter lagi sebelum Arxen m
Kala itu, matahari sudah berada pada puncak. Bersinar terik membuat kulit jadi tersengat panas yang dikeluarkannya. Produksi keringat yang dikeluarkan tubuh pun bertambah. Terlebih bagi mereka yang melaksanakan aktivitas di luar ruangan, panas ini terasa cukup mengganggu. "Cukup untuk sekarang." Arlemus memberi perintah setelah berhasil membuat pedang Arxen terlempar dan kalah di duel pedang dengannya. Pria itu melirik Arxen yang mengatur napasnya yang terengah-engah. Dia kembali melanjutkan ucapannya. "Kita akan melanjutkan latihan ini sore nanti." Arxen mengangguk setuju setelah napasnya mulai teratur. Meski seluruh tubuhnya kini terasa sangat sakit dan dia bahkan butuh kekuatan lebih untuk sekedar berdiri, tapi Arxen tetap mengikuti. Dia melihat dan memerhatikan Arlemus yang saat ini tengah mengumpulkan semua senjata yang mereka gunakan selama latihan. Arxen cukup heran dan takjub. Penampilan Arlemus masih terlihat segar dan bersih, berbeda dengan Arxen yang seluruh tubuhnya dit
Aruna lagi-lagi jatuh berlutut dan memuntahkan darah. Keningnya dipenuhi keringat dingin dan seluruh tubuhnya yang penuh dengan memar terasa kehabisan tenaga. Napas Aruna putus-putus seolah dia sangat kesulitan untuk menghirup oksigen. Lagi, Aruna kembali merasakan rasa sakit yang luar biasa karena tubuhnya belum terbiasa dengan racun yang hampir setiap hari dikonsumsinya itu. Terdengar suara helaan napas berat di sana. Tepat di samping Aruna, Yeslyhn yang duduk santai di sebuah sofa menatap datar pada putrinya sendiri. "Kenapa sesulit itu untuk tubuhmu bisa beradaptasi?" Yeslyhn terlihat jengah dengan sang putri bungsu. Menurutnya Aruna terlalu lamban, baik soal fisik maupun kemampuan sihirnya. Aruna tidak menunjukkan perubahan yang signifikan padahal Yeslyhn sudah berusaha keras selama beberapa hari ini agar Aruna bisa segera membangkitkan kekuatan sihirnya. "Kau sangat lemah karena selama ini hanya main-main saja. Memang, ini kesalahanku yang membiarkanmu berlaku sesuka hati." Y
"Siapa ... yang melakukannya padamu?"Aruna mengangkat wajah dengan sedikit terkejut saat Arxen bertanya padanya. Ragu-ragu, dia menjawab dengan suara pelan yang bergetar. "K-kak Gielza.""Ada apa, Pangeran?" Macario yang pertama menyadari sebuah keanehan saat melihat dua orang itu berdiri diam dengan percakapan yang sulit untuk mereka dengar. "Apa ada sesuatu yang terjadi?" Arxen lantas berbalik. Wajahnya yang terlihat murka membuat seluruh Evanthe tertegun. Tatapan menusuk Arxen dilayangkan pada Macario yang langsung berdiri bersama semua Evanthe yang lain. "Apa Grand Duke yang luar biasa tidak bisa mendidik cucunya dengan benar?" Arxen sama sekali tidak menahan amarahnya. Dia kehilangan kendali dirinya saat melihat Aruna yang lagi-lagi terluka karena keluarga ini. "Apakah keluarga ini tidak mampu mengajari anaknya dengan benar?!""Mohon tenang dulu, Yang Mulia. Saya tidak mengerti kenapa Anda tiba-tiba menghina saya dan didikan yang
Waktu terus berjalan tanpa henti, bergerak tanpa pernah memelan sedikit pun. Hari demi hari terlewati, berubah menjadi bulan demi bulan, dan pada akhirnya tahun. Empat tahun telah berlalu. Banyak hal yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Banyak yang telah berubah, tetapi ada juga yang masih tetap sama. Seperti seorang gadis dengan rambut lilac yang makin memanjang serta mata crimson yang kini hanya bisa menyorot dengan datar. Aruna Evanthe telah mengalami banyak perubahan. Banyak hal yang terjadi dalam empat tahun ini yang membuat kepribadian Aruna jadi sangat berbeda dengan saat dia masih kecil. Warna dalam hidupnya makin berkurang. Makin banyak hal yang pergi dari kisah hidupnya yang menyedihkan. "Nona, Tuan Grand Duke mengirimkan hadiah dan ucapan selamat untuk Anda."Aruna melirik pada pelayan yang baru datang kemudian melirik dengan tanpa minat pada beberapa hadiah yang dikirim untuknya. Hari ini Aruna berulang tahun. Usianya telah menginjak sebelas tahun, tapi pemikiran
Perlahan, mata itu mulai membuka setelah sengatan sinar matahari pagi masuk melalui celah jendela dan mengenai kulitnya. Melenguh pelan, Aruna berusaha menggerakkan badannya yang terasa nyeri. Mata gadis itu tampak membengkak dan masih sedikit sakit akibat tangisannya semalam. Aruna bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di atas ranjang. Menoleh ke sekeliling, dia mendapati bahwa hanya ada dirinya di kamar itu. Para pelayan sepertinya belum datang. Aruna tiba-tiba teringat kejadian semalam. Saat kamarnya tiba-tiba dipenuhi dengan banyak ular yang melilit tubuhnya dengan sangat kuat. Mengedarkan pandangan, pagi ini Aruna tidak mendapati satu pun ular di kamarnya. Aruna mengerjap. Dia bertanya-tanya dalam hati. Apa mungkin Gielza sudah menarik sihirnya?Gadis itu lalu menghela napas pelan. Sama seperti biasanya, Gielza pasti tidak ingin ketahuan makanya dia langsung menarik sihirnya. Itu cukup bagus, karena Aruna jadi tidak perlu takut atau menderita karena lilitan ular. Aruna lalu
Aruna berkedip beberapa kali. Matanya memandang lekat pada manik hazel terang milik Arxen seolah tersihir karenanya. "Aku tidak boleh memberitahukannya pada keluargaku?""Hm." "Kenapa?" Arxen mengelus pelan tangan Aruna yang ada dalam genggamannya. "Ini yang terbaik untuk sekarang. Setidaknya, sampai kau bisa mengendalikan sihirmu sepenuhnya, aku harap kau bisa merahasiakannya dulu."Aruna mengangguk tanpa bantahan sedikit pun.Arxen benar. Aruna harus bisa mengendalikannya sebelum menunjukkan ke semua orang agar dia tidak dituduh dan dipukul lagi seperti hari ini. Karena keluarganya itu kejam. Mereka tidak percaya sekali pun Aruna berkata jujur. Yang mereka inginkan adalah bukti. Mereka tidak akan peduli jika Aruna tidak membawakan bukti ke depan mata mereka. Jadi, Aruna merasa kalau apa yang Arxen katakan itu benar. Lagi pula semua yang Arxen lakukan selama ini adalah untuk Aruna. Arxen selalu memikirkan Aruna, jadi kali ini pun Aruna yakin apa yang Arxen bilang adalah yang terba
Suara dentingan pedang yang beradu bergema di seluruh penjuru tempat itu. Dua orang yang saling melawan dengan pedang mereka masing-masing terlihat serius. Tubuh yang berkeringat dan lelah sama sekali tidak menjadi penghalang dalam latihan mereka. "Lancarkan serangan akhir terbaik yang kau miliki sekarang." Ucapan Arlemus langsung diangguki Arxen dengan serius. Pemuda itu memasang kuda-kuda terbaik dan menyiapkan pedangnya. Mata Arxen terlihat tajam saat dia berusaha fokus untuk melihat lawan. Memprediksi dan membayangkan dalam otaknya tentang bagaimana dia harus menyerang. Hanya saat dirasanya telah siap, Arxen maju dengan kecepatan tinggi sambil menghunuskan pedangnya. Tanpa ragu dia membuat gerakan menebas pada Arlemus yang tentu saja mudah untuk ditangkis oleh gurunya. "Seranganmu sudah banyak meningkat." Arlemus memberi pujian sambil menunjukkan senyum tipisnya pada Arxen yang tengah mengatur napasnya. "Kerja bagus. Kau telah me