Share

Tidak Ingin Bertemu

Suatu pagi Hira melakukan olah raga pagi dan bertemu Adnan di taman. Ia bersikap seolah tidak mengenal lelaki bertubuh kekar itu. Adnan hanya tersenyum sinis saat Hira lari pagi dan melewati dirinya. Adnan tidak mau ketinggalan ia membalasnya dan berlari melawati Hira. Tidak ingin berurusan dengan pria arogan seperti Adnan, Hira memilih menghindar dan memutar balik. Setelah beberapa putaran ia duduk di taman.

“Apa hanya itu tenaga seorang dokter?” Adnan sudah berdiri di sampingnya.

“Aku hanya melakukan olahraga ringan saja Pak Adnan. Lanjutkan saja … tidak usah hiraukan aku.” Hira menyumpal kupingnya dengan headset dan kembali melanjutkan olah raga. Penolakan Hira membuat Adnan semakin penasaran dan tertantang. Dalam hidupnya ia tidak pernah ditolak dan dicuekin wanita, ia yang selalu menolak para gadis cantik yang mencoba datang dalam hidupnya. Tetapi kali ini dirinya yang ditolak.

“Apa Sean pengacara?” Adnan ternyata ikut berlari di sampingnya.

Hira tidak menjawab ia memilih terus berlari, tiba-tiba Adnan dengan berani menarik tangan Hira lalu menggendongnya dan memaksanya duduk di sebuah bangku taman.

 “Kamu gila?” Bola mata Hira melotot kaget, ternyata ekspresi menggemaskan itu menarik perhatian Adnan, seolah-olah ada magnet yang menarik sesuatu dari dalam hatinya.

“Iya aku gila karena kamu terus menghindariku, ini sudah berbulan-bulan Hira. Berhenti menghindariku, hadapi saja kalau kamu punya masalah denganku.”

“Aku tidak punya masalah dengan kamu.”

“Tapi aku merasa ada.”

“Itu bukan urusanku, itu masalahmu sendiri.” Hira ingin berdiri tapi pundaknya ditahan sama Adnan.

“Aku ingin bicara.”

Hira menghela napas panjang mengalihkan tatapannya ke arah lain, “baiklah katakan saja.”

“Buku diary mu ada padaku,” ucap Adnan

Hira terdiam, ia mengingat masa lalu selalu membuatnya hatinya terasa sakit, tangannya terkepal kuat menahan perasaan, “buang saja, itu hanya sampah .”

“Kamu yakin?” Adnan menatapnya dengan dalam, “Aku akan membaca semua isinya kalau kamu tidak segera mengambilnya.”

“Buang saja itu hanya buku tidak penting.” Hira berdiri, lalu meninggalkan Adnan.

Adnan terdiam, tadinya ia berpikir kalau Hira akan meminta mengembalikannya, ternyata dugaannya salah. Tapi ia sudah bertekad akan mendapatkan Hira bagaimanapun caranya.

“Aku akan mendapatkan kamu bagaimanapun caranya,” ucap Adnan menatap Hira yang berjalan meninggalkannya.

**

Beberapa minggu berlalu, Hira akhirnya bekerja di sebuah rumah sakit swasta ternama di Jakarta. Kedua orang tua Hira sangat senang mendengar keputusan Hira untuk tinggal di Indonesia dan bekerja di rumah sakit yang mereka pilih.

“Aku akan menjadi supir adikku tercinta siap mengantar dan menjemput kapanpun dia mau,” ujar sang kakak laki-lakinya.

“Ayah juga siap mengantar Hira kerja, siap jadi supir juga asal digaji,” ucap lelaki itu bercanda. Momen kehangatan dan kegembiraan akhirnya terdengar dari meja makan juga. Keluarga Hira sangat harmonis kedua kakak laki-lakinya sangat menyayanginya.

Atmosfer di antara Adnan dan Hira mulai mereda. Pagi itu tiba-tiba Adnan datang menemui ayah Hira ia meminta izin untuk bicara dengan Hira. Mereka semua kaget ini berbeda dengan Adnan yang selalu bersikap dingin pada Hira.

“Apa ada yang penting Adnan?” tanya Zafar. Kalau dulu lelaki itu setuju perjodohan tetapi sekarang Zafar tidak suka melihat Adnan mendekati putrinya.

“Saya,hanya bicara sebentar dengan Hira Om, apa boleh?”

“Hira belum turun. Bagaimana kalau kita sarapan dulu.” Pria itu mengajak Adnan duduk lebih tepatnya mengintrogasi. “Bagaimana dengan bisnis properti, Adnan?” tanya Zafar dengan tatapan menyelidiki. Adnan kaget, ia tidak tahu kalau Zafar mengetahui pekerjaan sampinganya.

“Baik Om,” ucapnya berusaha agar tetap tenang.

“Kamu hebat, tidak semua orang bisa bekerja sama dengan mereka.

Adnan berhenti mengaduk kopi di gelasnya di depannya. “Aku tidak mengerti maksud , Om.” Adnan mengelak.

Zafar tidak menyahut ia hanya tersenyum kecil. “Aku berharap apa yang kamu bicarakan dengan Hira putriku bukan mengira bisnis yang kamu kerjakan.”

Adnan terdiam, Zafar seolah-olah tahu apa yang dilakukan Adnan selama ini. Saat ia ingin memperjelas, tiba-tiba Hira sudah turun. Karena hari itu hari minggu semua orang libur, tetapi tidak untuk Hira, ia masuk shift pagi.

“Selamat pagi Bun.” Hira duduk, ia terkejut karena ada Adnan di sana.

“Pagi Sayang, sini serapan dulu, Bunda sudah siapkan sarapan untuk kamu.”

“Tidak usah Bun, Sean bentar lagi mau jemput.”

“Suruh Sean ikut serapan juga kalau dia sudah tiba,”ucap Bu Rena.

‘Untuk apa dia datang ke rumah ini?’ Hira hanya menatap Adnan dengan dingin.

Hira menarik kursi tepat di samping Adnan, ia mengoleskan selai nanas atas roti. Adnan memperhatikan Hira, kebiasan lama itu masih tetap sama. Hira selalu menggunakan slai nanas untuk roti dan ia tidak suka roti yang dipanggang.

“Hira,Adnan katanya ingin bicara denganmu, bicaralah sebentar dengannya baru kamu berangkat kerja,” disuruh ayahnya, ia menatap Adnan dengan tatapan dingin, tidak suka melihat Adnan ada di rumahnya tetapi tidak mengatakannya secara langsung. Tetapi Adnan juga tahu kalau Zafar tidak suka melihatnya, bukannya hanya Zafar bahkan semua keluarga tidak suka melihat dirinya lagi.

“Aku pikir tidak ada yang perlu dibicarakan .” Hira menolak.

“Hanya sebentar tidak akan lama.” Bujuk Adnan.

Hira, menoleh pada Adnan dan mengangguk pelan, setelah menghabiskan satu roti di tangannya ia membantu ibunya membereskan semua ke dapur. “ Mau bicara apa?” tanya Hira.

“Boleh kita bicara di luar?”

Tidak lama kemudian, Sean menelepon ia mengabari tidak bisa menjemput Hira karena terjebak macet.

“Bagaimana kalau kamu mengantar Hira kerja kalian bisa sembari mengobrol,” usul Bunda Hira. Mendengar usulan istrinya Zafar memperlihatkan wajah penolakan.

“Tidak bisa, kalau Sean tidak bisa biar saya mengantar,” tolak Zafar, pria itu menunjukkan secara terang-terangan menolak Adnan mendekati Hira.

“Hira sudah terlambat mereka bisa mengobrol sembari jalan,” usul Rena lagi.

“Baiklah.” Zafar memperlihatkan tatapan sinis.

“Ada apa dengan Ayah, Apa dia menolak Adnan sekarang?” Damar bertanya sambil berbisik.

Rehan hanya menggeleng tidak tahu

Adnan setuju mengantar Hira, ia mengeluarkan mobilnya dan mengantar Hira kerja. “

“Tadi mau bicara apa?” tanya Hira setelah mobil setengah perjalanan.

“Apa benar kamu ikut acara bakti sosial yang diadakan rumah sakit?”

“Dari mana kamu tahu?” Hira balik bertanya.

“Itu tidak penting dari mana aku tahu. Aku bertanya padamu.” Adnan menatapnya serius.

“Iya benar.”

“Jangan ikut, batalkan saja.”

“Siapa kamu? Lagian apa urusanmu.”

“Hira, jangan libatkan dirimu, polisi sedang menyelidiki yayasan tersebut, kamu tidak boleh terlibat.”

“Aku sudah bilang kita jangan saling mengurusi orang lain. Apa kamu juga bagian dari mereka? Aku dengar kamu menjalankan bisnis dengan beberapa mafia besar. Apa benar kamu juga bos mafia?”

“Kita bukan membahas diriku, tapi kamu.”

“Jadi rumor yang aku dengar benar?” Hira tertawa kecut.”Apa Om sama tante tau kamu seorang penjahat?”

“Jaga bicaramu, Hira,” tegur Adnan. “Yayasan itu sebuah organisasi mafia, mereka hanya memanfaatkan orang-orang sepertimu.”

“ Kamu salah satu bagian dari mereka kan? Maksudmu aku bodoh dan dimanfaatkan. Dengar bukan hanya aku, bahkan dokter seniorku ikut peduli pada anak-anak malang seperti mereka. Hanya orang arogan sepertimu yang tidak peduli pada anak-anak terlantar seperti mereka.”

“Terserah, jika suatu saat kamu dapat masalah jangan menyesal, keluarlah, dasar keras kepala,” ucap Adnan kesal.

Hira keluar dari mobil berjalan menuju rumah sakit tempat ia bekerja. Ia tidak tahu bahaya yang menunggunya, terkadang niat baik dan tulus yang kita lakukan belum tentu mendapatkan balasan yang baik juga. Hira salah satu dokter yang ikut terlibat dalam sebuah organisasi peduli anak-anak yang memberikan bantuan obat-obatan pada anak-anak yang kurang beruntung yang dinaungi sebuah yayasan yang mengatasnamakan peduli anak-anak.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status