Rasanya, waktu berjalan begitu cepat. Setelah menjalani sederet tes dan ujian, Suga resmi menjadi salah satu detektif muda di kepolisian. Ia baru mengikuti acara pelantikannya kemarin, dan sekarang sudah dihadapi oleh sebuah kasus.
Suga menatap layar proyektor raksasa itu dengan pandangan malas, sesekali mulutnya menguap lebar. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja, ia mendapat sambutan dari sebuah kasus besar yang sepertinya akan menjadi kasus yang rumit.
Pembunuhan yang dilakukan oleh remaja laki-laki pada ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki latar belakang yang cukup rumit. Ayahnya yang seorang pecandu, diduga menjadi tangan kanan dari salah satu gengster dari kelompok yang menjadi buronan.Setelah mendapat informasi jika korban tewas itu memiliki hubungan dengan dunia kriminal abu-abu, para detektif dikerahkan untuk mengusut hal itu. Sedangkan remaja yang menjadi pelakunya ditangani oleh pihak kepolisian setempat sesuai hukum yang berlaku.Dan, kini di ruangan yang remang-remang itu, Suga menjadi salah satu detektif yang akan ikut berperan dalam mengusut kasus itu."Telah terjadi kasus pembunuhan di kawasan perumahan distrik SS kemarin malam. Pelakunya seorang remaja 17 tahun dan korbannya seorang pria paruh baya yang di duga adalah ayahnya. Dari informasi yang sudah di dapatkan, semua bermula dari ayahnya yang memperkosa anak perempuannya yang bernama Kana. ""Wah. Ini benar-benar kasus yang menyebalkan," celetuk seorang pria yang duduk di meja paling ujung.Detektif Jonie yang menjadi pemimpin dalam rapat itu memandang pria itu dengan tatapan tajam. "Namun, setelah di selidiki lebih dalam. Ada sesuatu yang janggal dari korban. Ia terlibat dengan sebuah kelompok kriminal dan melakukan berbagai tindak ilegal." Ucap Detektif Jonie melanjutkan."Firasatku mengatakan kasus ini bukan sekadar kasus kriminal remaja biasa. Poin pentingnya ada dibelakangnya korban ini.""Lalu ketua, tindakan apa yang akan diberikan pada anak itu. Meski usianya belum legal tapi 17 tahun sudah wajib mendapatkan sanksi hukum.""Anak itu akan di serahkan pada divisi sebelah, sedangkan kita akan fokus mengusut hal di belakang korban," ucap Detektif Jonie."Lalu. Aku ingin mengucapkan selamat datang untuk rekan baru kita di divisi ini, saudara Suga. "Suga berdiri dan membungkukkan tubuhnya, tersenyum menyapa orang-orang yang akan menjadi rekannya untuk hari-hari yang akan datang."Lalu, kita kembali ke topik utama kita. Rapat kali ini selesai. Semua orang pergi laksanakan tugas masing-masing," ucap Detektif Jonie dan satu persatu para detektif di sana mulai berangsur keluar....Suga menatap seorang remaja perempuan yang duduk menyandar dengan pandangan kosong, agaknya gadis itu tak menyadari kedatangannya.Suga mendapat tugas untuk melakukan penyelidikan pada korban pemerkosaan yang dilakukan oleh korban. Namun, meski Suga telah melihat data identitas dan kondisi terkini dari detektif yang lain. Ia tetap merasa terkejut dan miris dengan banyaknya luka pada wajah dan tubuh korban."Halo. Saya Suga. Detektif yang akan melakukan wawancara denganmu," ucap Suga dan mengambil tempat duduk di samping Kana.Namun, tak ada tanggapan yang berarti. Gadis itu masih setia memandang keluar jendela ruang rawat inapnya di rumah sakit itu, seolah kehadiran Suga tak pernah ada di sana.Suga menatap wajah Kana dengan lekat, kemudian berkata. "Kamu tau? Aku juga punya seorang kakak. Tapi, sayangnya kakakku sudah tiada."Suga beranjak dari duduknya dan kembali mengantongi note kecilnya ke dalam saku jaketnya. Ia hendak membuka pintu dan pergi sebelum sebuah suara serak menahannya."Di mana kakakku ?"Suga tersenyum kecil mendengar pertanyaan yang sudah di tunggu-tunggunya dari gadis itu."Saat kita sedang berbincang di sini sekarang, kakakmu sedang ditahan di balik jeruji besi. Apa kamu masih mau membungkam mulut dan membiarkan kakakmu membusuk di sana?" tanya Suga.Kana menunduk dengan kedua tangan terkepal erat di atas pangkuannya. Suga kembali duduk di kursi samping ranjang pasien dan membuka kembali note kecilnya."Keputusan ada ditangan mu. Apapun yang kamu katakan mungkin bisa sedikit meringankan beban kakakmu, jika argumenmu berpihak padanya. Begitupun sebaliknya, meski ayahmu yang menjadi pelaku pelecehan telah tewas. Namun, kakakmu menjadi pelaku pembunuhan."Suga tidak tau alasan kenapa Kana menolak wawancara dengan penyidik. Namun, itu bukan urusannya. Ia hanya ingin melakukan tugasnya dengan benar."Jadi mari, lihat apa yang bisa kamu ceritakan pada ku."Kana menatap Suga dengan ragu, ia menelan ludahnya sebelum suara seraknya mulai mengalun bercerita. ...."Dasar jalang!" teriak seorang pria paruh baya sambil melayangkan sebuah botol kaca.Seorang wanita yang duduk berlutut di lantai memekik ketakutan, tapi pria itu justru semakin menjadi. Tangan kekarnya menjambak rambut si wanita, hingga terlihat helaian rambutnya rontok di tangan pria yang mabuk dan sedang mengamuk itu."Mana uang ku, brengsek!" teriak pria itu dengan penuh makian sambil menghantamkan botol kata itu dinding di belakangnya.Prang!Serpihan kaca berserakan di lantai, belum cukup dengan menjambak kini pria itu menendang tubuh wanita itu hingga menabrak dinding. Tangisan kesakitan dan juga takut terdengar begitu pilu, wanita itu meringkuk di lantai menahan sakit. Seisi rumah sudah tak berbentuk, pecahan kaca dari vas dan gelas berhamburan di lantai. Perabotan rumah seperti kursi sofa dan meja pun tak luput dari amukan pria itu.Mereka berdua adalah sepasang suami istr
Dua hari berlalu setelah upacara pemakaman, Theo telah bersiap dengan seragam sekolahnya. Remaja itu menatap cemas ke arah adik kembarnya yang hanya menatap kosong ke arah jendela menjadi, rutinitas selama dua hari ini semenjak kematian tragis itu.Namun, kehidupan miskin mereka tak memperbolehkan Theo untuk berduka barang sedikit pun. Ia harus segera pergi sekolah, dan sore nanti dilanjutkan dengan kerja paruh waktu sesuai sekolah.Setelah berpamitan yang jelas tak mendapat respon dari Kana, Theo pun dengan berat hati pergi. Kini tinggallah Kana seorang diri, seperti tenggelam dalam dunianya yang dibuatnya sendiri gadis remaja itu bahkan tak bergeming saat seseorang memasuki rumah.Hingga bunyi pecahan botol yang dilempar dan menabrak dinding membuyarkan lamunannya, Kana dengan perasaan waspada menoleh hanya untuk melihat sosok sang ayah yang sudah menjulang di belakangnya. Tanpa bisa mencerna apa yang terjadi, Kana sudah terlempar menabrak meja hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.
Kana tidak tau sudah berapa lama waktu telah berlalu, ingatan terakhirnya adalah bagaimana ayahnya yang mendesah puas saat akhirnya mencapai klimaks. Kana menatap ke arah jendela, langit sudah berubah jingga. Sepertinya dia telah tertidur seharian ini, setelah energinya terkuras habis."Sakit sekali." Ucap Kana sambil berusaha untuk duduk.Cairan putih kental perlahan mengalir keluar di antara kedua pahanya, air mata mengalir saat melihat tubuhnya sendiri penuh tanda merah yang dibuat oleh sang ayah pagi tadi. Kana menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan erat, kilas balik perlakuan cabul dari sang ayah memenuhi benak gadis itu.Lalu dengan kaki yang gemetar, Kana berjalan menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan juga menggosoknya dengan kuat, berharap jejak menjijikkan yang ditinggalkan ayahnya bisa hilang. Setelah hari itu, sudah seperti kebiasaan rutin yang harus dilakukan Kana terus melakukan hal itu bersama ayahnya di bawah paksaan. Hingga suatu ketika."Ah, tolong ber
Aku berjalan tak tentu arah, dengan wajah linglung dan penampilan yang berantakan. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengerutkan alis heran, ada juga yang memasang ekspresi ngeri saat melihat bercak darah yang bercecer pada seragam.'Aku sudah membunuh manusia.'Pikiran-pikiran itu terus berulang dibenakku seperti, comedi putar.Aku menatap ragu ke arah sebuah bangunan di depan, tanpa sadar kaki ku membawa ke sini. Dalam keadaan kalut seperti itu, Aku memberanikan diri untuk masuk. Saat sudah mencapai pintu masuk, Aku kembali berhenti. Beberapa orang dewasa di sana menatap dengan tajam dan menyelidik, hingga salah satu pria yang berseragam di sana menghampiri ku....."Hei, nak. Apa yang terjadi, padamu?," Tanya pria itu sambil menepuk pundak Theo perlahan.Pupil mata Theo menyempit dan bola matanya bergerak gelisah, dengan terbata-bata ia pun menceritakan insiden mengerikan yang sudah ia alami.Pria berseragam itu memberikan kode pada temannya, dan langsung dipahami. Pria itu m
Aku duduk di ruang interogasi bersama seorang pelaku pembunuhan. Namun, mirisnya ia masih seorang anak kecil di mataku. Saat pertama kali mendengar kasus ini, aku bertanya-tanya. Kehidupan sekeras apa yang sudah di jalani remaja itu. Tapi, sekarang aku tau. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. "Nak, kamu pasti tau akibat dari tindakanmu," ucap Suga dengan suara yang mengalun lembut tanpa tekanan sedikit pun. Theo yang duduk di hadapan pria itu, perlahan mengangkat wajahnya hanya untuk sekedar menatap wajah pucat detektif itu. Theo mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan. Suga menatap anak itu dengan lekat, "Tapi aku tidak menyalahkan tindakanmu. Apa yang kamu lakukan untuk adikmu lebih berarti dari pada nyawa manusia yang tidak lebih baik dari bintang," ucap Suga yang sukses membuat Theo terperangah. Ucapan pria itu berbeda dari apa yang telah di lontarkan, oleh beberapa detektif lain yang memeriksanya. "Aku tidak akan membuatmu kembali menceritakan pengalaman buruk mu itu. T
Seorang pria botak berlari masuk dengan tergesa-gesa, ke sebuah kantor detektif khusus swasta. Detektif Yang Cuan baru saja kembali dari kantor kepolisian pusat, guna meminta surat pengajuan penyelidikan lapangan atas nama detektif swasta."Ketua! Aku kembali. Surat pengajuannya di terima," ucap Detektif Yang sambil mengeluarkan secarik kertas. "Bagus! Langsung berangkat," timpal Detektif Jonie. "Panggil Detektif Suga, dan juga si pelaku." Detektif Jonie bangkit dari duduknya, dan menyambar jaket kulit yang teronggok di meja kerjanya. Detektif Yang untuk sesaat menghela nafas berat, ia tak menyangka jika ketuanya akan langsung ke TKP begitu surat pengajuannya di terima. "Kita tidak rapat dulu, ketua?," tanya Detektif Yang Cuan, yang sedikit kesulitan mengikuti langkah Detektif Jonie yang lebar. "Tak usah, kita membutuhkan bukti bukan diskusi yang tak membuahkan hasil seperti itu." ....Suasana perumahan di distrik Ss begitu sunyi, apalagi semenjak garis kuning polisi menghiasi s
Theo bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh lemas, tak jauh dari TKP yang juga adalah rumahnya. Keringat dingin mengalir di keningnya, saat lagi-lagi rasa mual muncul dan menyeruak di ulu hatinya. Beberapa detektif menyusulnya dengan ekspresi wajah panik, ada juga yang menggerutu menyangka si pelaku melarikan diri. Namun, nyatanya Theo berlari keluar hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Astaga! Kenapa kau sampai berlari! Kau ingin membuatku serangan jantung," seru seorang detektif yang mengejarnya. Theo tak mendengar apa yang di ucapkan oleh detektif itu, ia justru merasa kondisi tubuhnya semakin memburuk. Namun, meski para detektif itu menyadari kondisi Theo memburuk, tak satupun dari mereka peduli.Seorang detektif menghampirinya dan langsung menyeretnya kembali ke TKP. Theo yang bahkan untuk berdiri saja sudah sangat lemas, berjalan sempoyongan saat tangannya di tarik kuat oleh detektif itu. "Biar saya yang tangani senior," seru Suga yang menyusul berlari-lari kecil dari dal
Aku pernah sekali melihat seorang pria, yang menusukan botol pecah pada seseorang di balik gang gelap bangunan-bangunan rumah petak di permukiman kumuh. Dan, aku juga pernah sekali mencobanya. Darah itu terasa dingin dan kental saat melumuri kedua tanganku, dan sensasi itu berlangsung cukup lama meski tanganku sudah di cuci bersih sekalipun. Perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan terus mengikuti ku. Aku pikir, mungkin itu adalah rasa bersalah? ...."Aku tidak tau masalahmu. Mau menyesal atau apapun, terserah padamu. Tapi, jangan pernah berpikir hidupmu telah berakhir. Manusia itu sudah tempatnya salah, mau membunuh, mencuri atau memperkosa sekalipun itu tidak aneh menurutku. Karena manusia di ciptakan dengan emosi, akal dan nafsu." ucap seorang pemuda yang menjadi penghuni tahanan di sana, yang bernama Jerry. "Kau tau apa kasusku?" Theo menggelengkan kepalanya, dan Jerry tertawa kecil dengan suara rendahnya yang entah kenapa terdengar renyah. "Aku menjadi kaki tangan pembunuha