Firasat buruknya berubah nyata saat dirinya tiba di sebuah ruangan autopsi. Pupil matanya bergetar melihat jasad yang diyakini adalah kakaknya terbujur kaku dengan kondisi tak lagi utuh.
"Kakak...." panggil Suga dengan suara berbisik di samping jasad yang tak berbentuk itu.Suga yang dikenal tangguh, bahkan saat ayah dan ibunya bercerai dan meninggalkan dirinya seorang diri kini terlihat begitu rapuh. Air matanya yang tak pernah keluar kini justru saling berebut untuk tumpah."Nak, kamu bisa mengambil jasad kakakmu untuk dikremasi sore ini. Untuk sekarang, silakan isi data identitas yang menyatakan memang bahwa jasad ini memang kakakmu," ucap seorang dokter forensik yang mendampingi Suga memasuki ruang autopsi.Suga untuk terakhir kalinya memandang wajah pucat kakaknya sebelum pergi. Saat melewati pintu ruang autopsi Suga sempat melihat, beberapa orang yang datang dengan mata sembab dan begitu kacau."Mereka keluarga korban yang juga sempat membuat laporan orang hilang. Sama sepertimu, anggota keluarganya menjadi korban dari kasus pembunuhan yang sama," ucap dokter forensik sambil berjalan di samping Suga."Apa pelakunya sudah ditemukan?" tanya Suga.Dokter itu menggelengkan kepalanya diiringi helaan nafas berat. "Belum. Pelakunya untuk saat ini masih buron. Tapi, percayalah. Pihak kepolisian akan mengerahkan segala upayanya untuk mengusut tuntas kasus ini," ucap dokter itu dengan di ikuti tepukan hangat pada bahu Suga."Kami pasti akan mengabarimu kabar baik di masa depan. Dan, maaf jasad kakakmu kembali dengan tidak utuh."Suga menatap langit yang mendung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Namun, siapapun pasti tau bagaimana kacaunya pemuda itu ketika melihat matanya yang merah. Saat sedang duduk melamun, Suga melihat seorang pria berjalan melewatinya. Ia kenal pria itu, salah satu detektif terkenal, detektif Zen.Suga berlari mengejar detektif Zen. "Pak, tunggu sebentar!" seru Suga."Anda detektif yang menangani kasus pembunuhan di rusun kumuh itu. Apa saya boleh menanyakan sesuatu?" tanya Suga dengan sorot mata yang lelah.Detektif Zen mengerutkan keningnya. "Maaf, tapi Anda siapa?" tanya Detektif Zen."Saya Suga, adik dari salah satu korban pada kasus itu," ucap Suga. "Apa saya boleh tau siapa pelakunya?"Detektif Zen menghela nafas panjang, ia menatap Suga dengan pandangan miris. "Nak, untuk saat ini aku belum bisa memberitahumu siapa pelakunya. Pelaku masih buron dan meskipun tertangkap nanti kami juga tidak bisa memberitahumu begitu saja. Namun, kami akan berusaha untuk menangkap dan memberinya hukuman yang setimpal.""Tapi-""Pak, dokter forensik sudah menunggu untuk laporan autopsi dari para korban," ucap seorang pria yang tadi datang bersama detektif Zen.Suga tak mendapatkan jawaban yang di inginkannya, dan pertanyaannya pun terpotong. Detektif Zen pergi dengan terburu-buru, menyisakan Suga yang memandang punggung pria itu dengan putus asa.Tak peduli pada hujan yang mulai mengguyur, Suga diam tak bergeming. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan handphone-nya, layar handphone menyala dan menampilkan gambar dirinya bersama kakaknya yang tersenyum dan saling merangkul.Suga tertawa sumbang. "Tak ada yang mau memberitahuku. Mereka sangat lambat, apa aku saja yang mencari keadilan untukmu, Kakak!" ujar Suga dengan suara serak dan sorot mata tajam....10 tahun kemudian."Selamat! Selamat untuk diri kita sendiri !" Pekik dan sorak-sorai dari sekumpulan muda-mudi yang melemparkan topi wisudanya ke langit."Selamat Suga! Kamu akhirnya lulus!" ucap seorang pria sambil memeluk dan menepuk punggung Suga dengan hangat.Hari ini adalah hari di mana Suga akhirnya mendapatkan sertifikasi kelulusannya, setelah hampir 5 tahun berjuang keras di kelas Kriminologi."Terima kasih Kak Jonie, kakak sudah menyempatkan datang." Ucap Suga terharu."Tentu saja, aku harus datang. Kamu adalah adik junior ku di kampus, dan mungkin akan menjadi adik junior ku juga di departemen khusus nanti." Ucap pria yang bernama Jonie itu sambil tertawa keras.Benar ini memang impiannya. Setelah tragedi itu Suga telah bertekad dan rela membuang segalanya demi tujuan yang akan ia tuju setelah lulus kuliah. Departemen khusus di mana ia bisa menguak dan mencari keadilan untuk kakaknya."Ngomong-ngomong kapan kamu akan mengikuti tes masuknya." Tanya Jonie."Secepatnya."Jonie mengangguk puas. "Baguslah. Kebetulan divisiku mendapat sebuah kasus yang cukup rumit, kuharap kamu bisa segera bergabung denganku.""Tentu. Tunggu saja kedatanganku."Rasanya, waktu berjalan begitu cepat. Setelah menjalani sederet tes dan ujian, Suga resmi menjadi salah satu detektif muda di kepolisian. Ia baru mengikuti acara pelantikannya kemarin, dan sekarang sudah dihadapi oleh sebuah kasus.Suga menatap layar proyektor raksasa itu dengan pandangan malas, sesekali mulutnya menguap lebar. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja, ia mendapat sambutan dari sebuah kasus besar yang sepertinya akan menjadi kasus yang rumit. Pembunuhan yang dilakukan oleh remaja laki-laki pada ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki latar belakang yang cukup rumit. Ayahnya yang seorang pecandu, diduga menjadi tangan kanan dari salah satu gengster dari kelompok yang menjadi buronan. Setelah mendapat informasi jika korban tewas itu memiliki hubungan dengan dunia kriminal abu-abu, para detektif dikerahkan untuk mengusut hal itu. Sedangkan remaja yang menjadi pelakunya ditangani oleh pihak kepolisian setempat sesuai hukum yang berlaku.Dan, kini di ruangan yang r
Kana menatap Suga dengan ragu, ia menelan ludahnya sebelum suara seraknya mulai mengalun bercerita. ...."Dasar jalang!" teriak seorang pria paruh baya sambil melayangkan sebuah botol kaca.Seorang wanita yang duduk berlutut di lantai memekik ketakutan, tapi pria itu justru semakin menjadi. Tangan kekarnya menjambak rambut si wanita, hingga terlihat helaian rambutnya rontok di tangan pria yang mabuk dan sedang mengamuk itu."Mana uang ku, brengsek!" teriak pria itu dengan penuh makian sambil menghantamkan botol kata itu dinding di belakangnya.Prang!Serpihan kaca berserakan di lantai, belum cukup dengan menjambak kini pria itu menendang tubuh wanita itu hingga menabrak dinding. Tangisan kesakitan dan juga takut terdengar begitu pilu, wanita itu meringkuk di lantai menahan sakit. Seisi rumah sudah tak berbentuk, pecahan kaca dari vas dan gelas berhamburan di lantai. Perabotan rumah seperti kursi sofa dan meja pun tak luput dari amukan pria itu.Mereka berdua adalah sepasang suami istr
Dua hari berlalu setelah upacara pemakaman, Theo telah bersiap dengan seragam sekolahnya. Remaja itu menatap cemas ke arah adik kembarnya yang hanya menatap kosong ke arah jendela menjadi, rutinitas selama dua hari ini semenjak kematian tragis itu.Namun, kehidupan miskin mereka tak memperbolehkan Theo untuk berduka barang sedikit pun. Ia harus segera pergi sekolah, dan sore nanti dilanjutkan dengan kerja paruh waktu sesuai sekolah.Setelah berpamitan yang jelas tak mendapat respon dari Kana, Theo pun dengan berat hati pergi. Kini tinggallah Kana seorang diri, seperti tenggelam dalam dunianya yang dibuatnya sendiri gadis remaja itu bahkan tak bergeming saat seseorang memasuki rumah.Hingga bunyi pecahan botol yang dilempar dan menabrak dinding membuyarkan lamunannya, Kana dengan perasaan waspada menoleh hanya untuk melihat sosok sang ayah yang sudah menjulang di belakangnya. Tanpa bisa mencerna apa yang terjadi, Kana sudah terlempar menabrak meja hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.
Kana tidak tau sudah berapa lama waktu telah berlalu, ingatan terakhirnya adalah bagaimana ayahnya yang mendesah puas saat akhirnya mencapai klimaks. Kana menatap ke arah jendela, langit sudah berubah jingga. Sepertinya dia telah tertidur seharian ini, setelah energinya terkuras habis."Sakit sekali." Ucap Kana sambil berusaha untuk duduk.Cairan putih kental perlahan mengalir keluar di antara kedua pahanya, air mata mengalir saat melihat tubuhnya sendiri penuh tanda merah yang dibuat oleh sang ayah pagi tadi. Kana menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan erat, kilas balik perlakuan cabul dari sang ayah memenuhi benak gadis itu.Lalu dengan kaki yang gemetar, Kana berjalan menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan juga menggosoknya dengan kuat, berharap jejak menjijikkan yang ditinggalkan ayahnya bisa hilang. Setelah hari itu, sudah seperti kebiasaan rutin yang harus dilakukan Kana terus melakukan hal itu bersama ayahnya di bawah paksaan. Hingga suatu ketika."Ah, tolong ber
Aku berjalan tak tentu arah, dengan wajah linglung dan penampilan yang berantakan. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengerutkan alis heran, ada juga yang memasang ekspresi ngeri saat melihat bercak darah yang bercecer pada seragam.'Aku sudah membunuh manusia.'Pikiran-pikiran itu terus berulang dibenakku seperti, comedi putar.Aku menatap ragu ke arah sebuah bangunan di depan, tanpa sadar kaki ku membawa ke sini. Dalam keadaan kalut seperti itu, Aku memberanikan diri untuk masuk. Saat sudah mencapai pintu masuk, Aku kembali berhenti. Beberapa orang dewasa di sana menatap dengan tajam dan menyelidik, hingga salah satu pria yang berseragam di sana menghampiri ku....."Hei, nak. Apa yang terjadi, padamu?," Tanya pria itu sambil menepuk pundak Theo perlahan.Pupil mata Theo menyempit dan bola matanya bergerak gelisah, dengan terbata-bata ia pun menceritakan insiden mengerikan yang sudah ia alami.Pria berseragam itu memberikan kode pada temannya, dan langsung dipahami. Pria itu m
Aku duduk di ruang interogasi bersama seorang pelaku pembunuhan. Namun, mirisnya ia masih seorang anak kecil di mataku. Saat pertama kali mendengar kasus ini, aku bertanya-tanya. Kehidupan sekeras apa yang sudah di jalani remaja itu. Tapi, sekarang aku tau. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. "Nak, kamu pasti tau akibat dari tindakanmu," ucap Suga dengan suara yang mengalun lembut tanpa tekanan sedikit pun. Theo yang duduk di hadapan pria itu, perlahan mengangkat wajahnya hanya untuk sekedar menatap wajah pucat detektif itu. Theo mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan. Suga menatap anak itu dengan lekat, "Tapi aku tidak menyalahkan tindakanmu. Apa yang kamu lakukan untuk adikmu lebih berarti dari pada nyawa manusia yang tidak lebih baik dari bintang," ucap Suga yang sukses membuat Theo terperangah. Ucapan pria itu berbeda dari apa yang telah di lontarkan, oleh beberapa detektif lain yang memeriksanya. "Aku tidak akan membuatmu kembali menceritakan pengalaman buruk mu itu. T
Seorang pria botak berlari masuk dengan tergesa-gesa, ke sebuah kantor detektif khusus swasta. Detektif Yang Cuan baru saja kembali dari kantor kepolisian pusat, guna meminta surat pengajuan penyelidikan lapangan atas nama detektif swasta."Ketua! Aku kembali. Surat pengajuannya di terima," ucap Detektif Yang sambil mengeluarkan secarik kertas. "Bagus! Langsung berangkat," timpal Detektif Jonie. "Panggil Detektif Suga, dan juga si pelaku." Detektif Jonie bangkit dari duduknya, dan menyambar jaket kulit yang teronggok di meja kerjanya. Detektif Yang untuk sesaat menghela nafas berat, ia tak menyangka jika ketuanya akan langsung ke TKP begitu surat pengajuannya di terima. "Kita tidak rapat dulu, ketua?," tanya Detektif Yang Cuan, yang sedikit kesulitan mengikuti langkah Detektif Jonie yang lebar. "Tak usah, kita membutuhkan bukti bukan diskusi yang tak membuahkan hasil seperti itu." ....Suasana perumahan di distrik Ss begitu sunyi, apalagi semenjak garis kuning polisi menghiasi s
Theo bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh lemas, tak jauh dari TKP yang juga adalah rumahnya. Keringat dingin mengalir di keningnya, saat lagi-lagi rasa mual muncul dan menyeruak di ulu hatinya. Beberapa detektif menyusulnya dengan ekspresi wajah panik, ada juga yang menggerutu menyangka si pelaku melarikan diri. Namun, nyatanya Theo berlari keluar hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Astaga! Kenapa kau sampai berlari! Kau ingin membuatku serangan jantung," seru seorang detektif yang mengejarnya. Theo tak mendengar apa yang di ucapkan oleh detektif itu, ia justru merasa kondisi tubuhnya semakin memburuk. Namun, meski para detektif itu menyadari kondisi Theo memburuk, tak satupun dari mereka peduli.Seorang detektif menghampirinya dan langsung menyeretnya kembali ke TKP. Theo yang bahkan untuk berdiri saja sudah sangat lemas, berjalan sempoyongan saat tangannya di tarik kuat oleh detektif itu. "Biar saya yang tangani senior," seru Suga yang menyusul berlari-lari kecil dari dal