Aku duduk di ruang interogasi bersama seorang pelaku pembunuhan. Namun, mirisnya ia masih seorang anak kecil di mataku. Saat pertama kali mendengar kasus ini, aku bertanya-tanya. Kehidupan sekeras apa yang sudah di jalani remaja itu. Tapi, sekarang aku tau. Mereka hanya mencoba bertahan hidup.
"Nak, kamu pasti tau akibat dari tindakanmu," ucap Suga dengan suara yang mengalun lembut tanpa tekanan sedikit pun.Theo yang duduk di hadapan pria itu, perlahan mengangkat wajahnya hanya untuk sekedar menatap wajah pucat detektif itu. Theo mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan.Suga menatap anak itu dengan lekat, "Tapi aku tidak menyalahkan tindakanmu. Apa yang kamu lakukan untuk adikmu lebih berarti dari pada nyawa manusia yang tidak lebih baik dari bintang," ucap Suga yang sukses membuat Theo terperangah.Ucapan pria itu berbeda dari apa yang telah di lontarkan, oleh beberapa detektif lain yang memeriksanya."Aku tidak akan membuatmu kembali menceritakan pengalaman buruk mu itu. Tapi, sebagai formalitas, tolong jawab pertanyaanku dengan jujur," ucap Suga."Kemana kamu pergi setelah pulang sekolah? Dan, apa yang kamu lakukan?""Aku, bekerja paruh waktu sebagai pengangkut barang," ucap Theo dengan suara serak."Dimana?"Theo menelan ludahnya susah payah, seakan menelan batu kerikil seukuran jempol tangan, saat Suga menatapnya dengan sorot mata yang tajam."Di pelabuhan. Meskipun sedikit berat, tapi upah di sana sangat besar," ujar Theo dengan jantung yang berdetak kencang.Suga menganggukkan kepala dan terlihat mencatat sesuatu, pada note kecil yang selalu di bawanya. Hening, untuk sesaat tak ada yang bersuara. Theo yang melihat Suga hanya diam membolak-balik kertas yang ia tak tau apa isinya, membuat perasaan resah terus bergelayut di hatinya semakin membludak."Apa kamu tau, apa yang selalu di lakukan ayahmu. Selain mabuk dan berjudi?" tanya Suga setelah sekian menit di isi oleh keheningan."Aku tidak tau," ucap Theo sambil melirik ke arah sudut meja.Sudut bibir Suga terangkat mendengar jawaban singkat dari remaja itu. Ia mengangguk lalu kembali berkata, "Hukuman untukmu sudah di putuskan. Namun, karena korban juga memiliki catatan kriminal yang cukup berat. Maka, penahanan mu akan di tunda."Theo sontak menatap Suga dengan ekspresi terkejut, tapi tak lama sorot matanya berubah gelisah. Hal itu sedikit membuat Suga bertanya-tanya.'Ia terkejut dan gelisah karena hukuman untuknya, atau karena ayahnya memiliki catatan kriminal parah?'.....Suga memasuki sebuah ruangan yang cukup berantakan, dan membuat mata sakit saat melihat tumpukan barang dan kertas di mana-mana. Melihat kekacauan itu Suga hanya bisa menghela nafas, saat melihat rekan-rekannya yang begitu sibuk dengan tugasnya masing-masing."Yo! Detektif Su, kau dari mana saja," seru Detektif Jonie. "Hasil otopsi sudah keluar, tolong segera ambil!"Suga yang mendengar seruan dari seniornya segera bergegas, tanpa bertanya atau protes ia berangkat ke rumah sakit."Astaga, lihatlah dia. Kerjanya begitu cepat," ucap Detektif Jonie sambil tertawa kecil."Kalian para tikus, lihat dan contoh junior kalian itu."Tiga orang detektif yang berada di ketua oleh Detektif Jonie itu, mendecih sebal dan saling menggerutu. Namun, meski begitu mereka mengakui apa yang di katakan oleh ketua mereka. Suga meskipun terlihat malas dan tak banyak bicara, ia selalu mengerjakan tugasnya dengan cepat dan tepat. Patut di jadikan teladan."Ah, andai saja rekan-rekanku semuanya seperti anak itu. Pasti kasus ini cepat selesai," celetuk Detektif Jonie yang di sambut dengungan protes dari para rekannya."Baik, baik. Aku berhenti. Jadi bagaimana hasil dari pengamatan cctv di sekitar tempat tinggal korban? Apa yang sudah kau temukan, Detektif Yang?," tanya Detektif Jonie sambil berjalan mendekat ke arah detektif berkepala botak bernama Yang Cuan."Dari cctv tak ada yang aneh, hanya menampilkan korban yang pulang pergi dalam keadaan kacau. Tapi, ini membuatku sedikit merinding. Dia setiap hari mabuk, apa kabar dengan organ dalamnya?"Detektif Jonie menghela nafas berat, "Bagaimana dengan informasi dari kepolisian?," tanya Detektif Jonie."Itu, pihak sana belum menghubungi. Sepertinya keadaan sedikit kacau, mereka kecolongan dan kasus ini di ketahui oleh para reporter.""Astaga, kalau begitu minta surat izin penyelidikan untuk memeriksa langsung TKP," ucap Detektif Jonie sambil mengurut keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri."Siap!," seru Detektif Yang."Ah, iya! Jika sudah mendapat surat izinnya, langsung pergi ke TKP, bawa anak itu juga. Pelakunya!" teriak Detektif Jonie pada Detektif Yang.Tak berapa lama setelah Detektif Yang pergi, Suga berlari memasuki ruangan dengan terburu-buru. Detektif Jonie yang melihat kedatangan Suga, melotot terkejut."Wah, kau sudah kembali? Berapa jarak dari sini ke rumah sakit, aku jadi lupa.""Ketua, hasil otopsi sudah keluar. Dan seperti yang di duga, selain mabuk dan judi. Dia juga seorang pemakai. Bahkan kandungan zat narkotika dalam darahnya begitu tinggi," ucap Suga sambil menyerahkan berkas hasil dari otopsi jasad korban.Detektif Jonie begitu serius membaca hasil pemeriksaan itu, alisnya mengerut dan sesekali ia menganggukkan kepalanya."Kita akan mulai mencari, minta rekan detektif dari divisi lain untuk membantu. Cari jejak korban mendapatkan barang itu. Ini akan sedikit merepotkan, tapi cukup sepadan dengan apa yang mungkin kita dapat."Seorang pria botak berlari masuk dengan tergesa-gesa, ke sebuah kantor detektif khusus swasta. Detektif Yang Cuan baru saja kembali dari kantor kepolisian pusat, guna meminta surat pengajuan penyelidikan lapangan atas nama detektif swasta."Ketua! Aku kembali. Surat pengajuannya di terima," ucap Detektif Yang sambil mengeluarkan secarik kertas. "Bagus! Langsung berangkat," timpal Detektif Jonie. "Panggil Detektif Suga, dan juga si pelaku." Detektif Jonie bangkit dari duduknya, dan menyambar jaket kulit yang teronggok di meja kerjanya. Detektif Yang untuk sesaat menghela nafas berat, ia tak menyangka jika ketuanya akan langsung ke TKP begitu surat pengajuannya di terima. "Kita tidak rapat dulu, ketua?," tanya Detektif Yang Cuan, yang sedikit kesulitan mengikuti langkah Detektif Jonie yang lebar. "Tak usah, kita membutuhkan bukti bukan diskusi yang tak membuahkan hasil seperti itu." ....Suasana perumahan di distrik Ss begitu sunyi, apalagi semenjak garis kuning polisi menghiasi s
Theo bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh lemas, tak jauh dari TKP yang juga adalah rumahnya. Keringat dingin mengalir di keningnya, saat lagi-lagi rasa mual muncul dan menyeruak di ulu hatinya. Beberapa detektif menyusulnya dengan ekspresi wajah panik, ada juga yang menggerutu menyangka si pelaku melarikan diri. Namun, nyatanya Theo berlari keluar hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Astaga! Kenapa kau sampai berlari! Kau ingin membuatku serangan jantung," seru seorang detektif yang mengejarnya. Theo tak mendengar apa yang di ucapkan oleh detektif itu, ia justru merasa kondisi tubuhnya semakin memburuk. Namun, meski para detektif itu menyadari kondisi Theo memburuk, tak satupun dari mereka peduli.Seorang detektif menghampirinya dan langsung menyeretnya kembali ke TKP. Theo yang bahkan untuk berdiri saja sudah sangat lemas, berjalan sempoyongan saat tangannya di tarik kuat oleh detektif itu. "Biar saya yang tangani senior," seru Suga yang menyusul berlari-lari kecil dari dal
Aku pernah sekali melihat seorang pria, yang menusukan botol pecah pada seseorang di balik gang gelap bangunan-bangunan rumah petak di permukiman kumuh. Dan, aku juga pernah sekali mencobanya. Darah itu terasa dingin dan kental saat melumuri kedua tanganku, dan sensasi itu berlangsung cukup lama meski tanganku sudah di cuci bersih sekalipun. Perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan terus mengikuti ku. Aku pikir, mungkin itu adalah rasa bersalah? ...."Aku tidak tau masalahmu. Mau menyesal atau apapun, terserah padamu. Tapi, jangan pernah berpikir hidupmu telah berakhir. Manusia itu sudah tempatnya salah, mau membunuh, mencuri atau memperkosa sekalipun itu tidak aneh menurutku. Karena manusia di ciptakan dengan emosi, akal dan nafsu." ucap seorang pemuda yang menjadi penghuni tahanan di sana, yang bernama Jerry. "Kau tau apa kasusku?" Theo menggelengkan kepalanya, dan Jerry tertawa kecil dengan suara rendahnya yang entah kenapa terdengar renyah. "Aku menjadi kaki tangan pembunuha
Suga menatap lelah layar monitor komputernya, kasus pembunuhan ayah kandung yang di lakukan seorang remaja menjadi topik paling panas di media sosial. Suga mengerang frustasi saat melihat sederet artikel yang di terbitkan oleh para wartawan, mengenai kasus tersebut. Berbeda dengan kasus sebelumnya, yang di publikasikan setelah tersangka benar-benar dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukumannya. Kali ini pelaku yang menjadi perbincangan itu, masih dalam penyelidikan. Terlepas dari dia yang telah membunuh. Namun, ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan. Hal itulah yang membuat pelaku belum mendapat putusan mengenai hukuman apa yang ia terima. Akan tetapi, hal penting saat ini adalah mereka sedang menyelidiki orang yang ada di belakang korban. Setelah hasil otopsi yang mengatakan adanya zat narkotika dalam tubuh korban, para detektif langsung menyelidikinya dan menemukan fakta bahwa korban pernah terlibat dalam sebuah kelompok kriminal. Dalam hal ini, sangat penting untuk menghind
Suga menundukkan kepalanya dengan mata terpejam, putusan dari sidang seorang tersangka pembunuhan telah sampai di hasil akhir. Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang yang telah mencapai usia dewasa melakukan tindak pidana, akan di berikan hukum yang sesuai undang-undang yang berlaku. Meski orang itu baru saja melewati usia dewasanya 1 jam yang lalu. Raut wajah putus asa dari remaja yang baru saja mendapatkan hukum pidananya untuk pertama kali, membuat ingatan Suga kembali melayang pada sosok dirinya di masa lalu. Lalu dengan langkah berani dan raut wajah datar andalannya, Suga berjalan menghampiri Theo. "Aku tau ucapanku ini tidak akan bisa mengubah apapun dalam hidupmu, tapi aku harap setelah kamu kembali mendapat kebebasanmu, segera temui aku. Datanglah padaku." ucap Suga. Tanpa menunggu balasan dari Theo, Suga segera berbalik pergi saat beberapa petugas polisi membawa remaja itu untuk mendapat hukumannya. 8 tahun. Itu adalah waktu yang cukup lama untuk mendekam dalam je
Suara ketukan jemari lentik dari siluet seorang perempuan berambut panjang menggema dalam keheningan, di temani cahaya lampu yang remang-remang dalam ruangan yang cukup sempit. Ceklek! Pintu ruangan itu terbuka dan muncullah seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah menengah pertama, dengan langkah pelan anak itu berjalan dan duduk di depan perempuan itu. "Bagaimana? Mudah dan cukup memuaskan bukan?" tanya perempuan itu dengan suara lembut dan ramah. Anak laki-laki itu mengangguk dan berterima kasih. Kemudian tangannya merogoh tas ransel yang di bawanya, mengambil sesuatu yang terbungkus tas plastik berwarna hitam dan menyerahkannya pada perempuan itu. "Ya, terima kasih kembali, itu bukan hal yang besar." ucap perempuan itu sambil tersenyum kecil menatap bungkusan misterius itu. Anak laki-laki itu pun pamit pergi, setelah berterima kasih dan menyerahkan bungkusan yang entah apa isinya itu. Setelah kepergian anak itu, perempuan itu pun mulai membuka bungkusan plasti
Suara sirine ambulans dan mobil polisi telah memecah kesunyian malam yang mencekam, ditengah guyuran hujan yang seakan turut bersedih pada sebuah kasus yang menimpa 5 orang yang baru saja menginjak usia dewasa yang tewas secara mengenaskan.Sebuah kamar sewa yang terletak di lantai 7 sebuah rumah susun kumuh, menjadi saksi atas kematian yang menggemparkan itu.Garis kuning polisi sudah di bentangkan sejauh 5 meter dari pintu lobi rusun itu, polisi dan para detektif juga ahli forensik begitu sibuk membedah tempat kejadian perkara."Ini. Aku tidak tau harus merespons bagaimana," ucap seorang dokter muda forensik dengan wajah ngeri saat matanya saling bertatapan dengan mata salah satu korban tewas."Huekk."Seorang detektif bahkan sampai berlari keluar dan memuntahkan isi perutnya, sesaat setelah ia masuk ke tempat kejadian.Bagaimana tidak muntah, lantai ruangan hampir seluruhnya memiliki bercak darah entah ditembok, perabotan bahkan langit-langit rumah. Belum lagi melihat kondisi mayat
Firasat buruknya berubah nyata saat dirinya tiba di sebuah ruangan autopsi. Pupil matanya bergetar melihat jasad yang diyakini adalah kakaknya terbujur kaku dengan kondisi tak lagi utuh. "Kakak...." panggil Suga dengan suara berbisik di samping jasad yang tak berbentuk itu. Suga yang dikenal tangguh, bahkan saat ayah dan ibunya bercerai dan meninggalkan dirinya seorang diri kini terlihat begitu rapuh. Air matanya yang tak pernah keluar kini justru saling berebut untuk tumpah. "Nak, kamu bisa mengambil jasad kakakmu untuk dikremasi sore ini. Untuk sekarang, silakan isi data identitas yang menyatakan memang bahwa jasad ini memang kakakmu," ucap seorang dokter forensik yang mendampingi Suga memasuki ruang autopsi. Suga untuk terakhir kalinya memandang wajah pucat kakaknya sebelum pergi. Saat melewati pintu ruang autopsi Suga sempat melihat, beberapa orang yang datang dengan mata sembab dan begitu kacau. "Mereka keluarga korban yang juga sempat membuat laporan orang hilang. Sama sepe