Suga menundukkan kepalanya dengan mata terpejam, putusan dari sidang seorang tersangka pembunuhan telah sampai di hasil akhir. Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang yang telah mencapai usia dewasa melakukan tindak pidana, akan di berikan hukum yang sesuai undang-undang yang berlaku. Meski orang itu baru saja melewati usia dewasanya 1 jam yang lalu. Raut wajah putus asa dari remaja yang baru saja mendapatkan hukum pidananya untuk pertama kali, membuat ingatan Suga kembali melayang pada sosok dirinya di masa lalu. Lalu dengan langkah berani dan raut wajah datar andalannya, Suga berjalan menghampiri Theo. "Aku tau ucapanku ini tidak akan bisa mengubah apapun dalam hidupmu, tapi aku harap setelah kamu kembali mendapat kebebasanmu, segera temui aku. Datanglah padaku." ucap Suga. Tanpa menunggu balasan dari Theo, Suga segera berbalik pergi saat beberapa petugas polisi membawa remaja itu untuk mendapat hukumannya. 8 tahun. Itu adalah waktu yang cukup lama untuk mendekam dalam je
Suara ketukan jemari lentik dari siluet seorang perempuan berambut panjang menggema dalam keheningan, di temani cahaya lampu yang remang-remang dalam ruangan yang cukup sempit. Ceklek! Pintu ruangan itu terbuka dan muncullah seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah menengah pertama, dengan langkah pelan anak itu berjalan dan duduk di depan perempuan itu. "Bagaimana? Mudah dan cukup memuaskan bukan?" tanya perempuan itu dengan suara lembut dan ramah. Anak laki-laki itu mengangguk dan berterima kasih. Kemudian tangannya merogoh tas ransel yang di bawanya, mengambil sesuatu yang terbungkus tas plastik berwarna hitam dan menyerahkannya pada perempuan itu. "Ya, terima kasih kembali, itu bukan hal yang besar." ucap perempuan itu sambil tersenyum kecil menatap bungkusan misterius itu. Anak laki-laki itu pun pamit pergi, setelah berterima kasih dan menyerahkan bungkusan yang entah apa isinya itu. Setelah kepergian anak itu, perempuan itu pun mulai membuka bungkusan plasti
Suara sirine ambulans dan mobil polisi telah memecah kesunyian malam yang mencekam, ditengah guyuran hujan yang seakan turut bersedih pada sebuah kasus yang menimpa 5 orang yang baru saja menginjak usia dewasa yang tewas secara mengenaskan.Sebuah kamar sewa yang terletak di lantai 7 sebuah rumah susun kumuh, menjadi saksi atas kematian yang menggemparkan itu.Garis kuning polisi sudah di bentangkan sejauh 5 meter dari pintu lobi rusun itu, polisi dan para detektif juga ahli forensik begitu sibuk membedah tempat kejadian perkara."Ini. Aku tidak tau harus merespons bagaimana," ucap seorang dokter muda forensik dengan wajah ngeri saat matanya saling bertatapan dengan mata salah satu korban tewas."Huekk."Seorang detektif bahkan sampai berlari keluar dan memuntahkan isi perutnya, sesaat setelah ia masuk ke tempat kejadian.Bagaimana tidak muntah, lantai ruangan hampir seluruhnya memiliki bercak darah entah ditembok, perabotan bahkan langit-langit rumah. Belum lagi melihat kondisi mayat
Firasat buruknya berubah nyata saat dirinya tiba di sebuah ruangan autopsi. Pupil matanya bergetar melihat jasad yang diyakini adalah kakaknya terbujur kaku dengan kondisi tak lagi utuh. "Kakak...." panggil Suga dengan suara berbisik di samping jasad yang tak berbentuk itu. Suga yang dikenal tangguh, bahkan saat ayah dan ibunya bercerai dan meninggalkan dirinya seorang diri kini terlihat begitu rapuh. Air matanya yang tak pernah keluar kini justru saling berebut untuk tumpah. "Nak, kamu bisa mengambil jasad kakakmu untuk dikremasi sore ini. Untuk sekarang, silakan isi data identitas yang menyatakan memang bahwa jasad ini memang kakakmu," ucap seorang dokter forensik yang mendampingi Suga memasuki ruang autopsi. Suga untuk terakhir kalinya memandang wajah pucat kakaknya sebelum pergi. Saat melewati pintu ruang autopsi Suga sempat melihat, beberapa orang yang datang dengan mata sembab dan begitu kacau. "Mereka keluarga korban yang juga sempat membuat laporan orang hilang. Sama sepe
Rasanya, waktu berjalan begitu cepat. Setelah menjalani sederet tes dan ujian, Suga resmi menjadi salah satu detektif muda di kepolisian. Ia baru mengikuti acara pelantikannya kemarin, dan sekarang sudah dihadapi oleh sebuah kasus.Suga menatap layar proyektor raksasa itu dengan pandangan malas, sesekali mulutnya menguap lebar. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja, ia mendapat sambutan dari sebuah kasus besar yang sepertinya akan menjadi kasus yang rumit. Pembunuhan yang dilakukan oleh remaja laki-laki pada ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki latar belakang yang cukup rumit. Ayahnya yang seorang pecandu, diduga menjadi tangan kanan dari salah satu gengster dari kelompok yang menjadi buronan. Setelah mendapat informasi jika korban tewas itu memiliki hubungan dengan dunia kriminal abu-abu, para detektif dikerahkan untuk mengusut hal itu. Sedangkan remaja yang menjadi pelakunya ditangani oleh pihak kepolisian setempat sesuai hukum yang berlaku.Dan, kini di ruangan yang r
Kana menatap Suga dengan ragu, ia menelan ludahnya sebelum suara seraknya mulai mengalun bercerita. ...."Dasar jalang!" teriak seorang pria paruh baya sambil melayangkan sebuah botol kaca.Seorang wanita yang duduk berlutut di lantai memekik ketakutan, tapi pria itu justru semakin menjadi. Tangan kekarnya menjambak rambut si wanita, hingga terlihat helaian rambutnya rontok di tangan pria yang mabuk dan sedang mengamuk itu."Mana uang ku, brengsek!" teriak pria itu dengan penuh makian sambil menghantamkan botol kata itu dinding di belakangnya.Prang!Serpihan kaca berserakan di lantai, belum cukup dengan menjambak kini pria itu menendang tubuh wanita itu hingga menabrak dinding. Tangisan kesakitan dan juga takut terdengar begitu pilu, wanita itu meringkuk di lantai menahan sakit. Seisi rumah sudah tak berbentuk, pecahan kaca dari vas dan gelas berhamburan di lantai. Perabotan rumah seperti kursi sofa dan meja pun tak luput dari amukan pria itu.Mereka berdua adalah sepasang suami istr
Dua hari berlalu setelah upacara pemakaman, Theo telah bersiap dengan seragam sekolahnya. Remaja itu menatap cemas ke arah adik kembarnya yang hanya menatap kosong ke arah jendela menjadi, rutinitas selama dua hari ini semenjak kematian tragis itu.Namun, kehidupan miskin mereka tak memperbolehkan Theo untuk berduka barang sedikit pun. Ia harus segera pergi sekolah, dan sore nanti dilanjutkan dengan kerja paruh waktu sesuai sekolah.Setelah berpamitan yang jelas tak mendapat respon dari Kana, Theo pun dengan berat hati pergi. Kini tinggallah Kana seorang diri, seperti tenggelam dalam dunianya yang dibuatnya sendiri gadis remaja itu bahkan tak bergeming saat seseorang memasuki rumah.Hingga bunyi pecahan botol yang dilempar dan menabrak dinding membuyarkan lamunannya, Kana dengan perasaan waspada menoleh hanya untuk melihat sosok sang ayah yang sudah menjulang di belakangnya. Tanpa bisa mencerna apa yang terjadi, Kana sudah terlempar menabrak meja hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.
Kana tidak tau sudah berapa lama waktu telah berlalu, ingatan terakhirnya adalah bagaimana ayahnya yang mendesah puas saat akhirnya mencapai klimaks. Kana menatap ke arah jendela, langit sudah berubah jingga. Sepertinya dia telah tertidur seharian ini, setelah energinya terkuras habis."Sakit sekali." Ucap Kana sambil berusaha untuk duduk.Cairan putih kental perlahan mengalir keluar di antara kedua pahanya, air mata mengalir saat melihat tubuhnya sendiri penuh tanda merah yang dibuat oleh sang ayah pagi tadi. Kana menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan erat, kilas balik perlakuan cabul dari sang ayah memenuhi benak gadis itu.Lalu dengan kaki yang gemetar, Kana berjalan menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan juga menggosoknya dengan kuat, berharap jejak menjijikkan yang ditinggalkan ayahnya bisa hilang. Setelah hari itu, sudah seperti kebiasaan rutin yang harus dilakukan Kana terus melakukan hal itu bersama ayahnya di bawah paksaan. Hingga suatu ketika."Ah, tolong ber
Suara ketukan jemari lentik dari siluet seorang perempuan berambut panjang menggema dalam keheningan, di temani cahaya lampu yang remang-remang dalam ruangan yang cukup sempit. Ceklek! Pintu ruangan itu terbuka dan muncullah seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah menengah pertama, dengan langkah pelan anak itu berjalan dan duduk di depan perempuan itu. "Bagaimana? Mudah dan cukup memuaskan bukan?" tanya perempuan itu dengan suara lembut dan ramah. Anak laki-laki itu mengangguk dan berterima kasih. Kemudian tangannya merogoh tas ransel yang di bawanya, mengambil sesuatu yang terbungkus tas plastik berwarna hitam dan menyerahkannya pada perempuan itu. "Ya, terima kasih kembali, itu bukan hal yang besar." ucap perempuan itu sambil tersenyum kecil menatap bungkusan misterius itu. Anak laki-laki itu pun pamit pergi, setelah berterima kasih dan menyerahkan bungkusan yang entah apa isinya itu. Setelah kepergian anak itu, perempuan itu pun mulai membuka bungkusan plasti
Suga menundukkan kepalanya dengan mata terpejam, putusan dari sidang seorang tersangka pembunuhan telah sampai di hasil akhir. Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang yang telah mencapai usia dewasa melakukan tindak pidana, akan di berikan hukum yang sesuai undang-undang yang berlaku. Meski orang itu baru saja melewati usia dewasanya 1 jam yang lalu. Raut wajah putus asa dari remaja yang baru saja mendapatkan hukum pidananya untuk pertama kali, membuat ingatan Suga kembali melayang pada sosok dirinya di masa lalu. Lalu dengan langkah berani dan raut wajah datar andalannya, Suga berjalan menghampiri Theo. "Aku tau ucapanku ini tidak akan bisa mengubah apapun dalam hidupmu, tapi aku harap setelah kamu kembali mendapat kebebasanmu, segera temui aku. Datanglah padaku." ucap Suga. Tanpa menunggu balasan dari Theo, Suga segera berbalik pergi saat beberapa petugas polisi membawa remaja itu untuk mendapat hukumannya. 8 tahun. Itu adalah waktu yang cukup lama untuk mendekam dalam je
Suga menatap lelah layar monitor komputernya, kasus pembunuhan ayah kandung yang di lakukan seorang remaja menjadi topik paling panas di media sosial. Suga mengerang frustasi saat melihat sederet artikel yang di terbitkan oleh para wartawan, mengenai kasus tersebut. Berbeda dengan kasus sebelumnya, yang di publikasikan setelah tersangka benar-benar dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukumannya. Kali ini pelaku yang menjadi perbincangan itu, masih dalam penyelidikan. Terlepas dari dia yang telah membunuh. Namun, ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan. Hal itulah yang membuat pelaku belum mendapat putusan mengenai hukuman apa yang ia terima. Akan tetapi, hal penting saat ini adalah mereka sedang menyelidiki orang yang ada di belakang korban. Setelah hasil otopsi yang mengatakan adanya zat narkotika dalam tubuh korban, para detektif langsung menyelidikinya dan menemukan fakta bahwa korban pernah terlibat dalam sebuah kelompok kriminal. Dalam hal ini, sangat penting untuk menghind
Aku pernah sekali melihat seorang pria, yang menusukan botol pecah pada seseorang di balik gang gelap bangunan-bangunan rumah petak di permukiman kumuh. Dan, aku juga pernah sekali mencobanya. Darah itu terasa dingin dan kental saat melumuri kedua tanganku, dan sensasi itu berlangsung cukup lama meski tanganku sudah di cuci bersih sekalipun. Perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan terus mengikuti ku. Aku pikir, mungkin itu adalah rasa bersalah? ...."Aku tidak tau masalahmu. Mau menyesal atau apapun, terserah padamu. Tapi, jangan pernah berpikir hidupmu telah berakhir. Manusia itu sudah tempatnya salah, mau membunuh, mencuri atau memperkosa sekalipun itu tidak aneh menurutku. Karena manusia di ciptakan dengan emosi, akal dan nafsu." ucap seorang pemuda yang menjadi penghuni tahanan di sana, yang bernama Jerry. "Kau tau apa kasusku?" Theo menggelengkan kepalanya, dan Jerry tertawa kecil dengan suara rendahnya yang entah kenapa terdengar renyah. "Aku menjadi kaki tangan pembunuha
Theo bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh lemas, tak jauh dari TKP yang juga adalah rumahnya. Keringat dingin mengalir di keningnya, saat lagi-lagi rasa mual muncul dan menyeruak di ulu hatinya. Beberapa detektif menyusulnya dengan ekspresi wajah panik, ada juga yang menggerutu menyangka si pelaku melarikan diri. Namun, nyatanya Theo berlari keluar hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Astaga! Kenapa kau sampai berlari! Kau ingin membuatku serangan jantung," seru seorang detektif yang mengejarnya. Theo tak mendengar apa yang di ucapkan oleh detektif itu, ia justru merasa kondisi tubuhnya semakin memburuk. Namun, meski para detektif itu menyadari kondisi Theo memburuk, tak satupun dari mereka peduli.Seorang detektif menghampirinya dan langsung menyeretnya kembali ke TKP. Theo yang bahkan untuk berdiri saja sudah sangat lemas, berjalan sempoyongan saat tangannya di tarik kuat oleh detektif itu. "Biar saya yang tangani senior," seru Suga yang menyusul berlari-lari kecil dari dal
Seorang pria botak berlari masuk dengan tergesa-gesa, ke sebuah kantor detektif khusus swasta. Detektif Yang Cuan baru saja kembali dari kantor kepolisian pusat, guna meminta surat pengajuan penyelidikan lapangan atas nama detektif swasta."Ketua! Aku kembali. Surat pengajuannya di terima," ucap Detektif Yang sambil mengeluarkan secarik kertas. "Bagus! Langsung berangkat," timpal Detektif Jonie. "Panggil Detektif Suga, dan juga si pelaku." Detektif Jonie bangkit dari duduknya, dan menyambar jaket kulit yang teronggok di meja kerjanya. Detektif Yang untuk sesaat menghela nafas berat, ia tak menyangka jika ketuanya akan langsung ke TKP begitu surat pengajuannya di terima. "Kita tidak rapat dulu, ketua?," tanya Detektif Yang Cuan, yang sedikit kesulitan mengikuti langkah Detektif Jonie yang lebar. "Tak usah, kita membutuhkan bukti bukan diskusi yang tak membuahkan hasil seperti itu." ....Suasana perumahan di distrik Ss begitu sunyi, apalagi semenjak garis kuning polisi menghiasi s
Aku duduk di ruang interogasi bersama seorang pelaku pembunuhan. Namun, mirisnya ia masih seorang anak kecil di mataku. Saat pertama kali mendengar kasus ini, aku bertanya-tanya. Kehidupan sekeras apa yang sudah di jalani remaja itu. Tapi, sekarang aku tau. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. "Nak, kamu pasti tau akibat dari tindakanmu," ucap Suga dengan suara yang mengalun lembut tanpa tekanan sedikit pun. Theo yang duduk di hadapan pria itu, perlahan mengangkat wajahnya hanya untuk sekedar menatap wajah pucat detektif itu. Theo mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan. Suga menatap anak itu dengan lekat, "Tapi aku tidak menyalahkan tindakanmu. Apa yang kamu lakukan untuk adikmu lebih berarti dari pada nyawa manusia yang tidak lebih baik dari bintang," ucap Suga yang sukses membuat Theo terperangah. Ucapan pria itu berbeda dari apa yang telah di lontarkan, oleh beberapa detektif lain yang memeriksanya. "Aku tidak akan membuatmu kembali menceritakan pengalaman buruk mu itu. T
Aku berjalan tak tentu arah, dengan wajah linglung dan penampilan yang berantakan. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengerutkan alis heran, ada juga yang memasang ekspresi ngeri saat melihat bercak darah yang bercecer pada seragam.'Aku sudah membunuh manusia.'Pikiran-pikiran itu terus berulang dibenakku seperti, comedi putar.Aku menatap ragu ke arah sebuah bangunan di depan, tanpa sadar kaki ku membawa ke sini. Dalam keadaan kalut seperti itu, Aku memberanikan diri untuk masuk. Saat sudah mencapai pintu masuk, Aku kembali berhenti. Beberapa orang dewasa di sana menatap dengan tajam dan menyelidik, hingga salah satu pria yang berseragam di sana menghampiri ku....."Hei, nak. Apa yang terjadi, padamu?," Tanya pria itu sambil menepuk pundak Theo perlahan.Pupil mata Theo menyempit dan bola matanya bergerak gelisah, dengan terbata-bata ia pun menceritakan insiden mengerikan yang sudah ia alami.Pria berseragam itu memberikan kode pada temannya, dan langsung dipahami. Pria itu m
Kana tidak tau sudah berapa lama waktu telah berlalu, ingatan terakhirnya adalah bagaimana ayahnya yang mendesah puas saat akhirnya mencapai klimaks. Kana menatap ke arah jendela, langit sudah berubah jingga. Sepertinya dia telah tertidur seharian ini, setelah energinya terkuras habis."Sakit sekali." Ucap Kana sambil berusaha untuk duduk.Cairan putih kental perlahan mengalir keluar di antara kedua pahanya, air mata mengalir saat melihat tubuhnya sendiri penuh tanda merah yang dibuat oleh sang ayah pagi tadi. Kana menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan erat, kilas balik perlakuan cabul dari sang ayah memenuhi benak gadis itu.Lalu dengan kaki yang gemetar, Kana berjalan menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan juga menggosoknya dengan kuat, berharap jejak menjijikkan yang ditinggalkan ayahnya bisa hilang. Setelah hari itu, sudah seperti kebiasaan rutin yang harus dilakukan Kana terus melakukan hal itu bersama ayahnya di bawah paksaan. Hingga suatu ketika."Ah, tolong ber