Kana menatap Suga dengan ragu, ia menelan ludahnya sebelum suara seraknya mulai mengalun bercerita.
...."Dasar jalang!" teriak seorang pria paruh baya sambil melayangkan sebuah botol kaca.Seorang wanita yang duduk berlutut di lantai memekik ketakutan, tapi pria itu justru semakin menjadi. Tangan kekarnya menjambak rambut si wanita, hingga terlihat helaian rambutnya rontok di tangan pria yang mabuk dan sedang mengamuk itu."Mana uang ku, brengsek!" teriak pria itu dengan penuh makian sambil menghantamkan botol kata itu dinding di belakangnya.Prang!Serpihan kaca berserakan di lantai, belum cukup dengan menjambak kini pria itu menendang tubuh wanita itu hingga menabrak dinding. Tangisan kesakitan dan juga takut terdengar begitu pilu, wanita itu meringkuk di lantai menahan sakit. Seisi rumah sudah tak berbentuk, pecahan kaca dari vas dan gelas berhamburan di lantai. Perabotan rumah seperti kursi sofa dan meja pun tak luput dari amukan pria itu.Mereka berdua adalah sepasang suami istri, kekerasan yang dilakukan oleh pria itu bukan hanya baru kali ini. Pria itu juga bukan tak mengenal jeruji besi, sudah berulang kali ia masuk. Salah satunya karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Belum lama ini ia keluar dari rumah sakit, setelah tetangganya melaporkannya ke pihak berwajib karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tapi satu minggu kemudian, ia kembali bebas setelah sang istri menangis dan menyerahkan surat pencabutan tuntutan.Dan kini pria itu kembali memukuli istrinya dengan kejam.Brak!Suara dari pintu yang di banting terdengar begitu nyaring, setelah memukuli dan melampiaskan amarahnya ia pun pergi.Kini tinggallah wanita itu yang menangis tersedu-sedu, sambil merangkak menghampiri seorang gadis remaja yang juga menangis sambil membekap mulut itu saat sang ayah akhirnya pergi.Gadis yang masih remaja itu berlari menuju ke arah ibunya, dan memeluknya dengan erat."Tidak apa," ujar Ibunya dengan suara serak dan lemah.Namun, tak lama setelah itu. tepat pukul 12 malam lewat 5 menit.Kana melihat sesosok perempuan paruh baya yang tak lain adalah ibunya sendiri, meregang nyawa dan menggantung pada seutas tambang di langit-langit rumahnya. Lalu tak berselang lama, seorang pria yang tak lain adalah ayahnya pulang. Masih dalam kondisi mabuk dan sepertinya lebih parah sehabis bermain judi. Entah karena terlalu shock pada kenyataan ibunya yang bunuh diri, Kana hanya meringkuk saat tubuhnya di pukul dan juga ditendang oleh ayahnya."Brengsek, karena jalang itu mati. Sekarang giliran mu untuk menggantikannya!" teriak sang ayah yang murka, setelah lagi dan lagi ia kalah judi.Setelah puas meluapkan emosinya dengan memukuli putrinya sendiri, pria itu berbaring di sofa dan tertidur lelap. Sedangkan Kana perlahan mulai merangkak ke arah mayat sang ibu yang masih tergantung, gadis remaja itu memeluk kaki ibunya yang sudah mulai mendingin dengan erat."Ibu. Kata ibu, kita harus bertahan. Bahkan saat kakak mengajak kita untuk kabur, ibu menolaknya. Tapi kenapa sekarang ibu pergi sendirian tanpa mengajak aku dan kakak," ucap Kana dengan suara serak yang nyaris hilang.....Seorang remaja yang berjalan menerobos hujan pada dini hari, masih dengan seragam sekolahnya yang lusuh ia seakan tak peduli dengan air hujan yang sudah mengguyur tubuhnya. Setalah seharian kemarin ia tidak pulang, dan bekerja lembur di tempat kerja sambilannya hingga pagi hari ini ia akhirnya pulang. Senyum merekah di bibirnya yang sedikit pucat, entah apa yang membuatnya seakan mendapat setengah dari dunia di bawah kakinya itu.Dengan semangat remaja itu membuka pintu rumahnya. "Ibu! Kana! Kakak pulang," seru remaja itu.Namun, suasana rumah begitu sunyi dan juga gelap. Remaja itu berjalan meraba-raba dinding dan mulai menyalakan lampu, seketika bola matanya yang berbinar cerah itu redup dan bergetar. Kana yang menyadari dengan kehadiran kakaknya menoleh, dan dengan wajah sembab berurai air mata ia memohon dengan suara serak menahan tangis."Kakak, tolong ibu," ucap seorang gadis remaja itu yang menatap ke arah remaja laki-laki itu dengan putus asa."Kak Theo, aku tidak bisa menurunkan ibu," ucap Kana sambil memeluk kaki ibunya yang menggantung.Theo menatap tak percaya ke arah tubuh ibunya yang sudah kaku menggantung di langit-langit rumahnya, lalu beralih pada adiknya yang juga dalam kondisi yang memprihatinkan. Wajah yang bengkak dan bahkan darah yang sudah mulai mengering di pelipis dan hidungnya.Dengan dada yang sesak dan pandangan mata yang memburam Theo memeluk adiknya dengan erat. Sebuah bungkusan yang sedari tadi Theo genggam dengan riang gembira, seketika jatuh dan terabaikan. Membuat isi dari bungkusan itu berceceran di lantai, dan menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi mengenaskan.Theo tak menyangka sedikit pun bahwa di hari ulang tahun adik kembarnya, Kana mendapatkan kado paling menyakitkan dari sang ibu. Butuh lebih banyak waktu saat Theo akhirnya berhasil menurunkan jasad ibunya, dengan hati yang pedih ia berlari keluar untuk meminta bantuan.Hari itu juga Theo berserta adiknya melakukan upacara pemakaman untuk mendiang sang ibu, meski hanya seadanya mereka ingin melakukan hal yang berarti untuk jasad ibu mereka. Sepanjang acara pemakaman sosok sang ayah tak terlihat sedikit pun, membuat para pelayat bergosip di belakang tentang betapa malangnya nasib ke dua remaja itu."Astaga, kasihan sekali," ujar seorang nenek yang tinggal di samping rumah."Harusnya Mary mendengarkan saran untuk tidak mencabut tuntunan hukum pada suaminya itu, kasihan sekali. Haish sungguh malang."Theo mengusap pundak Kana dan menepuknya perlahan, mencoba saling menguatkan dan memberi semangat satu sama lain.Dua hari berlalu setelah upacara pemakaman, Theo telah bersiap dengan seragam sekolahnya. Remaja itu menatap cemas ke arah adik kembarnya yang hanya menatap kosong ke arah jendela menjadi, rutinitas selama dua hari ini semenjak kematian tragis itu.Namun, kehidupan miskin mereka tak memperbolehkan Theo untuk berduka barang sedikit pun. Ia harus segera pergi sekolah, dan sore nanti dilanjutkan dengan kerja paruh waktu sesuai sekolah.Setelah berpamitan yang jelas tak mendapat respon dari Kana, Theo pun dengan berat hati pergi. Kini tinggallah Kana seorang diri, seperti tenggelam dalam dunianya yang dibuatnya sendiri gadis remaja itu bahkan tak bergeming saat seseorang memasuki rumah.Hingga bunyi pecahan botol yang dilempar dan menabrak dinding membuyarkan lamunannya, Kana dengan perasaan waspada menoleh hanya untuk melihat sosok sang ayah yang sudah menjulang di belakangnya. Tanpa bisa mencerna apa yang terjadi, Kana sudah terlempar menabrak meja hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.
Kana tidak tau sudah berapa lama waktu telah berlalu, ingatan terakhirnya adalah bagaimana ayahnya yang mendesah puas saat akhirnya mencapai klimaks. Kana menatap ke arah jendela, langit sudah berubah jingga. Sepertinya dia telah tertidur seharian ini, setelah energinya terkuras habis."Sakit sekali." Ucap Kana sambil berusaha untuk duduk.Cairan putih kental perlahan mengalir keluar di antara kedua pahanya, air mata mengalir saat melihat tubuhnya sendiri penuh tanda merah yang dibuat oleh sang ayah pagi tadi. Kana menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan erat, kilas balik perlakuan cabul dari sang ayah memenuhi benak gadis itu.Lalu dengan kaki yang gemetar, Kana berjalan menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dan juga menggosoknya dengan kuat, berharap jejak menjijikkan yang ditinggalkan ayahnya bisa hilang. Setelah hari itu, sudah seperti kebiasaan rutin yang harus dilakukan Kana terus melakukan hal itu bersama ayahnya di bawah paksaan. Hingga suatu ketika."Ah, tolong ber
Aku berjalan tak tentu arah, dengan wajah linglung dan penampilan yang berantakan. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengerutkan alis heran, ada juga yang memasang ekspresi ngeri saat melihat bercak darah yang bercecer pada seragam.'Aku sudah membunuh manusia.'Pikiran-pikiran itu terus berulang dibenakku seperti, comedi putar.Aku menatap ragu ke arah sebuah bangunan di depan, tanpa sadar kaki ku membawa ke sini. Dalam keadaan kalut seperti itu, Aku memberanikan diri untuk masuk. Saat sudah mencapai pintu masuk, Aku kembali berhenti. Beberapa orang dewasa di sana menatap dengan tajam dan menyelidik, hingga salah satu pria yang berseragam di sana menghampiri ku....."Hei, nak. Apa yang terjadi, padamu?," Tanya pria itu sambil menepuk pundak Theo perlahan.Pupil mata Theo menyempit dan bola matanya bergerak gelisah, dengan terbata-bata ia pun menceritakan insiden mengerikan yang sudah ia alami.Pria berseragam itu memberikan kode pada temannya, dan langsung dipahami. Pria itu m
Aku duduk di ruang interogasi bersama seorang pelaku pembunuhan. Namun, mirisnya ia masih seorang anak kecil di mataku. Saat pertama kali mendengar kasus ini, aku bertanya-tanya. Kehidupan sekeras apa yang sudah di jalani remaja itu. Tapi, sekarang aku tau. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. "Nak, kamu pasti tau akibat dari tindakanmu," ucap Suga dengan suara yang mengalun lembut tanpa tekanan sedikit pun. Theo yang duduk di hadapan pria itu, perlahan mengangkat wajahnya hanya untuk sekedar menatap wajah pucat detektif itu. Theo mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan. Suga menatap anak itu dengan lekat, "Tapi aku tidak menyalahkan tindakanmu. Apa yang kamu lakukan untuk adikmu lebih berarti dari pada nyawa manusia yang tidak lebih baik dari bintang," ucap Suga yang sukses membuat Theo terperangah. Ucapan pria itu berbeda dari apa yang telah di lontarkan, oleh beberapa detektif lain yang memeriksanya. "Aku tidak akan membuatmu kembali menceritakan pengalaman buruk mu itu. T
Seorang pria botak berlari masuk dengan tergesa-gesa, ke sebuah kantor detektif khusus swasta. Detektif Yang Cuan baru saja kembali dari kantor kepolisian pusat, guna meminta surat pengajuan penyelidikan lapangan atas nama detektif swasta."Ketua! Aku kembali. Surat pengajuannya di terima," ucap Detektif Yang sambil mengeluarkan secarik kertas. "Bagus! Langsung berangkat," timpal Detektif Jonie. "Panggil Detektif Suga, dan juga si pelaku." Detektif Jonie bangkit dari duduknya, dan menyambar jaket kulit yang teronggok di meja kerjanya. Detektif Yang untuk sesaat menghela nafas berat, ia tak menyangka jika ketuanya akan langsung ke TKP begitu surat pengajuannya di terima. "Kita tidak rapat dulu, ketua?," tanya Detektif Yang Cuan, yang sedikit kesulitan mengikuti langkah Detektif Jonie yang lebar. "Tak usah, kita membutuhkan bukti bukan diskusi yang tak membuahkan hasil seperti itu." ....Suasana perumahan di distrik Ss begitu sunyi, apalagi semenjak garis kuning polisi menghiasi s
Theo bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh lemas, tak jauh dari TKP yang juga adalah rumahnya. Keringat dingin mengalir di keningnya, saat lagi-lagi rasa mual muncul dan menyeruak di ulu hatinya. Beberapa detektif menyusulnya dengan ekspresi wajah panik, ada juga yang menggerutu menyangka si pelaku melarikan diri. Namun, nyatanya Theo berlari keluar hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Astaga! Kenapa kau sampai berlari! Kau ingin membuatku serangan jantung," seru seorang detektif yang mengejarnya. Theo tak mendengar apa yang di ucapkan oleh detektif itu, ia justru merasa kondisi tubuhnya semakin memburuk. Namun, meski para detektif itu menyadari kondisi Theo memburuk, tak satupun dari mereka peduli.Seorang detektif menghampirinya dan langsung menyeretnya kembali ke TKP. Theo yang bahkan untuk berdiri saja sudah sangat lemas, berjalan sempoyongan saat tangannya di tarik kuat oleh detektif itu. "Biar saya yang tangani senior," seru Suga yang menyusul berlari-lari kecil dari dal
Aku pernah sekali melihat seorang pria, yang menusukan botol pecah pada seseorang di balik gang gelap bangunan-bangunan rumah petak di permukiman kumuh. Dan, aku juga pernah sekali mencobanya. Darah itu terasa dingin dan kental saat melumuri kedua tanganku, dan sensasi itu berlangsung cukup lama meski tanganku sudah di cuci bersih sekalipun. Perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan terus mengikuti ku. Aku pikir, mungkin itu adalah rasa bersalah? ...."Aku tidak tau masalahmu. Mau menyesal atau apapun, terserah padamu. Tapi, jangan pernah berpikir hidupmu telah berakhir. Manusia itu sudah tempatnya salah, mau membunuh, mencuri atau memperkosa sekalipun itu tidak aneh menurutku. Karena manusia di ciptakan dengan emosi, akal dan nafsu." ucap seorang pemuda yang menjadi penghuni tahanan di sana, yang bernama Jerry. "Kau tau apa kasusku?" Theo menggelengkan kepalanya, dan Jerry tertawa kecil dengan suara rendahnya yang entah kenapa terdengar renyah. "Aku menjadi kaki tangan pembunuha
Suga menatap lelah layar monitor komputernya, kasus pembunuhan ayah kandung yang di lakukan seorang remaja menjadi topik paling panas di media sosial. Suga mengerang frustasi saat melihat sederet artikel yang di terbitkan oleh para wartawan, mengenai kasus tersebut. Berbeda dengan kasus sebelumnya, yang di publikasikan setelah tersangka benar-benar dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukumannya. Kali ini pelaku yang menjadi perbincangan itu, masih dalam penyelidikan. Terlepas dari dia yang telah membunuh. Namun, ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan. Hal itulah yang membuat pelaku belum mendapat putusan mengenai hukuman apa yang ia terima. Akan tetapi, hal penting saat ini adalah mereka sedang menyelidiki orang yang ada di belakang korban. Setelah hasil otopsi yang mengatakan adanya zat narkotika dalam tubuh korban, para detektif langsung menyelidikinya dan menemukan fakta bahwa korban pernah terlibat dalam sebuah kelompok kriminal. Dalam hal ini, sangat penting untuk menghind