"Aku bukan milik siapa pun, Bastian. Bahkan kau," ucap Deana dengan suara yang lebih kuat daripada yang ia rasakan. Kata-kata itu adalah tantangan yang tak bisa ia tarik kembali.Bastian membalas dengan cengkeraman yang lebih kuat di bahunya, matanya menyala dengan amarah yang membara."Kau salah besar jika berpikir bisa lari dariku. Aku akan memastikan kau tetap di sisiku, bahkan jika itu berarti menghancurkan semua yang kau miliki."Deana merasa ada yang berubah dalam sikap Bastian. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang memberinya sedikit celah. Apakah mungkin ia mulai terperangkap dalam permainan Lady Dee? Deana tidak ingin kehilangan momentum ini. Jika Bastian mulai goyah, maka ia harus memanfaatkannya."Kau selalu ingin memiliki segalanya,"Deana mendekatkan wajahnya ke Bastian, suara lembut namun penuh tipu muslihat."Tapi aku akan memberimu pilihan. Jika aku memang milikmu, maka kau harus memilih antara aku… atau Raya."Bastian terdiam sejenak, jelas terkejut dengan pernya
Bastian tersentak dengan pernyataan itu. Untuk pertama kalinya, Deana bisa melihat sedikit keraguan di mata pria itu. Tapi sebelum Bastian sempat menjawab, Raya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memecah ketegangan yang menggantung di udara."Apa yang terjadi di sini?" suara Raya terdengar ceria, meski ada rasa curiga yang tersirat dalam tatapannya. Ia mendekati mereka berdua dengan senyuman lebar, seolah tidak menyadari intensitas yang baru saja terjadi.Deana melirik ke arah Raya dengan tenang, kemudian kembali menatap Bastian, yang tampaknya sedang berusaha menenangkan diri dari badai emosinya."Aku hanya memastikan bahwa Bastian tahu apa yang ia inginkan," jawab Deana dengan senyum penuh arti.Raya memandang Bastian dengan tatapan penuh harapan, seolah mencari kepastian. "Bastian? Apa maksudnya ini?"Bastian berdiri tegap, mengalihkan pandangannya dari Deana ke Raya. Ada ketegangan di sana, namun Deana tahu bahwa pria itu tidak akan memperlihatkan kelemahannya di depan Raya.“Kau t
Deana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Bastian yang memandangnya dengan tatapan membara. Deana tahu bahwa obsesi Bastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Pria itu akan terus mengejarnya, menghantui setiap langkahnya, tetapi Deana tidak akan menyerah. Ia memiliki misinya sendiri, dan itu jauh lebih penting daripada sekadar menjadi milik seseorang.Saat Deana keluar dari ruangan, ia bisa merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Malam ini mungkin baru permulaan, tetapi Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, inilah saat di mana ia akan mulai benar-benar memainkan permainannya.Bastian berpikir dia memegang kendali. Tapi Deana tahu, dalam diam, dialah yang akan menulis akhir cerita ini.Raya menatap punggung Deana yang semakin menjauh, rahangnya mengeras dengan perasaan iri dan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Selama ini, Bastian memang dikenal sebagai pria yang tidak pernah setia pada satu wanita, bahka
Di sudut lain kota, Deana berjalan pelan di jalanan yang gelap. Langkah-langkahnya terasa ringan meski pikirannya berat. Ia tahu bahwa bermain-main dengan Bastian adalah tarian berbahaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Jika dia ingin membalas dendam dan menyelesaikan misi yang diembannya, Bastian adalah kunci dari semuanya.Namun, tatapan penuh kebencian Raya tadi masih terbayang jelas di benaknya. Deana tahu betul bahwa wanita itu tidak akan tinggal diam. Raya memiliki pengaruh, uang, dan—yang paling penting—akses langsung ke kehidupan Bastian. Jika Raya merasa terancam, dia akan melakukan apa saja untuk menjatuhkan Deana.Tapi aku tidak akan gentar, pikir Deana, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari kepastian di tengah kegelapan. Jika Raya ingin bermain, aku siap meladeninya. Tapi ini adalah permainanku, dan aku tidak akan kalah.Malam itu, di bawah langit kota yang gelap dan sunyi, Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun rencana Raya, dia akan selalu selangkah
Seharusnya, malam itu menjadi salah satu malam paling bahagia dalam hidupnya. Deana Sazmeen dan Alan, tunangannya.Sedang menuju butik tempat mereka akan melakukan fitting baju pernikahan. Semua terasa begitu sempurna.Namun, hanya dalam hitungan detik, segalanya hancur.Malam itu hujan turun dengan deras. Petir menyambar, menggema di antara gedung-gedung tinggi, namun tak ada yang lebih memekakkan telinganya selain suara tembakan yang merenggut nyawa pria yang dicintainya.“ALAN!” teriak Deana, suaranya pecah.Alan terhuyung, tangannya yang tadi hendak membuka pintu mobil kini terangkat lemah ke dadanya, berusaha menghentikan darah yang terus mengalir. Wajahnya yang tampan mulai kehilangan warna. Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk ke trotoar, tepat di samping mobil.Deana bergegas keluar dari mobil. Ia jatuh berlutut di samping Alan, tangannya gemetar saat menyentuh wajah pria itu.“Alan, bertahanlah! Tolong, bertahanlah!"Suaranya pecah dalam keputusasaan, napasnya memburu. Degup
William tersenyum tipis."Itulah jawaban yang ingin kudengar. Tapi kau harus mengerti, ini bukan sekadar balas dendam. Ini lebih besar dari itu, Deana. Kau akan masuk ke dalam dunia yang penuh bahaya. Sekali melangkah, kau tidak bisa kembali."Deana berjalan mendekat, duduk di hadapan William."Aku tidak peduli. Bastian telah menghancurkan hidupku, dan aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja."William menghela napas, lalu meraih sebuah amplop cokelat dari dalam jasnya. Ia meletakkannya di atas meja."Ini adalah semua informasi tentang Bastian. Pergerakannya, kebiasaannya, dan—yang paling penting—kelemahannya. Aku membutuhkan seseorang yang bisa masuk ke lingkarannya, seseorang yang cukup menarik perhatian untuk berada di dekatnya. Kau adalah kandidat yang sempurna."Deana mengambil amplop itu dan membukanya. Foto-foto Bastian dengan berbagai wanita, transaksi bisnis ilegal, serta lokasi-lokasi tempat ia sering berkunjung. Mata Deana menelusuri setiap lembaran dengan seksama."
William mengangguk.“Kita hanya punya satu kesempatan. Setelah kamu berada di dalam, tak akan ada jalan keluar yang mudah. Bastian adalah tipe pria yang mengendus kelemahan dari jarak jauh. Kamu harus bermain sempurna.”Deana tahu betul risiko yang dia ambil. Dunia Bastian adalah labirin penuh jebakan, dengan kejamnya para pembunuh dan pengkhianat berkeliaran di sekelilingnya.Namun, di sisi lain dari labirin itu ada jawaban atas kematian tunangannya, dan dia tidak akan mundur sebelum menghancurkan Bastian dari dalam.William telah memberinya semua informasi yang dia butuhkan, dan sekarang giliran dia untuk bertindak.William melangkah maju, memberikan sebuah alat pelacak kecil yang akan disematkan di dalam gaun mewahnya.“Ini satu-satunya cara aku bisa tetap memantau kamu dari jauh. Ingat, tidak ada emosi. Di depan Bastian, kamu hanya Lady Dee. Wanita yang menggoda, tak kenal takut, dan profesional.”Deana tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh dendam.“Aku akan memainkan pera
Deana memutuskan untuk tidak terburu-buru.Dia berjalan ke arah bar, duduk di kursi tinggi, dan memesan minuman dengan nada santai.Matanya menyapu ruangan, mengamati siapa saja yang mungkin menjadi kawan atau lawan.Namun di balik ekspresi tenangnya, hatinya berdegup cepat.Dia tahu setiap langkah yang diambil di sini penuh risiko. Satu kesalahan kecil, dan hidupnya bisa berakhir malam ini juga.“Minuman yang menarik untuk wanita sepertimu,” sebuah suara rendah dan dalam tiba-tiba terdengar di sebelahnya.Deana menoleh, menemukan Bastian telah berdiri di sana. Tak ada yang mendengar langkahnya, dia bergerak seolah udara sendiri tidak menyadari kehadirannya. Dingin, namun penuh kendali.Deana menyeringai tipis, memainkan gelas anggurnya dengan jari-jari lentiknya."Aku selalu memilih sesuatu yang kuat," jawabnya dengan nada yang menantang, namun tetap terjaga.Bastian menyipitkan matanya, jelas tertarik dengan jawaban Deana."Kuat, tapi berbahaya. Kombinasi yang jarang ditemui."Deana
Di sudut lain kota, Deana berjalan pelan di jalanan yang gelap. Langkah-langkahnya terasa ringan meski pikirannya berat. Ia tahu bahwa bermain-main dengan Bastian adalah tarian berbahaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Jika dia ingin membalas dendam dan menyelesaikan misi yang diembannya, Bastian adalah kunci dari semuanya.Namun, tatapan penuh kebencian Raya tadi masih terbayang jelas di benaknya. Deana tahu betul bahwa wanita itu tidak akan tinggal diam. Raya memiliki pengaruh, uang, dan—yang paling penting—akses langsung ke kehidupan Bastian. Jika Raya merasa terancam, dia akan melakukan apa saja untuk menjatuhkan Deana.Tapi aku tidak akan gentar, pikir Deana, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari kepastian di tengah kegelapan. Jika Raya ingin bermain, aku siap meladeninya. Tapi ini adalah permainanku, dan aku tidak akan kalah.Malam itu, di bawah langit kota yang gelap dan sunyi, Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun rencana Raya, dia akan selalu selangkah
Deana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Bastian yang memandangnya dengan tatapan membara. Deana tahu bahwa obsesi Bastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Pria itu akan terus mengejarnya, menghantui setiap langkahnya, tetapi Deana tidak akan menyerah. Ia memiliki misinya sendiri, dan itu jauh lebih penting daripada sekadar menjadi milik seseorang.Saat Deana keluar dari ruangan, ia bisa merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Malam ini mungkin baru permulaan, tetapi Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, inilah saat di mana ia akan mulai benar-benar memainkan permainannya.Bastian berpikir dia memegang kendali. Tapi Deana tahu, dalam diam, dialah yang akan menulis akhir cerita ini.Raya menatap punggung Deana yang semakin menjauh, rahangnya mengeras dengan perasaan iri dan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Selama ini, Bastian memang dikenal sebagai pria yang tidak pernah setia pada satu wanita, bahka
Bastian tersentak dengan pernyataan itu. Untuk pertama kalinya, Deana bisa melihat sedikit keraguan di mata pria itu. Tapi sebelum Bastian sempat menjawab, Raya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memecah ketegangan yang menggantung di udara."Apa yang terjadi di sini?" suara Raya terdengar ceria, meski ada rasa curiga yang tersirat dalam tatapannya. Ia mendekati mereka berdua dengan senyuman lebar, seolah tidak menyadari intensitas yang baru saja terjadi.Deana melirik ke arah Raya dengan tenang, kemudian kembali menatap Bastian, yang tampaknya sedang berusaha menenangkan diri dari badai emosinya."Aku hanya memastikan bahwa Bastian tahu apa yang ia inginkan," jawab Deana dengan senyum penuh arti.Raya memandang Bastian dengan tatapan penuh harapan, seolah mencari kepastian. "Bastian? Apa maksudnya ini?"Bastian berdiri tegap, mengalihkan pandangannya dari Deana ke Raya. Ada ketegangan di sana, namun Deana tahu bahwa pria itu tidak akan memperlihatkan kelemahannya di depan Raya.“Kau t
"Aku bukan milik siapa pun, Bastian. Bahkan kau," ucap Deana dengan suara yang lebih kuat daripada yang ia rasakan. Kata-kata itu adalah tantangan yang tak bisa ia tarik kembali.Bastian membalas dengan cengkeraman yang lebih kuat di bahunya, matanya menyala dengan amarah yang membara."Kau salah besar jika berpikir bisa lari dariku. Aku akan memastikan kau tetap di sisiku, bahkan jika itu berarti menghancurkan semua yang kau miliki."Deana merasa ada yang berubah dalam sikap Bastian. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang memberinya sedikit celah. Apakah mungkin ia mulai terperangkap dalam permainan Lady Dee? Deana tidak ingin kehilangan momentum ini. Jika Bastian mulai goyah, maka ia harus memanfaatkannya."Kau selalu ingin memiliki segalanya,"Deana mendekatkan wajahnya ke Bastian, suara lembut namun penuh tipu muslihat."Tapi aku akan memberimu pilihan. Jika aku memang milikmu, maka kau harus memilih antara aku… atau Raya."Bastian terdiam sejenak, jelas terkejut dengan pernya
Raven berbalik, meninggalkan Deana dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Pria itu jelas berbahaya, dan sekarang dia telah menjadi bagian dari lingkaran yang semakin menjeratnya ke dalam permainan penuh intrik ini. Pertemuan mereka malam ini hanyalah permulaan, dan Deana tahu bahwa dia harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang.Deana berdiri sejenak di ruangan itu, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Bastian mungkin berkuasa di permukaan, tetapi Raven adalah bayangan di balik semua itu, mengamati dan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Pertemuan ini bukanlah kebetulan; Raven sengaja mengujinya, mencoba melihat seberapa kuat ia mampu bertahan dalam permainan yang lebih besar daripada dirinya.Dan Deana, meski terjebak di tengah-tengahnya, harus memastikan bahwa dia tetap memegang kendali atas dirinya sendiri. Tidak ada ruang untuk kesalahan.*Bastian berjalan kembali ke kamar dengan langkah berat dan tatapan yang dingin, amarahnya belum mereda. Ia merasa dipermainkan, tida
Deana menatap Bastian dengan mata yang tak sedikitpun goyah, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa situasi ini jauh dari aman. Kehadiran Bastian yang mendadak dan nada suaranya yang dingin seperti es memberi tanda jelas bahwa pria itu tidak senang. Raven, di sisi lain, berdiri dengan senyum licik yang seolah menikmati ketegangan di antara mereka."Aku tidak sedang melakukan sesuatu yang salah, Bastian," Deana berbicara dengan nada rendah namun tegas. Dia tahu dia harus berhati-hati dalam memilih kata-kata, karena satu kesalahan kecil bisa membuat situasi ini meledak dalam sekejap.Bastian melangkah lebih dekat, tatapannya tajam menembus Deana. "Tidak ada yang berada di ruangan ini tanpa seizinku. Dan kau tahu itu."Deana tidak mundur. "Aku hanya memenuhi undangan Raven," jawabnya, sambil melirik ke arah Raven yang masih tersenyum penuh tipu muslihat.Raven, yang sejak tadi hanya menyaksikan, kini melangkah maju, menempatkan dirinya di tengah-tengah ketega
"Baik," ucap Deana sambil berdiri. "Aku akan mencari tahu. Tapi ingat, jika ini jebakan, aku tidak akan segan-segan menghancurkan permainanmu juga."Raven tersenyum samar, tak tergoyahkan oleh ancaman halus itu. "Aku tidak bermain dengan cara yang mudah, Lady Dee. Tapi aku juga bukan musuh yang mudah dikalahkan."Deana meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk. Ada ketegangan dan rasa waspada, tapi di balik itu semua, ada rasa penasaran yang tumbuh. Siapa sebenarnya Raven? Apa rencana besarnya? Dan bagaimana dia bisa menggunakan informasi ini untuk keuntungannya sendiri?Satu hal yang pasti—permainan ini semakin berbahaya. Deana harus memainkan setiap kartu dengan hati-hati, karena kesalahan sekecil apa pun bisa menghancurkan semuanya.*Malam semakin larut ketika Bastian berjalan menuju kamar Deana, langkah kakinya tegas, penuh dengan dominasi yang biasa ia tunjukkan. Setelah menjalani pertemuan dengan beberapa rekan bisnis, pikiranny
Raven tertawa kecil, nada gelinya terdengar tajam. "Aku mengundangmu karena aku penasaran. Sejauh mana kau akan melangkah untuk mencapai tujuanmu? Seberapa dalam kau bisa tenggelam dalam peranmu sebagai Lady Dee?"Deana menahan diri untuk tidak merespons terlalu cepat. Pria ini sedang mengujinya. Bukan sekadar untuk mengetahui seberapa profesional dirinya sebagai pelacur elit, tetapi lebih dari itu, Raven ingin mengetahui apakah Deana benar-benar sanggup bermain dalam permainan yang jauh lebih berbahaya."Kau ingin menguji aku?" tanya Deana, angkat alisnya. "Lalu apa hadiahnya jika aku lulus ujiannya?"Raven mendekatkan wajahnya ke arah Deana, hampir seolah-olah sedang membisikkan rahasia. "Hadiahku adalah informasi yang kau cari. Aku tahu apa yang kau inginkan dari Bastian. Dan aku bisa membantumu."Deana terdiam. Jebakan atau peluang? Bagaimanapun, Raven tahu lebih dari yang dia perkirakan. Jika dia bisa memanfaatkannya, mungkin ini akan menjadi langkah
Nama itu muncul di antara bisikan-bisikan samar dari beberapa orang dalam lingkaran Bastian. Dia bukan orang yang sering muncul di permukaan, tetapi kehadirannya terasa kuat. Beberapa kali Deana menangkap percakapan yang menyebutnya sebagai "bayangan di balik layar," seorang pria yang memiliki pengaruh besar, meski jarang terlihat. Hingga kini, Deana belum pernah bertemu langsung dengannya, namun firasatnya mengatakan bahwa dia adalah kunci untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang Bastian.Malam itu, Deana sedang memutar-mutar gelas anggur di tangannya, mencoba merenungkan langkah selanjutnya. Pikirannya terus memikirkan cara untuk lebih mendekati pusat kekuasaan, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.Pesan itu singkat, namun jelas."Aku ingin bertemu denganmu. Malam ini, jam 9. Di ruang rahasia di lantai bawah. —Raven."Deana menatap pesan itu dengan kerutan di dahinya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Raven. Akhirnya, pria itu memutuskan untuk keluar d