William tersenyum tipis.
"Itulah jawaban yang ingin kudengar. Tapi kau harus mengerti, ini bukan sekadar balas dendam. Ini lebih besar dari itu, Deana. Kau akan masuk ke dalam dunia yang penuh bahaya. Sekali melangkah, kau tidak bisa kembali."
Deana berjalan mendekat, duduk di hadapan William.
"Aku tidak peduli. Bastian telah menghancurkan hidupku, dan aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja."
William menghela napas, lalu meraih sebuah amplop cokelat dari dalam jasnya. Ia meletakkannya di atas meja.
"Ini adalah semua informasi tentang Bastian. Pergerakannya, kebiasaannya, dan—yang paling penting—kelemahannya. Aku membutuhkan seseorang yang bisa masuk ke lingkarannya, seseorang yang cukup menarik perhatian untuk berada di dekatnya. Kau adalah kandidat yang sempurna."
Deana mengambil amplop itu dan membukanya. Foto-foto Bastian dengan berbagai wanita, transaksi bisnis ilegal, serta lokasi-lokasi tempat ia sering berkunjung. Mata Deana menelusuri setiap lembaran dengan seksama.
"Apa kau benar-benar yakin aku bisa melakukannya?" tanya Deana, sedikit keraguan muncul di benaknya.
"Bastian bukan pria biasa," kata William, bersandar ke belakang. "Dia memiliki kelemahan. Seperti pria lainnya, dia memiliki keinginan. Dan kau, Deana... kau bisa menjadi keinginan itu."
Deana mengepalkan jemarinya. Ia telah kehilangan segalanya, dan kini, ia akan membuat Bastian merasakan apa yang dirasakannya. Ia tidak akan lagi menjadi korban. Tidak akan lagi menangis dalam kesakitan. Jika ia harus menjual jiwanya kepada kegelapan demi menghancurkan pria yang telah merenggut kebahagiaannya, maka ia akan melakukannya.
"Apa langkah pertamaku?" tanyanya dengan suara mantap.
William tersenyum lebar, puas dengan keputusan Deana.
"Kau akan menjadi Lady Dee."
Dan di malam yang sunyi itu, lahirlah sebuah pesona baru—Lady Dee, seorang wanita yang akan memasuki kehidupan Bastian Alexanders dengan satu tujuan: menghancurkannya dari dalam.
***
Langit malam di kota itu tampak pekat, seperti menyatu dengan keheningan mematikan yang menyelimuti bangunan besar di tepi pelabuhan.
Suara ombak yang menghantam dermaga sesekali terdengar, menciptakan irama yang mengiringi sebuah pesta rahasia.
Di dalam bangunan mewah itu, pesta tersebut sedang berlangsung—pesta yang hanya dihadiri oleh orang-orang terpilih, para penguasa dunia gelap yang mengendalikan arus uang dan kekuasaan di kota ini.
Di tengah-tengah pesta, pria berjas hitam dengan sikap dingin mengamati kerumunan. Bastian Alexanders.
Semua mata tertuju padanya. Bukan karena pesona atau kekayaannya, melainkan karena ketakutan yang terpancar dari setiap inci tubuhnya.
Dia berdiri seperti bayangan kematian, tak seorang pun berani mendekat tanpa undangan. Di sudut ruangan, seorang pria yang tampak ketakutan berlutut di depan Bastian.
Tangannya gemetar, wajahnya penuh peluh, dan matanya memohon belas kasihan.
"J-jangan, Bastian… Aku berjanji akan membayar… Beri aku sedikit waktu lagi…"
Bastian menatap pria itu tanpa ekspresi, bibirnya bergerak sedikit seolah meresapi kata-kata pria itu.
"Waktu?" Suara Bastian rendah, tajam seperti sembilu. "Kamu sudah melewati batas waktu yang kuberikan."
Pria itu semakin putus asa.
"Aku hanya butuh satu minggu lagi! Tolong… keluargaku…"
Tanpa peringatan, Bastian menoleh kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di dekatnya.
"Selesaikan," katanya dingin, tanpa mengangkat suara sedikit pun.
Pria yang ketakutan itu berteriak, tetapi sebelum dia sempat melarikan diri, suara peluru yang melesat dengan cepat mengakhiri segalanya.
Tubuh pria itu terhuyung dan jatuh ke lantai, darah mengalir membentuk genangan di bawahnya.
Ruangan seketika sunyi. Semua orang menahan napas, tak ada yang berani bergerak.
Bastian melangkah melewati tubuh tak bernyawa itu seolah tak ada yang terjadi, menuju sofa yang mewah di sudut ruangan.
Tanpa mempedulikan kekacauan yang dia tinggalkan, dia duduk dengan tenang dan memanggil pelayannya untuk menuangkan minuman.
Bastian Alexanders bukan hanya seorang penguasa, dia adalah simbol ketakutan dan kegelapan.
*
Sementara itu, di sebuah ruangan gelap di bagian lain kota, Deana Sazmeen memandangi dirinya di cermin, mencoba mengenali sosok yang akan dia perankan malam itu.
"Lady Dee," dia berbisik kepada bayangannya sendiri.
Wajahnya berubah kaku, bukan lagi gadis lugu yang pernah kehilangan segalanya.
Ia adalah seorang wanita baru yang akan memasuki sarang serigala.
William, sang detektif yang telah bekerja dengannya selama beberapa bulan terakhir, berdiri di belakangnya, memperhatikan dengan cermat setiap gerakannya.
“Kamu siap?” tanyanya, suaranya tenang namun tegas.
Deana menarik napas dalam, lalu memalingkan pandangannya ke arah William.
“Aku sudah lama siap untuk ini. Bastian harus membayar atas apa yang dia lakukan.”
William mengangguk.“Kita hanya punya satu kesempatan. Setelah kamu berada di dalam, tak akan ada jalan keluar yang mudah. Bastian adalah tipe pria yang mengendus kelemahan dari jarak jauh. Kamu harus bermain sempurna.”Deana tahu betul risiko yang dia ambil. Dunia Bastian adalah labirin penuh jebakan, dengan kejamnya para pembunuh dan pengkhianat berkeliaran di sekelilingnya.Namun, di sisi lain dari labirin itu ada jawaban atas kematian tunangannya, dan dia tidak akan mundur sebelum menghancurkan Bastian dari dalam.William telah memberinya semua informasi yang dia butuhkan, dan sekarang giliran dia untuk bertindak.William melangkah maju, memberikan sebuah alat pelacak kecil yang akan disematkan di dalam gaun mewahnya.“Ini satu-satunya cara aku bisa tetap memantau kamu dari jauh. Ingat, tidak ada emosi. Di depan Bastian, kamu hanya Lady Dee. Wanita yang menggoda, tak kenal takut, dan profesional.”Deana tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh dendam.“Aku akan memainkan pera
Deana memutuskan untuk tidak terburu-buru.Dia berjalan ke arah bar, duduk di kursi tinggi, dan memesan minuman dengan nada santai.Matanya menyapu ruangan, mengamati siapa saja yang mungkin menjadi kawan atau lawan.Namun di balik ekspresi tenangnya, hatinya berdegup cepat.Dia tahu setiap langkah yang diambil di sini penuh risiko. Satu kesalahan kecil, dan hidupnya bisa berakhir malam ini juga.“Minuman yang menarik untuk wanita sepertimu,” sebuah suara rendah dan dalam tiba-tiba terdengar di sebelahnya.Deana menoleh, menemukan Bastian telah berdiri di sana. Tak ada yang mendengar langkahnya, dia bergerak seolah udara sendiri tidak menyadari kehadirannya. Dingin, namun penuh kendali.Deana menyeringai tipis, memainkan gelas anggurnya dengan jari-jari lentiknya."Aku selalu memilih sesuatu yang kuat," jawabnya dengan nada yang menantang, namun tetap terjaga.Bastian menyipitkan matanya, jelas tertarik dengan jawaban Deana."Kuat, tapi berbahaya. Kombinasi yang jarang ditemui."Deana
Deana bisa merasakan pandangan tajam Raya sejak dia pertama kali memasuki ruangan, namun dia tidak menanggapi secara langsung.Di dunia ini, menunjukkan kelemahan sama saja dengan mengundang kematian.Deana menegakkan tubuhnya, memperlihatkan bahwa dia tidak gentar.Waktu terus berlalu, dan akhirnya Bastian melangkah mendekati Deana lagi.Kali ini, tanpa kata-kata basa-basi, dia mengulurkan tangannya."Mari menari," ucapnya dengan suara yang lembut namun memaksa.Deana menelan ludah sejenak sebelum menerima uluran tangan itu.Jantungnya berdebar kencang saat mereka melangkah ke tengah lantai dansa yang sekarang sudah sepi, hanya menyisakan mereka berdua.Saat tangan Bastian melingkar di pinggangnya, Deana merasa seperti seekor mangsa yang berada di hadapan pemangsa.Setiap langkah dansa yang mereka lakukan seolah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar—sebuah permainan hidup dan mati.Bastian menatapnya dalam-dalam.“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan, Lady Dee?” tanyanya,
Suasana pesta kembali tenang, namun badai yang tersembunyi mulai terasa di dalam dada Deana.Di balik wajahnya yang tegar, kegelisahan menyelimuti pikirannya. Dia tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya mulai memancing perhatian yang tidak diinginkan—bukan hanya dari Bastian, tapi juga dari Raya yang sudah mulai mencurigainya.Meski demikian, tekadnya semakin kuat. Rasa sakit hati karena kehilangan tunangannya belum terobati, dan hanya dengan menghancurkan Bastian, Deana bisa mendapatkan kembali kehidupannya.Deana menepi ke balkon, menghirup udara malam yang dingin.Dalam keheningan itu, William akhirnya menghubunginya lagi melalui earpiece."Kau harus lebih berhati-hati dengan Raya. Dia tidak akan tinggal diam," suaranya terdengar lebih waspada dari biasanya.“Aku tahu,” jawab Deana pelan, matanya masih memandangi kerlipan lampu kota yang terlihat dari balkon.“Dia tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Bastian.”“Bukan hanya soal itu,” kata William, kali ini dengan nada yang l
Bastian akhirnya menoleh padanya, wajahnya tanpa ekspresi.“Kau cemas?” tanyanya dengan nada dingin, seolah menantang Raya untuk menjawab dengan jujur.Raya menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan sikap tunduk yang biasa dia lakukan saat berhadapan dengan Bastian.“Aku hanya ingin melindungimu,” jawabnya dengan manis. “Siapa pun yang berani masuk ke lingkaranmu tanpa alasan yang jelas, adalah ancaman.”Bastian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis.“Kau benar,” ucapnya pelan. “Tapi jangan khawatir. Aku akan tahu siapa dia sebenarnya.”Deana kembali dari balkon, memasuki ruangan pesta dengan senyuman tipis di wajahnya.Dia tahu bahwa sorotan mata Bastian dan Raya terarah padanya.Permainan baru saja dimulai. Tapi meski langkahnya terlihat percaya diri, benaknya masih berusaha merancang langkah berikutnya.Dengan anggukan singkat ke arah para tamu, Deana berjalan menuju bar, tepat di mana Bastian berdiri.Di tengah keramaian, dia menghampiri bartender dan meminta
William tak menjawab lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar, seolah dia juga merasakan beratnya keputusan yang Deana ambil.Deana tahu bahwa William menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum diungkapkannya. Tapi saat ini, fokus Deana hanya pada satu hal: Bastian.Dengan satu napas panjang, Deana menatap kembali bayangan dirinya di cermin.Lady Dee mungkin hanya sebuah penyamaran, tetapi di baliknya, Deana tahu, dia sudah berubah.Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup dan memenangkan permainan yang berbahaya ini.Malam sudah larut ketika Deana meletakkan teleponnya dan kembali berdiri di depan cermin.Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata William.Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa khawatir.Bastian adalah seseorang yang tak mudah diprediksi.Dia bisa saja menjatuhkan siapa pun yang mendekatinya, dan Deana sadar bahwa ia kini berada di pusat perburuan paling berbahaya dalam hidupnya.Deana menye
"Kenapa kau tertarik dengan lingkaran ini? Lingkaran di mana semua orang ingin keluar, tapi tidak bisa."Deana berpikir sejenak. Dia harus berhati-hati dengan jawabannya."Karena aku bukan orang biasa. Dunia ini menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh dunia luar. Kebebasan. Kontrol."Bastian mengangkat alis, seolah tertarik."Kebebasan, katamu?"Deana tersenyum tipis."Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau, tanpa batas. Di sini, kita adalah pemain. Dan aku ingin bermain di level tertinggi."Bastian terdiam, menatapnya dengan pandangan yang tajam.“Tapi permainan ini tidak untuk semua orang, Lady Dee. Jika kau ingin bermain, kau harus siap kehilangan segalanya.”Seketika, keheningan menyelimuti ruangan itu. Deana tahu bahwa di balik kata-kata itu, ada ancaman terselubung. Tapi dia tak gentar."Aku sudah kehilangan segalanya," jawabnya tegas, menatap Bastian tanpa gentar.Bastian tertawa kecil, namun tawanya dingin."Bagus. Maka kau mungkin akan bertahan di sini lebih lama
Deana mendekati salah satu peralatan di ruangan itu—sebuah meja panjang dengan tali pengikat di setiap sudutnya. Bastian menatap Deana, memberinya pilihan tanpa perlu mengatakan apapun. Apakah dia akan mengikuti permainan ini? Atau mundur?Meskipun merasakan ketegangan, ia melangkah maju. Baginya, ini bukan sekadar tentang menaklukkan Bastian secara fisik. Ini adalah permainan pikiran, permainan yang harus dia menangkan jika dia ingin bertahan dalam dunia pria ini. Dia menyingkirkan segala keraguannya dan melangkah ke meja itu.Dengan gerakan perlahan, Bastian membimbing Deana, mengikatkan tali di pergelangan tangannya, lalu di kakinya. Setiap gerakan penuh perhitungan, seakan dia tidak ingin terburu-buru, ingin menikmati setiap detik yang ada. Saat semua tali sudah terikat, Bastian melangkah mundur, memandangnya dengan penuh kekuasaan.Di sinilah peran Lady Dee yang sebenarnya diuji—di mana batas antara kendali dan ketundukan mulai kabur. Bastian akan menunjukkan sisi gelap dari diri
Nama itu muncul di antara bisikan-bisikan samar dari beberapa orang dalam lingkaran Bastian. Dia bukan orang yang sering muncul di permukaan, tetapi kehadirannya terasa kuat. Beberapa kali Deana menangkap percakapan yang menyebutnya sebagai "bayangan di balik layar," seorang pria yang memiliki pengaruh besar, meski jarang terlihat. Hingga kini, Deana belum pernah bertemu langsung dengannya, namun firasatnya mengatakan bahwa dia adalah kunci untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang Bastian.Malam itu, Deana sedang memutar-mutar gelas anggur di tangannya, mencoba merenungkan langkah selanjutnya. Pikirannya terus memikirkan cara untuk lebih mendekati pusat kekuasaan, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.Pesan itu singkat, namun jelas."Aku ingin bertemu denganmu. Malam ini, jam 9. Di ruang rahasia di lantai bawah. —Raven."Deana menatap pesan itu dengan kerutan di dahinya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Raven. Akhirnya, pria itu memutuskan untuk keluar d
Di sisi lain penthouse, Bastian duduk di ruang kerjanya, masih memandangi kota dari jendela besar di hadapannya. Dalam keheningan malam, pikirannya kembali pada Deana. Wanita itu mengganggu pikirannya lebih dari yang dia sadari. Sejak pertama kali bertemu, ada sesuatu tentang dirinya yang menarik, sesuatu yang tidak pernah Bastian temui sebelumnya. Tidak hanya kecantikan atau sikap percaya diri Deana, tetapi kedalaman dalam tatapannya yang membuat Bastian merasa penasaran.Selama bertahun-tahun, dia sudah terbiasa melihat orang-orang tunduk di hadapannya, baik karena ketakutan atau keinginan untuk memanfaatkannya. Tetapi Deana berbeda. Ada keberanian di dalam dirinya, seolah-olah dia tidak takut pada apapun, bahkan pada Bastian sendiri.Bastian menyesap anggur terakhir dari gelasnya, merenung. Ini bukan pertama kalinya dia tertarik pada seorang wanita, tetapi perasaan ini... terasa lebih berbahaya. Perasaan ini membuatnya lengah, dan kelemahan bukanlah sesuatu yang bisa dia terima dal
Deana tersenyum samar, tetapi dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bastian menatapnya malam ini. Ada sesuatu yang lebih lembut, meski tidak sepenuhnya menghapus aura berbahaya yang selalu melekat padanya."Aku tahu betapa beratnya dunia yang kau jalani," balas Deana dengan hati-hati. "Tapi bahkan di dalam dunia sepertimu, pasti ada sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis dan kekuasaan."Bastian tertawa kecil, tetapi kali ini tawa itu bukan untuk menyindir, melainkan karena dia merasakan sentuhan kejujuran dari kata-kata Deana. Dia mengangkat gelas anggurnya dan menyesapnya perlahan sebelum menatap Deana lagi."Apakah kau selalu berpikir seperti itu? Bahwa ada lebih dari sekadar uang dan kekuasaan?" tanya Bastian dengan nada yang lebih lembut, seperti mencoba menggali pemikiran Deana.Deana mengangkat bahu. "Mungkin. Atau mungkin aku hanya ingin percaya bahwa ada sesuatu yang lebih baik di balik semua ini."Untuk sesaat, Bastian tidak menjawab. Dia hanya memandan
Deana menyembunyikan keterkejutannya. Pertemuan bisnis? Jika ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan jaringan kriminal Bastian, maka ini peluang emas yang tidak bisa ia lewatkan."Tentu saja," jawab Deana dengan tenang. "Aku akan senang sekali mempelajari caramu mengelola bisnis."Senyum kecil kembali menghiasi wajah Bastian. "Bagus. Kita akan mulai dalam satu jam. Pastikan kau siap."Deana mengangguk. Ketegangan dalam dirinya semakin meningkat, tapi dia tahu ini adalah saat yang tepat untuk masuk lebih dalam ke dunia Bastian. Apa pun risikonya, dia harus mengambil kesempatan ini.Satu jam kemudian, Deana mendapati dirinya di sebuah ruangan eksklusif yang penuh dengan suasana serius. Di meja besar di tengah ruangan, beberapa pria dengan wajah keras duduk bersama Bastian, membahas hal-hal yang berkaitan dengan bisnis mereka—bisnis ilegal yang mencakup perdagangan manusia, senjata, dan narkoba.Deana duduk diam di samping Bastian, mendengarkan
“Aku sadar,” jawab Deana pelan namun tegas. “Tapi ini satu-satunya cara. Jika kita ingin menghancurkannya, kita harus berada di dalam lingkarannya.”William terdiam, lalu akhirnya berkata, “Hati-hati, Deana. Jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri dalam permainan ini.”Deana hanya tersenyum tipis. Permainan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sejak kehilangan tunangannya, sejak melihat kematian dan kehancuran di tangan Bastian, Deana telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan berhenti sampai keadilan tercapai—meski harus berhadapan dengan bahaya yang tidak terukur.*Malam harinya, Deana kembali ke penthouse mewah yang sering digunakan Bastian untuk mengadakan pesta-pesta eksklusif. Dia kembali mengenakan topengnya sebagai Lady Dee—sosok yang misterius dan tak tersentuh, namun memikat perhatian setiap pria yang hadir.Malam itu, suasana di penthouse Bastian semakin memanas. Para tamu dengan pakaian glamor berkumpul, menikmati
William berdiri, menatap Deana dengan ekspresi prihatin. "Aku akan mengurus sisanya. Kau fokus saja pada peranmu. Ingat, Deana, kau tidak sendiri. Kita ada di sini untuk membantumu."Deana hanya bisa tersenyum tipis. Meski dia menghargai dukungan William, dia tahu bahwa pada akhirnya, ini adalah pertempuran pribadinya. Sebuah pertempuran yang sudah dimulai sejak Bastian mengambil segalanya darinya.Ketika William akhirnya pergi, Deana duduk di balkon, membiarkan angin malam yang sejuk membelai wajahnya. Pikiran tentang Lydia berputar di kepalanya. Siapakah wanita itu? Apakah dia benar-benar kunci untuk menghancurkan Bastian? Atau ini hanya jalan buntu lainnya?Satu hal yang Deana yakini: dia tidak akan menyerah. Bastian harus membayar untuk semua kejahatannya, dan jika menemukan Lydia adalah satu-satunya cara, maka itulah yang akan dia lakukan.Jauh di suatu tempat, Bastian mungkin sedang merencanakan langkah berikutnya. Tapi Deana tidak akan lagi menjadi
Deana duduk di sofa apartemennya dengan perasaan bercampur aduk. Malam itu meninggalkan luka yang tak terlihat di dalam dirinya. Bastian jelas menyadari bahwa dia bukanlah sekadar pelacur biasa seperti yang selama ini dia tampilkan. Deana sadar, permainan ini semakin berbahaya. Satu kesalahan kecil saja, dan dia bisa kehilangan segalanya—termasuk nyawanya.Suara ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Dia tidak mengharapkan tamu malam itu, dan rasa was-was langsung menyeruak dalam dirinya. Siapa pun yang datang, dia harus siap. Dengan langkah perlahan, Deana mendekati pintu, merasakan denyut jantungnya semakin cepat.“Siapa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit.“Ini aku, William.”Deana menghela napas lega, kemudian membuka pintu. William berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius. "Aku harus memastikan kau baik-baik saja," katanya sambil melangkah masuk."Aku baik-baik saja," jawab Deana, meskipun tidak sep
“Lepaskan dia, Bastian,” ulang William, suaranya dingin namun penuh ancaman. Dia tahu bahwa sedikit saja langkah keliru, Deana bisa berada dalam bahaya yang jauh lebih besar. Namun, Bastian hanya tersenyum, menatap William dengan kebencian yang tertahan.“Kau terlalu percaya diri, William,” balas Bastian, suaranya merendah, tapi penuh kekejaman. “Kau pikir dengan berdiri di sini, kau bisa menyelamatkan Deana? Jangan lupa siapa aku.”Deana merasakan tangan Bastian semakin mengencang di pergelangannya, membuatnya meringis kesakitan. Dia tahu dia harus bertindak cepat, tapi dalam posisinya sekarang, dia tidak punya banyak pilihan. Melirik ke arah William, matanya mencoba berkomunikasi tanpa suara, berharap dia memiliki rencana untuk keluar dari situasi ini.“Kau mungkin bisa menghentikanku hari ini, William,” lanjut Bastian, “tapi ingat satu hal: jika aku jatuh, aku akan membawa semuanya bersamaku, termasuk wanita kecil yang kau coba lindungi ini.”Raya, yang sedari tadi berdiri di belak
Deana menelan ludah. Pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Jika Raya sudah mengetahui rencana mereka, ini bukan hanya masalah misi yang gagal—ini bisa mengancam nyawanya. “Kau tidak mengerti, Raya. Ini bukan hanya tentang aku dan Bastian. Dia berbahaya, bahkan untukmu.”Raya tertawa sinis, seolah kata-kata Deana hanyalah lelucon baginya. "Berbahaya? Tentu saja dia berbahaya. Tapi itulah yang membuatku jatuh cinta padanya." Dia menatap Deana penuh kesombongan. "Dan aku tidak akan membiarkan wanita manapun merebutnya dariku. Tidak kau, dan tidak siapapun."Deana menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang meskipun darah di nadinya terasa membeku. “Ini bukan tentang cinta, Raya. Kau tahu Bastian. Dia memanipulasi, menghancurkan hidup orang. Bahkan hidupmu.”“Dan kau pikir kau lebih baik dariku?” Raya membalas, suaranya semakin tajam. “Kau juga hanya bagian dari permainannya, Deana. Seperti boneka yang akan dia buang setelah bosan.”Seketika, Deana merasakan amarah bangkit di dadan